Masa yang
dihadapi sekarang ini menjadi parameter dalam memprekdiksi dimasa depan
berdasarkan data yang baru saja dilansir BPS menyatakan, angka pengangguran di
Indonesia per Agustus 2013 melonjak 7,39 juta jiwa dari Agustus 2012 sebanyak
7,24 juta jiwa. Tahun ini tercatat ada 360 ribu orang sarjana lulusan
universitas yang masih menganggur. Pada
bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per
kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,07 juta
orang (11,37 persen), berkurang sebesar 0,52 juta orang dibandingkan dengan
penduduk miskin pada September 2012 yang sebesar 28,59 juta orang (11,66
persen). Selama periode September 2012 sampai dengan Maret 2013, jumlah
penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,18 juta orang (dari 10,51 juta
orang pada September 2012 menjadi 10,33 juta orang pada Maret 2013), sementara
di daerah perdesaan berkurang 0,35 juta orang (dari 18,09 juta orang pada
September 2012 menjadi 17,74 juta orang pada Maret 2013).
Selama periode September 2012 sampai dengan Maret
2013, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan tercatat
mengalami penurunan. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada
September 2012 sebesar 8,60 persen, turun menjadi 8,39 persen pada Maret 2013.
Sementara penduduk miskin di daerah perdesaan menurun dari 14,70 persen pada
September 2012 menjadi 14,32 persen pada Maret 2013.
Berdasarkan data tersebut maka patut dicatat
bahwa begitu besar pengaruh pemerintahan dalam kebijakan politik untuk
mengatasi permasalahan krusial bangsa Indonesia salah satunya adalah
permasalahan kemiskinan dipedesaaan dan diperkotaan, namun agak disesalkan
angka pengangguran meningkat signifikan bahkan lulusan perguruan tinggi
sejumlah 360.000 orang menganggur, artinya banyak sekali tenaga kerja produktif
yang tidak mendapatkan pekerjaan, ada apa dengan pendidikan kita di
Indonesia.
Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2013 tercatat sebesar 73,52 persen, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi September 2012 yang sebesar 73,50 persen. Bahwa tercatat kemiskinan dapat diintervensi dengan memberikan bantuan makanan kepada warga miskin sehingga kebutuhan pangan bisa dipenuhi dalam jangka waktu tertentu. Namun bisa juga dipengaruhi oleh kedermawanan masyarakat terhadap penderitaan saudara-saudaranya yang sedang kesusahan. Kepedulian ini terhadap sesama ini sangat signifikan untuk membantu mengentaskan kemiskinan dinegara Indonesia ini, dengan semangat saling berbagi menjadi budaya mengasihi orang miskin.
Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2013 tercatat sebesar 73,52 persen, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi September 2012 yang sebesar 73,50 persen. Bahwa tercatat kemiskinan dapat diintervensi dengan memberikan bantuan makanan kepada warga miskin sehingga kebutuhan pangan bisa dipenuhi dalam jangka waktu tertentu. Namun bisa juga dipengaruhi oleh kedermawanan masyarakat terhadap penderitaan saudara-saudaranya yang sedang kesusahan. Kepedulian ini terhadap sesama ini sangat signifikan untuk membantu mengentaskan kemiskinan dinegara Indonesia ini, dengan semangat saling berbagi menjadi budaya mengasihi orang miskin.
Permasalahan
bangsa selanjutnya adalah kasus korupsi, tercatat sebanyak 228 kasus korupsi
sudah diungkap dan diusut oleh KPK. 228 diantara sudah inkracht dan terhitung sejak 2004
hingga sekarang. Jumlah ini belum ditambah dengan kasus-kasus yang sedang atau
sudah ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Sedangkan kasus-kasus korupsi
yang melibatkan kepala daerah Menurut data Kemendagri, sampai akhir tahun Juni
2013, terdapat 21 Gubernur, 7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41
Walikota, 20 Wakil Walikota yang tersangkut kasus hukum, sebagian besar perkara
korupsi. Kerja pemberantan korupsi menjadi bagian yang terberat dalam
permasalahan bangsa ini, hampir disemua sektor dapat dan mungkin saja
terindikasi adanya praktek-praktek korupsi maupun gratifikasi, terutama dalam
kaitannya dengan birokrasi administrasi, sesorang untuk mempercepat urusan
kepentingannya dalam memperoleh surat dari pejabat setempat setidaknya harus
ada sesuatu yang bersifat gratifikasi dalam bentuk apapun dan ini menjadi biasa
dan terbiasa, maka setiap kerja melayani masyarakat harus ada pamrihnya sebagai
wujud perhatiaannya dan wujud terimakasih atas segala bantuannya, hal-hal yang
seperti ini yang bisa mengawali dari tindakan-tindakan korupsi, segala hal yang
dipermudah dan tidak sesuai dengan prosedur (SOP) diakali agar mendapatkan
iming-iming dari subjek yang membutuhkan kemudahan itu, berawal dari gratifikasi kecil-kecilan sampai dengan
suap yang gila-gilaan.
1. RAKYAT SEBAGAI KOMODITI POLITIK PARA PENGUASA
Rakyat
Selalu Menjadi Komoditas Politik
Dalam sistem demokrasi selalu rakyat menjadi objek.
Rakyat tidak pernah menjadi subjek. Sekalipun rakyat dikatakan sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi. Kedaulatan di tangan rakyat. Suara rakyat adalah suara
tuhan. Sejatinya wujud kedaulatan di tangan rakyat tidak pernah terjadi.
Rakyat selamanya hanyalah menjadi objek. Rakyat
hanyalah menjadi komoditas. Realitas politik yang ada tidak pernah memposisikan
rakyat sebagai penentu. Rakyat hanya dibutuhkan pada saat pemilihan, memberikan
legitimasi bagi para pemburu rente kekuasaan. Mereka saling berebut, dan
mengaku sebagai tokoh yang berdiri di garda paling depan membela
rakyat. Tapi tidak pernah ada, dan menjadi kenyataan.
Dalam ideologi yang paling ekstrim yang mengaku paling
membela rakyat, seperti komunisme, yang membuat jargon politik : “tanpa kelas”,
dan kemudian dikenal dengan terminologi politik komunis, “sama rata sama rasa”,
tetap saja yang menikmati dalam sistem komunis itu, para kamerad (pemimpin)
partai, yang sangat sedikit (elitis), dan dengan gaya yang sangat
“borjuis”.
Di Cina dan Rusia yang menganut sistem komunis, tak
ada yang disebut dengan “tanpa kelas” alias “sama rata sama rasa”. Para
pemimpin partai menjadi kelas elite yang dengan gaya hidup yang
"borju", dan jauh dari cita-cita komunis, yang proletar.
Meraka yang berada diatas sebagai pemimpin partai
tetap menikmati hak-hak istimewa (privilege), yang tidak bisa dinikmati rakyat.
Rakyat hanyalah menjadi bahan isu yang selalu dimunculkan saat atau
moment tertentu, yang tujuannya membangun atau mendapatkan kekuasaan. Berbicara
tentang nasib rakyat, seperti kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan
sejumlah isu lainnya yang populis,sebagai cara para pengejar kekuasaan,
atau yang memiliki libido kekuasaan yang kuat, dan rakyat selalu menjadi bahan
komoditas.
Siapa yang benar-benar menjadi pembela rakyat di
negeri ini? Adakah tokoh-tokoh yang selalu berbicara tentang rakyat dan
mengidentikkan dirinya dengan “wong cilik” itu, benar-benar sebagai pembela
rakyat? Tidak. Itu hanyalah berlangsung saat mereka belum berkuasa. Ketika
mereka sudah berkuasa tidak lagi berbicara tentang rakyat. Tidak lagi nampak
pembelaan terhadap rakyat. Rakyat mereka lupakan.
Para tokoh yang sudah berkuasa dan pemimpin negara,
mereka hanyalah menyediakan waktunya dan perhatiannya bagi mereka yang dapat
melanggengkan kekuasaannya. Para pemilik modal, pengusaha, kelompok penekan,
dan jaringan lobby internasional, yang dekat dengan kekuasaan global.
Karena hakekatnya para penguasa lokal, yang sudah memenangkan pemilu, tak lain,
mereka itu hanyalah perpanjangan tangan dari kepentingan global.
Rakyat tugasnya selesai saat pemilihan selesai. Tidak
ada lagi mereka perannya. Dalam sistem demokrasi keterwakilan, di manapaun
mereka yang mendapatkan mandat sebagai wakil rakyat, dan dapat mengataskan
namakan rakyat, tidak pernah mereka benar-benar mengabdi kepada rakyat. Mereka
mengabdi kepada kekuasaan.
Dalam kontek sekarang ini di Indonesia, bagaimana
rakyat dihabisi oleh kekuatan”koalisi” partai-partai politik, yang tergabung
dalam Setgab yang menjadi pilar kekuasaan. Mereka menjadi pendukung
kekuasaan tanpa reserve. Mereka mendukung kebijakan pemerintah, betapapun
kebijakan itu sangat menyakitkan bagi rakyat.
Mengapa sesudah Soeharto lengser, tak juga berubah
nasib dan kehidupan rakyat? Justeru nasib rakyat semakin terpuruk. Karena
para pemimpin partai dan partai politik, termasuk mereka yang menjadi
wakil rakyat (DPR) bukan menjadi wakil rakyat. Tetapi, mereka semuanya hanyalah
mengabdi kepada para penguasa.
Para pemimpn partai politik memanipulasi rakyat, dan
membiarkan rakyat dengan nasibnya sendiri. Dalam setiap peristiwa politik, yang
manapun, tak nampak adanya keberpihakan mereka terhadap nasib rakyat.
Lalu, apa maknanya rakyat berbondong-bondong ke kotak
suara,dan memilih wakil rakyat, dab para pemimpin negeri ini? Kalau
kemudian yang mereka pilih itu, hanyalah para pengkhianat. Mereka bersekongkol
menghancurkan rakyat. Seperti sekarang ini. Rakyat dibiarkan menderita sendiri.
Sekalipun mereka dengan cara-cara masing-masing terus
berusaha menipu rakyat dengan berbagai adegan, yang sangat menjijikkan.
Mendatangi para buruh, kuli, pedagang kaki lima, rumah-rumah kumuh, naik kereta
api, dan berlagak empati kepada rakyat, tapi semuanya hanyalah sandiwira yang
sangat menipu. Tak ada yang sungguh-sungguh dan jujur.
Lihat saja kalau mereka berkuasa, mereka pasti
mendahulukan “perut” mereka terlebih dahulu. Atau memuaskan mereka yang telah
berjasa, terutama para pemilik modal. Mereka yang lebih dahulu
mendapatkan ganjaran dari para penguasa baru itu. Bukan rakyat. Rakyat hanyalah
kebagian janji-janji di pemilu. Sesudah tidak ada lagi.
Para penguasa sesudah mereka dilantik menjadi
penguasa, ucapan pertama yang lakukan mengucapkan, "Selamat tinggal
rakyat". Sejatinya rakyat hanya menjadi komoditas politik, para pemimpin
partai politik, yang kemudian dijual kepada para penguasa yang zalim,
yang tidak pernah berpihak kepada rakyat. Wallahu’alam.
(sumber :http://www.voa-islam.com/read/opini/2012)
0 komentar