BAB
I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya manusia
hidup didunia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan, ketenangan, ketentraman
hati, dan terpenuhinya kebutuhan rohani dan jasmaninya. Maka manusia akan
selalu memikirkan untuk mendapatkan itu semua, sebuah pencarian kesempurnaan
hidup dan kehidupan. Sebenarnya, setiap orang memiliki tingkat kemampuan
berpikir yang seringkali ia sendiri tidak menyadarinya. Ketika mulai
menggunakan kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak
mampu diketahuinya, lambat-laun mulai terbuka di hadapannya. Semakin dalam ia
berpikir, semakin bertambahlah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali
berlaku bagi setiap orang. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan
untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Seseorang yang
tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani sebuah kehidupan
yang penuh kepalsuan dan kesesatan.
Akibatnya ia tidak akan
mengetahui tujuan penciptaan alam, dan arti keberadaan dirinya di dunia.
Padahal, Allah telah menciptakan segala sesuatu untuk sebuah tujuan sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qur'an: “Dan Kami
tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan
bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui. Dan
mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan
tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di
antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya."
Banyak yang beranggapan bahwa untuk "berpikir secara mendalam",
seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri
di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada.
Sungguh, mereka telah menganggap "berpikir secara mendalam" sebagai
sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan
ini hanyalah untuk kalangan "filosof". Padahal, sebagaimana telah
disebutkan di atas, Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam
atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk
dipikirkan atau direnungkan: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya
dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" Yang
ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas
sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir.
BAB
II
LANDASAN TEORI
A. Hakekat Manusia
Manusia adalah makhluk
paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang
dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai
khalifah di muka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah.
Membicarakan tentang
manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat bergantung metodologi yang
digunakan dan terhadap filosofis yang mendasari. Para penganut teori psikoanalisis menyebut
manusia sebagai homo volens (makhluk
berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki
perilaku interaksi antara komponen biologis (id), psikologis (ego), dan sosial
(superego). Di dalam diri manusia tedapat unsur animal (hewani), rasional
(akali), dan moral (nilai).
Para penganut teori behaviorisme
menyebut manusia sebagai homo mehanibcus
(manusia mesin). Behavior lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme
(aliran yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan subjektif dan
psikoanalisis (aliran yang berbicara tentang alam bawa sadar yang tidak
nampak). Behavior yang menganalisis
prilaku yang Nampak saja. Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia
terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak
disebabkan aspek.
Para penganut teori
kognitif menyebut manusia sebagai homo
sapiens (manusia berpikir). Menurut aliran ini manusia tidak di pandang
lagi sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya, makhluk
yang selalu berfikir. Penganut teori kognitif mengecam pendapat yang cenderung
menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa.
Padahal berpikir , memutuskan, menyatakan, memahami, dan sebagainya adalah
fakta kehidupan manusia.
Dalam Al-Quran istilah
manusia ditemukan 3 kosa kata yang berbeda dengan makna manusia, akan tetapi
memilki substansi yang berbeda yaitu kata basyar, insan dan al-nas. Kata basyar dalam al-quran
disebutkan 37 kali salah satunya al-kahfi : “innama anaa basyarun mitlukum...” (sesungguhnya aku ini hanya
seorang manusia seperti kamu). Kata basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat
biologis, seperti asalnya dari tanah liat, atau lempung kering (al-hijr : 33 ;
al-ruum : 20), manusia makan dan minum (al-mu’minuum : 33).
Kata insan disebutkan dalam
Al-Quran sebanyak 65 kali, diantaranya (al-alaq : 5), yaitu “allamal insaana maa lam ya’..”. (dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya). Konsep islam selalu
dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang
berpikir, diberi ilmu, dfan memikul amanah (al-ahzar : 72). Insan adalah
makhluk yang menjadi (becoming) dan
terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.
Kata al-nas disebut
sebanyak 240 kali, seperti al-zumar : 27 “walakad
dlarabna linnaasi fii haadzal quraani min kulli matsal” (sesungguhnya telah
kami buatkan bagi manusia dalam Al-Quran ini setiap macam perumpamaan). Konsep
al-nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau secara kolektif.
Dengan demikian Al-Quran memandang manusia sebagai
makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Manusia sebagai basyar, diartikan
sebagai makhluk sosial yang tidak biasa hidup tanpa bantuan orang lain dan atau
makhluk lain.
Manusia bukan saja
makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri, tetapi juga menghadapi masalah
lain, seperti halnya menghadapi kesulitan. Ia mengolah diri sendiri serta dapat
mengangkat, merendahkan, atau menjatuhkan diri sendiri. Ia berjarak dan namun
juga bersatu terhadap diri sendiri. Manusia juga makhluk yang berada dan
menghadapi alam kodrat. Ia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak.
Manusia selaluterlibat dalam sebuah situasi. Situasi tersebut berubah dan
mengubah manusia. Berdasarkan dinamika tersebut, manusia mampu mengukir
sejarah. ( Sarwoko Soemowinoto. 2008. Hal:62 ).
Di dalam dunia kehidupan terkhusus dalam pendidikan, konsep manusia sangat
penting artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam kerangka berpikir
dari seorang pemikir. Sebab ia termasuk bagian dari pandangan hidup. Karena
itu, meskipun manusia tetap diakui sebagai misteri yang tidak pernah dapat dimengerti
secara tuntas, keinginan untuk mengetahui hakikatnya ternyata tidak pernah
berhenti. Menurut R.G. Collingwood konsep manusia penting bukan demi
pengetahuan akan manusia itu saja, tetapi yang lebih penting adalah karena ia
merupakan syarat bagi pembenaran kritis dan landasan yang aman bagi
pengetahuan-pengetahuan manusia. Di dalam sejarah pemikiran islam, pandangan
yang mendasar tentang manusia ditemukan pada filsafat dan tasawuf. Namun,
menurut Muhammad Yasir Nasution pengaruh Fuqaha dan Mutakallimin
yang kuat di dunia Islam menyebabkan pandangan mereka yang negatif terhadap
filsafat berkembang, sehingga orang takut berfilsafat. Sehingga serangan yang
lebih keras dan sistematis terhadap filsafat adalah yang dilakukan oleh Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M).
Konsep
pemikiran Al-Ghazali tentang manusia sangat komprehensif. Ia menyatakan
pengenalan hakikat diri adalah dasar untuk mengenal Tuhan. Al-Ghazali merupakan
salah satu ulama yang juga pemikir besar muslim yang karya-karyanya banyak
menyinggung masalah manusia. Beliau merupakan orang yang ulet dalam mencari dan
menggeluti segala pengetahuan yang hendak di ketahuinya untuk mencapai
keyakinan dan hakikat dari suatu kebenaran.
Hakikat berasal
dari kata Arab Al-haqiqat, yang berarti kebenaran dan esensi. Dalam
pengertian ini, Muhammad Yasir Nasution mengungkapkan bahwa hakikat mengandung
makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang
menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang
lainnya. Lebih lanjut, yang mendasari jalan berpikir merumuskan hakikat manusia
adalah prinsip yang umum dianut oleh para filosof, yaitu mabda’ al-dzatiyyat
(prinsip identitas) yang lebih populer dengan sebutan prinsip pertama. Prinsip
ini berbunyi : “sesuatu yang ada hanya identik dengan dirinya sendiri”. Dengan
demikian maka dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang ada mempunyai identitas
yang menandai esensinya dan menunjukkan kebedaannya dari yang lain.
Menurut kajian
ilmu, manusia sebagai individu terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf,
darah dan lain-lain (materi) yang membentuk jasad. Ilmu mengakui bahwa dalam
diri manusia ada jiwa, bahkan penganut teori evolusi pun mengakuinya. Namun,
apakah jiwa itu substansi yang berdiri sendiri, ataukah ia hanya merupakan
fungsi atau aktivitas jasad dengan organ-organnya.
Lebih lanjut,
Al-Ghazali menggambarkan manusia terdiri dari Al-Nafs, Al-ruh dan Al-jism.
Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat. Al-ruh adalah
panas alam di (al-hararat al-ghariziyyat) yang mengalir pada
pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf. Sedangkan al-jism adalah yang
tersusun dari unsur-unsur materi. Al-jism (tubuh) adalah bagian yang paling
tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada
suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak mempunyai daya sama
sekali. Ia hanya mempunyai mabda’ thabi’i (prinsip alami), yang
memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya.
Tegasnya, al-jism tanpa al-ruh dan al-nafs adalah benda mati.
Selain itu,
Al-Ghazali juga menyebutkan manusia terdiri dari substansi yang mempunyai
dimensi dan substansi (tidak berdimensi) yang mempuyai kemampuan merasa dan
bergerak dengan kemauan. Yang pertama adalah al-jism dan yang kedua al-nafs. Di
sini, ia tidak membicarakan al-ruh dalam arti sejenis uap yang halus atau panas
alami, tetapi ia menggambarkan adanya dua tingkatan al-nafs dibawah al-nafs
dalam arti esensi manusia, yaitu al-nafs al-nabatiyyat (jiwa vegetatif)
dan al-nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif). Kedua jiwa ini disebut di
bawah jiwa manusia, karena dipunyai secara bersama oleh manusia dan
makhluk-makhluk lainnya, tumbuh-tumbuhan untuk yang pertama dan hewan serta
tumbuh-tumbuhan untuk yang kedua.
Menurut
Al-Ghazali, Jiwa (al-nafs al-nathiqah) sebagai esensi manusia mempunyai
hubungan erat dengan badan. Hubungan tersebut diibaratkan seperti hubungan
antara penunggang kuda dengan kudanya. Hubungan ini merupakan aktifitas, dalam
arti bahwa yang memegang inisiatif adalah penunggang kuda bukan kudanya. Kuda
merupakan alat untuk mencapai tujuan. Ini berarti bahwa badan merupakan alat
bagi jiwa. Jadi, badan tidak mempunyai tujuan pada dirinya, dan tujuan itu akan
ada apabila dihubungkan dengan jiwa, yaitu sebagai alat untuk
mengaktualisasikan potensi-potensinya.
Disamping itu,
berdasarkan proses penciptaannya, manusia merupakan rangkaian utuh antara
komponen materi dan immateri. Komponen materi berasal dari tanah (Q.S. As
Sajadah/32:7) dan komponen immateri ditiupkan oleh Allah (Q.S. Al Hijr/15:29).
Kesatuan ini memberi makna bahwa di satu sisi manusia sama dengan dunia di luar
dirinya (fana), dan disisi lain menandakan bahwa manusia itu mampu
mengatasi dunia sekitarnya, termasuk dirinya sebagai jasmani (baqa).
Demikianlah
pandangan Al-Ghazali tentang hakikat manusia mengenai hubungan badan dengan
jiwa. Dimana, badan hanya sebatas alat sedangkan jiwa yang merupakan memegang
inisiatif yang mempunyai kemampuan dan tujuan. Badan tanpa jiwa tidak mempunyai
kemampuan apa-apa. Badan tidak mempunyai tujuan, tetapi jiwa yang mempunyai
tujuan. Badan menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu,
jiwalah nanti yang akan menikmati dan merasakan bahagia atau sengsaranya
di akhirat kelak.
Seorang muslim
sudah seharusnya memahami hakikat hidupnya di dunia: Dari mana ia berasal,
untuk apa hidup dan bagaimana dia harus menjalani hidupnya, serta kemana
setelah mati? Sudah sewajarnya bila setiap muslim memahami hal ini. Pemahaman
akan hakikat hidup sangatlah penting, oleh karena ia akan menentukan corak atau
gaya hidup seseorang. Saking pentingnya persoalan ini, sampai mungkin bisa
dikatakan, janganlah kita hidup sebelum memahami apa sebenarnya hakikat hidup
kita itu.
Tapi tidak sedikit muslim yang tidak memahami, bahkan kehilangan makna hidupnya yang hakiki ini. Ada yang terhanyut oleh pola hidup sekuler, ada pula yang acuh tak acuh menjalani hidupnya. Padahal, memahami hakikat hidup bukan hal yang sukar bagi seorang muslim. Allah SWT telah memberikan bekal dan potensi pada diri manusia, berupa daya pikir (akal) dan fitrah yang melekat pada manusia sejak dia diciptakan oleh Allah SWT. Allah SWT telah memberikan panca-indera, sebagai salah satu unsur penting untuk proses berpikir.
“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kalian bersyukur.” (QS An Nahl : 78). Semua bekal ini semestinya bisa digunakan dengan sebaik-baiknya, agar pada gilirannya ia dapat memahami hakikat hidupnya di dunia.
Kegagalan
manusia dalam memahami hakikat hidupnya, tiada lain karena kelalaian dan
keengganannya menggunakan bekal-bekal tersebut, sehingga arah dan orientasi
hidupnya menjadi tidak jelas atau menyimpang dari jalan yang semestinya.
Akhirnya, hawa nafsu atau setanlah yang dijadikan “tuhan”, yakni menjadi sumber
penentu sikap dan tujuan hidupnya. Orang sesat seperti ini dicap oleh Allah SWT
bagaikan binatang ternak, bahkan lebih rendah lagi daripada itu.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam banyak dari jin dan manusia. Mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) , dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al A’raaf : 179)
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS Al Furqaan : 43-44).
Jelaslah, memahami hakikat hidup merupakan suatu hal yang sangat fundamental. Kegagalan memahami hakikat hidup, akan membuat seseorang menjalani hidup bagaikan layang-layang putus yang bergerak mengikuti kemana angin berhembus, atau bagaikan kapal berlayar tanpa nakhoda yang bisa saja menumbuk karang, atau dihempaskan ombak ke mana saja tanpa tujuan. Artinya, seorang muslim mudah sekalil tersesat, atau bahkan tak mustahil menjadi murtad tanpa dia sadari, sehingga amalnya di dunia menjadi sia-sia bagaikan fatamorgana atau debu beterbangan. “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS Al Furqaan : 24)
B. Kehadiran Manusia
Allah Swt, merencanakan
penciptaan manusia, ketika Allah mulai membuat “cerita” tentang asal-usul
manusia, Malaikat Jibril seolah khawatir karena takut manusia akan berbuat
kerusakan di muka bumi. Di dalam Al-Quran, kejadian itu diabadikan.
"...Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud" (QS. Al Hijr: 28-29).
Firman inilah yang membuat
malaikat bersujud kepada manusia, sementara iblis tetap dalam kesombongannya
dengan tidak melaksanakan firman Allah. Inilah dosa yang pertama kali dilakukan
oleh makhluk Allah yaitu kesombongan. Karena kesombongan tersebut Iblis menjadi
makhluk paling celaka dan sudah dipastikan masuk neraka. Kemudian Allah
menciptakan Hawa sebagi teman hidup Adam. Allah berpesan pada Adam dan Hawa
untuk tidak mendekati salah satu buah di surga, namun Iblis menggoda mereka
sehingga terjebaklah Adam dan Hawa dalam kondisi yang menakutkan. Allah
menghukum Adam dan Hawa sehingga diturunkan kebumi dan pada akhirnya Adam dan
Hawa bertaubat. Taubat mereka diterima oleh Allah, namun Adam dan Hawa menetap
dibumi. Baca Surat Al-Baqarah Ayat 33-39.
Adam adalah ciptaan Allah
yang memiliki akal sehingga memiliki kecerdasan, bisa menerima ilmu pengetahuan
dan bisa mengatur kehidupan sendiri. Inilah keunikan manusia yang Allah
ciptakan untuk menjadi penguasa didunia, untuk menghuni dan memelihara bumi
yang Allah ciptakan. Dari Adam inilah cikal bakal manusia diseluruh permukaan
bumi. Melalui pernikahannya dengan Hawa, Adam melahirkan keturunan yang
menyebar ke berbagai benua diseluruh penjuru bumi; menempati lembah, gunung,
gurun pasir dan wilayah lainnya diseluruh penjuru bumi. Hal ini dijelaskan
dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
"...Dan sesungguhnya Kami muliakan anak-anak Adam; Kami angkut mereka didaratan dan di lautan; Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyak makhluk yang telah Kami ciptakan." (QS. al-Isra' [17]: 70)
Manusia dicipta
dan ditentukan harus melalui proses perjalanan hidup yang panjang dan berliku.
Satu proses hidup yang harus dilalui adalah hidup di dunia. Mau menjadi apa di
dunia, manusia harus berusaha. Posisi manusia ditentukan oleh pikirannya.
Mengapa harus hidup di dunia? Karena Allah mempunyai maksud dan misi. Manusia
dicipta bukan untuk main-main. Allah berfirman dalam QS Al-Mu’minun 23:115. Artinya:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara
main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”, atas
dasar misi tersebut, Allah menilai manusia sejauh mana bisa mengimplementasikannya
dalam bentuk tugas dan tanggung jawab. Dengan demikian, manusia telah mengambil
peran yang pasti dalam hidup, berikut di bawah inilah diantara tugas dan peran
manusia.
1. Tugas Manusia Sebagai Khalifah
Bila
direnungkan dengan mata batin yang mendalam, kemudian dipakai daya nalar dengan
pikiran yang tajam, akan disadari betapa kehadiran manusia di dunia ini bukanlah
atas kemauannya sendiri, melainkan merupakan kreasi terindah dari Al Khalik.
Manusia dilahirkan sebagai khalifah, yang harus mampu mengubah dunia menjadi “Alam
adabiyah yang terang benderang” karena peran manusia sebagai rahmatan
lil’alamin.
Kehadiran
manusia di muka bumi harus memberi manfaat bagi lingkungan, menjadi regulator,
memberi kesejukan dan menunjukkan arah kehidupan yang terang benderang (QS Al
Ahzab,33:46). Allah SWT menciptakan langit dan bumi bukan tanpa maksud.
Diciptakan bumi dan isinya untuk manusia. Bagaimana manusia mampu mengelola dan
mendapatlan manfaat, di situlah letaknya tantangan bagi manusia. Ketika
seseorang mampu menyelesaikan tantangan dan merubah sesuatu menjadi lebih baik
serta melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan umat manusia, maka dialah yang
layak mendapat penilaian terbaik dari Allah sebagaimana dalam QS Al Kahfi:7.
Agama Islam
berisi ajaran yang mendorong dan membangkitkan semangat inovatif bagi
pemeluknya. Mengubah yang statis menjadi dinamis, terus bergerak maju memberantas
kebodohan dan mengikis keterbelakangan. Karena itu seorang muslim yang berhasil
dan sukses bukanlah mereka yang sanggup memikul tanggung jawab kepada keluarga
semata. Muslim yang sukses adalah orang hidupnya produktif, mampu menggerakkan
lingkungan tempat tinggalnya untuk maju, dan keberadaannya bermanfaat bagi
masyarakat dan lingkungan.
Tidak ada amal
yang patut diacungi jempol di dunia, selain sikap tanggap dan cepat bertindak
di saat orang lain memerlukan pertolongan. Tidak ada pekerjaan yang bisa
menyelamatkan dan dibanggakan di akhirat kecuali pekerjaan yang dilakukan
dengan ikhlas. Resposnsif adalah ciri khas dari akhlak Rasulullah. Keteladanan
dan langsung turun ke bawah adalah kepribadian Rasulullah. Beliau sangat tegas
terhadap penyimpangan tetapi disampaikan dengan santun dan dengan tutur kata
yang lemah lembut. Beliau penuh kasih sayang terhadap sesama, memberikan pujian
kepada orang yang berprestasi dan berbuat baik, mencela orang yang berbuat aib
dan merusak tatanan.
Manusia sebagai
khalifah Allah di muka bumi mempunyai tugas menjaga keseimbangan dan
ekosistemnya, tidak boleh membiarkan terjadinya kerusakan dan kehancuran. Lebih
dari itu, dia mempunyai tugas menyembah Allah sperti disebutkan dalam QS Adz
Dzaariyat,51:56. Ibadah yang dikehendaki oleh Allah ada 2 macam, umum dan
khusus. Yang pertama, yaitu ibadah sosial yang menyangkut seluruh aspek gerak
kehidupan,dan seluruh aktifitas kebaikan. Yang kedua ibadah mahdhah, yaitu
ibadah yang telah diatur oleh Allah tatalaksananya, seperti shalat dan
sebagainya.
Ibadah mahdhah
adalah ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah. Shalat misalnya, adalah
ibadah seorang hamba bersifat pribadi kepada Allah. Manusia diperintahkan untuk
menjalankan shalat dengan khusyu, berkonsentrasi penuh hanya tertuju kepada
Allah melupakan seluruh urusan dunia. Selesai hubungan dengan Allah (shalat),
manusia harus kembali berhubungan dengan dunia,tidak boleh berdiam
diri lantaran sudah bertemu dengan Allah. Manusia harus bertebaran je berbagai
penjuru untuk mencari karunia Allah demi kemanfaatan dirinya da orang lain
serta lingkungannya.
2. Memaknai Tugas Sebagai Khalifah
Manusia adalah
khalifah Allah SWT di muka bumi. Penunjukan manusia sebagai kalifah sempat
mendapat “reaksi” dan “protes” keras dari malaikat,sebagaimana
firman Allah dalam QS Al Baqarah,2:30. Menanggapi reaksi dari Malaikat,Allah
SWT memperlihatkan “keunggulan” manusia,terutama potensi keilmuannya(QS
Al Baqarah,2:31). Para malaikat pun tunduk seta patuh dan berkata sebagaimana
firman Allah dalam QS Al Baqarah,2:32.
Sebagai
khalifah Allah di muka bumi manusia berperan menjadi “pengganti/penerus”
(QS Yunus,10:14) dan “pemimpin/penguasa”(QS Shad,38;36). Selain harus
beribadah dan hanya menyembah kepada Allah SWT, manusia juga berkewajiban
mengemban tugas untuk memakmurkan bumi, menjaga ekosistemnya dan
menghindarkannya dari kerusakan. Allah berfirman dalam QS Hud,11:61,“Dia
telah mrnciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya”. Sebagai
pemakmur, manusia dalam melaksanakan tugasnya selaku khalifah di muka bumi,
perlu pengenalan dan penguasaan pengetahuan untuk lebih mengenali jati dirinya
berupa:
1.
Mengenal bumi yang menjadi lingkungan wilayah
yurisdiksinya.
2. Mengenal dan
menggali rahasia-rahasia alam dan hukum yang ada dibalik alam (taqdir) dan
hukum Allah yang tersembunyi (sunatullah),misalnya melalui observasi.
Pengenalan oleh manusia terhadap hukum alam, dapat memajukan kehidupan dan
kemakmuran dimuka bumi yang sekaligus menjadi tugas dalam mengantar manusia
dekat dengan Tuhan-Nya.
3. Menjaga dan
memelihara bumi dari kerusakan termasuk pencemaran lingkungan. Sebagai
khalifah,manusia bertanggugjawab terhadap kelangsungan kehidupan di muka bumi.
Oleh karena itu setiap manusia agar tidak kehilangan jati dirinya wajib
menyingsingkan lengan untuk memakmurkan bumi.
4. Manusia
Bertasbih dan Sujud
Alam semesta
bertasbih dan bersujud kepada Allah Al Quddus. Manusia adalah bagian dari alam
dan bahkan manusia adalah alam, sepanjang eksistensi kealamannya manusia
otomatis juga bertasbih sebagaimana alam semesta bertasbih kepada Allah Al
Quddus. Manusia tampaknya melihat dirinya sebagai sesuatu yang terpisah dari
alam, karena itu dimana manusia sendiri ada di dalamnya, manusia tidak pernah
mengatakan dirinya sebagai alam atau bagian dari alam. Pengakuan tersebut
karena sifat manusia, yang mampu bertasbih secara verbal di samping bertasbih
secara natural.
C. Fungsi Manusia
Jika ada
pertanyaan apa manusia itu? ada bermacam-macam karena ada bermacam-macam sistem
dan masing-masing mempunyai jawaban sendiri. Hal ini bisa dimengerti karena
manusia memang makhluk yang kompleks, yang tidak sederhana. Manusia adalah
makhluk yang “misterius”, yang selalu menarik untuk dikupas dan dibicarakan
(Setiardja, 2005: 21).
Jika kita
melihat kembali pada sejarah filsafat manusia dapat kita temukan jawaban
mengenai manusia dari berbagai aliran. Aliran yang pertama adalah aliran
materialisme belaka (ekstrem) yang dipelopori oleh Junalien Offray de Lamettrie
yang hidup pada tahun 1709-1751. Menurut aliran ini manusia adalah materi
belaka. Aliran ini mengingkari kerohanian dalam bentuk apa pun, bahkan
mengingkari adanya pendorong hidup (Poedjawijatna,1997:165-166). Aliran lain
yang dapat digolongkan dalam materialisme adalah darwinisme meskipun aliran ini
kurang ekstrem. Aliran ini berpendapat bahwa manusia tidak ada bedanya dengan
binatang, segala tindak tanduk manusia itu ditentukan oleh alam.
Materialisme
belaka ternyata tidak dapat memuaskan, terutama mengenai perubahan-perubahan
yang sukar dapat dimasukkan kerangka kejasmanian. Orang mulai menyadari bahwa
manusia bukanlah mesin, ada kesatuan di dalamnya, ada pendorong untuk bertindak
dan untuk hidup pada umumnya. Aliran ini disebut antropologia vitalitas.
Aliran yang dapat digolongkan ke dalam aliran filsafat manusia yang vitalistis
adalah marxisme. Marxisme berpendapat bahwa perkembangan masyarakat atau
sejarah tak lain adalah perkembangan bahan. Cenderung hidup itulah yang
menyebabkan manusia hendak terus ada dan terus berkembang. Makan, minum, dan
pakaian merupakan kerangka hidup, dengan demikian manusia adalah sama dengan
binatang karena mempunyai kebutuhan yang sama. Letak perbedaan manusia dengan
binatang adalah usaha manusia menghasilkan keperluan hidupnya. Usaha ini
dilakukan dengan menggunakan alat. Aliran ini sampai pada kesimpulan adanya
pendorong hidup pada manusia, akan tetapi pendorong ini tak lain adalah materi.
Meskipun mengakui adanya perbedaan antara manusia dengan binatang, tetapi
aliran ini tidak menerangkan penyebab perbedaan tersebut.
Aliran marxisme
ditentang oleh idealisme. Jika marxisme amat mengutamakan jasmani, maka
idealisme amat mengutamakan roh, sehingga jasmani kurang dihargai. Tokoh aliran
idealisme adalah Fichte, Schelling, dan Hegel. Aliran yang mempertemukan kedua
aliran ini adalah eksistensialisme. Menurut aliran ini cara manusia ada di
dunia itu khusus. Manusia menyatu dengan dunia.
Dalam cahaya
kesadarannya manusia melihat dirinya sendiri terhadap realitas yang bukan
“aku”. Dalam tangkapan yang pertama yang nampak ialah perbedaan antara si aku
dan realitas sekitarku: tetapi sebenarnya di samping keduaan antara manusia dan
dunia, manusia dan dunia itu juga merupakan kesatuan (Setiardjo, 2005:23).
Manusia adalah
makhluk berbadan jasmani dan berjiwa rohani. “Manusia menjasmanikan diri dalam
alam jasmani: makan, minum, bernapas, tidur, tetapi manusia juga memanusiakan
dan merohanikan alam jasmani dengan mengangkatnya ke dalam dan ketinggian
eksistensinya yang manusiawi. Manusia memiliki transedensi, memiliki keunggulan
untuk mengatasi struktur alam jasmani (Setiardjo, 2005:24).
Misi hidup
manusia ini dijelaskan Allah: “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (beribadah)
kepada-Ku.” (QS Adz Dzariyaat : 56)
“Padahal mereka tidak diperintah
kecuali supaya mereka beribadah (menyembah) Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama…” (QS Al Bayyinah : 5). Kemudian
pertanyaan “Untuk apa manusia hidup?”
Islam menjawab, bahwa manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada-Nya.
Yaitu untuk mentaati Allah SWT dengan menjalankan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya dalam segala aspek kehidupan.
Ibadah menurut kamus Al Muhith karya Imam Al Fairuz Abadi, secara bahasa artinya adalah taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, sebagaimana diuraikan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Dirasat fi al-Fikri al-Islami ibadah memiliki dua arti: arti umum dan arti khusus. Arti secara umum — ini pula yang dimaksud dengan ibadah dalam kedua ayat di atas — adalah mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan-larangan Allah.
Adapun arti
ibadah secara khusus adalah ketaatan kepada hukum syara’ yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Rabbnya, seperti shalat, zakat, haji, do’a, dan
sebagainya. Mengaktualisasikan ibadah dalam arti umum inilah yang secara
konkret merupakan misi hidup manusia di dunia menurut Islam. Inilah hakekat
hidup manusia di dunia, dan ini pula yang wajib menjadi landasan segala
kiprahnya. Aktualisasi ibadah terwujud ketika seorang muslim mengikatkan dirinya
dengan hukum-hukum syara’ dalam segala aktivitasnya, baik ketika berhubungan
dengan Rabb-nya dalam bidang aqidah dan ibadah, berhubungan dengan dirinya
sendiri dalam bidang akhlak, makanan, minuman, dan pakaian, maupun berinteraksi
dengan sesamanya dalam bidang mu’amalah dan uqubat (hukuman dan sanksi).
Ketika seorang muslim menjalankan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat setiap tahun, berpuasa di bulan Ramadhan, beribadah haji, bertaubat, atau membaca Al Qur`an disebut sedang melaksanakan ibadah (dalam arti khusus). Begitu pula tatkala dia bekerja secara profesional dengan etos kerja tinggi didukung keahlian dan sikap amanah, mendidik anak dengan cara Islam, menepati janji, mengkaji ajaran Islam, mempedulikan keadaan kaum muslimin yang lain, aktif berdakwah atau dalam kegiatan keIslaman, bersabar tatkala mendapat musibah, memerintahkan isteri atau anak perempuannya berjilbab, menengok teman yang sakit, bermusyawarah, menjaga kesehatan dan kebersihan dan sebagainnya dia pun juga tengah menjalankan misi ibadah.
Sebaliknya, tatkala seseorang melalaikan tugas, melakukan korupsi dan manipulasi, memberi atau menerima suap, berbohong, berzina, menenggak minuman keras, mengkonsumsi narkoba, mengunjungi pub/diskotik, membantu terjadinya perzinaan, suka mendzalimi orang lain dan sebagainya, dikatakan ia telah telah melakukan maksiat kepada Allah. Berarti ia telah lupa terhadap hakikat keberadaannya di dunia. Demikian pula halnya bila dia menentang dakwah Islam, berjudi, menyatakan bahwa hukum Islam tidak layak karena dinilai kejam, merayakan Natal bersama, melakukan pelecehan seksual, berhutang tak mau bayar, meninggalkan shalat lima waktu atau shalat Jum’at, tidak memakai jilbab; berarti dia telah lalai dari arti hakikat hidupnya di dunia, yaitu beribadah kepada Allah.
BAB
III
PEMBAHASAN
Telah menjadi suatu ketetapan
dan kehendak Allah bahwa manusia diciptakan juga sekaligus diberikan tuntunan
hidup agar dapat menjalani kehidupan di dunia sebagai hamba Allah untuk
memakmurkan kehidupan di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya. Agama Islam yang
diturunkan oleh Allah melalui para Nabi dan Rosul-Nya dan disempurnakan
ajarannya melalui Nabi terakhir yaitu Muhammad SAW adalah merupakan suatu
sistem kehidupan yang bersifat integral dan komprehensif mengatur semua aspek
kehidupan manusia agar mencapai kehidupan yang sejahtera baik di dunia maupun
di akhirat, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan
Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub.
(Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih
agama Ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama
Islam". (QS : Al-Baqarah: 132)
A. Manusia dan Masyarakat
Aktivitas dan
perilaku masyarakat tidak terlepas dari karakteristik manusianya. Pola
perilaku, bentuk aktivitas, dan pola kecenderungan terkait dengan pemahaman
manusia terhadap makna kehidupan itu sendiri. Dalam pandangan Islam bahwa
kehidupan manusia di dunia merupakan rangkaian kehidupan yang telah ditetapkan
Allah kepada setiap makhluk-Nya tersebut untuk nanti dimintai
pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Untuk
mewujudkan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang baik harus dimulai dari
pembinaan kualitas kehidupan secara individual. Karena dari sekumpulan
individu-individu itulah yang nanti dapat memberikan warna dan pengaruh
perubahan yang lebih baik dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Kualitas
seseorang ditentukan oleh kualitas kepribadiannya yang akan melahirkan berbagai
aktivitas di tengah masyarakat. Jika kualitas kepribadiannya baik dan sehat
maka akan melahirkan aktivitas amaliah yang cenderung baik dan sebaliknya. Di
sinilah pentingnya pembinaan kualitas kepribadian seorang muslim agar
benar-benar memahami secara benar tentang nilai-nilai Islam kemudian dapat
memberikan warna dan pengaruh perubahan terhadap lingkungan di
sekitarnya. Pembentukan kepribadian Islam pada diri seseorang ditempuh
melalui dua tahap yaitu, Pertama, mengintroduksikan aqidah Islamiyah pada diri
seseorang agar dia jadikan aqidah atau pandangan hidupnya. Kedua, seorang
muslim yang telah memiliki aqidah Islamiyah itu bertekad menjadikan aqidah
Islamiyah sebagai landasan dalam melakukan proses berfikir yang Islami dan
sekaligus menjadikan aqidah Islamiyah dalam mengatur dan mengendalikan tingkah
lakunya. Untuk dapat memiliki kualitas berfikir yang berlandaskan aqidah
Islamiyah atas berbagai fenomena kehidupan ini, maka seorang muslim harus
mencurahkan kemampuannya untuk mempelajar ilmu-ilmu ke-Islaman baik ilmu
tentang aqidah Islamiyah (ilmu tawhid), ilmu Al-Qur’an dan tafsirnya (‘ulumul
Qur’an), Ilmu Hadist, Fikih dan Ushul Fiqih, ilmu bahasa Arab dsb. Jadi seorang
muslim harus meningkatkan kualitas fikirnya melalui penguasaan terhadap
informasi-informasi Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Assunnah.
Disamping itu
juga harus dibarengi dengan keseriusan dalam memahami perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kontemporer seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu
pengetahuan alam, ilmu budaya, ilmu hukum, ilmu filsafat dsb. Keseimbangan
dalam penguasaan ilmu baik ilmu-ilmu ke-Islaman dan ilmu pengetahuan
kontemporer akan melahirkan sosok seorang muslim yang cerdas, bijaksana dan
santun dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Namun aspek olah fikir
(kognitif) dan olah rasa (afeksi) saja tidak cukup untuk melahirkan seseorang
memiliki kepribadian Islam tetapi perlu ditunjang dengan pembinaan aspek
perilaku kehidupan sehari-hari (psikomotorik). Agar seseorang dapat
senantiasa meningkatkan ketaatan dirinya terhadap Allah SWT sebagai Dzat yang
menciptakannya, maka dia harus memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk
Allah yang diberi anugerah berupa kelebihan-kelebihan baik secara fisik,
mental, emosional dan intelektual dibandingkan makhluk Allah lainnya. Untuk itu
ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, harus memahami bahwa dirinya
memiliki berbagai macam potensi atau naluri kehidupan yang meliputi naluri
mempertahankan hidup, naluri melangsungkan keturunan dan naluri beragama.
Masing-masing naluri kehidupan tersebut kemudian akan melahirkan berbagai macam
bentuk aktivitas manusia di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk
kecenderungan hidup tersebut harus senantiasa diatur dan dikendalikan sesuai
dengan aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT agar martabatnya sebagai
hamba Allah tidak jatuh ke jurang kehinaan. Islam telah mengatur semua
kehidupan manusia baik menyangkut persoalan ekonomi, politik, budaya, hukum,
seni, baik kehidupan secara individual maupun sosial, permasalahan hidup
di dunia maupun akhirat. Seorang muslim senantiasa berusaha untuk memenuhi
berbagai macam kebutuhan dan naluri tersebut berdasarkan atas aqidah Islamiyah
bukan pada azas, ideologi, pandangan hidup, budaya lainnya. Jadi disiniliah
letak dan hakekat kepribadian seorang muslim yang ditentukan oleh sejauh mana
kemampuan berfikir atas segala fenomana kehidupan ini dan kemampuan berperilaku
yang didorong oleh berbagai macam naluri dan kebutuhan yang senantiasa
didasarkan atas aqidah Islamiyah. Dalam aktivitas ekonomi seorang muslim
tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik saja tapi juga sekaligus
merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Sehingga dalam setiap tahap dan
proses aktivitas ekonomi selalu dikaitkan dengan nilai-nilai Islam untuk
mendapatkan keberkahan dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Motif ibadah dalam
setiap aktivitas ekonomi selalu menuntun setiap langkahnya untuk selalu berada
di jalan-Nya. Seorang muslim akan selalu berusaha untuk tidak melakukan
kegiatan ekonomi yang tidak dibenarkan menurut syariat Islam meskipun secara
fisik material mungkin menguntungkan seperti korupsi kolusi dan nepotisme
(KKN), mengurangi timbangan, menipu, transaksi narkoba, prostitusi, praktek
aborsi, manipulasi proyek, bisnis pornografi dan pornoaksi dsb. Seorang muslim
melihat setiap persoalan dalam perspektif dan dimensi yang luas karena dia
yakin kehidupan ini tidak berhenti hanya pada kehidupan di dunia saja tetapi
merupakan kontinuitas kehidupan yang akan dilanjutkan dengan kehidupan di
akhirat dimana setiap individu harus berhadapan dengan mahkamah keadilan Allah
untuk mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya. Di sinilah implikasi keimanan
seorang muslim terhadap hari akhir akan berdampak pada perilaku kehidupan
sehari-hari karena dia yakin bahwa Allah selalu mengawasi setiap langkah
dan aktivitas hamba-Nya.
Islam sebagai
sistem kehidupan yang integral dan komprehensif telah memberikan aturan pada
semua aspek kehidupan manusia baik aspek politik, budaya, ekonomi, sosial,
hukum, seni, manajemen dsb. Sistem syariah Islam meliputi semua aspek kehidupan
manusia untuk menjaga ketertiban, keseimbangan dan kelestarian hidup manusia
sehingga tercapai kebahagiaan hidup manusia di dunia sampai di akhirat.
Kesempurnaan Islam sebagai pandangan hidup (ideologi) dan sistem nilai menjadi
suatu tuntutan manusia di tengah arus globalisasi dan modernitas yang
dihadapkan pada berbagai persoalan yang semakin kompleks. Hal ini telah
diungkapkan Allah SWT dalam firman-Nya: "Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu" (QS Al-Baqarah: 208). Dari ayat di atas secara
eksplisit dan implisit terdapat perintah Allah SWT kepada orang-orang yang
beriman untuk mengikuti semua aturan-aturan yang telah diturunkan Allah secara
totalitas dan jangan mengambil jalan hidup (way
of life) dan sistem kehidupan (manhaj)
selain dari Islam agar hidup manusia mencapai kebahagiaan yang sebenarnya.
Dalam suatu hadist Rasulullah SAW pernah menyampaikan pesan kepada
seluruh umat manusia untuk selalu berpegang teguh kepada syariat Islam yaitu
kembali kepada Al-Qur’an dan Assunnah. “Aku
telah meninggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama
kalian berpegang teguh pada keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”
(HR. Malik)
B. Manusia dalam berbangsa dan bernegara
Iklim kehidupan berbangsa dan
bernegara di pasca era reformasi seperti sekarang ini
telah memperlihatkan perubahan yang begitu signifikan dalam kehidupan demokrasi
dan perpolitikan di indonesia, fenomena yang ada,
adanya kebebasan berekspresi terhadap hak hidup sebagai warga negara dan
menyampaikan aspirasi politik begitu marak dilakukan oleh warga masyarakat.
Tetapi patut disayangkan, terkadang hal itu dilakukan dengan menabrak
rambu-rambu hukum dan peraturan yang ada serta terlepas dari kendali moral,
khususnya menabrak hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur`an yang merupakan
sumber hukum dari segala permasalahan yang seharusnya dipatuhi dan dijunjung
tinggi oleh warga negara, sehingga luapan ekspresi kebebasan dan menyampaikan
pendapat terkesan anarkis dan merugikan banyak pihak. Dengan kata lain,
aspek-aspek lokalitas dan religiusitas mulai dijauhi dan bahkan mungkin
ditinggalkan, selanjutnya beralih pada setiap entitas yang bernafaskan “modern”
agar tidak dicap ketinggalan zaman. Sehingga akibatnya, rasa kepemilikan dan
keimanan sebagai umat islam semakin luntur.
Bangsa adalah orang-orang yang
memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa, sejarah serta berpemerintahan
sendiri. Sedangkan berbangsa adalah manusia yang mempunyai landasan etika,
bermoral, dan ber-aqlak mulia dalam bersikap mewujudkan makna sosial dan adil.
Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia
yang bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu
pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau
beberapa kelompok manusia tersebut. Sedangkan bernegara adalah manusia yang
mempunyai kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya sebagai satu bangsa
serta berproses di dalam satu wilayah nusantara atau Indonesia dan mempunyai
cita-cita yang berlandaskan niat untuk bersatu secara emosional dan rasional
dalam membangun rasa nasionalisme secara eklektis kedalam sikap dan perilaku
antar yang berbeda ras, agama, asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah.
Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara terjadi karena banyak faktor yang mendasarinya, diantaranya ialah
semakin menjauhnya rakyat indonesia khususnya umat muslim
dengan agamanya. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal disadari
atau tidak telah termarjinalisasikan di tengah-tengah ideologi dunia seperti
kapitalisme, liberalisme atau ideologi lainnya. Sehingga sangat logis dalam
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita semakin terpuruk. Disinilah
pentingnya penyadaran untuk kita sebagai umat islam agar kembali kepada
Al-Qur`an serta nilai-nilai moral sebagai bangsa yang beragama dan beradab
untuk bersama-sama mejadikan nilai-nilai tersebut sebagai landasan kita dalam
berbangsa dan bernegara. Allah berfirman dalam surat Al-Israa ayat
9 :
“Sesungguhnya
Al-Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi
kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar.”
Proses berbangsa dan bernegara dalam
kaitannya dengan ayat di atas dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kita
harus bersikap dan berperilaku.Dalam surat lain Allah Berfirman dalam surat
An-Nisa ayat 59 :
“Hai
orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan mereka yang
memegang kekuasaan di antara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu
kembalikanlah kepad Allah dan Rasul-Nya kalau kamu beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Itulah yang terbaik dan penyelesaian yang tepat.”
Dari terjemahan
surat An-nisa ayat 59 di atas, kita dapat mengambil beberapa intisari pelajaran
yang sangat berharga mengenai berbangsa dan bernegara, pertama, kita
diwajibkan untuk menjalankan perintah Allah yang telah diwahyukan melalui
Al-Qur`an, kita diperintahkan-Nya untuk tetap terus berpegang teguh kepada
Al-Qur`an dan menjadikannya sebagai landasan dari perilaku kita khususnya dalam
konteks ini yaitu berbangsa dan bernegara karena Al-Qur`an merupakan primary
source dari segala permasalahan. Dalam berbangsa dan bernegara, kita
harus yakin bahwa dengan mengikuti serta mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur`an,
konsep berbangsa dan bernegara kita sesuai dengan perintah Allah. Kedua, kita
diperintahkan untuk menaati Rasulullah yang telah membimbing kita melalui
ajaran-ajarannya, salah satunya adalah sunnah yang merupakan perkataan,
perbuatan, dan diamnya nabi atas suatu perkara. Sunnah dalam kaitannya dengan
Al-Qur`an merupakan sumber hukum kedua setelahnya yang mempunyai banyak fungsi
salah satunya adalah menerangkan ayat Al-Qur`an yang bersifat umum dan
memperkuat serta memperkokoh pernyataan dari ayat Al-Qur`an. Terakhir, kita
diperintahkan untuk taat kepada kalangan yang memegang otoritas baik dalam
pemerintahan, masyarakat atau keluarga, tetapi prinsip ketaatan ini harus memenuhi
prasyarat atau dengan kata lain bersifat tanpa reserve,artinya
pemimpin itu harus ditaati selama dia menjalankan perintah Allah dan Rasulnya.
Berbangsa dan
bernegara menurut Al-Qur`an hanya sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT, oleh karena itu berbangsa dan bernegara harus diyakini merupakan
salah satu ibadah yang tidak kalah pentingnya dengan ibadah-ibadah yang
lainnya, karena ini kaitannya dengan bangsa,negara serta entitas pendukungnya
yaitu warga negara.
Berbangsa dan
bernegara mempunyai berbagai variable-variable yang saling mendukung satu
dengan yang lainnya, dari sekian banyak variable itu ada beberapa variable yang
harus kita perhatikan yaitu persatuan dan kesatuan yang merupakan aspek penting
dalam kesatuan konsep berbangsa dan bernegara. Tidak dapat disangkal bahwa
Al-Qur`an memerintahkan persatuan dan kesatuan secara jelas, sejelas Allah
menyatakan dalam Al-Qur`an surat Al-Anbiya ayat 92 “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu”. Dari persatuan dan
kesatuan itu, sikap memiliki atau nasionalisme akan rasa kebangsaan dan
kenegaraan kita akan terasah dan semakin tajam.
Membangun Kesadaran Berbangsa dan
Bernegara merupakan hal penting karena tidak dapat dipisahkan dari perjalan
panjang bangsa ini. Akan tetapi kesadaran berbangsa dan bernegara ini jangan
ditafsir hanya berlaku pada pemerintah saja, tetapi harus lebih luas
memandangnya, sehingga dalam implementasinya, akan lebih kreatif menerapkan
arti sadar berbangsa dan bernegara ini dalam kehidupannya tanpa menghilangkan
hakekat kesadaran berbangsa dan bernegara itu sendiri. Berbagai faktor dalam
negeri seperti dinamika kehidupan warga negara, telah ikut memberi warna
terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara tersebut. Demikian pula perkembangan
dan dinamika kehidupan bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia, tentu
berpengaruh pula terhadap kesadaran itu.
BAB IV
KESIMPULAN
Pembentukan
kepribadian Islam pada diri seseorang ditempuh melalui dua tahap yaitu, pertama,
mengintroduksikan aqidah Islamiyah pada diri seseorang agar dia jadikan aqidah
atau pandangan hidupnya. Kedua, seorang muslim yang telah memiliki aqidah
Islamiyah itu bertekad menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan dalam
melakukan proses berfikir yang Islami dan sekaligus menjadikan aqidah Islamiyah
dalam mengatur dan mengendalikan tingkah lakunya. Islam sebagai sistem kehidupan yang integral dan
komprehensif telah memberikan aturan pada semua aspek kehidupan manusia baik
aspek politik, budaya, ekonomi, sosial, hukum, seni, manajemen dsb. Sistem
syariah Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia untuk menjaga ketertiban,
keseimbangan dan kelestarian hidup manusia sehingga tercapai kebahagiaan hidup
manusia di dunia sampai di akhirat. Sistem nilai menjadi suatu tuntutan manusia
di tengah arus globalisasi dan modernitas yang dihadapkan pada berbagai
persoalan yang semakin kompleks. Hal ini telah diungkapkan Allah SWT dalam
firman-Nya: "Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu"
(QS Al-Baqarah: 208). Dari ayat di atas secara eksplisit dan implisit terdapat
perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk mengikuti semua
aturan-aturan yang telah diturunkan Allah secara totalitas dan jangan mengambil
jalan hidup (way of life) dan sistem
kehidupan (manhaj) selain dari Islam
agar hidup manusia mencapai kebahagiaan yang sebenarnya.
Menjadi sebuah keharusan bagi manusia
Indonesia untuk ikut bertanggung jawab mengemban amanat penting ini, dengan kondisi
bangsa kita sekarang, merupakan salah satu indikator bahwa sebagian para pemuda
di negeri ini telah mengalami penurunan kesadaran berbangsa dan bernegara. Kesadaran
bela negara adalah dimana kita berupaya untuk mempertahankan negara kita
dari ancaman yang dapat mengganggu kelangsungan hidup bermasyarakat yang
berdasarkan atas cinta tanah air. Kesadaran bela negara juga dapat menumbuhkan
rasa patriotisme dan nasionalisme di dalam diri masyarakat. Upaya bela negara
selain sebagai kewajiban dasar juga merupakan kehormatan bagi setiap warga
negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, penuh tanggung jawab dan rela
berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Keikutsertaan kita dalam
bela negara merupakan bentuk cinta terhadap tanah air kita. Nilai-nilai bela
negara yang harus lebih dipahami penerapannya dalam kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara antara lain:
1. Cinta Tanah Air
Negeri yang luas dan kaya akan sumber daya ini perlu kita cintai.
Kesadaran bela negara yang ada pada setiap masyarakat didasarkan pada kecintaan
kita kepada tanah air kita. Kita dapat mewujudkan itu semua dengan cara kita
mengetahui sejarah negara kita sendiri, melestarikan budaya-budaya yang ada,
menjaga lingkungan kita dan pastinya menjaga nama baik negara kita.
2. Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Kesadaran berbangsa dan bernegara merupakan sikap kita yang harus sesuai
dengan kepribadian bangsa yang selalu dikaitkan dengan cita-cita dan tujuan
hidup bangsanya. Kita dapat mewujudkannya dengan cara mencegah perkelahian
antar perorangan atau antar kelompok dan menjadi anak bangsa yang berprestasi
baik di tingkat nasional maupun internasional.
3. Pancasila
Ideologi kita warisan dan hasil perjuangan para pahlawan sungguh luar
biasa, pancasila bukan hanya sekedar teoritis dan normatif saja tapi juga
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tahu bahwa Pancasila adalah alat
pemersatu keberagaman yang ada di Indonesia yang memiliki beragam budaya,
agama, etnis, dan lain-lain. Nilai-nilai pancasila inilah yang dapat mematahkan
setiap ancaman, tantangan, dan hambatan.
4. Rela berkorban untuk Bangsa dan Negara
Dalam wujud bela negara tentu saja kita harus rela berkorban untuk bangsa
dan negara. Contoh nyatanya seperti sekarang ini yaitu perhelatan seagames.
Para atlet bekerja keras untuk bisa mengharumkan nama negaranya walaupun mereka
harus merelakan untuk mengorbankan waktunya untuk bekerja sebagaimana kita
ketahui bahwa para atlet bukan hanya menjadi seorang atlet saja, mereka juga
memiliki pekerjaan lain. Begitupun supporter yang rela berlama-lama
menghabiskan waktunya antri hanya untuk mendapatkan tiket demi mendukung
langsung para atlet yang berlaga demi mengharumkan nama bangsa.
5. Memiliki Kemampuan Bela Negara
Kemampuan bela negara itu sendiri dapat diwujudkan dengan tetap menjaga
kedisiplinan, ulet, bekerja keras dalam menjalani profesi masing-masing.
Kesadaran bela negara dapat diwujudkan dengan cara ikut dalam mengamankan lingkungan sekitar seperti menjadi bagian dari siskamling, membantu korban bencana sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia sering sekali mengalami bencana alam, menjaga kebersihan minimal kebersihan tempat tinggal kita sendiri, mencegah bahaya narkoba yang merupakan musuh besar bagi generasi penerus bangsa, mencegah perkelahian antar perorangan atau antar kelompok karena di Indonesia sering sekali terjadi perkelahian yang justru dilakukan oleh para pemuda, cinta produksi dalam negeri agar Indonesia tidak terus menerus mengimpor barang dari luar negeri, melestarikan budaya Indonesia dan tampil sebagai anak bangsa yang berprestasi baik pada tingkat nasional maupun internasional.
Kesadaran bela negara dapat diwujudkan dengan cara ikut dalam mengamankan lingkungan sekitar seperti menjadi bagian dari siskamling, membantu korban bencana sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia sering sekali mengalami bencana alam, menjaga kebersihan minimal kebersihan tempat tinggal kita sendiri, mencegah bahaya narkoba yang merupakan musuh besar bagi generasi penerus bangsa, mencegah perkelahian antar perorangan atau antar kelompok karena di Indonesia sering sekali terjadi perkelahian yang justru dilakukan oleh para pemuda, cinta produksi dalam negeri agar Indonesia tidak terus menerus mengimpor barang dari luar negeri, melestarikan budaya Indonesia dan tampil sebagai anak bangsa yang berprestasi baik pada tingkat nasional maupun internasional.
Faktor-Faktor Pendukung Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Beberapa faktor pendukung untuk terciptanya kesadaran berbangsa dan
bernegara :
1. Tingkat ke-amanahan seorang pejabat.
2. Pemerataan kesejahteraan setiap
daerah.
3. Keadilan dalam memberikan hak dan
kewajiban semua rakyat
4. Kepercayaan kepada wakil rakyat atau
pemerintahan
5. Tegasnya hukum dan aturan
pemerintahan.
6. Rasa memiliki dan bangga berbangsa
Indonesia.
7. Menyadari bahwa berbangsa dan
bernegara yang satu.
8. Mengetahui lebih banyak nilai positif
dan kekayaan bangsa.
0 komentar