Open top menu
Selasa, 07 Mei 2013



Secara politis, strategi pendidikan nasional yang sesuai dengan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak pernah dipikirkan apalagi ditetapkan. Program dan sistem pendidikan diserahkan saja kepada birokrat bekas guru-guru sekolah rendah yang berdiploma. Karena mereka tidak memiliki wawasan, apalagi menghayati makna nasionalisme dan tujuan kemerdekaan, mereka “menjiplak” saja apa yang mereka peroleh dari sekolahnya dulu: sistem , program dan kurikulumnya. Label pendidikan nasional diartikan sama dengan membuang kurikulum bahasa Belanda dan yang berbau Belanda.

Pelajaran kesenian seperti menggambar dan bernyanyi, serta kerajinan tangan sejak dari sekolah rendah yang berfungsi untuk melatih murid agar dapat bekerja dan meniru secara teliti secara estetika, tidak diajarkan lagi. Tidak diajarkan, bukan karena program atau sistemnya salah, melainkan karena tidak mengerti akan fungsinya serta sangat mendewakan ilmu pengetahuan umum. Padahal kemampuan meniru dengan baik dan bekerja dengan teliti melalui pendidikan kesenian itu sangat diperlukan bagi mereka yang akan bekerja pada bidang administrasi, terutama di pemerintahan. Besertanya pendidikan bagi rasa keindahan atau estetika pada murid pun terabaikan.

Bahkan sejak dari sekolah rendah, kepada murid tidak diberi perpustakaan yang menyediakan buku-buku sebagai alat bantu untuk mengembangkan wawasan murid, karena alasan tidak ada dana. Padahal seluruh kurikulum menggiring murid agar mampu masuk ke perguruan tinggi yang akan mewajibkan mahasiswa melakukan banyak studi kepustakaan. Oleh karena itu, ketika menjadi mahasiswa, mereka tidak mempunyai minat membaca dan menulis sehingga waktu mereka lebih banyak diisi dengan kelakar atau mengobrol bergerombol dari pada studi.

Tingkat dan jenis sekolah serta program dan kurikulum diseragamkan untuk seluruh Indonesia tanpa mengindahkan kondisi dan situasi yang berbeda-beda di berbagai daerah dengan dalih demi persatuan bangsa. Akibatnya, anak petani atau nelayan di pedesaan terpencil mendapat program pendidikan yang sama dengan anak kota besar yang makmur. Jika anak kota besar yang disiapkan ke perguruan tinggi mulai belajar bahasa Inggris di SMP, anak petani atau nelayan itu pun wajib pula belajar bahasa Inggris. Tidak ada yang peduli, apakah bahasa itu akan menjadi bahasa kedua atau tidak akan berfaedah bagi kehidupan masa depan di desanya. Pokoknya, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pendidikan di seluruh Indonesia mesti diseragamkan.

Demokrasi pendidikan diartikan bahwa semua orang berhak mendapat pendidikan yang sama dan setinggi-tingginya. Oleh karena itu, setiap tingkat sekolah dijadikan jenjang pendidikan untuk memasuki perguruan tinggi dengan muatan kurikulum yang disesuaikan untuk ke sana. Tidak ada pikiran bahwa tidak semua anak yang mampu ke perguruan tinggi, baik karena kemampuan otaknya maupun kemampuan biaya. Diperkirakan yang mampu ke perguruan tinggi hanya 10%, sedangkan yang 90% tercecer di SD, SMP dan SMA. Mereka tak ubahnya sebagai korban dari program demokrasi pendidikan yang salah kaprah itu.

Akibat dari sistem demokrasi pendidikan yang “sama rata” itu, sekolah pun diperbanyak setiap tahun, sedangkan pemerintah tidak punya dana yang cukup. Dengan sendirinya, sarana dan prasarana pendidikan menjadi minim dan kian minim lagi setiap penambahan jumlah sekolah apapun jenjangnya. Sudah tentu hasil dari pendidikan itu pun kian terpuruk.

Hal yang tidak dapat dipahami pula ialah masalah waktu libur sekolah yang tetap memakai aturan pada masa kolonial yang menetapkan waktu libur disesuaikan dengan musim di eropa. Tidak dengan iklim tropis yang mengatur musim turun ke sawah. Akibatnya, anak-anak petani di pedesaan yang secara tradisional membantu orang tuanya, terputus dengan tradisinya atau terputus dengan sekolahnya. Yang melanjutkan sekolah tidak lagi mencintai pekerjaan pertanian, yang terputus sekolahnya tetap tinggal bodoh.

Memang banyak sudah upaya pemerintah memperbaiki kondisi pendidikan sejak dari penyempurnaan prasarana dan sarana sampai kepada perbaikan kurikulum. Antara lain dengan membuat program yang cukup drastis: membuka sekolah percobaan sebagai pilot project yang dikelola langsung oleh beberapa IKIP. Namun, ketika terjadi pergantian menteri, pilot project tersebut dihentikan. Menteri lain melaksanakan program “modul” dengan mengelompokkan kurikulum, yang dihentikan pula oleh menteri yang baru. Berikutnya dilaksanakan lagi perubahan yang lebih mementingkan “humaniora”, lalu oleh menteri berikutnya lebih mementingkan “program matematik”. Namun, oleh menteri yang menggantikannya, program baru itu diganti lagi dengan “sekolah unggul” yang kemudian berganti nama dengan program sekolah “plus”, disamping ada program kurikulum “muatan lokal”.

Ternyata kurikulum “muatan lokal” cenderung untuk memenuhi tuntutan sikap emosional orang-orang daerah yang berorientasi lokal pula. Hampir tidak ada pemikiran yang rasional, agar materi kurikulum “muatan lokal” itu berfungsi untuk menunjang pembentukan watak bangsa yang tengah berpacu mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.

Semua perubahan itu membuktikan, semua orang menyadari bahwa hasil pendidikan di Indonesia kian lama kian turun mutunya atau kian tertinggal dari bangsa lain, dan ada usaha untuk memperbaikinya. Yang paling merasakan rendahnya mutu pendidikan itu ialah para pengajar di perguruan tinggi. Selanjutnya, kepada mereka pula ditugaskan menyusun konsep perbaikan mutu pendidikan sekolah di bawahnya. Adalah tidak mengherankan apabila dari sana lahir program perbaikan pendidikan hanya demi kepentingan mutu perguruan tinggi, bukan bagi kepentingan tuntutan kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan yang tengah berubah dengan cepatnya itu.

Program dan hasil pendidikan di Indonesia dinilai tidak lebih baik daripada zaman penjajahan. Sesalah-salah strategi dan sistem pendidikan pada jaman kolonial, mutu dan hasil pendidikannya masih lebih baik, baik di bidang ilmu maupun etika dan moralnya. Oleh karena sejak sekolah lanjutan sampai ke perguruan tinggi pengelolaannya melalui prosedur yang terseleksi dengan ketat, tidak memassal. Sekolah lanjutan dibuka hanya untuk anak-anak yang otaknya pintar dan orang tuanya mampu. Dengan sendirinya terjadilah perlombaan ketekunan belajar pada murid. Oleh karena itu, anak-anak yang kurang mampu, baik otak maupun dananya, tidak didorong untuk melanjutkan sekolah. Kesalahan strategi pendidikan moral kolonial ialah karena tidak meyiapkan murid untuk berani terjun ke masyarakat dan tidak menyiapkan murid sebagai bangsa yang memiliki etos kerja dan sikap yang mandiri.

Kebijaksanaan yang dipakai di Indonesia sekarang ini ialah dengan membuka sekolah sebanyak-banyaknya, dengan hasil yang bersifat massal, meskipun sudah diketahui mutunya akan terus merosot. Pada ujungnya, tamatan pendidikan dari jenjang sekolah manapun akan menjadi penganggur juga. Apapun macam perbaikan program pendidikan senantiasa tidak akan mencapai sasaran yang sesuai dengan tuntutan jaman, apabila murid sejak di sekolah dasar tidak terbentuk wataknya sebagai manusia seperti yang tercantum dalam filsafat Pancasila dan UUD 1945. Manusia itu dapat diibaratkan seperti pohon kelapa yang setiap komponennya berfaedah, seperti daging buah, air, batok , sabut, daun, lidi dan batang. Pohon itu dapat tumbuh, namun kualitasnya akan ditentukan oleh lembaganya, yaitu umbut atau embrio yang akan menjadi bibitnya.

Kebijaksanaan pendidikan yang berlabel pendidikan nasional dengan program menyiapkan setiap murid untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi masih menanamkan cita-cita agar menjadi orang kantoran, padahal jumlah pegawai negeri terbatas. Pada akhirnya, setiap orang dari setiap jenjang pemikiran lebih memilih menjadi penganggur daripada tidak dapat bekerja sebagai pegawai negeri. Kalaupun mereka bekerja juga pada akhirnya, baik sebagai karyawan maupun wiraswasta, pada umumnya tidak relevan dengan bidang studi yang dipelajarinya sehingga seolah-olah setiap jenjang pendidikan itu berfungsi untuk menunda masa pengangguran.

Memang, diwaktu perkembangan ekonomi sangat pesat, banyak terbuka lapangan kerja di luar pemerintahan. Namun, itu hanya berlaku di kota besar, tempat kegiatan ekonomi terpusat. Di daerah, tempat perkembangan ekonomi bergerak lamban, satu-satunya lapangan kerja yang mampu menjamin masa depan hanyalah di pemerintahan. Akibatnya, jumlah sarjana penganggur kian membengkak dari tahun ke tahun berhubung instansi pemerintah tidak mampu menampung. Karena perlu mempertahankan hidupnya, mereka terpaksa bekerja pada tempat yang sepatutnya untuk tamatan sekolah rendah saja. Itu bukan suatu pilihan hidup, melainkan karena keterpaksaan.

Sistem kepangkatan menurut diploma pada pegawai negeri, juga menjadi salah satu pendorong utama bagi orang untuk memasuki perguruan tinggi. Sebagian mereka memilih fakultas favorit, namun lebih banyak memilih fakultas apa saja asal bisa masuk. Ukuran favorit tidak terletak pada ilmu yang hendak diperoleh, melainkan prospek yang menjamin dapat pekerjaan. Hasilnya sama saja antara memilih fakultas favorit dengan memilih fakultas apa saja, jika dilihat pada perilaku dari produk sistem pendidikan itu sendiri.

Tampaknya, karena banyak peminat, kebijaksanaan politik dalam pengelolaan perguruan tinggi lebih memilih memperbanyak fakultas atau jurusan, daripada meningkatkan kualitas. Masa waktu pendidikan diperpendek dan lama masa mengikuti kuliah dibatasi. Tampaknya, kebijaksanaan itu seperti untuk memaksa agar mahasiswa belajar lebih rajin. Namun, bisa terjadi sebaliknya. Mahasiswa mencari “jalan pintas” yang paling mudah untuk mendapat diploma. Karena pada umumnya setiap instansi pemerintah, oleh alasan yang tidak etis, penerimaan tenaga kerja hanya melihat diploma, tidak pada kualitas dan relevansi bidang studinya.

Pemerintah memang mendirikan beraneka ragam sekolah kejuruan. Akan tetapi, sekolah kejuruan tidak menarik. Oleh karena cita-cita masyarakat, yang telah dibentuk sejak 100 tahun yang lalu, memandang status sosial pegawai negeri yang terhormat ialah di perkantoran, bukan di bengkel atau di lapangan. Di samping itu, sekolah kejuruan tidak mendidik orang agar memiliki etos kerja yang terampil. Di sisi lain, sekolah kejuruan akan tidak memungkinkan orang melanjutkan ke perguruan tinggi. Masyarakat memandang sekolah kejuruan sebagai sekolah kelas dua, sekolah bagi murid yang bekecerdasan kurang. Memasuki sekolah kejuruan bukan karena pilihan, melainkan karena tidak dapat memilih. Pada satu masa, pemerintah memang memberi peluang kepada murid sekolah kejuruan agar mampu ke perguruan tinggi dengan cara mengisi beberapa kurikulum pendidikan umum, namun akibatnya kurikulum praktek kejuruannya menjadi kian berkurang.

Di sekolah kejuruan tidak disertakan program pendidikan etos kerja. Sistem dan metode serta tujuan sama dengan sekolah umum. Tidak ada pikiran untuk melaksanakan konsep pendidikan kejuruan yang relevan dengan program pembangunan yang membutuhkan manusia yang cinta pada pekerjaan, ulet dan tekun. Tentu saja banyak masalah yang menjadi hambatan, terutama karena setiap sekolah kejuruan yang relevan untuk jamannya, memerlukan peralatan yang memadai. Dan itu mahal.
Di Jepang, sekolah kejuruan hadir dalam posisi yang tidak kalah pentingnya dengan sekolah umum. Dalam 1000 sekolah, terdapat 125 sekolah kejuruan yang menghasilkan tenaga terampil untuk mengisi lowongan beragam industri. Dalam materi kurikulum ilmu bumi SD Jepang, dicantumkan nama negara yang menjadi pasar industri Jepang. Sebaliknya, di Indonesia yang disuruh hafal ialah nama gunung tertinggi, sungai terpanjang atau laut terdalam. Sejak dari pendidikan di tingkat sekolah menengah di Jepang, para murid telah dituntun untuk berpikir realistis untuk ke arah mana mereka akan melanjutkan pendidikan. Namun, murid di Indonesia diarahkan untuk melanjutkan ke SMA agar kelak bisa masuk ke sekolah tinggi. Sampai menamatkan SMA, murid tetap tidak tahu ke sekolah tinggi apa mereka akan melanjutkan pendidikan.

Kemerdekaan Indonesia yang dicapai berkat usaha para pemimpin bangsa, tidak diimbangi dengan strategi pendidikan yang konsepsional. Kemerdekaan Indonesia baru pada tingkat ketatanegaraan dan politik. Maka tujuan kemerdekaan bangsa menjadi tidak lain daripada penggantian posisi dari bekas penjajah kepada anak jajahan.

Slogan “Tut Wuri Handayani” yang diambil dari konsep Taman Siswa, dipahami secara dangkal. Sebatas pengertian bahwa guru berfungsi sebagai penggiring murid dari belakang, sedangkan arahnya tetap memakai konsep pendidikan kolonial. Konsep pendidikan Taman Siswa dengan slogan itu, bertujuan menggiring murid agar sadar pada hak serta kewajiban sebagai manusia menurut harkatnya, agar memiliki wawasan nasional yang diperjuangkan tanpa pamrih demi kepentingan bangsa. Bukan untuk menjadikan bangsa yang menurut pada sistem feodalisme.

Konsep pendidikan nasional yang berlaku, masih terpaut dalam pengertian perjuangan ideologi politik bernegara akibat terjadinya serentetan pemberontakan yang memecah belah kesatuan bangsa dan menentang ajaran ideologi komunis yang ateistis. Oleh karena itu, kurikulum utama yang diajarkan sejak dari SD sampai ke perguruan tinggi ialah ideologi bernegara melalui kurikulum moral Pancasila dan agama. Karena kurikulum itu menggunakan metode indoktrinasi, dan pada setiap ujian nilai hafal lebih menentukan daripada nilai perbuatan, sekolah cenderung mengabaikan mutu kurikulum yang berfungsi meningkatkan kecerdasan otak.
Tagged
Pesan Damai
Tuliskan komentar dengan narasi cinta

Seseorang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapannya, tetapi hebat dalam tindakannya dan Cintai dirimu sendiri terlebih dahulu, pada akhirnya kamu akan menghabiskan hidupmu dengan dirimu sendiri

0 komentar

silahkan berikan masukan atau kritik yang positif