Open top menu
Sabtu, 24 Oktober 2020
Dinamika Penerapan Khilafah Sebuah Tinjauan Sosio-Historis

Henny Yusalia
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Raden Fatah Palembang


Abstrak: Gagasan tentang pemerintahan Islam yang lazim disebut Khilafah Islamiyah, menjadi kontroversi yang hampir tak berkesudahan. Gerakan membentuk ini tetap muncul dan bahkan sudah berada di berbagai negara. Era kekhalifahan dulu menjadi inspirasi untuk membentuk sistem pemerintahan Islam pada saat ini. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa dalam konteks negara modern saat ini yang sudah menetapkan batas-batas administratif, dengan mempertimbangkan berbagai hal sebagai pembentuk negara, maka gagasan Khilafah Islamiyah dalam bentuk negara yang lintas batas administratif menjadi masalah. Bervariasinya pemahaman mengenai khilafah islamiyah, menyebabkan penerapan konsep ini akan selalu berada di batas cita-cita belaka. Penyatuan persepsi dan pemahaman, sulit dicapai karena masing-masing manusia memiliki aneka ragam logika pemikiran. Tulisan ini bukan hasil penelitian, tetapi didasarkan kajian mendalam  tentang gagasan tersebut dan refleksinya dalam konteks negara modern.

A.            Pendahuluan

Permasalahan awal yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat Islam sesudah Rasulullah SAW wafat, adalah masalah kekuasaan politik,  yaitu pengganti beliau yang akan memimpin umat atau disebut persoalan Imamah (khilafah). Alqur’an sebagai acuan disamping Sunnah Nabi tidak sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang pengganti atau tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya (Pulungan,2001:ix). Termasuk pula tidak terdapat dalil baik qath’i dan zhanni yang jelas memerintahkan untuk mendirikan negara Islam.

Tidak mengherankan apabila dalam pentas perjalanan sejarah umat Islam pasca Nabi bahkan sampai abad modern ini, terdapat corak pemahaman yang berbeda tentang hal tersebut sehingga umat Islam menampilkan berbagai sistem dan bentuk pemerintahan, mulai dari bentuk pemerintahan yang demokratis sampai ke bentuk yang monarkhi absolut.

Berbicara tentang bentuk kekhalifahan yang diterapkan sejak masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin telah memberikan kontribusi yang berarti, terutama sebagai simbol kesatuan umat Islam. Akan tetapi sejak terjadinya penghapusan sistem khilafah era Turki Usmani, menyebabkan kegusaran umat terutama para pemikir Islam. Banyak usaha yang dilakukan kelompok tertentu untuk menghidupkan kembali syari’at Islam (sistem khilafah) tersebut bahkan sampai saat ini.

Kenyataannya, isu syariat Islam, atau diperluas lagi menjadi Khilafah Islamiyah, memang jadi bahan perdebatan. Sebagian golongan menganggap hal itu mutlak diterapkan, dengan mengacu pada kondisi zaman kekhalifahan. Sebagian lagi menganggap tidak ada konsep negara Islam pada zaman Rasulpun sebenarnya bukan negara Islam tetapi peradaban Islam. Munawir Syadzali (1993;

233) berkata bahwa Islam tidak mempunyai sistem politik dan hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggaraan negara.

Kontroversi mengenai ini tidak pernah selesai. Bahkan jika dilihat secara historis dan perkembangan akhir-akhir ini, dengan menguatnya paham negara modern menurut konsep demokrasi barat, khilafah islamiyah (jika dipahami sebagai sebuah negara Islam definitif) hanya sebuah angan-angan. Akan tetapi, semua ini perlu dibicarakan. Dalam konteks pluralitas, semua perbedaan adalah kekayaan intelektual yang perlu aktualisasi. Tulisan ini mencoba melihat lebih jauh tentang Khilafah Islamiyah, apakah hanya sebatas angan-angan ataukah memang bisa diterapkan. Sebuah format kekhilafahan dicoba dihadirkan disini, walau hanya sebatas alternatif yang tentu saja kekuatan kebenarannya sangat relatif sekali.


B.            Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah

Konsep Khilafah Islamiyah memiliki banyak penafsiran dari berbagai kalangan. Ragam penafsiran ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian “Multitafsir Khilafah Islamiyah”. Namun dalam bagian ini akan dijabarkan terlebih dahulu batasan Khilafah Islamiyah yang akan menjadi pegangan dalam keseluruhan makalah ini.

Khilafah, berasal dari kata “khalafa” yang artinya penggantian (al-Munawir, 1991;363). Khilafah diartikan menggantikan tempat seseorang sepeninggalnya. Dalam kaidah ajaran Sunni, kata itu merujuk pada wewenang seseorang yang berfungsi sebagai Nabi dalam kapasitas sebagai pemimpin masyarakat, namun bukan dalam fungsi kenabiannya (Taimiyah, 1994;9). Al-Maududi (1993;63-66) mengatakan bahwa khilafah itu mewakili hakim yang sebenarnya yaitu Allah SWT. Khilafah menjadi benar selama ia mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT.

Khilafah Islamiyah selama ini diidentikan dengan Daulah Islamiyah, yaitu pemerintahan Islam. Thawawy (Ramadhan, 2003;1) menyebutkan bahwa khilafah merupakan refleksi dari kepemimpinan Daulah Islamiyah yang melaksanakan konstitusi Islam di wilayah tertentu di antara pandangan-pandangan politik yang ada. Adapun Musthofa Shabary (Ramadhan, 2003;3) mengatakan Khilafah adalah pengganti dari Rasulullah SAW dalam melaksanakan syari’at Islam.

Pandangan lain yang banyak menjadi anutan dalam memahami pengertian ini, diambil dari pendapat Imam Taqiyyuddin An Nabhani1 yang menyatakan bahwa Khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Pendapat ini sangat populer, sehingga bagi hampir semua kalangan Islam memahami Khilafah Islamiyah dalam definisi ini. Pembahasan dalam makalah ini, selanjutnya juga mematok definisi khilafah Islamiyah berdasarkan pandangan Imam Taqiyyuddin di atas. Namun pemakaian definisi ini hanya sebagai batasan semata, dalam arti kata belum bisa dipastikan bahwa penulis sepakat dengan konsep yang ditawarkan oleh Imam tersebut. Justru berdasarkan pengertian tersebut, makalah ini akan mengkritisi dan melihat titik lemah yang ada serta mencoba menawarkan alternatif lain pemerintahan Islam. Konteksnya tetap dengan asumsi sang Imam bahwa khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan Islam di seluruh dunia.

Secara praktis, konsep Khilafah Islamiyah menjadi terminologi pada masa setelah Rasulullah SAW, tepatnya di masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dan kepemimpinan suku-suku setelah itu. Definisi yang sudah dijelaskan di bagian awal tulisan ini memang telah memperlihatkan bahwa khilafah adalah pemerintahan


1http://majelis.mujahidin.or.id/new/kolom/opini_dan_artikel/apakah_khilafah_itu, 12 Oktober 2005


sesudah Rasul. Artinya, konsep khilafah memiliki rangkaian erat dengan kepemimpinan Muhammad SAW.

Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah SAW berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah al-Munawarah. Atas dasar ini tegaklah dasar, pilar, struktur, pasukan, serta hubungan ke dalam dan ke luar negeri Islam (Ramadhan, 2003;17). Rasulullah SAW diyakini berhasil mendirikan negara yang berlandaskan pada azas akidah Islam, yaitu dua kalimat kunci: La Illaha Illallah, Muhammadur Rasulullah (Tiada Ilah kecuali Allah, Muhammad utusan Allah). Kalangan pendukung penerapan Khilafah Islamiyah percaya bahwa atas dasar inilah Rasul membangun pemerintahan, mengatur, dan mendakwahkan Islam kepada seluruh umat manusia.

Dari penjelasan singkat itu, kita sepakati bahwa era Rasul adalah era pemerintahan Islam. Dengan kata lain, pandangan yang mengatakan bahwa zaman Rasul bukanlah bentuk sebuah negara, akan berbeda pandangan dengan makalah ini. Asumsinya diawali dengan keyakinan bahwa zaman Rasul adalah bentuk pemerintahan Islam yang melengkapi diri dengan struktur dan susunan pemerintahan tersendiri.

Kenyataan bahwa era Rasul adalah sebuah bentuk pemerintahan, terbukti dengan adanya pasukan-pasukan, wali untuk daerah tertentu, serta para amir. Beliau pernah menempatkan Utab bin Usaid sebagai wali di Mekkah, Bazan bin Sasan sebagai wali di Yaman, Mu’ad bin Jabal al-Khazraji sebagai wali di Janad, Khalid bin Walid sebagai amil di Shun’a, Abu Dujanah menjadi wali di Madinah. Semua wali dan amir tersebut mendasarkan diri pada sebuah “konstitusi” dasar yaitu Al Qur’an dan dijabarkan melalui Sunnah.

Dua fase perkembangan Islam dapat dilihat terjadi pada era kenabian ini. Fase yang menjadi titik sentral perkembangan umat Islam selanjutnya. Fase ini yaitu, masa sebelum dan sesudah hijrah dari Mekkah ke Madinah (Rais, 2001;3). Fase pertama tidak terlalu menjadi kajian dalam politik Islam karena ini adalah masa peletakan dasar-dasar keislaman. Boleh dikatakan ini adalah tumbuhnya embrio masyarakat Islam dan penetapan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Baru pada fase kedua, bangunan umat Islam berhasil dibentuk dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general bisa dijabarkan secara mendetail. Pada masa ini juga jamaah Islam telah menguasai urusannya sendiri dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi.

Setelah Rasulullah wafat, dimulailah era kekhalifahan. Masa ini disebut juga dengan Khulafaur Rasyidin. Khalifah pertama adalah Abu Bakar as Siddieq (632 – 634 M), dilanjutkan oleh Umar ibn al-Khatab (634 – 644 M), Utsman ibn Affan (644 – 656 M), Ali ibn Abi Talib (656 – 661 M). Pada masa ini wilayah pemerintahan Islam meliputi seluruh Jazirah Arab – dalam hitungan sekarang


meliputi 7 negara – yaitu, Arab Saudi, Yaman Utara/Selatan, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain.

Permulaan dari penetapan institusi kekhalifahan adalah pertemuan di Saqifah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Islam, para sahabat, dan pemimpin sekte saat itu. Pertemuan yang mirip dengan muktamar luar biasa ini berlangsung dalam suasana dialog yang bebas dan terbuka. Hasil akhirnya adalah sebuah keputusan politik yang berpengaruh besar terhadap perjalanan umat Islam selanjutnya, yaitu berdirinya institusi kekhalifahan sebagai model pemerintahan Islam (Rais, 2001;14). Pertemuan ini juga yang kemudian menyepakati Abu Bakar as Siddieq sebagai khalifah pertama bagi dunia Islam setelah wafatnya nabi Muhammad saw. Dasar pemilihan Abu Bakar adalah karena mempunyai kedudukan keagamaan yang tinggi dibandingkan dengan sahabat lain, pihak yang pertama masuk Islam, telah berjasa besar dalam membela Islam, imannya teguh, serta sifat dan pribadinya yang sempurna bagi insan muslim (Ibnu Hisyam dalam Rais, 2001;16). Terlihat bahwa pemilihan Abu Bakar bukan berdasarkan aspek lain, seperti adat istiadat bangsa Arab yang memegang kuat kekuatan sekte dan suku.

Masa-masa kekhalifahan di era ini, mulai memperlihatkan dinamika pemerintahan Islam. Konflik dan pertentangan mulai terjadi di antara sesama umat. Pertikaian yang kerap terjadi adalah perbedaan pandangan yang berujung pada konflik fisik antar suku. Terbukti, dari keempat khulafaur rasyidin, tiga diantaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib) mengakhiri masa jabatannya karena terbunuh. Begitupun dengan masa-masa setelah khulafaur rasyidin, yaitu era kepempinan dinasti-dinasti bangsa Arab, pertikaian perebutan jabatan khalifah semakin menguat.

Penggunaan gelar khalifah pasca Khulafa’al-rasyidin kemudian dilanjutkan oleh dinasti Bani Umayyah di Damaskus (40-132H/661-750M) dengan 14 khalifah, Dinasti Bani Umayyah di Spanyol (Cordova dan Granada) dengan 57 khalifah (750-1492M), Dinasti Bani Abbas di Baghdad (132-656H’750-1258M) dengan 37 khalifah, Dinasti Fathimiyah di Mesir (297-567HJ/909-1171M) dengan 14 khalifah dan Dinasti Turki Usmani di Istanbul (1299-1922M) dengan 37 khalifah (Pulungan, 2002:58)

Khalifah-khalifah tersebut di atas sekaligus telah mengubah sistem dan bentuk pemerintahan dari sistem musyawarah pada masa khulafa al-Rasyidin kepada sistem dan bentuk dinasti dan monarki. Perubahan sistem pemerintahan demokrasi dalam Islam menjadi Monarkhiheridetis (kerajaan turun-temurun) terjadi pada awal masa kekuasaan bani Umayyah.

Pada masa kekhalifahan ini wilayah pemerintahan Islam tidak dibatasi pada beberapa negara. Sifatnya, seperti di era Rasul, yaitu meliputi semua Jazirah dan terus meluaskan wilayah kekuasaannya. Metode perluasan wilayah, umumnya dengan menggunakan kekuatan militer, sehingga bagi kalangan orientalis barat,


kerap disebutkan metode penyebaran Islam bersifat ekspansionis. Proses suksesi kepemimpinan, di era ini, bergantung dan bergiliran di beberapa kelompok (firqah). Alhasil yang terlihat adalah pemilihan pimpinan berdasarkan keturunan dan garis darah.

Model pemerintahan khilafah tidak dapat dipertahankan eksistensinya oleh umat Islam sejak Mustafa Kemal Attaturk sebagai Presiden pertama Turki menghapuskannya pada tanggal 3 Maret 1924 setelah pembentukan negara nasional sekuler Republik Turki pada oktober 1923 (Harun Nasution,2001:142). Sejak itu institusi khilafah yang dipandang sebagai supremasi politik dan simbol kesatuan umat Islam telah lenyap. Hal ini mendapat tantanagan hebat dari kalangan ulama dunia Islam. Sebagaimana dijelaskan Suyuthi Pulungan  (2001:48), menyikapi hal tersebut umat Islam pernah berusaha menghidupkan kembali lembaga khilafah melalui Muktamar khilafah di Cairo (1926), kongres khilafah di Mekkah. Di India timbul pula gerakan khilafah, dan organisasi-organisai Islam di Indonesia membentuk komite khilafah yang berpusat di Surabaya untuk tujuan yang sama.

Dengan dihapuskannya sistem kekhilafahan, umat Islam sedunia dewasa ini hidup di bawah berbagai bentuk pemerintahan yang merdeka dan berdaulat, bentuk kerajaan atau monarkhi dan tidak lagi memiliki supremasi politik dan simbol kesatuan model khilafah. Yang ada saat ini adalah organisasi konferensi Islam yang menghimpun 50 negara. (Pulungan:48)

Bahasan tentang lintasan sejarah khilafah Islamiyah tidak akan membahas satu persatu masa khalifah, namun dari kenyataan sejarah dapat dibuktikan bahwa Islam dalam bentuk sebuah Daulah memang pernah ada. Kekuasaan pada masa khalifah membuktikan bahwa mereka menguasai dan mengatur perikehidupan masyarakat, mulai dari aspek sosial, ekonomi, hukum, politik, dan keamanan (Ramadhan;2003; 30).

Masa pemerintahan Islam dengan menggunakan sistem kekhilafahan ini juga pernah berhasil menghantarkan Islam kepada kemajuan politik yang berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan sehingga Islam berhasil mencapai masa kejayaan, kegemilangan serta masa keemasan yang mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama (Yatim,2004:59). Meskipun sangat disayangkan setelah periode ini berakhir, Islam mengalami kemunduran.

Akan tetapi, sistem pemerintahan Islam tidak dapat disamakan dengan sistem lain yang dipakai saat ini. Pemerintahan Islam bukan monarchi, republik, federasi, ataupun kekaisaran/kerajaan. Taqiyuddin al-Nabhani (Ramadhan, 2003;29) menyatakan bahwa pemerintahan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari sisi bentuk negara, aparatusnya, dan aspek pemerintahan lainnya.


Pemerintahan pada zaman khalifah membuktikan hal itu. Sistem pemerintahannya, walaupun memiliki jangkauan luas, namun tetap terpusat pada satu pemimpin. Walaupun terpusat, ia tidak otoriter karena masing-masing wilayah punya kewenangan tertentu, dan hak-hak sipil mendapat penghargaan tinggi. Prinsip yang lebih sering dikenal adalah Syura, ‘Adalah, dan Musyawah. Jika diterjemahkan, ini mirip dengan konsep demokrasi ala barat, namun muatan utamanya tetap pada aspek Islami dengan landasan utama pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Hanya saja, dalam perjalanan sejarah terlihat bahwa masing-masing dinasti yang berkuasa kerap terjadi konflik. Peperangan dan perebutan kekuasaan menjadi biasa pada saat itu. Bahkan beberapa khalifah di era Khulafaur Rasyidin, mengakhiri jabatannya karena terbunuh, yaitu Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib. Hal ini kemudian menjadi penguat alasan bahwa Daulah Khilafah Islamiyah, akan sulit diterapkan dalam konteks multikultur saat ini.

 

C.            Multitafsir tentang Khilafah Islamiyah

Pemahaman terhadap apa dan bagaimana khilafah islamiyah, harus diakui sangat beragam. Berbagai kelompok Islam memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam melihat konsep negara Islam yang mereka inginkan. Sudut pandang yang berbeda, pada akhirnya menyebabkan khilafah islamiyah juga menjadi rumit dan hampir-hampir tidak mungkin untuk diterapkan.

Di tengah-tengah situasi menggelorannya keinginan umum agar sistem kekhilafahan dihidupkan kembali, muncullah thesis Ali Abdur Raziq, sarjana  muslim yang pertama kali dicatat dalam sejarah sebagai orang yang melancarkan propaganda menentang adanya khilafah. Ia mengatakan bahwa khilafah itu bukanlah sistem pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam, persoalan- persoalan agama dan dunia kita sama sekali tidak membutuhkan adanya khilafah sebagaimana yang pernah ada dalam sejarah politik Islam (Raziq,1985:xii) Hal ini dijelaskan pula oleh Maryam Jameelah (182:203), Raziq menolak bahwa Alqur’an ataupun Hadits secara harfiyah menyebutkan perlunya khilafah. Ia menolak bahwa Nabi pernah berusaha melaksanakan kekuasaan politik dan menyatakan bahwa misi Nabi kita adalah semata-mata spiritual. Bahkan dalam pandangannya Islam sama sekali tidak ada hubungannya dengan negara.

Terbitnya buku “Al Islam Wa Al Ushul Al Hukm”yang disusun oleh Raziq sebagaimana dikemukakan dalam Ensiklopedi Islam (1993:110) mendapat tantangan hebat dari umat Islam bukan hanya dari ulama tradisional yang meyakini secara taken for granted bahwa khilafah merupakan bagian dari doktrin Islam, tapi juga dari kalangan intelektual muslim yang masih menaruh harapan pada lembaga Khilafah. Karena pemikiran Raziq bertolak belakang dengan ijma’ yang disepakati oleh ulama dan mereka yakin bahwa khilafah adalah bagian yang tidak


terpisahkan dari ajaran Islam. Diantara ulama yang menentang buku Raziq adalah Rasyid Ridha, ia menganggap pandangan Abd. Raziq sebagai gagasan yang berbahaya dan perlu diluurskan. Penolakan terhadap khilafah atau sistem pemerintahan Islam justru akan memperlemah posisi Islam yang sudah tercabik- cabik oleh kolonialisme.

Dalam pandangan Ridho, jabatan khilafah adalah wajib syar’i dan eksistensi khilafah sangat penting dalam rangka penerapan hukum syari’at Islam. Ini sejalan dengan pandangannya bahwa Islam adalah agama untuk kedaulatan, politik dan pemerintahan. Ridho justru tampil dengan vokal untuk menghidupkan kembali khilafah yang memelihara kekuasaan absolut, yang dihapuskan oleh Muhammad Kemal attaturk. Untuk itu eksistensi khilafah sangat penting dalam rangka penerapan hukum syari’at Islam. Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa Islam adalah agama untuk kedaulatan, politik dan pemerintah.3 Bila demikian, menurut Suyuthi Pulungan (1997:293) berarti bentuk pemerintahan lain dalam pandangan Ridho tidak bisa menerapkan syari’at Islam.

Dari pandangan Abd Raziq, terlihat bahwasanya Raziq terlalu berani mengemukakan pendapat seolah-olah khilafat tidak penting tanpa melakukan analisis secara mendalam berdasarkan fakta sejarah tentang Sirah Nabawiyah sehingga dari pandangannya tersebut terlihat upaya yang akan membentuk opini politik agar umat Islam tidak lagi memperjuangkan khilafah.

Adapun menurut Muhammad Abduh, Islam dalam pemahamannya tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan. Ini mengandung makna bahwa apapun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian tentu saja implikasi dari konsep teologinya tentang manusia; manusia punya kehendak bebas dalam memilih dan berbuat (Pulungan,1997:282). Dari pandangan Abduh ini dapat diketahui bahwa Ia mengakui kekhalifahan tetapi Islam tidak menentapkannya secara jelas, namun sistem pemerintahannya saja yang menurutnya harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dengan jalan ijtihad .


Banyaknya komunitas Islam yang berkembang memperlihatkan pula banyaknya tafsir tentang pemerintahan Islam. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah salah satu organisasi yang sangat intens untuk penerapan khilafah ini. HTI adalah bagian dari jaringan Hizbut Tahrir yang secara internasional telah bergerak di lebih dari 40 negara. Organisasi ini lahir tahun 1953 di Al Quds (Yerusalem) Palestina. Mereka menyatakan diri sebagai partai politik, bukan organisasi massa yang  sekedar bersifat sosial kemasyarakatan. Panutan utamanya adalah Syaikh

3Untuk lebih jelasnya lihat Rasyid Ridho, Al-Wahy al-Muhammadi,Mathaba’at al-Qahirat, Mesir,1960 hal 239


Taqiyuddin an-Nabhani. Kelahirannya sebagai respon atas hancurnya khilafah islamiyah di Turki dan berdirinya Israel di Palestina tahun 1948. Gerakan ini  bertujuan membangkitkan umat Islam di seluruh dunia untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui tegaknya syariah dan khilafah Islamiyah(www.hizbut.tahrir.or.id)

Dalam gerakannya, Hizbut tahrir bersifat revolusioner, yaitu keinginan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah dan menyeluruh. Dasarnya diambil dari ajaran Syaikh Taqiyuddin. Mereka meyakini bahwa daulah khilafah adalah satu-satunya untuk seluruh dunia, dan mengharamkan umat hidup lebih dari satu negara. Dalil kekuatannya diambil dari nash-nash di Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ sahabat dan Qiyas. Salah satunya adalah Surat Ali Imran;103.

Keyakinan Hizbut tahrir ini diterjemahkan secara lebih rinci ke dalam bentuk-bentuk struktur pemerintahan yang disebutnya struktur khilafah islamiyah. Bentuknya mengadopsi konsep di masa kekhalifahan yaitu adanya, Khalifah, Mu’awin Tafwidh, Mu’awin Tanfidz, Amirul Jihad, Wali, Qadhi, Jihaz Idari, dan Majelis Umat. Sesuatu yang tampak jelas di sini adalah pemakaian bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa yang resmi. Hizbut tahrir sendiri meyakini, karena hukumnya wajib, pelaksanaan khilafah islamiyah saat ini, juga mutlak dan harus dilaksanakan. Hizbut tahrir kemudian tidak mengenal batasan wilayah, karena semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan Allah, karena itu semua wilayah harus mengikuti aturan Islami. Pemerintahan untuk seluruh dunia.

Dalam pandangan Hizbut tahrir, perjuangan umat untuk mendirikan Khilafah harus berdasarkan kepada: pertama, hukum-hukum syara’, tidak boleh didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang non syara’. Kedua, bahwa umat Islam wajib mengambil suri teladan (uswah hasanah) dari nabi Muhammad SAW, hal ini didasarkan karena Rasulullah telah memberi teladan bagaimana cara mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Seperti yang terdapat dalam Firman Allah SWT yang berbunyi: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah)” (Qs.Al-Ahzab (33):21).

Berdasarkan 2 (dua) prinsip itu, Hizbut tahrir merumuskan langkah- langkah untuk mendirikan Khilafah, yaitu:

1.  Perjuangan harus dilakukan secara jama’i (berkelompok), sebab tanpa berkelompok tidak mungkin kewajiban mulia itu dapat terealisir secara sempurna. Hal ini juga tercermin dalam Firman Allah swt: “ Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memmeluk Islam), memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali Imran:104)


2.  Perjuangan harus berada pada jalur politik (siyasah). Sebab mendirikan Khilafah adalah masalah politik sehingga metode yang relevan untuk mendirikannya tentunya adalah melalui pendekatan politik. Maksudnya adalah, perjuangan yang dilakukan harus selalu mengacu pada kativitas pemeliharaan urusan umat, sebab politik (siyasah) adalah pemeliharaan dan pengaturan segala urusan umat menuurt hukum-hukum syara’

3.  Perjuangan tidak menggunakan cara kekerasan (fisik).

Misalnya dengan membentuk milisi-milisi bersenjata untuk menyerang penguasa.

4.  Perjuangan harus menempuh tahap-tahap yang dicontohkan Rasulullah SAW, yaitu tahapan pembinaan dan pengkaderan, tahapan berinteraksi  dengan umat, dan tahap pengambilalihan kekuasaan.

Pandangan dari HTI ini, berbeda dengan tafsiran dari Jemaah Ahmadiyah. Jemaah yang pernah menimbulkan kontroversi ini dan bahkan telah mendapat fatwa larangan dari MUI (Majelis Ulama Indonesia), melihat bahwa Islam mengandung aspek keragaman. Aturan syariat Islam memang dianjurkan dalam Al Qur’an, tetapi manusia hidup berkelompok-kelompok, karena itu ada aturan lain. Kelompok ini melihat bahwa Indonesia memiliki Pancasila dan UUD 1945 yang menghargai keragaman dan perbedaan, dan itu dianggap tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul (Sinar Harapan, 10 Desember 2005).

Sementara itu, Abdul Malik an-Najar (1999;70-72) mengatakan bahwa kekhalifahan adalah tugas nyata manusia sebagai wakil Allah di muka bumi dalam menerapkan iradah dan syariat-Nya. Tugas ini memiliki substansi tersendiri yaitu, pertama, adanya kelebihan manusia dibanding makhluk lain, terutama dari susunan jazad dan rohnya. Kedua, manusia sebagai satu-satunya pengemban amanat taklif yaitu, ajaran buat manusia dalam kaitan kekhalifahan. Manusia dapat memilih dan melaksanakan berdasarkan kebebasan berkehendak sesuai dengan batasannya.

Makna yang jelas dari keterangan Abdul Malik di atas adalah adanya makna-makna wahyu dan kemampuan akal manusia. Hal ini berimplikasi pada penerapan syariat-syariat, dimana manusia harus bisa memadukan antara kemampuan nalar akal dengan ketentuan mutlak dalam wahyu. Secara umum, Abdul Malik memang tidak menyebutkan soal Khilafah Islamiyah (negara Islam), namun ia mengajukan kewajiban manusia untuk memahami posisi akal dan wahyu yang selalu butuh penafsiran.

Perbedaan dalam memaknai khilafah islamiyah pernah pula menorehkan berbagai catatan negatif di Indonesia. Salah satunya adalah pemberontakan DI/TII dan keinginan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) tahun 1949. Kelompok ini menginginkan pendirian negara Islam dengan menggunakan kekuatan militer. Mereka melakukan perlawanan bersenjata, membakar rumah penduduk,


membunuh para kiai, santri, yang semuanya justru umat Islam (Usep Romli, dalam Pikiran Rakyat, 18 September 2004). Tujuan gerakan ini sangat jelas, yaitu pendirian negara Islam dan pelaksanaan syariat Islam menurut versi mereka. Dalam hal ini DI/TII memiliki perbedaan dengan kelompok lain.

Memaknai khilafah Islamiyah, sejak awal sudah memiliki ragam pendapat. Ibnu Khaldun memaknai Khilafah sebagai wakil Allah dalam menjaga agama dan urusan dunia. Syaikh al-Islam Ibrahim al-Baijuri menyebutkan khilafah sebagai wakil Nabi SAW untuk mengatur kemaslahatan kaum muslimin. Sementara Imam al-Mawardiy mendefinisikan sebagai imamah yang diposisikan untuk khilafah nubuwwah dalam hal menjaga agama dan urusan dunia. Dari beberapa pendapat itu saja, sudah terlihat bahwa masing-masing orang berbeda dalam  memahaminya, apakah khilafah dianggap wakil Allah di dunia atau wakil Muhammad. Ini baru pada tataran konsep general, belum lagi pada hal-hal yang lebih detail, seperti soal fiqh dan syariat. Akan tetapi, kelompok HTI dengan Syekh Taqiyuddin memberanikan diri mengambil sebuah pilihan paling tepat yaitu, “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di kehidupan dunia, untuk menegakkan hukum-hukum Islam, dan mengemban dakwah islamiyah ke seluruh dunia.” (Ramadhan,2003;5). Kelompok ini kemudian mengklaim bahwa inilah yang paling tepat.

Pandangan senada dikemukakan Dhiauddin Rais (2001:163) yakni  jika kita kaji secara serius, hakikat sebuah kekahalifahan adalah kepemimpinan umum umat Islam yang merepresentasikan kesatuannya, mampu menjaga eksistensinya,mengetahui apa yang paling urgen untuk kepentingan umat, serta dapat mewujudkan kemaslahatan kolektif dan menerapkan semua prinsip Islam. Lebih lanjut dijelaskannya, hakikat kekhalifahan adalah usaha untuk mendirikan negara islam dan menjaga kebersinambungannya. Negara Islam adalah negara yang berdiri atas dasar agama Islam, negara yang melaksanakan syari’at islam yang bertugas menjaga tanah-tanah negara Islam, membela penduduk negara Islam dan berusaha menyebarkan misi Islam di dunia.




Tafsiran lain tentang khilafah islamiyah muncul dari tokoh-tokoh muslim di Indonesia. Azyumardi Azra (1999;172) mengatakan bahwa konsep negara Islam di Indonesia tidak jelas, tidak feasible dan viable. Hal ini didasarkan atas gerakan dan misi yang dibawa oleh Masyumi. Ia bahkan mengatakan gagasan negara Islam seperti yang dicanangkan oleh Masyumi dan Kartosuwirjo hanyalah romantisme masa lalu dan normativisme keagamaan belaka.

Sementara itu, Amien Rais (Azra,1999;174) lebih tegas lagi menyebutkan bahwa, “Negara Islam saya kira tidak ada dalam Al-Qur’an, maupun dalam As- Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Yang penting adalah selama negara menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat yang


egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia manapun, berarti menurut Islam sudah dipandang sebagai negara yang baik. Apalah artinya negara kalau hanya formalitas kosong.”

Pandangan ini lebih melihat kepada substansi, yang menilai khilafah islamiyah sebagai kewajiban moral, bukan dalam wujud fisik sebuah sistem kenegaraan. Ini dipertegas lagi oleh Nurcholish Madjid (Sartoso, 1997) yang mengatakan bahwa istilah negara Islam muncul di kalangan muslim sebagai gejala di masa modern saja. Hal ini muncul karena interaksi kaum muslim dengan golongan agama lain. Dikatakannya bahwa negara Islam yang formalistik tidak pernah digunakan, baik oleh Nabi Muhammad SAW maupun para khalifah  rasyidin.

Seorang ulama lain, Yusuf Musa (1990;132) mengatakan khalifah adalah pemegang kekuasaan dalam negara, dalam kedudukannya sebagai khalifah bukan sebagai pribadi, selama umat tetap menempatkan dirinya pada jabatan  tertinggi ini. Jabatan ini dimsksudkan agar ia dapat mengatur umat dengan  hukum allah dan syari’at-Nya serta membimbingnya ke jalan kemaslahatan dan kebaikan, mengurus kepentingannya secara jujur dan adil dan memimpinnya ke arah kehidupan mulia dan terhormat. Akan tetapi Meskipun menduduki jabatan tertinggi,ia tidak dapat semena-mena memerintah orang lain dan beranggapan tak ada lagi kekuasaan yang melebihi dirinya serta merasa sebagai sumber kekuasaan dan kekuatan.

Seorang tokoh intelektual muslim, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nurwahid, juga pernah melontarkan kerisauannya dan menolak wacana pelaksanaan khilafah Islamiyah di Indonesia (Suara Merdeka, 26 Oktober 2004). Pernyataannya terkait dengan aksi HTI yang menginginkan pelaksanaan kembali Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945. Nurwahid mengatakan bahwa yang terpenting adalah pelaksanaan agama pada tingkat moral dan etos kerja.

Multitafsir tentang khilafah Islamiyah dipengaruhi pula oleh kenyataan bahwa penguasa-penguasa muslim pasca Nabi dan Khulafaur Rasyidin, pada dasarnya adalah raja yang absolut. Sistem ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan egaliterianisme yang diajarkan Islam. Sistem monarki juga bertentangan dengan ajaan Islam dalam suksesi kepemimpinan yaitu berdasarkan, kualitas kepribadian, keilmuan, dan kesalehan. Kenyataanya yang terjadi justru berdasarkan keturunan dan pertalian darah (Azra, 1999;175).

Wacana di atas menunjukkan pada kita bahwa sampai saat ini, konsep khilafah Islamiyah tidak pernah satu kata dipahami. Penafsiran yang beragam dari kalangan ulama dan intelektual muslim, yang semuanya mendasarkan diri pada Al- Qur’an dan Hadits, membuat konsep khilafah Islamiyah sudah memperlihatkan titik


lemah pada level mendasarnya. Apabila diterjemahkan lagi pada aturan yang lebih rinci, maka kontroversi dan perdebatan akan semakin melebar.

 

D.         Khilafah Islamiyah di Dunia Modern

Sub judul di atas muncul dari penjelasan yang sudah dijabarkan sebelumnya. Berdasarkan konsep khilafah yang didengung-dengungkan para penggagasnya serta realitas masyarakat dunia saat ini, maka penulis hanya bisa meletakkan konsep Khilafah Islamiyah (menurut definisi pada awal makalah ini) sebatas angan-angan. Sikap pesimistis ini secara yakin diambil karena realitas dunia modern yang sudah lintas batas dan ideologi, serta gejala menguatnya ikatan-ikatan etnis dan agama pada berbagai kelompok masyarakat, memperkuat keyakinan bahwa memaksakan sebuah konsep negara kepada semua  entitas umat hanya akan berbuah konflik dan pertikaian tanpa akhir.

Realitas masyarakat dunia saat ini telah diwarnai penguatan ideologi- ideologi keagamaan, etnis, dan nasionalisme kebangsaan. Tesis Huntington yang telah dijelaskan sebelumnya memperlihatkan bahwa benturan antar peradaban akan mengarah pada konflik berkepanjangan antara Timur dan Barat. Penguatan sentimen etnis dan agama adalah pemicu yang paling besar dan itulah yang akan menghambat jalannya konsep kekhilafahan di era sekarang ini.

Secara lebih konkret, kenapa konsep Khilafah Islamiyah sulit, atau malah tidak mungkin diterapkan, dapat dilihat dari pandangan Abdul Moqsith Ghazali (http://islamlib.com/id,04/04/2005), Aktifis Jaringan Islam Liberal (JIL) ini membantah pernyataan dan keyakinan dari HTI mengenai konsep negara Islam. Menurutnya, Khilafah Islamiyah bukan hanya sekedar tidak realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan.

Pertama, amat tidak mudah mencari rumusan khilafah yang disepakati oleh seluruh umat Islam yang menyebar di sejumlah kawasan dunia. Konsep khilafah yang diusung oleh HTI adalah hanya salah satu rumusan dari Taqiyuddin al-Nabhani, yang belum tentu diamini oleh para ulama yang lain. Dalam konteks Indonesia, agak sulit dibayangkan bagaimana umat Islam bisa satu kata untuk menerima satu konsep mengenai khilafah. Eksperimentasi khilafah model siapa? Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, atau yang lainnya? Cukup pelik memang menghadirkan konsep khilafah dalam konteks sekarang. Bahkan jauh-jauh hari, NU dan Muhammadiyah telah bersuara bahwa Indonesia dengan Pancasilanya adalah bentuk negara bangsa yang final. Khilafah tidak pernah dipertimbangkan oleh kedua ormas Islam terbesar itu.

Kedua, jika khilafah merupakan lanskap atau wadah untuk memformalisasikan syariat Islam, maka pertanyaan sederhananya adalah syariat Islam yang mana? Syariat dalam tafsir siapa? Sebagaimana dikatakan Ibn ‘Aqil, bukankah syariat itu amat beragam, sekalipun agama tetap satu? Al-din wahid wa


al-syari’atu mukhtalifah. Memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan syariat Islam yang lain. Alasan ini kiranya yang menyadarkan seorang tokoh sekelas Imam Malik ketika menolak tawaran khalifah saat itu untuk menjadikan al-Muwaththa`, salah satu karyanya, menjadi konstitusi negara (daulah).

Ketiga, khilafah tidak memiliki kisah sukses yang memadai. Sejarah telah banyak menunjukkan perihal kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan khilafah. Betapa dari empat Khulafa` Rasyidun, tiga di antaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib) mati terbunuh justru ketika konsep khilafah itu diterapkan. Peperangan onta (waq’ah al-jamal) yang melibatkan Ali ibn Abi Thalib (menantu sekaligus sepupu Nabi) dan Siti Aisyah (istri Muhammad SAW) telah menelan korban nyawa yang tidak sedikit. Inkuisisi (mihnah) dengan menghukum para intelektual muslim brilian juga terjadi dalam dunia khilafah. Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah bukanlah konsep yang ideal. Ia telah gagal justru pada saat uji cobanya yang pertama.

Bachtiar A (http://padhangmbulan.com) pernah pula mengatakan bahwa jika ingin menerapkan syariat Islam ataupun Khilafah Islamiyah, pertanyaan utama yang perlu diajukan adalah, syariat Islam menurut siapa yang akan dipakai ? Saya setuju dengan syariat Islam, tapi syariat yang mana dan menurut siapa ? Apakah menurut Sunni, Syiah, NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Hizbut Tahrir, atau siapa

? Semua ini memiliki ragam tafsir dan sumber yang bervariasi pula. Ada yang langsung mengambil dari jaman Rasulullah SAW, ada yang dari Khulafaur Rasyidin, dan zaman Khilafah selanjutnya. Satu yang pasti, semuanya didasarkan atas sudut pandang dan pemahaman sendiri-sendiri.

Perlu kita pahami bahwa kebenaran agama, ibaratkan cermin dari Tuhan. Kini cermin itu telah pecah dan berkeping-keping. Masing-masing pihak memegang kepingan sendiri-sendiri dan meyakini bahwa apa yang dilihat itulah kebenaran. Oleh karena itu, Bachtiar juga meyakini bahwa dalam perjalanan sejarah perkembangan Islam, hampir tidak ditemui khilafah Islam yang ideal. Islam sendiri juga tidak mengajarkan apa bentuk negara, namun memberikan panduan bagaimana bernegara yang baik.

Terlihat jelas bahwa persoalan dalam penerapan khilafah Islam adalah beda penafsiran yang sangat besar, dan itu terjadi justru di sesama umat Islam sendiri. Kelompok-kelompok dalam Islam tidak pernah memiliki persepsi yang sama dalam memandang khilafah Islam. Semakin banyak kelompok dan golongan, maka makin banyak pula tafsiran tentang negara Islam.

Lebih jauh apabila kita cermati, negara-negara dan masyarakat dunia, saat ini sudah membagi diri pada berbagai kelompok dan ikatan tertentu. Ikatan-ikatan tersebut terwujud dari sejak adanya masyarakat itu, ataupun terbentuk karena perkembangan daya kritis analitis manusia. Berkembangnya paham pluralisme dan


sekularisme dalam beragama adalah gejala yang melihat kondisi masyarakat yang multikultur. Ide-ide dari kelompok ini semakin menguat dan makin memperlihatkan dukungan besar dari masyarakat. Tentu saja, paham ini akan berseberangan dengan kelompok lain yang meyakini keampuhan negara Islam saat ini.

Multikulturalisme lahir sebagai reaksi atas fakta bahwa manusia di seluruh dunia adalah beragam. Keragaman ini terlihat dari semua sisi, baik secara fisik, daerah, bahasa, keyakinan, sudut pandang, ideologi, dan kepercayaan. Inilah fakta sosial yang tidak bisa dipungkiri. CW Watson (2000;87) menegaskan bahwa multikulturisme, sebagai sebuah kajian, muncul menjelang masuknya abad ke-20, dimana pertumbuhan masyarakat semakin kompleks dan beragam, jumlah penduduk semakin menguat dan perkembangan teknologi yang mendorong munculnya ide baru juga menguat.

Konsep multikulturisme pada dasarnya sudah ada dulu. Dalam sosiologi, konsep ini dikenal dengan istilah kearifan lokal (indigenous knowledge). Masyarakat zaman dulu telah bisa memahami bahwa setiap manusia memiliki perbedaan dengan manusia lainnya. Secara arif mereka menyesuaikan diri dan menciptakan aturan yang bisa mengadopsi semua kepentingan. Sasaran akhir adalah tercapainya kedamaian dan stabilitas hidup bermasyarakat. Coba renungkan makna Bhineka Tunggal Ika yang tergantung di lambang negara Indonesia. Kata-kata itu dicanangkan ketika negara ini akan dibentuk (1945), jauh sebelum konsep pluralisme masuk ke Indonesia. Tapi toh para founding fathers negeri ini telah memahami keragaman bangsa. Begitupun dengan konsep Piagam Jakarta yang dimodifikasi sehingga bisa mengadopsi semua golongan di Indonesia.

Dalam Islam, konsep multikultur ini sudah jadi keyakinan yang mutlak. Surat Al-Maidah ; 48 secara tegas menyebutkan, tiap-tiap kalian Kami buatkan syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (metode pelaksanaan). Seandainya Allah menghendaki, pasti Dia jadikan kalian (manusia) umat yang satu, tetapi dijadikan beragam itu untuk menguji kalian atas apa-apa yang Dia anugerahkan kepada kalian. Maka berlomba-lombalah kalian menuju kebajikan-kebajikan. Kepada Allah kalian semua akan kembali dan kelak Dia akan menjelaskan kepada kalian apa saja yang kalian perselisihkan. Inilah dasar pluralisme beragama. Keyakinan bahwa manusia memang beragam dan berbeda, namun tetap dalam satu keyakinan terhadap kebenaran ajaran Tuhan.

Penerapan syariat Islam dalam bentuk Daulah Islamiyah (menurut konsep HTI) akan sangat absurd bahkan terlihat akan mustahil untuk diterapkan. Sampai kapanpun, peradaban yang terbentuk tetap dalam bentuk keragaman, bahkan semakin melebar. Ini dimungkinkan karena gejala perkembangan global yang sudah melintas batas sehingga perkembangan pola pikir dan tingkat keragaman semakin meluas.


Akan tetapi, adopsi nilai-nilai keislaman dalam sistem pemerintahan tentu saja dimungkinkan. Beberapa inteletktual muslim sangat menyarankan hal itu, namun bukan pembentukan negara secara fisik. Amien Rais, Hidayat Nurwahid, Abdurrahman Wahid, adalah tokoh-tokoh yang menginginkan konsep nilai-nilai Islam jadi anutan bagi semua warga negara. Nilai-nilai Islam dalam pandangan universal dengan pedoman utama bagi kemajuan dan rahmatan lil alamin. Bentuk konkritnya adalah pengadopsian etos kerja Islam dan semangat Islami.

Dasar dari konsep tersebut adalah sudut pandang bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan hal yang sama, yaitu berbuat baik dan saling bersikap toleransi. Kerja keras dan sikap kejujuran. Ini adalah nilai-nilai universal. Nilai-nilai inilah yang semestinya bisa diadopsi oleh kalangan yang menginginkan pembentukan negara Islam. Pemaksaan pada level negara definitif dengan aturan- aturan syariat yang masih multitafsir, hanya akan menciptakan gejolak konflik baru. Semestinya, nilai-nilai kemanusiaan yang dikedepankan.

Dalam beberapa diskusi penulis dengan teman sejawat, muncul sebuah ide lain yaitu penerapan khilafah Islamiyah dengan meniru konsep keuskupan  yang berpusat di Vatikan. Modelnya adalah memunculkan pemimpin religius yang menjadi panutan dan pedoman bagi semua umat. Hanya saja, wewenangnya terbatas pada soal-soal keimanan dan keagamaan dalam arti sempit. Sebagai pemimpin religius, ia tidak mempunyai kewenangan pada level praktis kenegaraan. Masing-masing negara tetap berdaulat dan melaksanakan kegiatan kenegaraan dengan format dan bentuk masing-masing.

Model ini cenderung sekuler, memisahkan wewenang agama pada batas- batas tertentu dengan wewenang pemerintahan. Akan tetapi, kelebihan utama model ini adalah kemampuannya untuk menyatukan semua umat dalam satu pimpinan dan panutan. Walaupun ritual dan syariat berbeda-beda, tapi mereka mengacu pada sebuah pemimpin agung yang memiliki kewenangan dari sisi religius.

Akan tetapi model inipun sulit diterapkan, karena dari sisi sejarah dan keyakinan sebagian besar umat Islam, penghormatan berlebihan (bahkan cenderung kultus) pada seorang pimpinan tidak dibenarkan. Hal lain, ajaran Islam selalu multitafsir di dalam pemeluknya, sehingga akan timbul kesulitan dan kerumitan, dalam menentukan dasar hukum dan dalil nash pendukung model ini. Konsep pemimpin spiritual Iran, sebenarnya sudah mengarah pada model ini, namun tetap tidak bisa mengadopsi semua keyakinan.

Bukti sejarah juga memperlihatkan, kehancuran Khilafah Abdul Majid II (1924) di Turki yang berposisi sebagai pemimpin spiritual, juga memperlihatkan lemahnya model ini di ajaran Islam. Kendatipun ada unsur lain yaitu intervensi Mustafa Kemal Pasha Ataturk, yang jelas pemisahan antara pemimpin spiritual dan pemimpin kenegaraan, juga sulit dan mustahil.


Jalan tengah dan ideal diterapkan adalah adopsi nilai-nilai universal Islam yang bertumpu pada etos kerja dan semangat rahmatan lil alamin. Ini sesuai dengan konsep kemajemukan masyarakat dan kelenturan nilai-nilai Islam di semua zaman dan waktu.

 

E.        Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa konsep Khilafah Islamiyah sangat sulit diterapkan saat ini. Kemajemukan dan keragaman masyarakat tidak memungkinkan munculnya satu konsep ideal tentang negara Islam. Multitafsir mengenai khilafah islamiyah akan selalu menimbulkan persoalan di masyarakat.

Meskipun tidak ditetapkan dalam Alqur’an untuk menciptakan negara Islami (sistem Khilafah), tapi ada kewajiban menegakkan tatanan masyarakat Islami. Model yang tepat diterapkan adalah peningkatan pemahaman terhadap etos kerja dan semangat Islam yang rahmatan lil alamin. Dalam praktek, aturan, dan bahasa mungkin berbeda-beda, tetapi semangatnya tetap satu. Model seperti ini tidak melihat negara Islam secara fisik, tapi abstrak dalam pemahaman individu- individu.

Bervariasinya pemahaman mengenai khilafah islamiyah, menyebabkan penerapan konsep ini akan selalu berada di batas angan-angan. Penyatuan persepsi dan pemahaman, sulit dicapai karena masing-masing manusia memiliki aneka ragam logika pemikiran.
Read more
no image


Paparan Ust. Budi Ashari

Dalam QS. Al Hasyr telah tercantum kunci kemenangan muslim untuk melawan zionis Israel. Kaum muslimin disebut sebagai ulil abshar (yakni orang-orang yg memiliki pandangan) di awal surat Al Hasyr ini. Fitnah kecerdasan berarti ilmu yang diperoleh tidak menunjukkan jalan. Sedangkan bashiroh yakni ilmu yang melekat pada diri ulil abshar itu kebalikannya, yaitu ilmu yang menunjukkan jalan. Pada ayat 13-14 dalam surat tersebut dinyatakan orang-orang Yahudi adalah orang yang tidak berakal. Otak yang cerdas tidak menjamin sukses urusan dunia apalagi akhirat. Dalam hal ini Al Qur'an punya cara sendiri untuk menganalisa kecerdasan dan telah terbukti membawa sejarah keemasan serta membawa kemakmuran di bumi ini. Sebaliknya kecerdasan sebagaimana parameter hari ini sejatinya membuat bumi dalam ancaman.

Ibnu Batuttah pernah melakukan perjalanan ke bumi nusantara dan terkesima olehnya. Beliau pernah menuliskan pemikirannya tentang Aceh tempat ia singgah, sebagai berikut: "Bacalah kemakmurannya, bacalah alamnya, bacalah keimanannya, dll.." Hal ini sepertinya sangat jauh berbeda dengan kondisi Aceh saat ini. Ulama kita Ibnu Jauziy pernah menuliskan 400 buah kitab yang menunjukkan kecerdasan beliau yang luar biasa. Diantara yang dituliskan berjudul Buku/Kitab Orang-orang Cerdas. Dari sini kita sebetulnya sudah punya panduan kitab kecerdasan. Teori kecerdasan telah dituliskan oleh Ibnu Jauziy dalam kitab ini, beserta contoh-contoh bagaimana kecerdasan umumnya para nabi, kecerdasan khusus Nabi Muhammad saw, para sahabat, kecerdasan 'umara, dll sampai dengan kecerdasan binatang pun dibahas dalam kitab ini. Umat ini belum bisa mengalahkan Yahudi sebelum menjadi ulil abshar.

Lalu apa beda yafqohun (tidak faqih/mengerti) dan ya'qilun (tidak mengerti) yang seringkali disebutkan di dalam Al Qur'an? Al Fiqhu artinya pemahaman yang dalam, kitab fiqih adalah kitab yang dalam pembahasannya. Jadi ilmu Islam akarnya adalah fiqih. Mau cerdas pelajarilah fiqih. Fiqh cara membacanya ada 3: faqoha, faqiha, faquha dengan arti yang berbeda. 
Hadits nabi tentang org yang berhijrah: org terbaik diantara kalian adalah org yg berhijrah yaitu org yg faquha (dlm pemahamannya). Dhommah: sesuatu yg sudah mendarah daging, menempel. 'Aqlun, 'aaqil: akal dr bahasa Arab. Ikatan kepala awalnya utk pengikat unta di kakinya, disebut 'iqool karena sifatnya mengikat. 'Aql dan nuha ternyata punya makna kemampuan utk menahan, artinya ilmu yg dimiliki harus punya kemampuan menahan diri kita: mendelay sesaat atau menghentikan sama sekali. Jika dengan ilmu malah menjadi melampaui batas maka bukan itu yg Allah inginkan. Kata ya'qilun Allah menginginkan agar ilmu punya kemampuan utk menghentikan kita.
Ada orang2 yg cerdas bawaan lahir dan berkarya dengan kecerdasannya, diantaranya 'Amr bin 'Ash ra. Nabi saw memuji beliau luar biasa. 3 org cerdas lainnya di kalangan Arab pada zaman itu: Muawiyah, Mughiroh (sahabat), Ziyad (tabi'in) tapi sangat sulit kita temukan biografinya. Umar bin Khattab bilang Amr bin Ash tidak cocok jadi rakyat, cocoknya jadi pemimpin dimanapun dia berada. 'Amr bin ash punya kemampuan diplomasi, oleh karenanya pernah diutus utk menjemput muslimin yg hijrah ke Habasyah.

Ada buku yg tidak boleh beredar 75 tahun lamanya, judulnya Militan Islam (Al Islam atthauli) penulisnya Jason. Karena begitu dibaca maka orang akan kembali ke Qur'an, akan mencintai bahasanya Qur'an. Ketika masa Turki Usmani, Inggris dan Perancis meneliti dari Samudra Atlantik sampai Samudra Hindia hanya utk mengetahui kenapa orang2 muslim kuat, cerdas. Ternyata kuncinya adalah pendidikan kuttab. Hubungan antara bahasa dan kecerdasan: hari ini anak2 barat usia 3 thn sudah belajar 16 rb kata, anak2 Arab 3 rb kata, kaum muslimin punya kekuatan di Qur'an dan Arab. Qur'an punya 77.500 kata, belum bahasa Arab sehingga inilah menjadi kekuatan muslimin. Oleh karenanya utk melemahkannya dijauhkan muslimin dari Qur'an dan bahasanya. Inggris membuat level pendidikan kelas bawah yaitu sekolah agama seperti kuttab itu diimage-kan utk orang2 yg bodoh, kelas menengah utk ekonomi menengah, level paling tinggi yaitu international school. Itulah diantara efek jajahan Eropa yg masih melekat di negara kita. Masjid adalah tempat orang2 cerdas jika fungsinya dikembalikan seperti zaman nabi saw. Maka itu zaman sekarang masjid banyak dicurigai karena memang tempat berkembangnya ilmu pengetahuan dan berkumpulnya orang2 cerdas.
Setiap ilmu punya karakter dan itu yg membentuk dirinya. Apa yg diberikan alurnya oleh syariat kita itulah yg diikuti. Keturunan punya jejak yg dalam utk kecerdasan, pemahaman. Tidak bisa diubah dan diprotes. Tapi Allah maha Adil, keturunan bukan segala2nya, muslimin diberi tuntunan syariat utk menjalani hidup dengan cerdas. Penjelasan Ustad Budi Azhari
Kalimat sahabat yg dicantumkan oleh Imam Ibnu Jauziy. Ketika Abu Darda menyampaikan tentang tanda2 orang yg berakal, berkata ia: org yg berakal itu dia tawadhu di hadapan orang yg ada di atasnya (baik ilmu, pengalaman, dll), tidak meremehkan yg ada di bawahnya (yg lebih kecil, yg lebih muda, sedikit ilmunya), dia selalu memegang keutamaan dalam pembicaraannya (ngobrol santai pun ada keutamaan yg bs diambil, bahkan bercanda), dia berinteraksi dengan manusia dengan akhlak yg baik (jika bicara dgn akhlak, diam pun dgn akhlak), dan dia memastikan ada iman antara dia dan Rabbnya, dia berjalan di bumi ini dgn ketakwaannya tapi tersembunyi. Hari ini bertolak belakang, kita tidak punya sesuatu yg disembunyikan, padahal itu adalah ajaran nabi saw.
Kalimat Luqman, sdh sampai level al hakim, pemberi hikmah. Hikmah itu lebih tinggi levelnya dari ilmu. Ilmu itu hanya pemberian Allah yang sedikit, tapi jika punya hikmah sungguh telah diberikan kebaikan yg banyak.
Semoga bermanfaat.


Read more
no image

Bukti kecerdasan Gus Kainama ditunjukkan disini. Kajian kristologi full total daging!l bersama ust.ahmad kainama. Rugi jika tak disimak hingga ahir. Bantu share agar video ini bisa menebar Hidayah dg lebih luas. Silahkan simak kajian bernas sebelumnya oleh Ustad Gus Ahmad Kainama


Penjelasan Ustad Ahmad Kainama
Read more
Minggu, 02 Agustus 2015
no image


Oleh : Nabiel Fuad Al-Musawa

DEFINISI

1. Secara bahasa Arab (lughah) at-Tahaluf (kompromi) berasal dari kata al-Hilfu yang artinya perjanjian untuk saling menolong, ia berasal dari kata halafa-yahlifu-hilfan. Dalam bentuk kalimat dikatakan hilfuhu fulan fayakunu halifuhu (Fulan berjanji dg fulan maka ia menjadi sahabatnya)[1].

2. Secara syar’I maknanyapun sama, dalam hadits nabi SAW disebutkan dari Ashim ra : “Aku berkata kepada Anas bin Malik : Apakah telah sampai kepadamu bahwa nabi SAW bersabda : “Tdk ada hilfu dlm Islam.” Maka jawab Anas ra : “Bahkan nabi SAW telah mengambil sumpah suku Quraisy dan Anshar dirumahku.” (HR Bukhari bab Laka al Adab, hal 78 dan bab al-Ikha wa Halaf juz 8/26, cet Dar asy-Syatibi).


PERJANJIAN  JAHILIYYAH DIMASA SEBELUM KENABIAN YG DIDUKUNG OLEH NABI SAW

1. Perjanjian Muthayyibin, yaitu perjanjian antara kabilah Bani Abdud Dar, Bani Jamah, Bani Salim, Bani Makhzum dan Bani Adi, yaitu untuk tidak saling berebut kekuasaan atas Ka’bah yaitu dengan memasukkan masing2 tangannya ke dalam mangkok berisi minyak wangi dan mengusapkannya ke Ka’bah sehingga dinamakan Muthayyibin (orang2 yg memakai minyak wangi). Tentang ini nabi SAW bersabda : “Aku menyaksikan berlangsungnya al-Muthayyibin, aku tidak ingin membatalkannya walaupun aku hanya diberikan kekuasaan atas binatang ternak.” (HR Ahmad dlm al-Musnad, juz-I hal 190 dan 193).

Dan ketika nabi SAW menaklukkan Makkah (fathul Makkah) dan sedang duduk di Masjidil Haram, Ali ra berkata : Wahai RasuluLLAH, kita telah menguasai kunci Ka’bah dan air zam-zam. Lalu nabi SAW berkata : Dimana Usman bin Thalhah? Ini kuncimu, ambil kunci ini selamanya dan tidak akan merebutnya kecuali orang yang aniaya. (Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-II, hal. 412)

2. Perjanjian Fudhul, yaitu perjanjian antara Bani Hasyim, bani Muthalib, bani Asad bin Abdul ‘Uzza, bani Zuhrah bin Kilab dan bani Taim bin Murrah untuk tidak membiarkan kezaliman di kota Makkah baik terhadap penduduk pribumi maupun terhadap pendatang (Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-I, hal 133-134). Tentang ini nabi SAW bersabda : “Aku telah menyaksikan perjanjian Fudhul di kediaman AbduLLAH bin Jad’an, perjanjian yang tidak akan aku batalkan walaupun aku hanya diberi kekuasaan atas binatang ternak. Dan sekiranya perjanjian itu dilaksanakan pada masa Islam, maka aku akan menyetujuinya.”[2]


KOMPROMI POLITIK PADA MASA AWAL KENABIAN YG DILAKUKAN NABI SAW DG KAUM MUSYRIKIN BAIK PERORANGAN MAUPUN KELOMPOK

 Perlindungan Abu Thalib pd nabi SAW, ketika turun ayat QS 26/214 maka nabi SAW memanggil bani Hasyim, bani Muthalib bin Abdi Manaf dan berkata : “Segala puji bagi ALLAH, aku memuji dan dan memohon pertolongan kepada-NYA, beriman dan bertawakkal kepada-NYA, aku bersaksi bhw tiada Ilah selain ALLAH Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-NYA. Sesungguhnya pemandu jalan tdk akan menyesatkan orang yg dipandu. Demi ALLAH yang tiada Ilah kecuali DIA, DIA Maha Esa dan tiada sekutu bagi-NYA, bahwa aku adalah utusan ALLAH bagi kalian secara khusus serta untuk semua manusia secara umum. Demi ALLAH bahwa kalian akan meninggal dunia sebagaimana kalian tidur dan akan dihidupkan kembali sebagaimana kalian bangun, lalu kalian akan diminta pertanggungjawaban dari apa yg telah kalian lakukan. Sesungguhnya surga dan neraka adalah abadi.” Maka Abu Thalib berkata : “Alangkah senangnya aku dapat menolongmu, menerima segala nasihatmu, dan menjadi orang yang paling percaya akan tutur katamu, mereka yang berkumpul ini adalah keturunan nenek moyangmu, dan aku adalah salah satu dari mereka, hanya saja aku adalah orang yang paling dulu senang dengan apa yang kau senangi, maka laksanakan apa yang telah diperintahkan Tuhan kepadamu. Demi ALLAH aku akan selalu bersamamu dan menjagamu, akan tetapi aku tidak mampu meninggalkan agama Abdul Muthalib. Maka Abu Lahab berkata : Demi ALLAH ini adalah malapetaka! Cegah dia sebelum mempengaruhi yang lain! Maka jawab abu Thalib : Demi ALLAH! Aku akan selalu menjaganya selama aku masih hidup! (Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-I, hal 265).
Perlindungan Syi’ib Bani Hasyim, diriwayatkan oleh Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihab az-Zuhri : Orang-orang kafir berkumpul untuk merencanakan pembunuhan pada nabi SAW, yang akan dilakukan secara terang-terangan, ketika kabar itu didengar oleh abu Thalib, maka ia mengumpulkan bani Hasyim dan bani Muthalib untuk melindungi nabi SAW, diantara mereka ada yang melakukannya berdasarkan keyakinan pada kebenaran Islam dan adapula yang ingin melindunginya karena hubungan kekeluargaan (ta’ashub kesukuan) saja (Sirah Nabawiyyah, AbduLLAH bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 93, Dar al-Arabiyyah).
Perlindungan Muth’im bin ‘Adi, ketika nabi SAW pulang dari Tha’if untuk kembali ke Makkah maka beliau SAW mengutus seseorang dari suku Khuza’ah untuk menemui Muth’im bin Adi dan berkata : Apakah engkau bersedia menjadi pelindung Muhammad?, Muth’im menjawab : Ya. Lalu ia menyiapkan pedangnya dan berkata pd kaumnya : Hunuskan senjata kalian dan berdirilah di setiap pojok Ka’bah, sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad! Muth’im lalu mengutus orang untuk mepersilakan Muhammad SAW masuk ke Makkah, maka nabi SAW dan Zaid bin Haritsah ra pun memasuki Makkah. Sesampainya di Ka’bah maka Muth’im bin Adi duduk di atas ontanya sambil berkata : Hai orang2 Quraisy! Sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad, maka jangan ada yang berani mengganggunya!, maka nabi SAW pun menyelesaikan thawaf, mencium hajar aswad, melakukan shalat 2 raka’at dan kembali ke rumahnya. Sedangkan Muth’im dan anak2nya terus menjaga nabi SAW, sampai ia masuk ke rumahnya. (ar-Rahiq al-Makhtum, al-Mubarakfuri, riwayat Zuhr dari Musa bin Uqbah; al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir juz-III, hal. 150)
Tawaran nabi SAW terhadap qabilah2 Arab, Al-Maqrizi berkata dalam kitab al-Imta’ al-Asma’ : Nabi SAW langsung menawarkan dan menyerukan Islam sendiri kepada kabilah-kabilah pada setiap musim hajji, diantaranya adalah pada bani Amir, Ghassan, Fazarah, Murrah, Hanifah, Sulaim, Abbas, Nashr, Tsa’labah, Kindah, Kalb, Harits, Udzrah, Qais. Dari seruan itu difahami bahwa keislaman seluruh kabilah tersebut bukanlah yang terpenting, namun kepercayaan kabilah-kabilah tersebut untuk memberikan perlindungan kepada nabi SAW untuk melaksanakan dakwahnya, sebagaimana perlindungan bani Hasyim sebelumnya pada nabi SAW juga tidak seluruhnya muslim, bahkan abu Thalib sendiri sampai wafatnya tidak masuk Islam. (Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam I/422-425)

KOMPROMI POLITIK PADA FASE PEMBENTUKAN NEGARA

Bai’at Aqabah Pertama, ketika nabi SAW melewati Mina beliau bertemu dengan 6 orang pemuda Yatsrib dari suku Khazraj, mereka adalah As’ad bin Zurarah, Auf bin Harits, Rafi bin Malik bin Ajlan, Quthbah bin Amir bin Hadidah, Uqbah bin Amir bin Nabi dan Jabir bin AbduLLAH bin Riab. Maka nabi SAW berkata pd mereka : “Maukah kalian mendengarkan apa yg akan kukatakan?” Mereka menjawab : Silakan. Maka nabi SAW mengajak mereka untuk menyembah ALLAH SWT dan membacakan pada mereka ayat-ayat suci al-Qur’an. Lalu nabi SAW bersabda : “Sanggupkah kalian memberikan perlindungan kepadaku?” Mereka menjawab : Ya RasuluLLAH, saat peperangan Bu’ats dulu kami saling berperang, jadi kalau sekarang engkau tidak memiliki banyak pendukung. Biarlah kami kami kembali, semoga kami dapat mengajak keluarga kami dan menyatukan kaum kami untukmu. Jika mereka semua telah berkumpul, maka tidak seorangpun yang lebih mulia darimu. Kami berjanji perayaan hajji yang akan datang. (Sirah Nabawiyyah, AbduLLAH bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.125)
Bai’at Aqabah Kedua, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin AbduLLAH ra secara rinci disebutkan, Jabir ra berkata : Wahai RasuluLLAH, dalam hal apa kami membai’at engkau? Maka jawab nabi SAW : “Untuk mendengar dan taat, baik ketika kalian sedang semangat maupun ketika malas; memberikan sedekah baik ketika lapang maupun sempit; berdakwah pd kebenaran dan menentang kemungkaran; mentaati ALLAH SWT dan tdk mel;akukan hal yg dimurkai-NYA; dan menolongku dan melindungiku jika aku datang ke tempat kalian, sebagaimana perlindunganmu kepada dirimu, istri dan anak2mu.” Maka jawab mereka : Ya RasuluLLAH, apa imbalan dari semua itu? Jawab nabi SAW : “Kalian akan mendapatkan surga.” Setelah itu maka nabi SAW membai’at mereka dan memilih 12 orang naqib diantara mereka yaitu 9 dari Khazraj dan 3 dari Aus.

KOMPROMI POLITIK DENGAN KAUM YAHUDI DAN MUSYRIKIN SAAT PEMBENTUKAN NEGARA BARU

Saat nabi SAW memasuki Madinah maka beliau SAW menghadapi masyarakat yang sangat heterogen dalam suku dan agama, ada Muhajirin, suku Khazraj, suku Aus, Yahudi bani Quraizhah, Yahudi bani Qainuqa, para pimpinan ekonomi seperti AbduLLAH bin Ubay bin Salul, dsb. Maka dibuatlah perjanjian sbb : 
 Perjanjian persaudaraan diantara sesama muslim,
Perjanjian tolong-menolong kaum muslimin dengan kaum musyrikin,
Perjanjian kerjasama antara kaum muslimin dg kelompok2 besar qabilah Arab non muslim,
 Peraturan2 yang berlaku umum.
2.Perjanjian yang terkenal tersebut kemudian disebut Piagam Madinah yang merupakan teks perjanjian Hak Asasi Manusia antar agama, suku dan golongan pertama di dunia yang tertulis dalam sejarah, yang isinya secara lengkap adalah sbb[3] :

Bab-I (Diantara kaum mu’minin):
Dg nama ALLAH Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, inilah piagam perjanjian yg ditulis oleh Muhammad, nabi bagi orang mu’min dan org muslim dari Quraisy dan Yatsrib dan siapa saja yg mengikuti ajarannya dan berjuang bersama dengan mereka :
Sesungguhnya mereka adalah 1 kelompok, memiliki ikatan persatuan yang kuat.
 Kaum Muhajirin dari suku Quraisy berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
Bani Haritsah berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
Bani Jasyim berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
Bani Najjar berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
Bani Amr bin Auf berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
Bani Nubait berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
Bani Aus berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
ix. Kaum mu’minin tidak membiarkan kesenangan hanya pada segelintir orang diantara mereka, tapi membagikannya pada semua orang, dengan membagikan hasil dari barang tebusan dan denda secara adil diantara mereka.
x. Seorang mu’min tidak memberikan kekuasaan diantara mereka kepada di luar golongan mereka.
xi. Sikap mu’min terhadap orang yang membangkang dan mengajak berperang adalah suatu perbuatan zalim, berdosa mengajak permusuhan dan merusak hubungan antar kaum mu’min.
xii. Mereka saling tolong-menolong, walau berbeda keturunan.
xiii. Seorang mu’min tidak boleh membunuh sesama mu’min karena membela orang kafir.
xiv. Tidak memberikan kemenangan atas orang kafir dengan mengesampingkan orang muslim.
xv. Sesungguhnya perlindungan ALLAH selalu berada di pihak orang mu’min yang lemah.
xvi. Sesungguhnya orang mu’min itu pelindung bagi orang-oranh mu’min lainnya, terhadap bahaya yang ditimbulkan dari golongan di luar Islam.
xvii. Org2 Yahudi yang mematuhi aturan-aturan agama kita, akan mendapatkan pertolongan dan persamaan dalam hukum seperti orang muslim lainnya, mereka tidak teraniaya dan tidak menganiaya.
xviii. Apabila terjadi perdamaian sesama mu’min, tidak sama dengan perdamaian orang mu’min dengan orang kafir di medan perang, kecuali didasari dengan persamaan dan keadilan.
xix. Bahwa setiap prajurit kita yang turut berperang bersama kita, masing-masing saling melindungi.
xx. Sesungguhnya orang mu’min itu bekerjasama, untuk saling melindungi jiwa mereka dalam peperangan (sabiliLLAH).
xxi. Sesungguhnya orang mu’min yang bertakwa adalah orang yang mendapatkan sebaik-baik dan selurus-lurusnya petunjuk.
xxii. Bahwa orang musyrik (madinah) tidak dibolehkan menyewakan pada orang Quraisy (Makkah), baik jiwa ataupun harta, apalagi jika dipergunakan menyerang kaum muslimin.
xxiii. Barangsiapa membunuh seorang mu’min dan terdapat padanya suatu bukti pembunuhan, maka dia akan mendapatkan hukuman qishahs, kecuali wali dari orang-orang yang terbunuh tersebut memaafkannya.
xxiv. Bahwa orang-orang mu’min memiliki hukum yang sama, sehingga tidak dibolehkan atas mereka kecuali melaksanakan hukum tsb.
xxv. Orang mu’min yang menyetujui seluruh isi perjanjian ini dan beriman pada ALLAH dan hari akhir, tidak dibolehkan bagi mereka untuk menolong dan melindungi orang-orang pembuat bid’ah.
xxvi. Barangsiapa yang menolong dan melindunginya maka bagi mereka laknat dan kemurkaan ALLAH pada hari akhir. Dan mereka tidak akan mendapat jaminan dan keadilan.
xxvii. Sesungguhnya segala apa yang kamu perselisihkan hendaklah dikembalikan pada ALLAH dan rasul-NYA, Muhammad SAW.

b. Bab-II (dengan orang Yahudi) :
i. Orang Yahudi bani Auf hidup berdampingan dengan kaum mu’min. Bagi orang Yahudi diperbolehkan menganut agama mereka, dan bagi orang mu’min diperbolehkan menganut agama mereka, begitu pula terhadap harta dan jiwa masing-masing.
ii. Apabila ada salah satu dari mereka (Yahudi) melakukan kezaliman dan kesalahan, mereka tidak dapat dihukum semuanya, kecuali mereka yang melakukan perbuatan tersebut atau keluarganya.
iii. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Nadir mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
iv. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Haritsah mempunyai kesamaan dengan org Yahudi bani Auf.
v. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Saidah mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
vi. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Jasyim mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
vii. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Aus mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
viii. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Tsa’labah mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf, kecuali bagi yang berbuat kezaliman dan kesalahan. Dan mereka semua tidak dihukum kecuali hanya yang berbuat kesalahan tersebut.
ix. Sesungguhnya keselamatan jiwa orang bani Tsa’labah seperti orang-orang bani Auf.
x. Sesungguhnya orang-orang bani Syathbiyyah seperti orang-orang bani Auf.
xi. Memberi pertolongan pada perbuatan baik dan bukan pada perbuatan buruk.
xii. Bahwa orang yang terikat perjanjian dengan bani Tsa’labah diperlakukan sam dengan kaum mu’minin.
xiii. Bahwa keselamatan jiwa orang-oranh Yahudi sama dengan keselamatan jiwa kaum mu’minin.
xiv. Tidak dibolehkan seorangpun dari orang Yahudi keluar dari Madinah kecuali atas izin Rasul SAW.
xv. Tidak dibolehkan seorangpun pergi ke Makkah untuk balas dendam.
xvi. Barangsiapa yang melakukan pembunuhan maka hanya dirinya dan keluarganyalah yang mendpt hukuman dari perbuatannya, kecuali jika ia orang yang dizalimi.
xvii. ALLAH melindungi isi perjanjian ini (ALLAH senantiasa memberikan keridhaan atas segala isi perjanjian).
xviii. Orang Yahudi bekerjasama dengan kaum muslimin dalam mengumpulkan biaya perang, selama terjadi peperangan.
c. Bab-III (antar sesama Yahudi) :
i. Orang Yahudi memberi nafkah terhadap orang Yahudi, begitu pula orang mu’min memberikan nafkah pada orang mu’min.
ii. Mereka saling tolong-menolong dalam menghadapi orang-orang yang memerangi isi perjanjian ini.
iii. Mereka saling memberi nasihat dalam kebaikan dan tidak memberi nasihat dalam perbuatan dosa.
d. Bab-IV (Peraturan-peraturan umum) :
i. Tidaklah berdosa bagi orang-orang mu’min yang melakukan perjanjian perdamaian dengan mereka.
ii. Hendaknya pertolongan ditujukan pada orang yang dizalimi.
iii. Orang-orang yang terikat dalam perjanjian ini dilarang untuk membunuh penduduk kota Yatsrib.
iv. Seorang tetangga bagaikan sebuah jiwa yang tidak pernah melakukan sesuatu yang membahayakan dan kesalahan terhadap dirinya sendiri.
v. Tidak dibolehkan menikahi seorang wanita, kecuali atas izin keluarganya.
vi. Apabila terjadi suatu permasalahan atau perselisihan yang dikuatirkan akan terjadi perpecahan antara orang-orang yang memegang perjanjian hendaknya hal tersebut dikembalikan pada ALLAH SWT dan nabi Muhammad SAW.
vii. Sesungguhnya ALLAH bersama orang yang paling mematuhi dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya isi perjanjian.
viii. Tidak dibolehkan memberikan perlindungan kepada orang-orang Quraisy dan para penolongnya.
ix. Mereka harus saling menolong atas segala musibah yang menimpa penduduk Yatsrib.
x. Apabila mereka diajak untuk berdamai dan melaksanakan segala usaha untuk menuju perdamaian, mereka harus berdamai dan mewujudkan perdamaian tersebut.
xi. Jika mereka dianjurkan untuk melakukan yang seperti itu, maka orang-orang mu’min juga memiliki beban yang sama.
xii. Kecuali terhadap orang yang memerangi agama mereka.
xiii. Tiap manusia memiliki bagiannya masing-masing dari apa yang ia kerjakan.
xiv. Bagi orang-orang Yahudi bani Aus, baik kolega ataupun diri mereka, memiliki persamaan mengenai isi perjanjian, dengan orang-orang yang memegang perjanjian ini. Dalam hal yang baik, bukan terhadap perbuatan jelek. Dan tidak akan mendapat hukuman kecuali yang melakukannya.
xv. Sesungguhnya ALLAH bersama orang-orang yang paling patuh dan paling baik dalam menjalankan isi perjanjian ini.
xvi. Isi perjanjian ini tidak berlaku atas orang yang melakukan kezaliman dan kesalahan.
xvii. Sesungguhnya ALLAH dan Rasul-NYA akan selalu menolong orang-orang yang baik dan bertakwa.

KOMPROMI POLITIK DENGAN KAUM MUSYRIKIN SETELAH PEMBENTUKAN NEGARA MADINAH

1. Kompromi Politik Nabi SAW dg qabilah2 Musyrikin di luar Madinah untuk melawan Quraisy, seperti dg bani Mudallij dan bani Dhamrah di sepanjang laut Merah pd jalur yg menuju ke Syam, ketika pemimpin musyrik bani Juhainah, Majdi bin Amru al-Juhanilah bertemu nabi SAW di Madinah, maka ia disambut oleh nabi SAW sehingga ia berkata : “Sungguh aku tdk tahu bahwa Maimun itu seorang pemimpin yg baik dlm urusan ini.”[4] Dan ditetapkanlah perdamaian antara keduanya dg kesepakatan Nabi SAW tdk memerangi bani Dhamrah dan bani Dhamrah tdk memerangi nabi SAW serta memprovokasi kelompok lain untuk memusuhi nabi SAW serta tdk memberi bantuan kepada musuh nabi SAW[5].

2. Bahwa pasca kompromi2 politik yg dilakukan oleh nabi SAW tsb (terutama pasca perang Badar dan perjanjian Hudhaibiyyah) maka nabi SAW pun seringkali dikhianati dan disabot isi perjanjiannya terutama oleh kaum Yahudi (persis yg dilakukan oleh kelompok sekular thd kemenangan2 partai Islam saat ini), tapi beliau SAW berusaha mengatasi semua bahaya dan bertahan agar tdk menghadapi 2 musuh sekaligus (Quraisy dan Yahudi), kecuali setelah kaum muslimin bisa mengalahkan musuh terbesarnya kafir Quraisy yaitu pasca perang Ahzab.

3. Bahwa ayat2 al-Qur’an yg turun berkenaan ttg larangan mengangkat pemimpin dari golongan non muslim turun berkenaan dg tema ini (jadi bukan sbgm dituduhkan oleh orang2 yg tdk mengerti asbab an nuzul, bhw ayat tsb melarang partai Islam berkompromi politik dg orang kafir di parlemen). Contohnya QS 5/51 yg berbunyi : “Hai org2 yg beriman, janganlah kamu mengambil org2 Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin2mu. Karena sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yg lain...” Sabab an nuzul ayat ini adalah turun berkenaan ttg sikap AbduLLAH bin Ubay bin Salul yg melarang nabi SAW memerangi Yahudi bani Qainuqa karena mereka telah membelanya selama ini[6]... Lalu bagaimana mungkin ayat ini ditafsirkan sbg ayat yg melarang semua jenis kompromi politik dg non muslim, sementara nabi SAW sendiri berkompromi dan meminta perlindungan kepada pamannya Abu Thalib, Muth’im bin Adi, dll yg semuanya adalah non muslim!!! Jadi jelaslah bagi kita bhw duduk perkaranya adalah bhw masalah ini tergantung pd fase pertumbuhan dan kekuatan dari harakah Islam itu sendiri.

4. Coba bandingkan dg ayat ke-52nya yg memuji sikap Ubadah bin Shamit ra yg juga memiliki perjanjian dg Yahudi tsb tapi memutuskannya setelah pengkhianatan mereka pd nabi SAW tsb sbb : “Dan barangsiapa mengambil ALLAH, Rasul-NYA dan orang2 beriman sbg penolong maka partai ALLAH itulah yg akan menang.” Jadi permasalahannya bhw konteks ayat itu adalah keharusan mentaati kebijakan pemimpin (yg saat itu dipegang oleh nabi SAW), serta ketaatan pd syura yg telah diputuskan oleh harakah Islam. Hal lain yg dpt ditambahkan sbg argumen adalah bhw ALLAH SWT tdk pernah membatalkan kompromi politik dg bani Nadhir dan bani Quraizhah, maka bagaimana mungkin ayat tsb melarang berkompromi politik dg non muslim, sementara perjanjian nabi SAW telah berjalan selama 4 th!!!

5. Latar-belakang peristiwa Fathu (penaklukan) Makkah. Pd saat terjadi perjanjian Hudhaibiyyah dulu, mk bani Bakr memilih bersekutu dg Quraisy, sementara bani Khuza’ah memilih bersekutu dg nabi SAW (keduanya adalah qabilah musyrik). 22 bulan setelah Hudhaibiyyah di bln Sya’ban bani Bakr menyerang dan membunuh 23 orang bani Khuza’ah di dekat mata air al-Watir dekat Makkah. Maka Amru bin Salim dr Khuza’ah bersama 40 org kaumnya datang dan melantunkan sya’ir ttg kepedihan kaumnya dan mengadukan pd nabi SAW. Maka nabi SAW berdiri sambil menyeret bajunya bersabda : “Aku tdk akan ditolong ALLAH SWT, jika aku tdk menolong bani Ka’ab sbgm aku menolong diriku sendiri!”[7] Dlm lafz Ibnu Ishaq disebutkan : “Aku tdk akan mendpt pertolongan jk tdk menolong bani Ka’ab spt aku menolong diriku sendiri. Sesungguhnya awan ini menjerit memintakan pertolongan untuk bani Ka’ab.”[8] Maka lihatlah bgm nabi SAW memegang perjanjian politiknya dg kabilah musyrikin dan bahkan menggerakkan pasukannya untuk memerangi Makkah karena membela kabilah musyrikin yg telah berkompromi politik dg kaum muslimin!

6. Turunnya surat Bara’ah (at-Taubah). Setahun setelah penaklukan Makkah dan kaum muslimin telah memiliki kekuatan yg besar, dan ketika semua kekuatan yg menentang Islam di wilayah jazirah Arab telah jatuh ke tangan kaum muslimin, maka barulah ALLAH SWT menurunkan QS at-Taubah yg memerintahkan memutuskan semua hubungan perjanjian pd kaum musyrikin : “Inilah pernyataan pemutusan hubungan ALLAH dan Rasul-NYA dari orang2 musyrik yg kalian (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian dgnya...” (QS 9/1), maka ketika ayat ini turun nabi SAW mengutus Ali ra untuk menyusul Abubakar ra yg sedang memimpin hajji dg kaum muslimin yg lain untuk membacakan dan mengumumkan ayat ini, maka Ali ra mengumumkan 4 hal : 1) Setelah tahun ini tdk boleh lagi orang musyrik mendekati Ka’bah, 2) Tdk boleh lagi thawaf dlm keadaan telanjang, 3) Tdk akan masuk syurga kecuali orang mu’min, 4) Brgsiapa yg masih ada perjanjian dg rasuluLLAH maka akan ditepati sampai akhir masanya. Point yg ke-4 ini ditegaskan pd ayat ke-4 dr QS 9 tsb, az-Zamakhsyari berkata dlm tafsirnya al-Kasysyaf bhw istitsna (pengecualian) dlm ayat tsb bermakna istidrak (penyusulan kalimat), sehingga makna ayatnya adalah : Brangsiapa yg menepati perjanjian dan tdk mengingkarinya maka sempurnakanlah perjanjian tsb dan jangan perlakukan mereka sbgm org yg tdk menepati perjanjiannya dan sebaliknya jangan jadikan org yg tdk menepati perjanjian seperti yg menepatinya. Imam Ibnul Qayyim[9] menyatakan bhw setelah turunnya ayat ini maka kaum kafir dibagi 3, yaitu muharibin (yg memerangi kaum muslimin), ahlul ‘ahdi (yg masih ada perjanjian dg kaum muslimin) dan ahlu dzimmah (kafir yg berada dlm perlindungan nabi SAW).

KESIMPULAN : TINJAUAN FIQH TTG KOMPROMI POLITIK YG DIBOLEHKAN DLM ISLAM

1. Hukum meminta bantuan pd org musyrik di luar urusan perang, adalah dibolehkan berdasarkan perilaku nabi SAW di atas, ada pula hadits Bukhari yg mempertegas sbb : Nabi SAW dan Abubakar menyewa seorang bani Dalil yg masih mengikuti agama Quraisy sbg penunjuk jalan ke Madinah.”

2. Hukum meminta bantuan kepada orang musyrik dlm peperangan saat kaum muslimin lemah baik jumlah maupun kemampuannya, maka ini dibolehkan berdasarkan perilaku nabi SAW di atas. Imam Ibnu Hazm dlm kitabnya[10] menyatakan : Jika kaum muslimin dlm keadaan darurat dan tdk bisa menang maka dibolehkan meminta bantuan pd kafir Harbi tsb, sepanjang ia yakin bhw kemenaangan tsb tdk membahayakan jiwa, harta dan kehormatan kaum muslimin, sbgm istitsna (pengecualian) ALLAH SWT thd kebolehan memakan bangkai saat kondisi terpaksa (...kecuali apa yg kamu terpaksa memakannya...). Dlm hal ini ada yg mendebat kami dg menyebutkan firman ALLAH SWT : ..Dan tdklah aku mengambil org2 yg menyesatkan itu sbg penolong.” (QS 18/51). Maka jawaban kami adalah, ayat ini tdk tepat untuk kasus ini karena kita sama sekali tdk menjadikan mereka sbg penolong melainkan mengadu mereka sebagian dg sebagian yg lain, karena mereka adalah sama jahatnya satu dg lainnya maka ayat yg benar adalah “..dan demikianlah KAMI jadikan sebagian org yg zhalim sbg teman bagi sebagian yg lain krn apa yg mereka perbuat.” (QS 6/129), juga dlm hadits yg diriwayatkan oleh AbduLLAH bin Rabi’ dari Muhammad bin Mu’awiyah dari Ahmad bin Syu’aib dari Imran bin Bakr bin Rasyid dari abu Yaman dari Syu’aib bin abi Hamzah dari az-Zuhri dari Sa’id bin Musayyib dari abu Hurairah berkata : “Rasul SAW bersabda : ALLAH SWT akan menegakkan agama ini dg bantuan orang yg fajir.” Maka Imam abu Muhammad berkata : Meminta bantuan pd ahlul harb (kafir harbi) dlm melawan kafir harbi yg lain dibolehkan, sebagaimana juga dibolehkan meminta bantuan pd muslim yg fajir untuk menghentikan kezaliman muslim yg zalim. (Selesai kutipan dr Ibnu Hazm)
Man yuridiLLAHa bihi khairan yufaqqihhu fid diin...


Diposkan oleh Rivan Al Hasani
Read more
Selasa, 26 Mei 2015