Oleh : Nabiel Fuad Al-Musawa
DEFINISI
1. Secara bahasa Arab (lughah) at-Tahaluf (kompromi) berasal dari kata al-Hilfu yang artinya perjanjian untuk saling menolong, ia berasal dari kata halafa-yahlifu-hilfan. Dalam bentuk kalimat dikatakan hilfuhu fulan fayakunu halifuhu (Fulan berjanji dg fulan maka ia menjadi sahabatnya)[1].
2. Secara syar’I maknanyapun sama, dalam hadits nabi SAW disebutkan dari Ashim ra : “Aku berkata kepada Anas bin Malik : Apakah telah sampai kepadamu bahwa nabi SAW bersabda : “Tdk ada hilfu dlm Islam.” Maka jawab Anas ra : “Bahkan nabi SAW telah mengambil sumpah suku Quraisy dan Anshar dirumahku.” (HR Bukhari bab Laka al Adab, hal 78 dan bab al-Ikha wa Halaf juz 8/26, cet Dar asy-Syatibi).
PERJANJIAN JAHILIYYAH DIMASA SEBELUM KENABIAN YG DIDUKUNG OLEH NABI SAW
1. Perjanjian Muthayyibin, yaitu perjanjian antara kabilah Bani Abdud Dar, Bani Jamah, Bani Salim, Bani Makhzum dan Bani Adi, yaitu untuk tidak saling berebut kekuasaan atas Ka’bah yaitu dengan memasukkan masing2 tangannya ke dalam mangkok berisi minyak wangi dan mengusapkannya ke Ka’bah sehingga dinamakan Muthayyibin (orang2 yg memakai minyak wangi). Tentang ini nabi SAW bersabda : “Aku menyaksikan berlangsungnya al-Muthayyibin, aku tidak ingin membatalkannya walaupun aku hanya diberikan kekuasaan atas binatang ternak.” (HR Ahmad dlm al-Musnad, juz-I hal 190 dan 193).
Dan ketika nabi SAW menaklukkan Makkah (fathul Makkah) dan sedang duduk di Masjidil Haram, Ali ra berkata : Wahai RasuluLLAH, kita telah menguasai kunci Ka’bah dan air zam-zam. Lalu nabi SAW berkata : Dimana Usman bin Thalhah? Ini kuncimu, ambil kunci ini selamanya dan tidak akan merebutnya kecuali orang yang aniaya. (Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-II, hal. 412)
2. Perjanjian Fudhul, yaitu perjanjian antara Bani Hasyim, bani Muthalib, bani Asad bin Abdul ‘Uzza, bani Zuhrah bin Kilab dan bani Taim bin Murrah untuk tidak membiarkan kezaliman di kota Makkah baik terhadap penduduk pribumi maupun terhadap pendatang (Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-I, hal 133-134). Tentang ini nabi SAW bersabda : “Aku telah menyaksikan perjanjian Fudhul di kediaman AbduLLAH bin Jad’an, perjanjian yang tidak akan aku batalkan walaupun aku hanya diberi kekuasaan atas binatang ternak. Dan sekiranya perjanjian itu dilaksanakan pada masa Islam, maka aku akan menyetujuinya.”[2]
KOMPROMI POLITIK PADA MASA AWAL KENABIAN YG DILAKUKAN NABI SAW DG KAUM MUSYRIKIN BAIK PERORANGAN MAUPUN KELOMPOK
1. Secara bahasa Arab (lughah) at-Tahaluf (kompromi) berasal dari kata al-Hilfu yang artinya perjanjian untuk saling menolong, ia berasal dari kata halafa-yahlifu-hilfan. Dalam bentuk kalimat dikatakan hilfuhu fulan fayakunu halifuhu (Fulan berjanji dg fulan maka ia menjadi sahabatnya)[1].
2. Secara syar’I maknanyapun sama, dalam hadits nabi SAW disebutkan dari Ashim ra : “Aku berkata kepada Anas bin Malik : Apakah telah sampai kepadamu bahwa nabi SAW bersabda : “Tdk ada hilfu dlm Islam.” Maka jawab Anas ra : “Bahkan nabi SAW telah mengambil sumpah suku Quraisy dan Anshar dirumahku.” (HR Bukhari bab Laka al Adab, hal 78 dan bab al-Ikha wa Halaf juz 8/26, cet Dar asy-Syatibi).
PERJANJIAN JAHILIYYAH DIMASA SEBELUM KENABIAN YG DIDUKUNG OLEH NABI SAW
1. Perjanjian Muthayyibin, yaitu perjanjian antara kabilah Bani Abdud Dar, Bani Jamah, Bani Salim, Bani Makhzum dan Bani Adi, yaitu untuk tidak saling berebut kekuasaan atas Ka’bah yaitu dengan memasukkan masing2 tangannya ke dalam mangkok berisi minyak wangi dan mengusapkannya ke Ka’bah sehingga dinamakan Muthayyibin (orang2 yg memakai minyak wangi). Tentang ini nabi SAW bersabda : “Aku menyaksikan berlangsungnya al-Muthayyibin, aku tidak ingin membatalkannya walaupun aku hanya diberikan kekuasaan atas binatang ternak.” (HR Ahmad dlm al-Musnad, juz-I hal 190 dan 193).
Dan ketika nabi SAW menaklukkan Makkah (fathul Makkah) dan sedang duduk di Masjidil Haram, Ali ra berkata : Wahai RasuluLLAH, kita telah menguasai kunci Ka’bah dan air zam-zam. Lalu nabi SAW berkata : Dimana Usman bin Thalhah? Ini kuncimu, ambil kunci ini selamanya dan tidak akan merebutnya kecuali orang yang aniaya. (Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-II, hal. 412)
2. Perjanjian Fudhul, yaitu perjanjian antara Bani Hasyim, bani Muthalib, bani Asad bin Abdul ‘Uzza, bani Zuhrah bin Kilab dan bani Taim bin Murrah untuk tidak membiarkan kezaliman di kota Makkah baik terhadap penduduk pribumi maupun terhadap pendatang (Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-I, hal 133-134). Tentang ini nabi SAW bersabda : “Aku telah menyaksikan perjanjian Fudhul di kediaman AbduLLAH bin Jad’an, perjanjian yang tidak akan aku batalkan walaupun aku hanya diberi kekuasaan atas binatang ternak. Dan sekiranya perjanjian itu dilaksanakan pada masa Islam, maka aku akan menyetujuinya.”[2]
KOMPROMI POLITIK PADA MASA AWAL KENABIAN YG DILAKUKAN NABI SAW DG KAUM MUSYRIKIN BAIK PERORANGAN MAUPUN KELOMPOK
Perlindungan Abu Thalib pd nabi SAW, ketika turun ayat
QS 26/214 maka nabi SAW memanggil bani Hasyim, bani Muthalib bin Abdi Manaf dan
berkata : “Segala puji bagi ALLAH, aku memuji dan dan memohon pertolongan
kepada-NYA, beriman dan bertawakkal kepada-NYA, aku bersaksi bhw tiada Ilah
selain ALLAH Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-NYA. Sesungguhnya pemandu
jalan tdk akan menyesatkan orang yg dipandu. Demi ALLAH yang tiada Ilah kecuali
DIA, DIA Maha Esa dan tiada sekutu bagi-NYA, bahwa aku adalah utusan ALLAH bagi
kalian secara khusus serta untuk semua manusia secara umum. Demi ALLAH bahwa
kalian akan meninggal dunia sebagaimana kalian tidur dan akan dihidupkan
kembali sebagaimana kalian bangun, lalu kalian akan diminta pertanggungjawaban
dari apa yg telah kalian lakukan. Sesungguhnya surga dan neraka adalah abadi.”
Maka Abu Thalib berkata : “Alangkah senangnya aku dapat menolongmu, menerima
segala nasihatmu, dan menjadi orang yang paling percaya akan tutur katamu,
mereka yang berkumpul ini adalah keturunan nenek moyangmu, dan aku adalah salah
satu dari mereka, hanya saja aku adalah orang yang paling dulu senang dengan
apa yang kau senangi, maka laksanakan apa yang telah diperintahkan Tuhan
kepadamu. Demi ALLAH aku akan selalu bersamamu dan menjagamu, akan tetapi aku
tidak mampu meninggalkan agama Abdul Muthalib. Maka Abu Lahab berkata : Demi
ALLAH ini adalah malapetaka! Cegah dia sebelum mempengaruhi yang lain! Maka
jawab abu Thalib : Demi ALLAH! Aku akan selalu menjaganya selama aku masih
hidup! (Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-I, hal 265).
Perlindungan Syi’ib Bani Hasyim, diriwayatkan oleh Musa bin
Uqbah dari Ibnu Syihab az-Zuhri : Orang-orang kafir berkumpul untuk
merencanakan pembunuhan pada nabi SAW, yang akan dilakukan secara
terang-terangan, ketika kabar itu didengar oleh abu Thalib, maka ia
mengumpulkan bani Hasyim dan bani Muthalib untuk melindungi nabi SAW, diantara
mereka ada yang melakukannya berdasarkan keyakinan pada kebenaran Islam dan
adapula yang ingin melindunginya karena hubungan kekeluargaan (ta’ashub
kesukuan) saja (Sirah Nabawiyyah, AbduLLAH bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.
93, Dar al-Arabiyyah).
Perlindungan Muth’im bin ‘Adi, ketika nabi SAW pulang dari
Tha’if untuk kembali ke Makkah maka beliau SAW mengutus seseorang dari suku
Khuza’ah untuk menemui Muth’im bin Adi dan berkata : Apakah engkau bersedia
menjadi pelindung Muhammad?, Muth’im menjawab : Ya. Lalu ia menyiapkan
pedangnya dan berkata pd kaumnya : Hunuskan senjata kalian dan berdirilah di
setiap pojok Ka’bah, sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad! Muth’im lalu
mengutus orang untuk mepersilakan Muhammad SAW masuk ke Makkah, maka nabi SAW
dan Zaid bin Haritsah ra pun memasuki Makkah. Sesampainya di Ka’bah maka
Muth’im bin Adi duduk di atas ontanya sambil berkata : Hai orang2 Quraisy!
Sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad, maka jangan ada yang berani mengganggunya!,
maka nabi SAW pun menyelesaikan thawaf, mencium hajar aswad, melakukan shalat 2
raka’at dan kembali ke rumahnya. Sedangkan Muth’im dan anak2nya terus menjaga
nabi SAW, sampai ia masuk ke rumahnya. (ar-Rahiq al-Makhtum, al-Mubarakfuri,
riwayat Zuhr dari Musa bin Uqbah; al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir juz-III,
hal. 150)
Tawaran nabi SAW terhadap qabilah2 Arab, Al-Maqrizi berkata
dalam kitab al-Imta’ al-Asma’ : Nabi SAW langsung menawarkan dan menyerukan
Islam sendiri kepada kabilah-kabilah pada setiap musim hajji, diantaranya
adalah pada bani Amir, Ghassan, Fazarah, Murrah, Hanifah, Sulaim, Abbas, Nashr,
Tsa’labah, Kindah, Kalb, Harits, Udzrah, Qais. Dari seruan itu difahami bahwa
keislaman seluruh kabilah tersebut bukanlah yang terpenting, namun kepercayaan
kabilah-kabilah tersebut untuk memberikan perlindungan kepada nabi SAW untuk
melaksanakan dakwahnya, sebagaimana perlindungan bani Hasyim sebelumnya pada
nabi SAW juga tidak seluruhnya muslim, bahkan abu Thalib sendiri sampai
wafatnya tidak masuk Islam. (Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam I/422-425)
KOMPROMI POLITIK PADA FASE PEMBENTUKAN NEGARA
Bai’at Aqabah Pertama, ketika nabi SAW melewati Mina beliau
bertemu dengan 6 orang pemuda Yatsrib dari suku Khazraj, mereka adalah As’ad
bin Zurarah, Auf bin Harits, Rafi bin Malik bin Ajlan, Quthbah bin Amir bin
Hadidah, Uqbah bin Amir bin Nabi dan Jabir bin AbduLLAH bin Riab. Maka nabi SAW
berkata pd mereka : “Maukah kalian mendengarkan apa yg akan kukatakan?” Mereka
menjawab : Silakan. Maka nabi SAW mengajak mereka untuk menyembah ALLAH SWT dan
membacakan pada mereka ayat-ayat suci al-Qur’an. Lalu nabi SAW bersabda :
“Sanggupkah kalian memberikan perlindungan kepadaku?” Mereka menjawab : Ya
RasuluLLAH, saat peperangan Bu’ats dulu kami saling berperang, jadi kalau
sekarang engkau tidak memiliki banyak pendukung. Biarlah kami kami kembali,
semoga kami dapat mengajak keluarga kami dan menyatukan kaum kami untukmu. Jika
mereka semua telah berkumpul, maka tidak seorangpun yang lebih mulia darimu.
Kami berjanji perayaan hajji yang akan datang. (Sirah Nabawiyyah, AbduLLAH bin
Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.125)
Bai’at Aqabah Kedua, dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dari Jabir bin AbduLLAH ra secara rinci disebutkan, Jabir ra berkata
: Wahai RasuluLLAH, dalam hal apa kami membai’at engkau? Maka jawab nabi SAW :
“Untuk mendengar dan taat, baik ketika kalian sedang semangat maupun ketika
malas; memberikan sedekah baik ketika lapang maupun sempit; berdakwah pd
kebenaran dan menentang kemungkaran; mentaati ALLAH SWT dan tdk mel;akukan hal
yg dimurkai-NYA; dan menolongku dan melindungiku jika aku datang ke tempat
kalian, sebagaimana perlindunganmu kepada dirimu, istri dan anak2mu.” Maka
jawab mereka : Ya RasuluLLAH, apa imbalan dari semua itu? Jawab nabi SAW : “Kalian
akan mendapatkan surga.” Setelah itu maka nabi SAW membai’at mereka dan memilih
12 orang naqib diantara mereka yaitu 9 dari Khazraj dan 3 dari Aus.
KOMPROMI POLITIK DENGAN KAUM YAHUDI DAN MUSYRIKIN SAAT PEMBENTUKAN NEGARA BARU
Saat nabi SAW memasuki Madinah maka beliau SAW menghadapi
masyarakat yang sangat heterogen dalam suku dan agama, ada Muhajirin, suku
Khazraj, suku Aus, Yahudi bani Quraizhah, Yahudi bani Qainuqa, para pimpinan
ekonomi seperti AbduLLAH bin Ubay bin Salul, dsb. Maka dibuatlah perjanjian sbb
:
Perjanjian persaudaraan diantara sesama muslim,
Perjanjian tolong-menolong kaum muslimin dengan kaum
musyrikin,
Perjanjian kerjasama antara kaum muslimin dg kelompok2 besar
qabilah Arab non muslim,
Peraturan2 yang berlaku umum.
2.Perjanjian yang terkenal tersebut kemudian disebut Piagam
Madinah yang merupakan teks perjanjian Hak Asasi Manusia antar agama, suku dan
golongan pertama di dunia yang tertulis dalam sejarah, yang isinya secara
lengkap adalah sbb[3] :
Bab-I (Diantara kaum mu’minin):
Dg nama ALLAH Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, inilah
piagam perjanjian yg ditulis oleh Muhammad, nabi bagi orang mu’min dan org
muslim dari Quraisy dan Yatsrib dan siapa saja yg mengikuti ajarannya dan
berjuang bersama dengan mereka :
Sesungguhnya mereka adalah 1 kelompok, memiliki ikatan
persatuan yang kuat.
Kaum Muhajirin dari suku Quraisy berkewajiban membayar
diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan
kaum muslimin.
Bani Haritsah berkewajiban membayar diat (denda),
memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
Bani Jasyim berkewajiban membayar diat (denda),
memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
Bani Najjar berkewajiban membayar diat (denda),
memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
Bani Amr bin Auf berkewajiban membayar diat (denda),
memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
Bani Nubait berkewajiban membayar diat (denda),
memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
Bani Aus berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan
tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
ix. Kaum mu’minin tidak membiarkan kesenangan hanya pada
segelintir orang diantara mereka, tapi membagikannya pada semua orang, dengan
membagikan hasil dari barang tebusan dan denda secara adil diantara mereka.
x. Seorang mu’min tidak memberikan kekuasaan diantara mereka
kepada di luar golongan mereka.
xi. Sikap mu’min terhadap orang yang membangkang dan
mengajak berperang adalah suatu perbuatan zalim, berdosa mengajak permusuhan
dan merusak hubungan antar kaum mu’min.
xii. Mereka saling tolong-menolong, walau berbeda keturunan.
xiii. Seorang mu’min tidak boleh membunuh sesama mu’min
karena membela orang kafir.
xiv. Tidak memberikan kemenangan atas orang kafir dengan
mengesampingkan orang muslim.
xv. Sesungguhnya perlindungan ALLAH selalu berada di pihak orang
mu’min yang lemah.
xvi. Sesungguhnya orang mu’min itu pelindung bagi
orang-oranh mu’min lainnya, terhadap bahaya yang ditimbulkan dari golongan di
luar Islam.
xvii. Org2 Yahudi yang mematuhi aturan-aturan agama kita,
akan mendapatkan pertolongan dan persamaan dalam hukum seperti orang muslim
lainnya, mereka tidak teraniaya dan tidak menganiaya.
xviii. Apabila terjadi perdamaian sesama mu’min, tidak sama
dengan perdamaian orang mu’min dengan orang kafir di medan perang, kecuali
didasari dengan persamaan dan keadilan.
xix. Bahwa setiap prajurit kita yang turut berperang bersama
kita, masing-masing saling melindungi.
xx. Sesungguhnya orang mu’min itu bekerjasama, untuk saling
melindungi jiwa mereka dalam peperangan (sabiliLLAH).
xxi. Sesungguhnya orang mu’min yang bertakwa adalah orang
yang mendapatkan sebaik-baik dan selurus-lurusnya petunjuk.
xxii. Bahwa orang musyrik (madinah) tidak dibolehkan
menyewakan pada orang Quraisy (Makkah), baik jiwa ataupun harta, apalagi jika
dipergunakan menyerang kaum muslimin.
xxiii. Barangsiapa membunuh seorang mu’min dan terdapat
padanya suatu bukti pembunuhan, maka dia akan mendapatkan hukuman qishahs,
kecuali wali dari orang-orang yang terbunuh tersebut memaafkannya.
xxiv. Bahwa orang-orang mu’min memiliki hukum yang sama,
sehingga tidak dibolehkan atas mereka kecuali melaksanakan hukum tsb.
xxv. Orang mu’min yang menyetujui seluruh isi perjanjian ini
dan beriman pada ALLAH dan hari akhir, tidak dibolehkan bagi mereka untuk
menolong dan melindungi orang-orang pembuat bid’ah.
xxvi. Barangsiapa yang menolong dan melindunginya maka bagi
mereka laknat dan kemurkaan ALLAH pada hari akhir. Dan mereka tidak akan
mendapat jaminan dan keadilan.
xxvii. Sesungguhnya segala apa yang kamu perselisihkan
hendaklah dikembalikan pada ALLAH dan rasul-NYA, Muhammad SAW.
b. Bab-II (dengan orang Yahudi) :
i. Orang Yahudi bani Auf hidup berdampingan dengan kaum
mu’min. Bagi orang Yahudi diperbolehkan menganut agama mereka, dan bagi orang
mu’min diperbolehkan menganut agama mereka, begitu pula terhadap harta dan jiwa
masing-masing.
ii. Apabila ada salah satu dari mereka (Yahudi) melakukan
kezaliman dan kesalahan, mereka tidak dapat dihukum semuanya, kecuali mereka
yang melakukan perbuatan tersebut atau keluarganya.
iii. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Nadir mempunyai
kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
iv. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Haritsah mempunyai
kesamaan dengan org Yahudi bani Auf.
v. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Saidah mempunyai
kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
vi. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Jasyim mempunyai
kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
vii. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Aus mempunyai
kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
viii. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Tsa’labah
mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf, kecuali bagi yang berbuat
kezaliman dan kesalahan. Dan mereka semua tidak dihukum kecuali hanya yang
berbuat kesalahan tersebut.
ix. Sesungguhnya keselamatan jiwa orang bani Tsa’labah
seperti orang-orang bani Auf.
x. Sesungguhnya orang-orang bani Syathbiyyah seperti
orang-orang bani Auf.
xi. Memberi pertolongan pada perbuatan baik dan bukan pada
perbuatan buruk.
xii. Bahwa orang yang terikat perjanjian dengan bani
Tsa’labah diperlakukan sam dengan kaum mu’minin.
xiii. Bahwa keselamatan jiwa orang-oranh Yahudi sama dengan
keselamatan jiwa kaum mu’minin.
xiv. Tidak dibolehkan seorangpun dari orang Yahudi keluar
dari Madinah kecuali atas izin Rasul SAW.
xv. Tidak dibolehkan seorangpun pergi ke Makkah untuk balas
dendam.
xvi. Barangsiapa yang melakukan pembunuhan maka hanya
dirinya dan keluarganyalah yang mendpt hukuman dari perbuatannya, kecuali jika
ia orang yang dizalimi.
xvii. ALLAH melindungi isi perjanjian ini (ALLAH senantiasa
memberikan keridhaan atas segala isi perjanjian).
xviii. Orang Yahudi bekerjasama dengan kaum muslimin dalam
mengumpulkan biaya perang, selama terjadi peperangan.
c. Bab-III (antar sesama Yahudi) :
i. Orang Yahudi memberi nafkah terhadap orang Yahudi, begitu
pula orang mu’min memberikan nafkah pada orang mu’min.
ii. Mereka saling tolong-menolong dalam menghadapi
orang-orang yang memerangi isi perjanjian ini.
iii. Mereka saling memberi nasihat dalam kebaikan dan tidak
memberi nasihat dalam perbuatan dosa.
d. Bab-IV (Peraturan-peraturan umum) :
i. Tidaklah berdosa bagi orang-orang mu’min yang melakukan
perjanjian perdamaian dengan mereka.
ii. Hendaknya pertolongan ditujukan pada orang yang
dizalimi.
iii. Orang-orang yang terikat dalam perjanjian ini dilarang
untuk membunuh penduduk kota Yatsrib.
iv. Seorang tetangga bagaikan sebuah jiwa yang tidak pernah
melakukan sesuatu yang membahayakan dan kesalahan terhadap dirinya sendiri.
v. Tidak dibolehkan menikahi seorang wanita, kecuali atas
izin keluarganya.
vi. Apabila terjadi suatu permasalahan atau perselisihan
yang dikuatirkan akan terjadi perpecahan antara orang-orang yang memegang
perjanjian hendaknya hal tersebut dikembalikan pada ALLAH SWT dan nabi Muhammad
SAW.
vii. Sesungguhnya ALLAH bersama orang yang paling mematuhi
dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya isi perjanjian.
viii. Tidak dibolehkan memberikan perlindungan kepada
orang-orang Quraisy dan para penolongnya.
ix. Mereka harus saling menolong atas segala musibah yang
menimpa penduduk Yatsrib.
x. Apabila mereka diajak untuk berdamai dan melaksanakan
segala usaha untuk menuju perdamaian, mereka harus berdamai dan mewujudkan
perdamaian tersebut.
xi. Jika mereka dianjurkan untuk melakukan yang seperti itu,
maka orang-orang mu’min juga memiliki beban yang sama.
xii. Kecuali terhadap orang yang memerangi agama mereka.
xiii. Tiap manusia memiliki bagiannya masing-masing dari apa
yang ia kerjakan.
xiv. Bagi orang-orang Yahudi bani Aus, baik kolega ataupun
diri mereka, memiliki persamaan mengenai isi perjanjian, dengan orang-orang
yang memegang perjanjian ini. Dalam hal yang baik, bukan terhadap perbuatan
jelek. Dan tidak akan mendapat hukuman kecuali yang melakukannya.
xv. Sesungguhnya ALLAH bersama orang-orang yang paling patuh
dan paling baik dalam menjalankan isi perjanjian ini.
xvi. Isi perjanjian ini tidak berlaku atas orang yang
melakukan kezaliman dan kesalahan.
xvii. Sesungguhnya ALLAH dan Rasul-NYA akan selalu menolong
orang-orang yang baik dan bertakwa.
KOMPROMI POLITIK DENGAN KAUM MUSYRIKIN SETELAH PEMBENTUKAN
NEGARA MADINAH
1. Kompromi Politik Nabi SAW dg qabilah2 Musyrikin di luar
Madinah untuk melawan Quraisy, seperti dg bani Mudallij dan bani Dhamrah di
sepanjang laut Merah pd jalur yg menuju ke Syam, ketika pemimpin musyrik bani
Juhainah, Majdi bin Amru al-Juhanilah bertemu nabi SAW di Madinah, maka ia
disambut oleh nabi SAW sehingga ia berkata : “Sungguh aku tdk tahu bahwa Maimun
itu seorang pemimpin yg baik dlm urusan ini.”[4] Dan ditetapkanlah perdamaian
antara keduanya dg kesepakatan Nabi SAW tdk memerangi bani Dhamrah dan bani
Dhamrah tdk memerangi nabi SAW serta memprovokasi kelompok lain untuk memusuhi
nabi SAW serta tdk memberi bantuan kepada musuh nabi SAW[5].
2. Bahwa pasca kompromi2 politik yg dilakukan oleh nabi SAW
tsb (terutama pasca perang Badar dan perjanjian Hudhaibiyyah) maka nabi SAW pun
seringkali dikhianati dan disabot isi perjanjiannya terutama oleh kaum Yahudi
(persis yg dilakukan oleh kelompok sekular thd kemenangan2 partai Islam saat
ini), tapi beliau SAW berusaha mengatasi semua bahaya dan bertahan agar tdk
menghadapi 2 musuh sekaligus (Quraisy dan Yahudi), kecuali setelah kaum
muslimin bisa mengalahkan musuh terbesarnya kafir Quraisy yaitu pasca perang
Ahzab.
3. Bahwa ayat2 al-Qur’an yg turun berkenaan ttg larangan
mengangkat pemimpin dari golongan non muslim turun berkenaan dg tema ini (jadi
bukan sbgm dituduhkan oleh orang2 yg tdk mengerti asbab an nuzul, bhw ayat tsb
melarang partai Islam berkompromi politik dg orang kafir di parlemen).
Contohnya QS 5/51 yg berbunyi : “Hai org2 yg beriman, janganlah kamu mengambil
org2 Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin2mu. Karena sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian yg lain...” Sabab an nuzul ayat ini adalah turun
berkenaan ttg sikap AbduLLAH bin Ubay bin Salul yg melarang nabi SAW memerangi
Yahudi bani Qainuqa karena mereka telah membelanya selama ini[6]... Lalu
bagaimana mungkin ayat ini ditafsirkan sbg ayat yg melarang semua jenis
kompromi politik dg non muslim, sementara nabi SAW sendiri berkompromi dan
meminta perlindungan kepada pamannya Abu Thalib, Muth’im bin Adi, dll yg
semuanya adalah non muslim!!! Jadi jelaslah bagi kita bhw duduk perkaranya
adalah bhw masalah ini tergantung pd fase pertumbuhan dan kekuatan dari harakah
Islam itu sendiri.
4. Coba bandingkan dg ayat ke-52nya yg memuji sikap Ubadah
bin Shamit ra yg juga memiliki perjanjian dg Yahudi tsb tapi memutuskannya
setelah pengkhianatan mereka pd nabi SAW tsb sbb : “Dan barangsiapa mengambil
ALLAH, Rasul-NYA dan orang2 beriman sbg penolong maka partai ALLAH itulah yg
akan menang.” Jadi permasalahannya bhw konteks ayat itu adalah keharusan
mentaati kebijakan pemimpin (yg saat itu dipegang oleh nabi SAW), serta
ketaatan pd syura yg telah diputuskan oleh harakah Islam. Hal lain yg dpt
ditambahkan sbg argumen adalah bhw ALLAH SWT tdk pernah membatalkan kompromi
politik dg bani Nadhir dan bani Quraizhah, maka bagaimana mungkin ayat tsb
melarang berkompromi politik dg non muslim, sementara perjanjian nabi SAW telah
berjalan selama 4 th!!!
5. Latar-belakang peristiwa Fathu (penaklukan) Makkah. Pd
saat terjadi perjanjian Hudhaibiyyah dulu, mk bani Bakr memilih bersekutu dg
Quraisy, sementara bani Khuza’ah memilih bersekutu dg nabi SAW (keduanya adalah
qabilah musyrik). 22 bulan setelah Hudhaibiyyah di bln Sya’ban bani Bakr
menyerang dan membunuh 23 orang bani Khuza’ah di dekat mata air al-Watir dekat
Makkah. Maka Amru bin Salim dr Khuza’ah bersama 40 org kaumnya datang dan
melantunkan sya’ir ttg kepedihan kaumnya dan mengadukan pd nabi SAW. Maka nabi
SAW berdiri sambil menyeret bajunya bersabda : “Aku tdk akan ditolong ALLAH
SWT, jika aku tdk menolong bani Ka’ab sbgm aku menolong diriku sendiri!”[7] Dlm
lafz Ibnu Ishaq disebutkan : “Aku tdk akan mendpt pertolongan jk tdk menolong
bani Ka’ab spt aku menolong diriku sendiri. Sesungguhnya awan ini menjerit
memintakan pertolongan untuk bani Ka’ab.”[8] Maka lihatlah bgm nabi SAW
memegang perjanjian politiknya dg kabilah musyrikin dan bahkan menggerakkan
pasukannya untuk memerangi Makkah karena membela kabilah musyrikin yg telah
berkompromi politik dg kaum muslimin!
6. Turunnya surat Bara’ah (at-Taubah). Setahun setelah
penaklukan Makkah dan kaum muslimin telah memiliki kekuatan yg besar, dan
ketika semua kekuatan yg menentang Islam di wilayah jazirah Arab telah jatuh ke
tangan kaum muslimin, maka barulah ALLAH SWT menurunkan QS at-Taubah yg
memerintahkan memutuskan semua hubungan perjanjian pd kaum musyrikin : “Inilah
pernyataan pemutusan hubungan ALLAH dan Rasul-NYA dari orang2 musyrik yg kalian
(kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian dgnya...” (QS 9/1), maka ketika
ayat ini turun nabi SAW mengutus Ali ra untuk menyusul Abubakar ra yg sedang
memimpin hajji dg kaum muslimin yg lain untuk membacakan dan mengumumkan ayat
ini, maka Ali ra mengumumkan 4 hal : 1) Setelah tahun ini tdk boleh lagi orang
musyrik mendekati Ka’bah, 2) Tdk boleh lagi thawaf dlm keadaan telanjang, 3)
Tdk akan masuk syurga kecuali orang mu’min, 4) Brgsiapa yg masih ada perjanjian
dg rasuluLLAH maka akan ditepati sampai akhir masanya. Point yg ke-4 ini
ditegaskan pd ayat ke-4 dr QS 9 tsb, az-Zamakhsyari berkata dlm tafsirnya
al-Kasysyaf bhw istitsna (pengecualian) dlm ayat tsb bermakna istidrak
(penyusulan kalimat), sehingga makna ayatnya adalah : Brangsiapa yg menepati
perjanjian dan tdk mengingkarinya maka sempurnakanlah perjanjian tsb dan jangan
perlakukan mereka sbgm org yg tdk menepati perjanjiannya dan sebaliknya jangan
jadikan org yg tdk menepati perjanjian seperti yg menepatinya. Imam Ibnul
Qayyim[9] menyatakan bhw setelah turunnya ayat ini maka kaum kafir dibagi 3,
yaitu muharibin (yg memerangi kaum muslimin), ahlul ‘ahdi (yg masih ada
perjanjian dg kaum muslimin) dan ahlu dzimmah (kafir yg berada dlm perlindungan
nabi SAW).
KESIMPULAN : TINJAUAN FIQH TTG KOMPROMI POLITIK YG
DIBOLEHKAN DLM ISLAM
1. Hukum meminta bantuan pd org musyrik di luar urusan
perang, adalah dibolehkan berdasarkan perilaku nabi SAW di atas, ada pula
hadits Bukhari yg mempertegas sbb : Nabi SAW dan Abubakar menyewa seorang bani
Dalil yg masih mengikuti agama Quraisy sbg penunjuk jalan ke Madinah.”
2. Hukum meminta bantuan kepada orang musyrik dlm peperangan
saat kaum muslimin lemah baik jumlah maupun kemampuannya, maka ini dibolehkan
berdasarkan perilaku nabi SAW di atas. Imam Ibnu Hazm dlm kitabnya[10]
menyatakan : Jika kaum muslimin dlm keadaan darurat dan tdk bisa menang maka
dibolehkan meminta bantuan pd kafir Harbi tsb, sepanjang ia yakin bhw
kemenaangan tsb tdk membahayakan jiwa, harta dan kehormatan kaum muslimin, sbgm
istitsna (pengecualian) ALLAH SWT thd kebolehan memakan bangkai saat kondisi
terpaksa (...kecuali apa yg kamu terpaksa memakannya...). Dlm hal ini ada yg
mendebat kami dg menyebutkan firman ALLAH SWT : ..Dan tdklah aku mengambil org2
yg menyesatkan itu sbg penolong.” (QS 18/51). Maka jawaban kami adalah, ayat
ini tdk tepat untuk kasus ini karena kita sama sekali tdk menjadikan mereka sbg
penolong melainkan mengadu mereka sebagian dg sebagian yg lain, karena mereka
adalah sama jahatnya satu dg lainnya maka ayat yg benar adalah “..dan
demikianlah KAMI jadikan sebagian org yg zhalim sbg teman bagi sebagian yg lain
krn apa yg mereka perbuat.” (QS 6/129), juga dlm hadits yg diriwayatkan oleh
AbduLLAH bin Rabi’ dari Muhammad bin Mu’awiyah dari Ahmad bin Syu’aib dari
Imran bin Bakr bin Rasyid dari abu Yaman dari Syu’aib bin abi Hamzah dari
az-Zuhri dari Sa’id bin Musayyib dari abu Hurairah berkata : “Rasul SAW
bersabda : ALLAH SWT akan menegakkan agama ini dg bantuan orang yg fajir.” Maka
Imam abu Muhammad berkata : Meminta bantuan pd ahlul harb (kafir harbi) dlm
melawan kafir harbi yg lain dibolehkan, sebagaimana juga dibolehkan meminta
bantuan pd muslim yg fajir untuk menghentikan kezaliman muslim yg zalim.
(Selesai kutipan dr Ibnu Hazm)
Man yuridiLLAHa bihi khairan yufaqqihhu fid diin...
Diposkan oleh Rivan
Al Hasani
0 komentar