Open top menu
Selasa, 25 Maret 2014
no image



BAB  I
PENDAHULUAN


Pada dasarnya manusia hidup didunia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan, ketenangan, ketentraman hati, dan terpenuhinya kebutuhan rohani dan jasmaninya. Maka manusia akan selalu memikirkan untuk mendapatkan itu semua, sebuah pencarian kesempurnaan hidup dan kehidupan. Sebenarnya, setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali ia sendiri tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak mampu diketahuinya, lambat-laun mulai terbuka di hadapannya. Semakin dalam ia berpikir, semakin bertambahlah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Seseorang yang tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani sebuah kehidupan yang penuh kepalsuan dan kesesatan.
Akibatnya ia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan alam, dan arti keberadaan dirinya di dunia. Padahal, Allah telah menciptakan segala sesuatu untuk sebuah tujuan sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya." Banyak yang beranggapan bahwa untuk "berpikir secara mendalam", seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap "berpikir secara mendalam" sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan "filosof". Padahal, sebagaimana telah disebutkan di atas, Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" Yang ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir.













BAB  II
LANDASAN  TEORI

A.      Hakekat Manusia
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah.

Membicarakan tentang manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat bergantung metodologi yang digunakan dan terhadap filosofis yang mendasari. Para penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo volens (makhluk berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku interaksi antara komponen biologis (id), psikologis (ego), dan sosial (superego). Di dalam diri manusia tedapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai).

Para penganut teori behaviorisme menyebut manusia sebagai homo mehanibcus (manusia mesin). Behavior lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (aliran yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan subjektif dan psikoanalisis (aliran yang berbicara tentang alam bawa sadar yang tidak nampak). Behavior yang menganalisis prilaku yang Nampak saja. Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek.

Para penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berpikir). Menurut aliran ini manusia tidak di pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya, makhluk yang selalu berfikir. Penganut teori kognitif mengecam pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa. Padahal berpikir , memutuskan, menyatakan, memahami, dan sebagainya adalah fakta kehidupan manusia.

Dalam Al-Quran istilah manusia ditemukan 3 kosa kata yang berbeda dengan makna manusia, akan tetapi memilki substansi yang berbeda yaitu kata basyar, insan dan al-nas. Kata basyar dalam al-quran disebutkan 37 kali salah satunya al-kahfi : “innama anaa basyarun mitlukum...” (sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu). Kata basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis, seperti asalnya dari tanah liat, atau lempung kering (al-hijr : 33 ; al-ruum : 20), manusia makan dan minum (al-mu’minuum : 33).

Kata insan disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 65 kali, diantaranya (al-alaq : 5), yaitu “allamal insaana maa lam ya’..”. (dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya). Konsep islam selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dfan memikul amanah (al-ahzar : 72). Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.

Kata al-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti al-zumar : 27 “walakad dlarabna linnaasi fii haadzal quraani min kulli matsal” (sesungguhnya telah kami buatkan bagi manusia dalam Al-Quran ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau secara kolektif.

Dengan demikian Al-Quran memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Manusia sebagai basyar, diartikan sebagai makhluk sosial yang tidak biasa hidup tanpa bantuan orang lain dan atau makhluk lain.
Manusia bukan saja makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri, tetapi juga menghadapi masalah lain, seperti halnya menghadapi kesulitan. Ia mengolah diri sendiri serta dapat mengangkat, merendahkan, atau menjatuhkan diri sendiri. Ia berjarak dan namun juga bersatu terhadap diri sendiri. Manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Ia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak. Manusia selaluterlibat dalam sebuah situasi. Situasi tersebut berubah dan mengubah manusia. Berdasarkan dinamika tersebut, manusia mampu mengukir sejarah. ( Sarwoko Soemowinoto. 2008. Hal:62 ).
Di dalam dunia kehidupan terkhusus dalam pendidikan, konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam kerangka berpikir dari seorang pemikir. Sebab ia termasuk bagian dari pandangan hidup. Karena itu, meskipun manusia tetap diakui sebagai misteri yang tidak pernah dapat dimengerti secara tuntas, keinginan untuk mengetahui hakikatnya ternyata tidak pernah berhenti. Menurut R.G. Collingwood konsep manusia penting bukan demi pengetahuan akan manusia itu saja, tetapi yang lebih penting adalah karena ia merupakan syarat bagi pembenaran kritis dan landasan yang aman bagi pengetahuan-pengetahuan manusia. Di dalam sejarah pemikiran islam, pandangan yang mendasar tentang manusia ditemukan pada filsafat dan tasawuf. Namun, menurut Muhammad Yasir Nasution pengaruh Fuqaha dan Mutakallimin yang kuat di dunia Islam menyebabkan pandangan mereka yang negatif terhadap filsafat berkembang, sehingga orang takut berfilsafat. Sehingga serangan yang lebih keras dan sistematis terhadap filsafat adalah yang dilakukan oleh Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M).
Konsep pemikiran Al-Ghazali tentang manusia sangat komprehensif. Ia menyatakan pengenalan hakikat diri adalah dasar untuk mengenal Tuhan. Al-Ghazali merupakan salah satu ulama yang juga pemikir besar muslim yang karya-karyanya banyak menyinggung masalah manusia. Beliau merupakan orang yang ulet dalam mencari dan menggeluti segala pengetahuan yang hendak di ketahuinya untuk mencapai keyakinan dan hakikat dari suatu kebenaran.
Hakikat berasal dari kata Arab Al-haqiqat, yang berarti kebenaran dan esensi. Dalam pengertian ini, Muhammad Yasir Nasution mengungkapkan bahwa hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang lainnya. Lebih lanjut, yang mendasari jalan berpikir merumuskan hakikat manusia adalah prinsip yang umum dianut oleh para filosof, yaitu mabda’ al-dzatiyyat (prinsip identitas) yang lebih populer dengan sebutan prinsip pertama. Prinsip ini berbunyi : “sesuatu yang ada hanya identik dengan dirinya sendiri”. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang ada mempunyai identitas yang menandai esensinya dan menunjukkan kebedaannya dari yang lain.
Menurut kajian ilmu, manusia sebagai individu terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan lain-lain (materi) yang membentuk jasad. Ilmu mengakui bahwa dalam diri manusia ada jiwa, bahkan penganut teori evolusi pun mengakuinya. Namun, apakah jiwa itu substansi yang berdiri sendiri, ataukah ia hanya merupakan fungsi atau aktivitas jasad dengan organ-organnya.
Lebih lanjut, Al-Ghazali menggambarkan manusia terdiri dari Al-Nafs, Al-ruh dan Al-jism. Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat. Al-ruh adalah panas alam di (al-hararat al-ghariziyyat) yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf. Sedangkan al-jism adalah yang tersusun dari unsur-unsur materi. Al-jism (tubuh) adalah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak mempunyai daya sama sekali. Ia hanya mempunyai mabda’ thabi’i (prinsip alami), yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Tegasnya, al-jism tanpa al-ruh dan al-nafs adalah benda mati.
Selain itu, Al-Ghazali juga menyebutkan manusia terdiri dari substansi yang mempunyai dimensi dan substansi (tidak berdimensi) yang mempuyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Yang pertama adalah al-jism dan yang kedua al-nafs. Di sini, ia tidak membicarakan al-ruh dalam arti sejenis uap yang halus atau panas alami, tetapi ia menggambarkan adanya dua tingkatan al-nafs dibawah al-nafs dalam arti esensi manusia, yaitu al-nafs al-nabatiyyat (jiwa vegetatif) dan al-nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif). Kedua jiwa ini disebut di bawah jiwa manusia, karena dipunyai secara bersama oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya, tumbuh-tumbuhan untuk yang pertama dan hewan serta tumbuh-tumbuhan untuk yang kedua.
Menurut Al-Ghazali, Jiwa (al-nafs al-nathiqah) sebagai esensi manusia mempunyai hubungan erat dengan badan. Hubungan tersebut diibaratkan seperti hubungan antara penunggang kuda dengan kudanya. Hubungan ini merupakan aktifitas, dalam arti bahwa yang memegang inisiatif adalah penunggang kuda bukan kudanya. Kuda merupakan alat untuk mencapai tujuan. Ini berarti bahwa badan merupakan alat bagi jiwa. Jadi, badan tidak mempunyai tujuan pada dirinya, dan tujuan itu akan ada apabila dihubungkan dengan jiwa, yaitu sebagai alat untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya.
Disamping itu, berdasarkan proses penciptaannya, manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen materi dan immateri. Komponen materi berasal dari tanah (Q.S. As Sajadah/32:7) dan komponen immateri ditiupkan oleh Allah (Q.S. Al Hijr/15:29). Kesatuan ini memberi makna bahwa di satu sisi manusia sama dengan dunia di luar dirinya (fana), dan disisi lain menandakan bahwa manusia itu mampu mengatasi dunia sekitarnya, termasuk dirinya sebagai jasmani (baqa).
Demikianlah pandangan Al-Ghazali tentang hakikat manusia mengenai hubungan badan dengan jiwa. Dimana, badan hanya sebatas alat sedangkan jiwa yang merupakan memegang inisiatif yang mempunyai kemampuan dan tujuan. Badan tanpa jiwa tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Badan tidak mempunyai tujuan, tetapi jiwa yang mempunyai tujuan. Badan menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, jiwalah nanti yang akan menikmati dan merasakan  bahagia atau sengsaranya di akhirat kelak.
Seorang muslim sudah seharusnya memahami hakikat hidupnya di dunia: Dari mana ia berasal, untuk apa hidup dan bagaimana dia harus menjalani hidupnya, serta kemana setelah mati? Sudah sewajarnya bila setiap muslim memahami hal ini. Pemahaman akan hakikat hidup sangatlah penting, oleh karena ia akan menentukan corak atau gaya hidup seseorang. Saking pentingnya persoalan ini, sampai mungkin bisa dikatakan, janganlah kita hidup sebelum memahami apa sebenarnya hakikat hidup kita itu.

Tapi tidak sedikit muslim yang tidak memahami, bahkan kehilangan makna hidupnya yang hakiki ini. Ada yang terhanyut oleh pola hidup sekuler, ada pula yang acuh tak acuh menjalani hidupnya. Padahal, memahami hakikat hidup bukan hal yang sukar bagi seorang muslim. Allah SWT telah memberikan bekal dan potensi pada diri manusia, berupa daya pikir (akal) dan fitrah yang melekat pada manusia sejak dia diciptakan oleh Allah SWT. Allah SWT telah memberikan panca-indera, sebagai salah satu unsur penting untuk proses berpikir.

Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kalian bersyukur.” (QS An Nahl : 78). Semua bekal ini semestinya bisa digunakan dengan sebaik-baiknya, agar pada gilirannya ia dapat memahami hakikat hidupnya di dunia.

Kegagalan manusia dalam memahami hakikat hidupnya, tiada lain karena kelalaian dan keengganannya menggunakan bekal-bekal tersebut, sehingga arah dan orientasi hidupnya menjadi tidak jelas atau menyimpang dari jalan yang semestinya. Akhirnya, hawa nafsu atau setanlah yang dijadikan “tuhan”, yakni menjadi sumber penentu sikap dan tujuan hidupnya. Orang sesat seperti ini dicap oleh Allah SWT bagaikan binatang ternak, bahkan lebih rendah lagi daripada itu.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam banyak dari jin dan manusia. Mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) , dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al A’raaf : 179)

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS Al Furqaan : 43-44).

Jelaslah, memahami hakikat hidup merupakan suatu hal yang sangat fundamental. Kegagalan memahami hakikat hidup, akan membuat seseorang menjalani hidup bagaikan layang-layang putus yang bergerak mengikuti kemana angin berhembus, atau bagaikan kapal berlayar tanpa nakhoda yang bisa saja menumbuk karang, atau dihempaskan ombak ke mana saja tanpa tujuan. Artinya, seorang muslim mudah sekalil tersesat, atau bahkan tak mustahil menjadi murtad tanpa dia sadari, sehingga amalnya di dunia menjadi sia-sia bagaikan fatamorgana atau debu beterbangan. “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS Al Furqaan : 24)


B.      Kehadiran Manusia

Allah Swt, merencanakan penciptaan manusia, ketika Allah mulai membuat “cerita” tentang asal-usul manusia, Malaikat Jibril seolah khawatir karena takut manusia akan berbuat kerusakan di muka bumi. Di dalam Al-Quran, kejadian itu diabadikan.

"...Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud" (QS. Al Hijr: 28-29)

Firman inilah yang membuat malaikat bersujud kepada manusia, sementara iblis tetap dalam kesombongannya dengan tidak melaksanakan firman Allah. Inilah dosa yang pertama kali dilakukan oleh makhluk Allah yaitu kesombongan. Karena kesombongan tersebut Iblis menjadi makhluk paling celaka dan sudah dipastikan masuk neraka. Kemudian Allah menciptakan Hawa sebagi teman hidup Adam. Allah berpesan pada Adam dan Hawa untuk tidak mendekati salah satu buah di surga, namun Iblis menggoda mereka sehingga terjebaklah Adam dan Hawa dalam kondisi yang menakutkan. Allah menghukum Adam dan Hawa sehingga diturunkan kebumi dan pada akhirnya Adam dan Hawa bertaubat. Taubat mereka diterima oleh Allah, namun Adam dan Hawa menetap dibumi. Baca Surat Al-Baqarah Ayat 33-39.

Adam adalah ciptaan Allah yang memiliki akal sehingga memiliki kecerdasan, bisa menerima ilmu pengetahuan dan bisa mengatur kehidupan sendiri. Inilah keunikan manusia yang Allah ciptakan untuk menjadi penguasa didunia, untuk menghuni dan memelihara bumi yang Allah ciptakan. Dari Adam inilah cikal bakal manusia diseluruh permukaan bumi. Melalui pernikahannya dengan Hawa, Adam melahirkan keturunan yang menyebar ke berbagai benua diseluruh penjuru bumi; menempati lembah, gunung, gurun pasir dan wilayah lainnya diseluruh penjuru bumi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT yang berbunyi:

"...Dan sesungguhnya Kami muliakan anak-anak Adam; Kami angkut mereka didaratan dan di lautan; Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyak makhluk yang telah Kami ciptakan." (QS. al-Isra' [17]: 70)
Manusia dicipta dan ditentukan harus melalui proses perjalanan hidup yang panjang dan berliku. Satu proses hidup yang harus dilalui adalah hidup di dunia. Mau menjadi apa di dunia, manusia harus berusaha. Posisi manusia ditentukan oleh pikirannya. Mengapa harus hidup di dunia? Karena Allah mempunyai maksud dan misi. Manusia dicipta bukan untuk main-main. Allah berfirman dalam QS Al-Mu’minun 23:115. Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”, atas dasar misi tersebut, Allah menilai manusia sejauh mana bisa mengimplementasikannya dalam bentuk tugas dan tanggung jawab. Dengan demikian, manusia telah mengambil peran yang pasti dalam hidup, berikut di bawah inilah diantara tugas dan peran manusia.
1. Tugas Manusia Sebagai Khalifah
Bila direnungkan dengan mata batin yang mendalam, kemudian dipakai daya nalar dengan pikiran yang tajam, akan disadari betapa kehadiran manusia di dunia ini bukanlah atas kemauannya sendiri, melainkan merupakan kreasi terindah dari Al Khalik. Manusia dilahirkan sebagai khalifah, yang harus mampu mengubah dunia menjadi “Alam adabiyah yang terang benderang” karena peran manusia sebagai rahmatan lil’alamin.
Kehadiran manusia di muka bumi harus memberi manfaat bagi lingkungan, menjadi regulator, memberi kesejukan dan menunjukkan arah kehidupan yang terang benderang (QS Al Ahzab,33:46). Allah SWT menciptakan langit dan bumi bukan tanpa maksud. Diciptakan bumi dan isinya untuk manusia. Bagaimana manusia mampu mengelola dan mendapatlan manfaat, di situlah letaknya tantangan bagi manusia. Ketika seseorang mampu menyelesaikan tantangan dan merubah sesuatu menjadi lebih baik serta melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan umat manusia, maka dialah yang layak mendapat penilaian terbaik dari Allah sebagaimana dalam QS Al Kahfi:7.
Agama Islam berisi ajaran yang mendorong dan membangkitkan semangat inovatif bagi pemeluknya. Mengubah yang statis menjadi dinamis, terus bergerak maju memberantas kebodohan dan mengikis keterbelakangan. Karena itu seorang muslim yang berhasil dan sukses bukanlah mereka yang sanggup memikul tanggung jawab kepada keluarga semata. Muslim yang sukses adalah orang hidupnya produktif, mampu menggerakkan lingkungan tempat tinggalnya untuk maju, dan keberadaannya bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
Tidak ada amal yang patut diacungi jempol di dunia, selain sikap tanggap dan cepat bertindak di saat orang lain memerlukan pertolongan. Tidak ada pekerjaan yang bisa menyelamatkan dan dibanggakan di akhirat kecuali pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas. Resposnsif adalah ciri khas dari akhlak Rasulullah. Keteladanan dan langsung turun ke bawah adalah kepribadian Rasulullah. Beliau sangat tegas terhadap penyimpangan tetapi disampaikan dengan santun dan dengan tutur kata yang lemah lembut. Beliau penuh kasih sayang terhadap sesama, memberikan pujian kepada orang yang berprestasi dan berbuat baik, mencela orang yang berbuat aib dan merusak tatanan.
Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi mempunyai tugas menjaga keseimbangan dan ekosistemnya, tidak boleh membiarkan terjadinya kerusakan dan kehancuran. Lebih dari itu, dia mempunyai tugas menyembah Allah sperti disebutkan dalam QS Adz Dzaariyat,51:56. Ibadah yang dikehendaki oleh Allah ada 2 macam, umum dan khusus. Yang pertama, yaitu ibadah sosial yang menyangkut seluruh aspek gerak kehidupan,dan seluruh aktifitas kebaikan. Yang kedua ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang telah diatur oleh Allah tatalaksananya, seperti shalat dan sebagainya.
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah. Shalat misalnya, adalah ibadah seorang hamba bersifat pribadi kepada Allah. Manusia diperintahkan untuk menjalankan shalat dengan khusyu, berkonsentrasi penuh hanya tertuju kepada Allah melupakan seluruh urusan dunia. Selesai hubungan dengan Allah (shalat), manusia harus kembali berhubungan  dengan dunia,tidak boleh berdiam diri lantaran sudah bertemu dengan Allah. Manusia harus bertebaran je berbagai penjuru untuk mencari karunia Allah demi kemanfaatan dirinya da orang lain serta lingkungannya.
2. Memaknai Tugas Sebagai Khalifah
Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Penunjukan manusia sebagai kalifah sempat mendapat “reaksi” dan “protes” keras dari malaikat,sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah,2:30. Menanggapi reaksi dari Malaikat,Allah SWT memperlihatkan “keunggulan” manusia,terutama potensi keilmuannya(QS Al Baqarah,2:31). Para malaikat pun tunduk seta patuh dan berkata sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah,2:32.
Sebagai khalifah Allah di muka bumi manusia berperan menjadi “pengganti/penerus” (QS Yunus,10:14) dan “pemimpin/penguasa”(QS Shad,38;36). Selain harus beribadah dan hanya menyembah kepada Allah SWT, manusia juga berkewajiban mengemban tugas untuk memakmurkan bumi, menjaga ekosistemnya dan menghindarkannya dari kerusakan. Allah berfirman dalam QS Hud,11:61,“Dia telah mrnciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya”. Sebagai pemakmur, manusia dalam melaksanakan tugasnya selaku khalifah di muka bumi, perlu pengenalan dan penguasaan pengetahuan untuk lebih mengenali jati dirinya berupa:
1.      Mengenal bumi yang menjadi lingkungan wilayah yurisdiksinya.
2.      Mengenal dan menggali rahasia-rahasia alam dan hukum yang ada dibalik alam (taqdir) dan hukum Allah yang tersembunyi (sunatullah),misalnya melalui observasi. Pengenalan oleh manusia terhadap hukum alam, dapat memajukan kehidupan dan kemakmuran dimuka bumi yang sekaligus menjadi tugas dalam mengantar manusia dekat dengan Tuhan-Nya.
3.      Menjaga dan memelihara bumi dari kerusakan termasuk pencemaran lingkungan. Sebagai khalifah,manusia bertanggugjawab terhadap kelangsungan kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu setiap manusia agar tidak kehilangan jati dirinya wajib menyingsingkan lengan untuk memakmurkan bumi.
4.      Manusia Bertasbih dan Sujud
Alam semesta bertasbih dan bersujud kepada Allah Al Quddus. Manusia adalah bagian dari alam dan bahkan manusia adalah alam, sepanjang eksistensi kealamannya manusia otomatis juga bertasbih sebagaimana alam semesta bertasbih kepada Allah Al Quddus. Manusia tampaknya melihat dirinya sebagai sesuatu yang terpisah dari alam, karena itu dimana manusia sendiri ada di dalamnya, manusia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai alam atau bagian dari alam. Pengakuan tersebut karena sifat manusia, yang mampu bertasbih secara verbal di samping bertasbih secara natural.
C.      Fungsi Manusia
Jika ada pertanyaan apa manusia itu? ada bermacam-macam karena ada bermacam-macam sistem dan masing-masing mempunyai jawaban sendiri. Hal ini bisa dimengerti karena manusia memang makhluk yang kompleks, yang tidak sederhana. Manusia adalah makhluk yang “misterius”, yang selalu menarik untuk dikupas dan dibicarakan (Setiardja, 2005: 21).
Jika kita melihat kembali pada sejarah filsafat manusia dapat kita temukan jawaban mengenai manusia dari berbagai aliran. Aliran yang pertama adalah aliran materialisme belaka (ekstrem) yang dipelopori oleh Junalien Offray de Lamettrie yang hidup pada tahun 1709-1751. Menurut aliran ini manusia adalah materi belaka. Aliran ini mengingkari kerohanian dalam bentuk apa pun, bahkan mengingkari adanya pendorong hidup (Poedjawijatna,1997:165-166). Aliran lain yang dapat digolongkan dalam materialisme adalah darwinisme meskipun aliran ini kurang ekstrem. Aliran ini berpendapat bahwa manusia tidak ada bedanya dengan binatang, segala tindak tanduk manusia itu ditentukan oleh alam.
Materialisme belaka ternyata tidak dapat memuaskan, terutama mengenai perubahan-perubahan yang sukar dapat dimasukkan kerangka kejasmanian. Orang mulai menyadari bahwa manusia bukanlah mesin, ada kesatuan di dalamnya, ada pendorong untuk bertindak dan untuk hidup pada umumnya. Aliran ini disebut antropologia vitalitas. Aliran yang dapat digolongkan ke dalam aliran filsafat manusia yang vitalistis adalah marxisme. Marxisme berpendapat bahwa perkembangan masyarakat atau sejarah tak lain adalah perkembangan bahan. Cenderung hidup itulah yang menyebabkan manusia hendak terus ada dan terus berkembang. Makan, minum, dan pakaian merupakan kerangka hidup, dengan demikian manusia adalah sama dengan binatang karena mempunyai kebutuhan yang sama. Letak perbedaan manusia dengan binatang adalah usaha manusia menghasilkan keperluan hidupnya. Usaha ini dilakukan dengan menggunakan alat. Aliran ini sampai pada kesimpulan adanya pendorong hidup pada manusia, akan tetapi pendorong ini tak lain adalah materi. Meskipun mengakui adanya perbedaan antara manusia dengan binatang, tetapi aliran ini tidak menerangkan penyebab perbedaan tersebut.
Aliran marxisme ditentang oleh idealisme. Jika marxisme amat mengutamakan jasmani, maka idealisme amat mengutamakan roh, sehingga jasmani kurang dihargai. Tokoh aliran idealisme adalah Fichte, Schelling, dan Hegel. Aliran yang mempertemukan kedua aliran ini adalah eksistensialisme. Menurut aliran ini cara manusia ada di dunia itu khusus. Manusia menyatu dengan dunia.
Dalam cahaya kesadarannya manusia melihat dirinya sendiri terhadap realitas yang bukan “aku”. Dalam tangkapan yang pertama yang nampak ialah perbedaan antara si aku dan realitas sekitarku: tetapi sebenarnya di samping keduaan antara manusia dan dunia, manusia dan dunia itu juga merupakan kesatuan (Setiardjo, 2005:23).
Manusia adalah makhluk berbadan jasmani dan berjiwa rohani. “Manusia menjasmanikan diri dalam alam jasmani: makan, minum, bernapas, tidur, tetapi manusia juga memanusiakan dan merohanikan alam jasmani dengan mengangkatnya ke dalam dan ketinggian eksistensinya yang manusiawi. Manusia memiliki transedensi, memiliki keunggulan untuk mengatasi struktur alam jasmani (Setiardjo, 2005:24).
Misi hidup manusia ini dijelaskan Allah: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (beribadah) kepada-Ku.” (QS Adz Dzariyaat : 56)   Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya mereka beribadah (menyembah) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama…” (QS Al Bayyinah : 5). Kemudian pertanyaan “Untuk apa manusia hidup?” Islam menjawab, bahwa manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Yaitu untuk mentaati Allah SWT dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dalam segala aspek kehidupan.

Ibadah menurut kamus Al Muhith karya Imam Al Fairuz Abadi, secara bahasa artinya adalah taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, sebagaimana diuraikan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Dirasat fi al-Fikri al-Islami ibadah memiliki dua arti: arti umum dan arti khusus. Arti secara umum — ini pula yang dimaksud dengan ibadah dalam kedua ayat di atas — adalah mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan-larangan Allah.

Adapun arti ibadah secara khusus adalah ketaatan kepada hukum syara’ yang mengatur hubungan antara manusia dengan Rabbnya, seperti shalat, zakat, haji, do’a, dan sebagainya. Mengaktualisasikan ibadah dalam arti umum inilah yang secara konkret merupakan misi hidup manusia di dunia menurut Islam. Inilah hakekat hidup manusia di dunia, dan ini pula yang wajib menjadi landasan segala kiprahnya. Aktualisasi ibadah terwujud ketika seorang muslim mengikatkan dirinya dengan hukum-hukum syara’ dalam segala aktivitasnya, baik ketika berhubungan dengan Rabb-nya dalam bidang aqidah dan ibadah, berhubungan dengan dirinya sendiri dalam bidang akhlak, makanan, minuman, dan pakaian, maupun berinteraksi dengan sesamanya dalam bidang mu’amalah dan uqubat (hukuman dan sanksi).

Ketika seorang muslim menjalankan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat setiap tahun, berpuasa di bulan Ramadhan, beribadah haji, bertaubat, atau membaca Al Qur`an disebut sedang melaksanakan ibadah (dalam arti khusus). Begitu pula tatkala dia bekerja secara profesional dengan etos kerja tinggi didukung keahlian dan sikap amanah, mendidik anak dengan cara Islam, menepati janji, mengkaji ajaran Islam, mempedulikan keadaan kaum muslimin yang lain, aktif berdakwah atau dalam kegiatan keIslaman, bersabar tatkala mendapat musibah, memerintahkan isteri atau anak perempuannya berjilbab, menengok teman yang sakit, bermusyawarah, menjaga kesehatan dan kebersihan dan sebagainnya dia pun juga tengah menjalankan misi ibadah.

Sebaliknya, tatkala seseorang melalaikan tugas, melakukan korupsi dan manipulasi, memberi atau menerima suap, berbohong, berzina, menenggak minuman keras, mengkonsumsi narkoba, mengunjungi pub/diskotik, membantu terjadinya perzinaan, suka mendzalimi orang lain dan sebagainya, dikatakan ia telah telah melakukan maksiat kepada Allah. Berarti ia telah lupa terhadap hakikat keberadaannya di dunia. Demikian pula halnya bila dia menentang dakwah Islam, berjudi, menyatakan bahwa hukum Islam tidak layak karena dinilai kejam, merayakan Natal bersama, melakukan pelecehan seksual, berhutang tak mau bayar, meninggalkan shalat lima waktu atau shalat Jum’at, tidak memakai jilbab; berarti dia telah lalai dari arti hakikat hidupnya di dunia, yaitu beribadah kepada Allah.



BAB  III
PEMBAHASAN

Telah menjadi suatu ketetapan  dan kehendak Allah bahwa manusia diciptakan juga sekaligus diberikan tuntunan hidup agar dapat menjalani kehidupan di dunia sebagai hamba Allah untuk memakmurkan kehidupan di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya. Agama Islam yang diturunkan oleh Allah melalui para Nabi dan Rosul-Nya dan disempurnakan ajarannya melalui Nabi terakhir yaitu Muhammad SAW adalah merupakan suatu sistem kehidupan yang bersifat integral dan komprehensif mengatur semua aspek kehidupan manusia agar mencapai kehidupan yang sejahtera baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS : Al-Baqarah: 132)
A.      Manusia dan Masyarakat
Aktivitas dan perilaku masyarakat tidak terlepas dari karakteristik manusianya. Pola perilaku, bentuk aktivitas, dan pola kecenderungan terkait dengan pemahaman manusia terhadap makna kehidupan itu sendiri. Dalam pandangan Islam bahwa kehidupan manusia di dunia merupakan rangkaian kehidupan yang telah ditetapkan Allah kepada setiap makhluk-Nya tersebut untuk nanti dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Untuk mewujudkan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang baik harus dimulai dari pembinaan kualitas kehidupan secara individual. Karena dari sekumpulan individu-individu itulah yang nanti dapat memberikan warna dan pengaruh perubahan yang lebih baik dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Kualitas seseorang ditentukan oleh kualitas kepribadiannya yang akan melahirkan berbagai aktivitas di tengah masyarakat. Jika kualitas kepribadiannya baik dan sehat maka akan melahirkan aktivitas amaliah yang cenderung baik dan sebaliknya. Di sinilah pentingnya pembinaan kualitas kepribadian seorang muslim agar benar-benar memahami secara benar tentang nilai-nilai Islam kemudian dapat memberikan warna dan pengaruh perubahan terhadap lingkungan di sekitarnya.  Pembentukan kepribadian Islam pada diri seseorang ditempuh melalui dua tahap yaitu, Pertama, mengintroduksikan aqidah Islamiyah pada diri seseorang agar dia jadikan aqidah atau pandangan hidupnya. Kedua, seorang muslim yang telah memiliki aqidah Islamiyah itu bertekad menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan dalam melakukan proses berfikir yang Islami dan sekaligus menjadikan aqidah Islamiyah dalam mengatur dan mengendalikan tingkah lakunya. Untuk dapat memiliki kualitas berfikir yang berlandaskan aqidah Islamiyah atas berbagai fenomena kehidupan ini, maka seorang muslim harus mencurahkan kemampuannya untuk mempelajar ilmu-ilmu ke-Islaman baik ilmu tentang aqidah Islamiyah (ilmu tawhid), ilmu Al-Qur’an dan tafsirnya (‘ulumul Qur’an), Ilmu Hadist, Fikih dan Ushul Fiqih, ilmu bahasa Arab dsb. Jadi seorang muslim harus meningkatkan kualitas fikirnya melalui penguasaan terhadap informasi-informasi Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Assunnah.
Disamping itu juga harus dibarengi dengan keseriusan dalam memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kontemporer seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan alam, ilmu budaya, ilmu hukum, ilmu filsafat dsb. Keseimbangan dalam penguasaan ilmu baik ilmu-ilmu ke-Islaman dan ilmu pengetahuan kontemporer akan melahirkan sosok seorang muslim yang cerdas, bijaksana dan santun dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Namun aspek olah fikir (kognitif) dan olah rasa (afeksi) saja tidak cukup untuk melahirkan seseorang memiliki kepribadian Islam tetapi perlu ditunjang dengan pembinaan aspek perilaku kehidupan sehari-hari (psikomotorik).  Agar seseorang dapat senantiasa meningkatkan ketaatan dirinya terhadap Allah SWT sebagai Dzat yang menciptakannya, maka dia harus memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk Allah yang diberi anugerah berupa kelebihan-kelebihan baik secara fisik, mental, emosional dan intelektual dibandingkan makhluk Allah lainnya. Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, harus memahami bahwa dirinya memiliki berbagai macam potensi atau naluri kehidupan yang meliputi naluri mempertahankan hidup, naluri melangsungkan keturunan dan naluri beragama.  Masing-masing naluri kehidupan tersebut kemudian akan melahirkan berbagai macam bentuk aktivitas manusia di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk kecenderungan hidup tersebut harus senantiasa diatur dan dikendalikan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT agar martabatnya sebagai hamba Allah tidak jatuh ke jurang kehinaan. Islam telah mengatur semua kehidupan manusia baik menyangkut persoalan ekonomi, politik, budaya, hukum, seni, baik kehidupan secara individual maupun sosial,  permasalahan hidup di dunia maupun akhirat. Seorang muslim senantiasa berusaha untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan dan naluri tersebut berdasarkan atas aqidah Islamiyah bukan pada azas, ideologi, pandangan hidup, budaya lainnya. Jadi disiniliah letak dan hakekat kepribadian seorang muslim yang ditentukan oleh sejauh mana kemampuan berfikir atas segala fenomana kehidupan ini dan kemampuan berperilaku yang didorong oleh berbagai macam naluri dan kebutuhan yang senantiasa didasarkan atas aqidah Islamiyah.  Dalam aktivitas ekonomi seorang muslim tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik saja tapi juga sekaligus merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Sehingga dalam setiap tahap dan proses aktivitas ekonomi selalu dikaitkan dengan nilai-nilai Islam untuk mendapatkan keberkahan dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Motif ibadah dalam setiap aktivitas ekonomi selalu menuntun setiap langkahnya untuk selalu berada di jalan-Nya. Seorang muslim akan selalu berusaha untuk tidak melakukan kegiatan ekonomi yang tidak dibenarkan menurut syariat Islam meskipun secara fisik material mungkin menguntungkan seperti korupsi kolusi dan nepotisme (KKN), mengurangi timbangan, menipu, transaksi narkoba, prostitusi, praktek aborsi, manipulasi proyek, bisnis pornografi dan pornoaksi dsb. Seorang muslim melihat setiap persoalan dalam perspektif dan dimensi yang luas karena dia yakin kehidupan ini tidak berhenti hanya pada kehidupan di dunia saja tetapi merupakan kontinuitas kehidupan yang akan dilanjutkan dengan kehidupan di akhirat dimana setiap individu harus berhadapan dengan mahkamah keadilan Allah untuk mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya. Di sinilah implikasi keimanan seorang muslim terhadap hari akhir akan berdampak pada perilaku kehidupan sehari-hari karena dia yakin  bahwa Allah selalu mengawasi setiap langkah dan aktivitas hamba-Nya.
Islam sebagai sistem kehidupan yang integral dan komprehensif telah memberikan aturan pada semua aspek kehidupan manusia baik aspek politik, budaya, ekonomi, sosial, hukum, seni, manajemen dsb. Sistem syariah Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia untuk menjaga ketertiban, keseimbangan dan kelestarian hidup manusia sehingga tercapai kebahagiaan hidup manusia di dunia sampai di akhirat. Kesempurnaan Islam sebagai pandangan hidup (ideologi) dan sistem nilai menjadi suatu tuntutan manusia di tengah arus globalisasi dan modernitas yang dihadapkan pada berbagai persoalan yang semakin kompleks. Hal ini telah diungkapkan Allah SWT dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu" (QS Al-Baqarah: 208). Dari ayat di atas secara eksplisit dan implisit terdapat perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk mengikuti semua aturan-aturan yang telah diturunkan Allah secara totalitas dan jangan mengambil jalan hidup (way of life) dan sistem kehidupan (manhaj) selain dari Islam agar hidup manusia mencapai kebahagiaan yang sebenarnya. Dalam suatu hadist Rasulullah  SAW pernah menyampaikan pesan kepada seluruh umat manusia untuk selalu berpegang teguh kepada syariat Islam yaitu kembali kepada Al-Qur’an dan Assunnah. “Aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya” (HR. Malik)

B.      Manusia dalam berbangsa dan bernegara

Iklim kehidupan berbangsa dan bernegara di pasca era reformasi seperti sekarang ini telah memperlihatkan perubahan yang begitu signifikan dalam kehidupan demokrasi dan perpolitikan di indonesia, fenomena yang ada, adanya kebebasan berekspresi terhadap hak hidup sebagai warga negara dan menyampaikan aspirasi politik begitu marak dilakukan oleh warga masyarakat. Tetapi patut disayangkan, terkadang hal itu dilakukan dengan menabrak rambu-rambu hukum dan peraturan yang ada serta terlepas dari kendali moral, khususnya menabrak hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur`an yang merupakan sumber hukum dari segala permasalahan yang seharusnya dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh warga negara, sehingga luapan ekspresi kebebasan dan menyampaikan pendapat terkesan anarkis dan merugikan banyak pihak. Dengan kata lain, aspek-aspek lokalitas dan religiusitas mulai dijauhi dan bahkan mungkin ditinggalkan, selanjutnya beralih pada setiap entitas yang bernafaskan “modern” agar tidak dicap ketinggalan zaman. Sehingga akibatnya, rasa kepemilikan dan keimanan sebagai umat islam semakin luntur.
Bangsa adalah orang-orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa, sejarah serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan berbangsa adalah manusia yang mempunyai landasan etika, bermoral, dan ber-aqlak mulia dalam bersikap mewujudkan makna sosial dan adil. Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut. Sedangkan bernegara adalah manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilayah nusantara atau Indonesia dan mempunyai cita-cita yang berlandaskan niat untuk bersatu secara emosional dan rasional dalam membangun rasa nasionalisme secara eklektis kedalam sikap dan perilaku antar yang berbeda ras, agama, asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi karena banyak faktor yang mendasarinya, diantaranya ialah semakin menjauhnya rakyat indonesia khususnya umat muslim dengan agamanya. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal disadari atau tidak telah termarjinalisasikan di tengah-tengah ideologi dunia seperti kapitalisme, liberalisme atau ideologi lainnya. Sehingga sangat logis dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita semakin terpuruk. Disinilah pentingnya penyadaran untuk kita sebagai umat islam agar kembali kepada Al-Qur`an serta nilai-nilai moral sebagai bangsa yang beragama dan beradab untuk bersama-sama mejadikan nilai-nilai tersebut sebagai landasan kita dalam berbangsa dan bernegara. Allah berfirman dalam surat   Al-Israa ayat 9 :
Sesungguhnya Al-Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.
Proses berbangsa dan bernegara dalam kaitannya dengan ayat di atas dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kita harus bersikap dan berperilaku.Dalam surat lain Allah Berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59 :
Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan mereka yang memegang kekuasaan di antara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu kembalikanlah kepad Allah dan Rasul-Nya kalau kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah yang terbaik dan penyelesaian yang tepat.
Dari terjemahan surat An-nisa ayat 59 di atas, kita dapat mengambil beberapa intisari pelajaran yang sangat berharga mengenai berbangsa dan bernegara, pertama, kita diwajibkan untuk menjalankan perintah Allah yang telah diwahyukan melalui Al-Qur`an, kita diperintahkan-Nya untuk tetap terus berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan menjadikannya sebagai landasan dari perilaku kita khususnya dalam konteks ini yaitu berbangsa dan bernegara karena Al-Qur`an merupakan primary source dari segala permasalahan. Dalam berbangsa dan bernegara, kita harus yakin bahwa dengan mengikuti serta mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur`an, konsep berbangsa dan bernegara kita sesuai dengan perintah Allah. Kedua, kita diperintahkan untuk menaati Rasulullah yang telah membimbing kita melalui ajaran-ajarannya,  salah satunya adalah sunnah yang merupakan perkataan, perbuatan, dan diamnya nabi atas suatu perkara. Sunnah dalam kaitannya dengan Al-Qur`an merupakan sumber hukum kedua setelahnya yang mempunyai banyak fungsi salah satunya adalah menerangkan ayat Al-Qur`an yang bersifat umum dan memperkuat serta memperkokoh pernyataan dari ayat Al-Qur`an. Terakhir, kita diperintahkan untuk taat kepada kalangan yang memegang otoritas baik dalam pemerintahan, masyarakat atau keluarga, tetapi prinsip ketaatan ini harus memenuhi prasyarat atau dengan kata lain bersifat tanpa reserve,artinya pemimpin itu harus ditaati selama dia menjalankan perintah Allah dan Rasulnya.
Berbangsa dan bernegara menurut Al-Qur`an hanya sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, oleh karena itu berbangsa dan bernegara harus diyakini merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pentingnya dengan ibadah-ibadah yang lainnya, karena ini kaitannya dengan bangsa,negara serta entitas pendukungnya yaitu warga negara.
Berbangsa dan bernegara mempunyai berbagai variable-variable yang saling mendukung satu dengan yang lainnya, dari sekian banyak variable itu ada beberapa variable yang harus kita perhatikan yaitu persatuan dan kesatuan yang merupakan aspek penting dalam kesatuan konsep berbangsa dan bernegara. Tidak dapat disangkal bahwa Al-Qur`an memerintahkan persatuan dan kesatuan secara jelas, sejelas Allah menyatakan dalam Al-Qur`an surat Al-Anbiya ayat 92 “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu”. Dari persatuan dan kesatuan itu, sikap memiliki atau nasionalisme akan rasa kebangsaan dan kenegaraan kita akan terasah dan semakin tajam.
Membangun Kesadaran Berbangsa dan Bernegara merupakan hal penting karena tidak dapat dipisahkan dari perjalan panjang bangsa ini. Akan tetapi kesadaran berbangsa dan bernegara ini jangan ditafsir hanya berlaku pada pemerintah saja, tetapi harus lebih luas memandangnya, sehingga dalam implementasinya, akan lebih kreatif menerapkan arti sadar berbangsa dan bernegara ini dalam kehidupannya tanpa menghilangkan hakekat kesadaran berbangsa dan bernegara itu sendiri. Berbagai faktor dalam negeri seperti dinamika kehidupan warga negara, telah ikut memberi warna terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara tersebut. Demikian pula perkembangan dan dinamika kehidupan bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia, tentu berpengaruh pula terhadap kesadaran itu.
















BAB  IV
KESIMPULAN


Pembentukan kepribadian Islam pada diri seseorang ditempuh melalui dua tahap yaitu, pertama, mengintroduksikan aqidah Islamiyah pada diri seseorang agar dia jadikan aqidah atau pandangan hidupnya. Kedua, seorang muslim yang telah memiliki aqidah Islamiyah itu bertekad menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan dalam melakukan proses berfikir yang Islami dan sekaligus menjadikan aqidah Islamiyah dalam mengatur dan mengendalikan tingkah lakunya. Islam sebagai sistem kehidupan yang integral dan komprehensif telah memberikan aturan pada semua aspek kehidupan manusia baik aspek politik, budaya, ekonomi, sosial, hukum, seni, manajemen dsb. Sistem syariah Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia untuk menjaga ketertiban, keseimbangan dan kelestarian hidup manusia sehingga tercapai kebahagiaan hidup manusia di dunia sampai di akhirat. Sistem nilai menjadi suatu tuntutan manusia di tengah arus globalisasi dan modernitas yang dihadapkan pada berbagai persoalan yang semakin kompleks. Hal ini telah diungkapkan Allah SWT dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu" (QS Al-Baqarah: 208). Dari ayat di atas secara eksplisit dan implisit terdapat perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk mengikuti semua aturan-aturan yang telah diturunkan Allah secara totalitas dan jangan mengambil jalan hidup (way of life) dan sistem kehidupan (manhaj) selain dari Islam agar hidup manusia mencapai kebahagiaan yang sebenarnya.
Menjadi sebuah keharusan bagi manusia Indonesia untuk ikut bertanggung jawab mengemban amanat penting ini, dengan kondisi bangsa kita sekarang, merupakan salah satu indikator bahwa sebagian para pemuda di negeri ini telah mengalami penurunan kesadaran berbangsa dan bernegara. Kesadaran bela negara adalah  dimana kita berupaya untuk mempertahankan negara kita dari ancaman yang dapat mengganggu kelangsungan hidup bermasyarakat yang berdasarkan atas cinta tanah air. Kesadaran bela negara juga dapat menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme di dalam diri masyarakat. Upaya bela negara selain sebagai kewajiban dasar juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, penuh tanggung jawab dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Keikutsertaan kita dalam bela negara merupakan bentuk cinta terhadap tanah air kita. Nilai-nilai bela negara yang harus lebih dipahami penerapannya dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara antara lain:

1.  Cinta Tanah Air
Negeri yang luas dan kaya akan sumber daya ini perlu kita cintai. Kesadaran bela negara yang ada pada setiap masyarakat didasarkan pada kecintaan kita kepada tanah air kita. Kita dapat mewujudkan itu semua dengan cara kita mengetahui sejarah negara kita sendiri, melestarikan budaya-budaya yang ada, menjaga lingkungan kita dan pastinya menjaga nama baik negara kita.

2.  Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Kesadaran berbangsa dan bernegara merupakan sikap kita yang harus sesuai dengan kepribadian bangsa yang selalu dikaitkan dengan cita-cita dan tujuan hidup bangsanya. Kita dapat mewujudkannya dengan cara mencegah perkelahian antar perorangan atau antar kelompok dan menjadi anak bangsa yang berprestasi baik di tingkat nasional maupun internasional.

3.  Pancasila
Ideologi kita warisan dan hasil perjuangan para pahlawan sungguh luar biasa, pancasila bukan hanya sekedar teoritis dan normatif saja tapi juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tahu bahwa Pancasila adalah alat pemersatu keberagaman yang ada di Indonesia yang memiliki beragam budaya, agama, etnis, dan lain-lain. Nilai-nilai pancasila inilah yang dapat mematahkan setiap ancaman, tantangan, dan hambatan.

4. Rela berkorban untuk Bangsa dan Negara
Dalam wujud bela negara tentu saja kita harus rela berkorban untuk bangsa dan negara. Contoh nyatanya seperti sekarang ini yaitu perhelatan seagames. Para atlet bekerja keras untuk bisa mengharumkan nama negaranya walaupun mereka harus merelakan untuk mengorbankan waktunya untuk bekerja sebagaimana kita ketahui bahwa para atlet bukan hanya menjadi seorang atlet saja, mereka juga memiliki pekerjaan lain. Begitupun supporter yang rela berlama-lama menghabiskan waktunya antri hanya untuk mendapatkan tiket demi mendukung langsung para atlet yang berlaga demi mengharumkan nama bangsa.

5.  Memiliki Kemampuan Bela Negara
Kemampuan bela negara itu sendiri dapat diwujudkan dengan tetap menjaga kedisiplinan, ulet, bekerja keras dalam menjalani profesi masing-masing.
Kesadaran bela negara dapat diwujudkan dengan cara ikut dalam mengamankan lingkungan sekitar seperti menjadi bagian dari siskamling, membantu korban bencana sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia sering sekali mengalami bencana alam, menjaga kebersihan minimal kebersihan tempat tinggal kita sendiri, mencegah bahaya narkoba yang merupakan musuh besar bagi generasi penerus bangsa, mencegah perkelahian antar perorangan atau antar kelompok karena di Indonesia sering sekali terjadi perkelahian yang justru dilakukan oleh para pemuda, cinta produksi dalam negeri agar Indonesia tidak terus menerus mengimpor barang dari luar negeri, melestarikan budaya Indonesia dan tampil sebagai anak bangsa yang berprestasi baik pada tingkat nasional maupun internasional.



Faktor-Faktor Pendukung Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Beberapa faktor pendukung untuk terciptanya kesadaran berbangsa dan bernegara  :
1.      Tingkat ke-amanahan seorang pejabat.
2.      Pemerataan kesejahteraan setiap daerah.
3.      Keadilan dalam memberikan hak dan kewajiban semua rakyat
4.      Kepercayaan kepada wakil rakyat atau pemerintahan
5.      Tegasnya hukum dan aturan pemerintahan.
6.      Rasa memiliki dan bangga berbangsa Indonesia.
7.      Menyadari bahwa berbangsa dan bernegara yang satu.
8.      Mengetahui lebih banyak nilai positif dan kekayaan bangsa.
Read more
Senin, 03 Juni 2013
no image



Oleh : Muhammad Shiddiq Al Jawi

Mukadimah
Seorang muslim sudah seharusnya memahami hakikat hidupnya di dunia: Dari mana ia berasal, untuk apa hidup dan bagaimana dia harus menjalani hidupnya, serta kemana setelah mati? Sudah sewajarnya bila setiap muslim memahami hal ini. Pemahaman akan hakikat hidup sangatlah penting, oleh karena ia akan menentukan corak atau gaya hidup seseorang. Saking pentingnya persoalan ini, sampai mungkin bisa dikatakan, janganlah kita hidup sebelum memahami apa sebenarnya hakikat hidup kita itu.

Tapi tidak sedikit muslim yang tidak memahami, bahkan kehilangan makna hidupnya yang hakiki ini. Ada yang terhanyut oleh pola hidup sekuler, ada pula yang acuh tak acuh menjalani hidupnya. Padahal, memahami hakikat hidup bukan hal yang sukar bagi seorang muslim. Allah SWT telah memberikan bekal dan potensi pada diri manusia, berupa daya pikir (akal) dan fitrah yang melekat pada manusia sejak dia diciptakan oleh Allah SWT. Allah SWT telah memberikan panca-indera, sebagai salah satu unsur penting untuk proses berpikir.

“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kalian bersyukur.” (QS An Nahl : 78). Semua bekal ini semestinya bisa digunakan dengan sebaik-baiknya, agar pada gilirannya ia dapat memahami hakikat hidupnya di dunia.

Kegagalan manusia dalam memahami hakikat hidupnya, tiada lain karena kelalaian dan keengganannya menggunakan bekal-bekal tersebut, sehingga arah dan orientasi hidupnya menjadi tidak jelas atau menyimpang dari jalan yang semestinya. Akhirnya, hawa nafsu atau setanlah yang dijadikan “tuhan”, yakni menjadi sumber penentu sikap dan tujuan hidupnya. Orang sesat seperti ini dicap oleh Allah SWT bagaikan binatang ternak, bahkan lebih rendah lagi daripada itu.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam banyak dari jin dan manusia. Mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) , dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al A’raaf : 179)

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS Al Furqaan : 43-44).

Jelaslah, memahami hakikat hidup merupakan suatu hal yang sangat fundamental. Kegagalan memahami hakikat hidup, akan membuat seseorang menjalani hidup bagaikan layang-layang putus yang bergerak mengikuti kemana angin berhembus, atau bagaikan kapal berlayar tanpa nakhoda yang bisa saja menumbuk karang, atau dihempaskan ombak ke mana saja tanpa tujuan. Artinya, seorang muslim mudah sekalil tersesat, atau bahkan tak mustahil menjadi murtad tanpa dia sadari, sehingga amalnya di dunia menjadi sia-sia bagaikan fatamorgana atau debu beterbangan. “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS Al Furqaan : 24)

Definisi Hidup

Hidup dapat didefinisikan dari dua aspek. Pertama, aspek biologis dan kedua, aspek sosiologis. Dari aspek biologis, hidup (al hayah) seperti diungkapkan oleh Ghanim Abduh dalam Naqdhul Isytirakiyah Al Marksiyah adalah sesuatu yang maujud (ada) dalam makhluk hidup (asy-syai`u al- qaa`im fi al- ka`ini al- hayyi). Dalam pengertian ini, hidup dipahami sebagai esensi yang membuat sesuatu menjadi hidup, yang membedakannya dengan benda-benda mati, baik benda itu benda mati secara asli, seperti batu, maupun benda mati dalam arti benda yang sebelumnya berasal dari benda hidup, seperti kayu. Hidup, dengan demikian, nampak dan eksis dengan berbagai tanda-tandanya, seperti kebutuhan akan nutrisi, gerak, peka terhadap rangsang, pertumbuhan, dan perkembangbiakan. Lawan dari hidup dalam pengertian biologis ini, adalah mati. Yakni tiadanya atau hilangnya tanda-tanda kehidupan pada sesuatu. Maka, batu adalah benda mati karena tak ada satu pun tanda-tanda kehidupan padanya. Demikian pula seseorang yang telah membujur kaku di kamar jenazah disebut telah mati, karena telah hilang darinya tanda-tanda kehidupan yang semula dimilikinya.

Secara sosiologis, hidup berkaitan erat dengan segala perbuatan manusia yang terwujud dalam seluruh interaksi yang dilakukannya. Ketika menerangkan pengertian isti`naful hayatil Islamiyah (melanjutkan kehidupan Islam), Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Manhaj Hizbu al-Tahrir, menyebutkan bahwa hidup (al-hayah) adalah seluruh interaksi yang dilakukan manusia (jami’u alaaqati al-nas). Dalam perspektif ini, hidup berarti menyangkut seluruh aktivitas manusia dalam berbagai macam interaksinya satu sama lain. Tatkala manusia melakukan aktivitasnya dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain, berarti dia telah melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Artinya, dia telah menjalani atau “mengisi” hidupnya.

Kebalikan dari hidup dalam pengertian ini, adalah tiadanya interaksi di antara manusia. Seseorang mungkin saja mengisolasi dirinya (beruzlah) dari masyarakat, atau bisa saja sebuah kota dibom sehingga seluruh penduduknya mati. Maka, kita dapat mengatakan bahwa orang yang beruzlah tadi telah “mati”, atau kota tadi telah “mati”, karena pada keduanya tak terdapat interaksi antar manusia yang menjadi pertanda adanya sebuah kehidupan.
Kendatipun pengertian hidup dapat dibedakan dalam arti biologis dan sosiologis, namun keduanya tak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebab, hidup dalam arti biologis, adalah syarat bagi adanya hidup dalam arti sosiologis. Tak akan ada hidup dalam pengertian sosiologis, kecuali dengan adanya hidup dalam pengertian biologis. Meskipun mungkin saja terdapat hidup dalam makna biologis, tetapi tak terdapat hidup secara sosiologis.

Al Uqdatu al-Kubro : Pertanyaan Mendasar  dalam hidupnya manusia sadar atau tidak, akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna hidupnya. Pertanyaan-pertanyaan ini, diistilahkan oleh Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitab Nidzamu al-Islam (1953) dengan al-Uqdatu al-Kubro. Secara harfiah, al-Uqdatu al-Kubro artinya adalah simpul yang besar. Pertanyaan mendasar ini berkisar tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan, yang ada dalam kehidupan dunia kini (al-hayatu al-dunya), juga mengenai apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya) dan sesudah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya), serta hubungan antara kehidupan dunia sekarang, dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia itu.

Dalam ungkapan lain, pertanyaan mendasar tersebut dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) pertanyaan utama, sebagai berikut;

Pertanyaan pertama, “Darimanakah manusia, hidup, dan alam semesta ini berasal?”

Apakah ketiga ini ada dengan sendirinya ataukah ada yang mengadakannya? Pertanyaan ini, sebagaimana uraian Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Al-Tafkir, berkaitan erat dengan fakta bahwa manusia itu hidup di alam semesta (li anna al-insaana yahya fi al-kaun). Maka wajar bila manusia menanyakan tentang dirinya, tentang hidup (dalam arti biologis) yang ada pada dirinya dan makhluk lainnya, dan tentang alam semesta yang merupakan tempat hidupnya. Pertanyaan pertama ini, menanyakan tentang hakikat apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya).

Pertanyaan kedua, “Untuk apa manusia hidup?”

Pertanyaan ini berkaitan dengan fakta bahwa manusia telah lahir dan eksis di dalam kehidupan dunia ini (al-hayatu al-dunya). Sehingga wajar bila dalam benaknya muncul pertanyaan mengenai untuk apa dia hidup dan bagaimana dia harus menjalani hidup (dalam arti sosiologis). Dalam bahasa Hafizh Shalih dalam kitabnya An Nahdhah (1988), pertanyaan ini berhubungan dengan makna keberadaan manusia dalam kehidupan (ma’na wujudi al- insaan fi al-hayah).

Pertanyaaan ketiga, “Kemana manusia pergi setelah mati nanti?”

Pertanyaan ini juga sangat wajar, karena setiap manusia pasti akan berjumpa dengan kematian. Dalam benaknya pasti terbit pertanyaan apakah setelah kematian berarti segala sesuatunya juga akan berakhir, ataukah justru kematian itu merupakan suatu pintu untuk memasuki fase kehidupan yang baru selanjutnya. Pertanyaan ini berkaitan dengan hakikat apa yang ada setelah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya).

Di samping ketiga pertanyaan utama tersebut, hal penting lain yang juga menjadi pertanyaan adalah adakah hubungan (‘alaaqah/shilah) antara apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya) dengan kehidupan dunia kini (al-hayatu al-dunya), serta hubungan antara kehidupan dunia kini (ba’da al-hayati al-dunya) dengan apa yang ada sesudah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya). Jika ada, hubungan apakah itu?
Tak ayal lagi, semua pertanyaan dalam simpul besar (al-uqdatu al- Kubro) itu memang merupakan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang memerlukan jawaban tuntas sebagaimana halnya simpul-simpul besar pada tali yang harus diuraikan terlebih dahulu agar tali itu dapat digunakan. Bila simpul besar ini berhasil diurai, seperti diungkapkan Taqiyuddin An Nabhani, niscaya simpul-simpul cabang berikutnya akan dengan mudah diuraikan. Simpul-simpul ini adalah pertanyaan-pertanyaan praktis yang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari, semisal mengapa dan bagaimana kita harus bekerja mencari nafkah, bagaimana kita harus membina sebuah keluarga yang bahagia, bagaimana kita harus berpolitik dalam kehidupan bernegara, dan sebagainya.

Menghadapi pertanyaan mendasar dalam Al-Uqdatu al-Kubro yang sangat menguras pikiran itu, sikap manusia bermacam-macam. Ada yang lari atau tak acuh terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, sehingga akhirnya mereka menjalani hidup sekedarnya saja. Tanpa makna, tanpa visi, tanpa misi. Kosong dan absurd. Namun ada pula yang berhasil menjawabnya setelah berusaha mencari jawabannya dengan serius, terlepas dari benar tidaknya jawaban tersebut.

Jawaban-jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro ini menurut Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Dirasat fi al-Fikri al-Islami disebut dengan fikrah kulliyah (pemikiran menyeluruh) karena jawabannya mencakup segala sesuatu yang maujud (alam semesta, manusia, dan kehidupan) di samping mencakup ketiga fase kehidupan yang dilalui manusia, beserta hubungan-hubungan di antara ketiganya. Jawaban itu disebutnya juga sebagai aqidah (pemikiran yang mendasar) dan qa’idah fikriyah (landasan pemikiran). Disebut aqidah, karena memang jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro merupakan pemikiran yang mendasar. Dan disebut qa’idah fikriyah, karena jawaban itu merupakan basis pemikiran yang di atasnya dapat dibangun pemikiran-pemikiran cabang tentang kehidupan.

Maka, jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro bisa beraneka macam, bergantung kepada aqidah (keyakinan) yang dianut seseorang. Di sini akan diuraikan jawaban dari sudut pandang keyakinan Islam dan sekulerisme, mengingat paham sekulerisme inilah yang kini merajalela di dunia, termasuk di dunia Islam, setelah sosialisme runtuh di penghujung tahun 80-an.

Jawaban Islam Terhadap Al-Uqdatu al-Kubro
Jawaban Islam terhadap al-Uqdatu al-Kubro bersumber Al Qur`an dan As Sunnah. Keduanya keduanya merupakan wahyu yang diturunkan Allah melalui Rasulullah Muhammad sebagai petunjuk hidup.

1. Jawaban pertanyaan “Dari Mana Manusia Hidup?”

Terhadap pertanyaan “Dari manakah manusia, hidup, dan alam semesta berasal?”, maka Islam memberikan jawaban bahwa ketiga hal tersebut diciptakan oleh Allah SWT, tidak maujud dengan sendirinya. Dengan kata lain, apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya), adalah Allah SWT. Jawaban ini diterangkan dalam banyak nash, di antaranya, “Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS Al Baqarah : 21)

“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.” (QS. Al Infithaar : 6-7)
“Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati lalu Allah menghidupkan kalian; kemudian Allah mematikan kalian dan menghidupkan kembali kalian, kemudian kepada-Nya-lah kalian dikembalikan?” (QS Al Baqarah : 28)

Ayat-ayat di atas menegaskan dengan jelas bahwa muasal manusia adalah karena diciptakan oleh Allah, bukan ada dengan sendirinya, tercipta semata-mata karena proses-proses alam, atau tercipta melalui evolusi dari organisme lain yang lebih sederhana. Allah-lah yang telah menciptakan manusia dan membuatnya hidup di dunia sampai batas waktu tertentu untuk kemudian nanti dikembalikan lagi kepada-Nya.



2. Jawaban pertanyaan “Untuk Apa Manusia Hidup?”

Terhadap pertanyaan “Untuk apa manusia hidup?” Islam menjawab, bahwa manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Yaitu untuk mentaati Allah SWT dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dalam segala aspek kehidupan. Misi hidup manusia ini dijelaskan Allah: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (beribadah) kepada-Ku.” (QS Adz Dzariyaat : 56)   “Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya mereka beribadah (menyembah) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama…” (QS Al Bayyinah : 5)

Ibadah menurut kamus Al Muhith karya Imam Al Fairuz Abadi, secara bahasa artinya adalah taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, sebagaimana diuraikan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Dirasat fi al-Fikri al-Islami ibadah memiliki dua arti: arti umum dan arti khusus. Arti secara umum — ini pula yang dimaksud dengan ibadah dalam kedua ayat di atas — adalah mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan-larangan Allah.

Adapun arti ibadah secara khusus adalah ketaatan kepada hukum syara’ yang mengatur hubungan antara manusia dengan Rabbnya, seperti shalat, zakat, haji, do’a, dan sebagainya. Mengaktualisasikan ibadah dalam arti umum inilah yang secara konkret merupakan misi hidup manusia di dunia menurut Islam. Inilah hakekat hidup manusia di dunia, dan ini pula yang wajib menjadi landasan segala kiprahnya. Aktualisasi ibadah terwujud ketika seorang muslim mengikatkan dirinya dengan hukum-hukum syara’ dalam segala aktivitasnya, baik ketika berhubungan dengan Rabb-nya dalam bidang aqidah dan ibadah, berhubungan dengan dirinya sendiri dalam bidang akhlak, makanan, minuman, dan pakaian, maupun berinteraksi dengan sesamanya dalam bidang mu’amalah dan uqubat (hukuman dan sanksi).

Ketika seorang muslim menjalankan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat setiap tahun, berpuasa di bulan Ramadhan, beribadah haji, bertaubat, atau membaca Al Qur`an disebut sedang melaksanakan ibadah (dalam arti khusus). Begitu pula tatkala dia bekerja secara profesional dengan etos kerja tinggi didukung keahlian dan sikap amanah, mendidik anak dengan cara Islam, menepati janji, mengkaji ajaran Islam, mempedulikan keadaan kaum muslimin yang lain, aktif berdakwah atau dalam kegiatan keIslaman, bersabar tatkala mendapat musibah, memerintahkan isteri atau anak perempuannya berjilbab, menengok teman yang sakit, bermusyawarah, menjaga kesehatan dan kebersihan dan sebagainnya dia pun juga tengah menjalankan misi ibadah.

Sebaliknya, tatkala seseorang melalaikan tugas, melakukan korupsi dan manipulasi, memberi atau menerima suap, berbohong, berzina, menenggak minuman keras, mengkonsumsi narkoba, mengunjungi pub/diskotik, membantu terjadinya perzinaan, suka mendzalimi orang lain dan sebagainya, dikatakan ia telah telah melakukan maksiat kepada Allah. Berarti ia telah lupa terhadap hakikat keberadaannya di dunia. Demikian pula halnya bila dia menentang dakwah Islam, berjudi, menyatakan bahwa hukum Islam tidak layak karena dinilai kejam, merayakan Natal bersama, melakukan pelecehan seksual, berhutang tak mau bayar, meninggalkan shalat lima waktu atau shalat Jum’at, tidak memakai jilbab; berarti dia telah lalai dari arti hakikat hidupnya di dunia, yaitu beribadah kepada Allah.

3. Jawaban pertanyaan “Kemana Manusia Setelah Mati?”

Terhadap pertanyaan, “Kemana manusia setelah mati?”, Islam menjawab, bahwa setelah kematian akan ada Hari Kiamat (Yaumu al- Qiyamah). Islam menegaskan bahwa kehidupan tidaklah hanya ada di dunia saja, tapi juga di akhirat, yang mau tidak mau pasti akan dilalui manusia. Manusia adalah mahluk Allah, berasal dari Dia dan akan dikembalikan kepada-Nya. Pada hari Kiamat, manusia akan dibangkitkan lagi dari kuburnya untuk dihisab amal perbuatannya oleh Allah SWT, lalu ditentukan tempat selanjutnya: di sorga atau neraka.  “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan dari kuburmu di Hari Kiamat.” (QS Al Mukminun : 15-16)

“Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami berkuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (QS Al Qiyaamah : 3-4) Ketika dibangkitkan dari kuburnya, manusia dalam keadaan telanjang bulat. Sabda Nabi SAW :  “Sesungguhnya kalian akan dibangkitkan pada Hari Kiamat tanpa alas kaki, telanjang bulat, dan tidak berkhitan. ‘Aisyah bertanya,’Ya Rasulullah, laki-laki dan perempuan saling melihat (aurat) yang lain?’ Rasulullah menjawab,’Hai ‘Aisyah, pada saat itu perkara (Hari Kiamat) sangat dahsyat sehingga orang tidak akan memperhatikan hal itu.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Pada Hari Kiamat itu keadaan manusia yang dibangkitkan beraneka ragam sesuai dengan iman dan amal perbuatannya di dunia. “Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.” (QS Al Zalzalah : 6-8). Orang-orang kafir yang tak mempercayai Hari Kiamat akan benar-benar kaget dibuatnya. “Dan ditiupkan sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Rabb mereka. Mereka berkata: ‘Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?’ Inilah yang dijanjikan Dzat yang Maha Pemurah dan benarlah para rasul-Nya” (QS Yasin : 51-52).  Karena penyesalan yang teramat sangat, sampai-sampai orang-orang kafir saat itu berharap alangkah baiknya seandainya dulu di dunia menjadi tanah saja!

“Dia mengatakan,’Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (QS Al Fajr : 24)  “Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepada kalian (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang orang kafir berkata,”Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.” (QS An Naba` : 40)

Adapun orang muslim yang banyak berbuat dosa juga akan menyesal mengapa semasa hidup di dunia tidak menjalankan ajaran Islam sebagaimana mestinya dan telah mengambil teman (panutan) yang sesat dan menyesatkan. “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata,’Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.’ Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur`an ketika Al Qur`an itu telah datang kepadaku…” (QS Al Furqaan : 27-29)

Sedangkan orang-orang muslim yang taat menjalankan ketentuan-ketentuan ajaran Islam ketika di dunia tidak mengalami kegoncangan atau kekerasan pada Hari Kiamat. Nabi Muhammad SAW menyabdakan :  “Orang-orang ahli Laa ilaaha illallah (yang mengucapkan kalimat tersebut dan menunaikan haknya/konsekuensinya) tidak akan mengalami kegoncangan tatkala wafat, di alam kubur, dan tatkala dia dibangkitkan. Seolah-olah aku melihat mereka –ketika ditiup sangkakala yang kedua (saat dibangkitkan dari kubur)- sedang menyingkirkan tanah (pasir) dari kepala mereka seraya berkata,’Segala puji bagi Allah, yang telah menghilangkan duka cita dari kami.” (HR. Abu Ya’la).

Setelah dibangkitkan, manusia kemudian dihisab oleh Allah SWT. Pada saat itu Allah SWT akan menanyakan segala amal baik dan amal buruk yang pernah dilakukan manusia di dunia, baik amal yang kecil dan remeh, maupun amal yang besar dan agung. Pada saat itu, tiap manusia bahkan dapat membaca sendiri catatan amal perbuatannya dalam sebuah kitab yang diberikan kepada mereka. “Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS Al Hijr : 92-93)

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Kedua telapak kaki seorang anak Adam di Hari Kiamat masih belum beranjak sebelum ditanya kepadanya mengenai 5 (lima perkara) : tentang umurnya, untuk apa dihabiskan, tentang masa mudanya, apa yang dilakukannya, tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa dia belanjakan, dan tentang ilmunya, apa yang dia kerjakan dengan ilmunya itu.” (HR Ahmad).  Allah SWT berfirman bahwa manusia akan membaca catatan amalnya sendiri selama hidup di dunia.  “Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali pada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak ‘Celakalah aku’. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).“ (QS Al Insyiqaq : 7-12)

“Dan diletakkan kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: ‘Aduh celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya dan mereka dapati apa yang mereka telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun jua.” (QS Al Kahfi : 49). Setelah itu manusia akan digiring ke tempat dimana timbangan amal perbuatannya diletakkan.

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan) itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS Al Anbiyaa` : 47). “Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.” (QS Al Qari’ah : 6-9).

Setelah tahapan ini selesai, manusia akan dimasukkan ke dalam neraka atau surga. Orang kafir, baik dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) atau orang musyrik, akan dijebloskan ke neraka dengan diseret atas muka mereka selamanya. Orang muslim yang lebih banyak dos||anya daripada amal baiknya, akan masuk neraka untuk sementara waktu sesuai yang dikehendaki Allah.

Selanjutya masuk surga. Sabda Nabi SAW : “… Allah memerintahkan para malaikat mengentas dari neraka itu orang-orang yang tidak pernah sekalipun melakukan perbuatan syirik. Yaitu mereka yang berucap Laa ilaaha illallah. Orang-orang ini dapat diketahui melalui ciri khasnya, yakni di wajahnya ada bekas sujud. Api yang membakar tubuh manusia itu tidak sampai melalap bagian-bagian tubuh yang pernah bersujud. Dan itu memang dilarang Allah. Maka keluarlah mereka dalam keadaan terbakar. Untuk memadamkannya, disiramkanlah ke tubuh-tubuh yang hangus itu air kehidupan. Dari air itu bekas-bekas yang terbakar menjadi musnah dan membuat mereka tumbuh seperti biji-biji yang terbawa air bah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah RA)

Adapun para Nabi, syuhada, ulama, shiddiqin, akan masuk ke dalam surga-Nya dengan mendapat limpahan rahmat dan ridla-Nya.  “Orang-orang (kafir) yang dihimpunkan ke neraka Jahannam dengan diseret atas muka-muka mereka, mereka itulah orang yang paling buruk tempatnya dan paling sesat jalannya.” (QS Al Furqaan : 34)  “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al Bayyinah : 6)

Siksa neraka begitu dahsyat. Amat berat penderitaan para penghuni neraka menanggung semua siksa. Rasul menggambarkan, siksa yang paling ringan saja cukup membuat otak mendidih.  “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS An Nisaa` : 56).

“Disiramkan air yang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu dihancurluluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit mereka.” (QS Al Hajj : 19-20).
“Azab yang paling ringan di neraka pada Hari Kiamat adalah seseorang yang pada dua telapak kakinya ada dua bongkah bara api, lalu bara api ini akan merebus otak orang tersebut.” (HR. At Tirmidzi).  Adapun orang-orang mukmin, mereka akan masuk surga yang penuh kenikmatan, seraya mendapatkan ridlo dari Allah Azza Wa Jalla.

“Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir. Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk. Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al Waqi’ah : 17-24).  “Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengarkan ucapan salam. Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri dan pohon pisang yang tersusun (buahnya), dan naungan yang terbentang luas, dan air yang tercurah, dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya, dan kasur-kasur yang tebal dan empuk. Sesungguhnya Kami ciptakan mereka (bidadari-bidadari) lagi sebaya umurnya, (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan, (yaitu segolongan besar dari orang yang terdahulu, dan segolongan besar pula dari orang yang kemudian.” (QS Al Waqi’ah : 25-40).



4. Hubungan Antar Fase-fase Kehidupan

Islam menjelaskan pula, antara sebelum kehidupan dunia dengan kehidupan dunia terdapat 2 (dua) hubungan. Pertama, hubungan penciptaan (shilatu al-khalqi). Yakni bahwa Allah SWT sajalah yang menciptakan manusia, kehidupan, dan alam semesta ini. Kedua, hubungan perintah dan larangan (shilatu al-awamir wa al-nawahi). Artinya Allah SWT tidak sekedar menciptakan, namun juga memberikan perintah dan larangan kepada manusia, yang termaktub dalam wahyu (Al Qur`an dan As Sunnah) yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua bentuk hubungan itu dijelaskan dalam satu ayat suci Al Qur’an:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al A’raaf : 74)

Dalam ayat di atas, ditegaskan bahwa menciptakan (al-khalq) dan memerintah (al-amr) adalah hak Allah semata. Hak memerintah dari Allah ini terwujud dalam dua bentuk. Pertama, perintah untuk alam semesta (al-amru al-kauni) berupa hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku untuk alam semesta; Kedua, perintah hukum syara’ (al-amru al-tasyri’i) berupa hukum-hukum syara’ yang mengatur peri kehidupan manusia.
Hubungan antara kehidupan dunia (al-hayatu al-dunya) dengan apa yang ada setelah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya) dijelaskan oleh Islam dalam 2 (dua) hubungan. Pertama, hubungan pembangkitan dan pengumpulan (shilatu al-ba’tsi wa al-nusyur). Yakni bahwa Allah SWT akan membangkitkan manusia dari kuburnya, kemudian mengumpulkan mereka di Padang Mahsyar. Kedua, hubungan perhitungan amal (shilatu al- muhasabah). Yakni Allah SWT tidak sekedar membangkitkan dan mengumpulkan manusia, namun juga melakukan hisab (perhitungan) terhadap amal perbuatan manusia tatkala hidup dunia, apakah ia beriman kepada Allah atau tidak; bila beriman, apakah ia menjalankan perintah-Nya atau tidak serta menjauhi larangan-Nya atau malah mengerjakannya.

“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan dari kuburmu di hari kiamat.” (QS Al Mukminun : 15-16). Tentang hisab atau perhitungan amal baik dan buruk manusia, Allah menjelaskan:  “Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu”. (QS Al Hijr : 92-93).Demikianlah jawaban Aqidah Islamiyah yang sangat gamblang dan jelas terhadap al-Uqdatu al-kubro. 

Jawaban Sekulerisme Terhadap al-Uqdatul Kubro

Bagaimanakah Sekulerisme menjawab al-Uqdatu al-Kubro ? Sekularisme menjawab tiga pertanyaan mendasar itu kadang berdasarkan pada wahyu, kadang berdasar pada pemikiran spekulatif. Terhadap pertanyaan, “Dari manakah manusia berasal?”, Sekulerisme memang menjawab, bahwa manusia, juga alam semesta dan kehidupan, adalah ciptaan Tuhan. Dengan kata lain, antara apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya) dengan kehidupan dunia kini (al-hayatu al-dunya) terdapat hubungan penciptaan (shilatu al-khalqi). Jawaban ini wajar adanya, karena paham sekulerisme tidak menafikan agama (Nashrani), melainkan hanya menolak perannya dalam mengatur kehidupan. Jadi, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan dan peran-Nya dalam penciptaan tetap ada, walaupun hanya bersifat formalitas belaka.

Bedanya dengan Islam, Sekulerisme tidak mengakui adanya hubungan perintah dan larangan (shilatu al-awamir wa al-nawahi) antara Tuhan dengan manusia. Tuhan dianggap tidak berhak mengatur bagaimana manusia harus berkiprah dalam aspek politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan bidang kehidupan lainnya. Manusialah yang mengatur semua itu dengan hukum dan undang-undang buatannya sendiri. Tuhan hanya mengatur hubungan khusus yang bersifat personal antara manusia dan diri-Nya. Dalam kehidupan publik, manusialah yang berhak mengaturnya, bukan Tuhan (Hafizh Shalih, 1988)

Mengenai pertanyaan ”Untuk apa manusia hidup di dunia?”, Sekulerisme memberikan jawaban bahwa manusia hidup di dunia adalah untuk mengejar kebahagiaan duniawi, yakni mencari kepuasan jasmani yang sebesar-besarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa di tengah-tengah mereka berkembang paham hedonisme, pragmatisme, dan utilitarianisme. Dan semua sarana pemuasan tersebut dianggap tidak perlu diperoleh berdasarkan aturan agama. Cukup diperoleh dengan aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Bahkan untuk kehidupan umum mereka bersikeras harus steril dari pengaruh aturan agama (Ahmad Al Qashash, 1995).

Ini jelas sangat berbeda dengan Islam. Islam menjelaskan bahwa tugas manusia di dunia adalah beribadah, yang pasti menggunakan ketentuan dan aturan Islam (hukum-hukum syara’) dalam segala aspek kehidupannya, bukan dalam aspek ibadah mahdhah saja. Bahkan Islam memandang, Islam harus diamalkan secara menyeluruh (kaffah), tidak boleh sepotong-sepotong. Mengamalkan Islam secara sepotong-sepotong, misalnya menerima hukum Islam dalam beribadah shalat dan haji, tapi menolak hukum Islam dalam sistem pemerintahan dan ekonomi, adalah sesuatu yang amat bertolak belakang dengan Islam, yang dapat menimbulkan celaka di dunia dan di akhirat.

“Apakah kalian akan beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.” (QS Al Baqarah : 85)

Mengenai pertanyaan “Kemana aku setelah mati?”, Sekulerisme memang menjawab bahwa nanti manusia akan dibangkitkan lagi pada Hari Kiamat. Jadi, hubungan pembangkitan dan pengumpulan (shilatu al-ba’tsi wa al-nusyur) mereka juga akui adanya.
Namun bertolak belakang dengan Islam, Sekulerisme tidak mengakui adanya hubungan perhitungan amal (shilatu al-hisab), atau setidak-tidaknya hubungan itu menjadi absurd dan kontradiktif. Sebab hubungan perhitungan amal hanya akan wujud, jika manusia di dunia diharuskan berpegang pada perintah dan larangan-Nya. Oleh karena mereka membuat aturan hidupnya sendiri dan tidak menjalankan agama dalam mengatur kehidupan, bagaimana mungkin mereka diharuskan mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan? Bukankah seharusnya mereka mempertanggung jawabkannya terhadap diri sendiri? Pemikiran seperti ini tentu saja sangat naif.
Ikhtisar jawaban Islam dan sekularisme terhadap al-Uqdatu al-Kubro dari Islam dan Sekulerisme di atas disajikan secara ringkas sebagai berikut:

Aspek Pertanyaan Islam Sekulerisme
1.     ”Darimana manusia berasal?” -Manusia diciptakan Allah SWT -Mengakui hubungan perintah & larangan (shilatu al-awamir) antara Allah dan manusia -Manusia diciptakan Tuhan (secara formalitas) -Tidak mengakui hubungan perintah & larangan antara Allah dan manusia (kecuali secara parsial dan personal).
2.     “Untuk apa manusia hidup?” -Ibadah kepada Allah SWT (hidup sesuai tuntunan Islam) -Mencari kepuasan jasmani yang sebesar-besarnya (tidak terikat dengan tuntunan agama)
3.     “Kemana manusia setelah mati?” -Kebangkitan pada Hari Kiamat -Mengakui hubungan perhitungan amal (shilatu al-muhasabah) -Kebangkitan pada Hari Kiamat (secara formalitas) -Tidak mengakui hubungan perhitungan amal (shilatu al-muhasabah), atau membuat hubungan itu tidak jelas.


KESIMPULAN SAHIH BATIL

Dari kedua versi jawaban di atas, manakah jawaban yang benar? Jawaban yang benar adalah yang bersumber dari sesuatu yang benar. Sesuatu yang benar haruslah bersumber dari yang pasti benar (al-haq). Dialah Allah. Dengan demikian, sumber yang benar adalah wahyu (al-Qur’an).  Pemikiran spekulatif nilainya bisa benar bisa salah. Tapi bila telah hadir pemikiran yang pasti benar, maka pemikiran spekulatif pasti salah adanya. Maka, bagi seorang muslim, jawaban yang benar tentu saja adalah yang bersumber dari al-wahyu, yakni Al Qur`an dan As Sunnah. Tapi, bagaimana meyakini bahwa al-Qur`an itu betul-betul merupakan wahyu Allah ? Apa buktinya?

Secara faktual, Al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Maka, secara rasional hanya ada tiga kemungkinan asal Al Qur’an: 1) karangan bangsa Arab; 2) karangan Nabi Muhammad SAW; 3) berasal dari Allah SWT.
Kemungkinan pertama tidak bisa diterima. Sebab, faktanya bangsa Arab taklah pernah mampu memenuhi tantangan untuk membuat kitab serupa al-Qur’an,
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS Al Baqarah : 23).

Kemungkinan kedua, juga tidak bisa diterima. Mengapa? Ada dua sebab. Pertama, Muhammad SAW termasuk orang Arab. Kalau seluruh orang Arab tidak mampu memenuhi tantangan untuk membuat satu surat pun yang semisal dengan Al Qur’an, apalagi Nabi Muhammad yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) tentu lebih tidak bisa lagi. Andai saja nabi Muhammad bisa membuat al-Qur’an, apalagi orang-orang Arab lain yang lebih pandai dari Nabi Muhammad tentu lebih bisa membuat al-Qu’an. Kedua, gaya bahasa dalam tutur kata beliau sebagaimana yang terekam dalam hadits-hadits qauliyah ternyata berbeda dengan gaya bahasa Al Qur’an. Sekalipun seseorang barangkali bisa berbicara dalam dua gaya bahasa, namun mengeluarkan ungkapan dalam intensitas yang tinggi sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah SAW adalah suatu hal yang mustahil terjadi. Kalau pun toh ada yang berupaya keras melakukannya, kemiripan di antara dua gaya bahasa yang dia ungkapkan akan kerap kali terjadi. Sedangkan gaya bahasa Al Qur’an jelas berbeda dari gaya bahasa hadits. Ini jelas menunjukkan bahwa Al Qur’an bukanlah perkataan (kalaam) Nabi Muhammad SAW sendiri.

Bahwa Al Qur`an itu bukan buatan Muhammad SAW, juga dibuktikan dengan adanya fakta-fakta ilmiah yang terkandung dalam sebagian ayat-ayat Al Qur`an. Fakta-fakta yang sedemikian canggih dan rumit itu baru terbukti pada masa modern kini, yang menunjukkan Al Qur`an tidak mungkin dikarang oleh Muhammad SAW yang ummi itu. Dengan kata lain, Al Qur`an itu hanya dari sisi Allah saja, bukan dari yang lainnya. Di antara fakta-fakta ilmiah itu antara lain Tentang Atmosfer Bumi dan pergiliran siang dan malam secara cepat.
“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya.” (QS Al Anbiyaa` : 32)
Para ilmuwan sekarang menjelaskan kepada kita bahwa “atap yang terpelihara” (saqfan mahfuzhan) dalam ayat di atas adalah lapisan atmosfer, yaitu udara yang berlapis-lapis di atas bumi. Seandainya atmosfer tidak ada, niscaya jutaan meteor yang setiap hari terbakar di angkasa akan jatuh mengenai kita dan membakar segala sesuatu di bumi. Atmosfer telah dijadikan Allah bagaikan atap yang kokoh yang melindungi bumi beserta segenap makhluk hidup di dalamnya.

Tentang pergiliran siang dan malam secara cepat, Allah berfirman, “Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.” (QS Al A’raaf : 54).  Maksud ayat di atas, bahwa siang dan malam, masing-masing saling mengikuti secara cepat dengan tidak terputus. Ayat tersebut mengandung suatu isyarat tentang rotasi bumi yang menyebabkan datangnya siang dan malam. Demikian pula firman Allah SWT :  “Dia menutupkan malam kepada siang dan menutupkan siang kepada malam.” (QS Az Zumar : 5)  “Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam.” (QS Faathir : 13)  “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar menurut garis edarnya.” (QS Al Anbiyaa` : 33).

Kosmonot Rusia, Yuri Gagarin, ketika terbang ke angkasa mengatakan bahwa dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri pergiliran gelap dan cahaya yang cepat di permukaan bumi karena adanya rotasi bumi. Inilah beberapa contoh ayat Al Qur`an yang membuktikan pula bahwa Al Qur`an itu berasal dari dari Allah SWT semata, bukan buatan manusia, termasuk Muhammad SAW. Pada zaman Nabi Muhammad SAW ilmu pengetahuan yang mengungkapkan hakikat ayat-ayat itu tidak dikenal. lmu pengetahuan seperti ini hanya diketahui oleh manusia modern saat ini. Maha benar Allah dengan firman-Nya: “Katakanlah, Al Qur`an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia langit dan bumi. Sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Furqaan : 6)

Bila kemungkinan pertama dan kedua tidak terbukti, maka kemungkinan ketiga lah yang pasti benar, yaitu bahwa Al Qur’an itu berasal dari sisi Allah SWT. Al Qur’an adalah ucapan (kalaam) Allah SWT. Patut dicatat di sini bahwa seorang tokoh sastrawan Quraisy yang bernama Walid bin Mughirah pernah mengatakan:  “Aku adalah orang yang paling tahu tentang sya’ir Arab. Tak ada yang lebih pandai tentang hal itu kecuali aku. Sungguh apa yang dibaca Muhammad itu bukanlah ucapan manusia. Dia itu tinggi, tak ada yang lebih tinggi darinya.” (lihat Taqiyyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz I/148).

Adapun jawaban paham Sekulerisme terhadap Al Uqdatul Kubro, adalah jawaban yang amat spekulatif, karena ia berasal dari manusia yang lemah dan terbatas, serta tidak dapat menjangkau pengetahuan di luar batas-batas kemampuan inderawinya. Bahkan merekapun sendiri tak yakin, apakah jawaban itu benar. Bila ada jawaban yang pasti benar (yang bersumber dari al-wahyu), maka jawaban spekulatif ini pasti salah.
Oleh karena itu, wajib bagi tiap muslim untuk meyakini jawaban tentang al-uqdatu al-kubra yang diberikan oleh Islam karena jawaban ini didasarkan pada al-wahyu yang pasti benar. Allah menjelaskan bahwa tiap muslim wajib mengikuti apa yang telah diturunkan-Nya dan haram mengambil petunjuk selain keduanya.

“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS Al A’raaf : 3). Penutup  Jawaban Islam tentang al-uqdatu al-kubra yang bersumber dari wahyu Allah adalah jawaban yang sahih, memuaskan akal, dan sesuai dengan fitrah manusia. “Alif laam miim. Kitab (Al Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS Al Baqarah : 1-2)
Sementara, sekulerisme memang memberikan jawaban terhadap Al Uqdatul Kubro. Tapi jawaban yang diberikan itu salah, karena berlandaskan pada pemikiran spekulatif.
Dengan jawaban tuntas yang diberikan Islam tentang tiga pertanyaan mendasar “dari mana manusia berasal?”, “untuk apa manusia hidup?” dan “kemana setelah mati?”, tersingkaplah dengan gamblang hakikat hidup seorang muslim, yakni untuk beribadah kepada Allah yang telah menciptakannya di dunia, agar kelak bisa hidup bahagia kekal abadi di surga. Maka, hidup seorang muslim adalah hidup dengan misi yang agung, hidup yang terarah dan mantap, serta hidup yang bermutu tinggi dengan keyakinan akan kegemilangan hidup hakiki yang abadi di akherat kelak.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Dikirim oleh Muhammad Abduh
Read more