Open top menu
Jumat, 25 April 2014
no image



Latar Belakang
Kita sepakat bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi karena kita bergerak di bidang pendidikan. Juga pasti kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan ini dialami oleh semua manusia dari semua golongan. Tetapi seringkali orang melupakan makna dan hakikat pendidikan itu sendiri. Layaknya hal lain yang sudah menjadi rutinitas, cenderung terlupakan makna dasar dan hakikatnya. Karena itu benarlah kalau dikatakan bahwa setiap orang yang terlihat dalam dunia pendidikan sepatutnyalah selalu merenungkan makna dan hakikat pendidikan, merefleksikannya di tengah-tengah tindakan/aksi sebagai buah refleksinya. Makalah singkat ini mencoba mengungkap makna education, Tarbiyah, pendidikan yang terkadang dimaknai secara sempit. Makalah ini akan memberikan gambaran perbedaan makna tarbiyah, ta‟lim, tadris, tahdzib, Ta‟dib dan tadrib dengan menampilkan pendapat-pendapat para pakar pendidikan baik dari literatur barat maupun timur. Pembahasan makalah ini dimulai dengan pengertian pendidikan dari tinjauan etimologis dan terminologis untuk mengantarkan pembahasan pada hakikat pendidikan. 

Masalah 

Adapun yang menjadi permasalahan dalam pembahasan ini adalah :
1.     Apa arti pendidikan (secara etimologis dan terminologis)?
2.     Bagaimana Fenomena pendidikan Indonesia
3.     Apa hakikat Pendidikan itu? 

Pemecahan masalah 

Dalam memecahkan masalah, penulis menggunakan pendekatan deskriptif analitik, yaitu dengan memaparkan tori-teori dari berbagai literatur secara teliti dan kritis yang relevan dengan permasalahan tersebut

Metodologi Penulisan 

Mengingat permasalahan ini terbatas pada stu kajian yaitu hakikai pendiidkan, maka metode yang digunakan adalah metode diskriftif. Suatu metode yang memusatkan pada pemecahan yang aktual. Data dikumpulkan dari berbagai literatur, lalu disusun, dianalisis dan dijelaskan kemudian disimpulkan. 

Sistimatika penulisan 

Penulisan ini terdiri atas; Pendahuluan ,Pengertian pendidikan (tinjauan pendidikan dari sudut etimologis dan terminologis), Fenomena pendidikan di Indonesia , Hakekat Pendidikan dan sebagai ilustrasi penulis sajikan hakekat pendidikan Islam.
Dan diakhiri dengan kesimpulan. 

Pengertian Pendidikan
 
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah “pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak, orang Romawi memandang pendidikan sebagai “educare”, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai “Erzichung” yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak.
Dalam bahasa Jawa pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah, kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran dan watak, mengubah kepribadian sang anak. Sedangkan menurut Herbart pendidikan merupakan pembentukan peserta didik kepada yang diinginkan sipendidik yang diistilahkan dengan Educere.( M.R. Kurniadi,STh;1) Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar “didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian proses pengubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perluasan, dan cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Tinjauan Etimologis

Istilah pendidikan, menurut Carter V. Good dalam “Dictionary of Education” dijelaskan sebagai berikut:
a. Pedagogy:
1.     The art, practice of profession of teaching “seni, praktik atau profesi sebagai pengajar (pengajaran)
2.     The sistematized learning or instruction concerning principles and methods of teaching and of student control and guidance; lagerly replaced by the term of education. “ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dan metode-metode mengajar pengawasan dan bimbingan murid dalam arti luas diartikan dengan istilah pendidikan”
b. Education:
1.     proses perkembangan pribadi;
2.     proses sosial;
3.     profesional cources;
4.     seni untuk membuat dan memahami ilmu pengetahuan yang tersusun yang diwarisi/dikembangkan generasi bangsa.
Dalam bahasa Arab pendidikan disebut Tarbiyah yang diambil dari Rabba ( ) yang bermakna memelihara , mengurus, merawat, mendidik. Dalam literatur-literatur berbahasa Arab kata Tarbiyah mempunyai bermacam macam definisi yang intinya sama mengacu pada proses pengembangan potensi yang dianugrahkan pada manusia. Definisi-definisi itu antara lain sebagai berikut:
1.     Tarbiyah adalah proses pengembangan dan bimbingan jasad, akal dan jiwa yang dilakukan secara berkelanjutan sehingga mutarabbi (anak didik) bisa dewasa dan mandiri untuk hidup di tengah masyarakat. (Ath-Thabari 67)
2.     Tarbiyah adalah kegiatan yang disertai dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati, perhatian bijak dan menyenangkan; tidak membosankan.( Al-Maraghi, Juz V; 34)
3.     Tarbiyah adalah proses yang dilakukan dengan pengaturan yang bijak dan dilaksanakan secara bertahap dari yang mudah kepada yang sulit.
4.     Tarbiyah adalah mendidik anak melalui penyampaian ilmu, menggunakan metode yang mudah diterima sehingga ia dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari (Fathul Bari Jilid I; 162 )
5.     Tarbiyah adalah kegiatan yang mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan perasaan memiliki terhadap anak didik. (Al-Maraghi jilid III: 79).
Dalam definisi –definisi di atas tersirat unsur-unsur pembelajaran yaitu ta‟lim dan tadris (Instruction ) tahdib dan ta‟dib (penanaman akhlak mulia) dan Tadrib (Taining – pelatihan).

Tinjauan Terminologis 

Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Lebih lanjut beliau ( Kerja Ki Hajar Dewantara 1962:14)menjelaskan bahwa “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti ( kekuatan batin, karakter),pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya “.  Beliau lebih lanjut mejelaskan bahwa pendidikan harus mengtamakan aspek-aspek berikut:
1.     Segala alat, usaha dan cara pedidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan
2.     Kodratnya keadaan itu tersimpan dalam adat-istiadat setiap rakyat, yang oleh karenanya bergolong-golong merupakan kesatuan dengan sifat prikehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat mana terjadi dari bercampurnya semua usaha dan daya upaya untuk mencapai hidup tertib damai.
3.     Adat istiadat, sebagai sifat peri kehidupan atau sifat percampuran usaha dan daya upaya akan hidup tertib damai itu tiada terluput dari pengaruh zaman dan tempat.; oleh karena itu tidak tetap senantiasa berubah.
4.     Akan mengetahui garis-hidup yang tetap dari sesuatu bangsa perlulah kita mempelajari zaman yang telah lalu
5.     Pengaruh baru diperoleh karena bercampurgaulnya bangsa yang satu dengan yang lain,percampuran mana sekarang ini mudah sekali terjadi disebabkan adanya hubungan modern.
Haruslah waspada dalam memilih mana yang baik untuk menambah kemuliaan hidup kita dan mana yang akan merugikan. Itulah diantara pikiran- pikiran beliau yang sangat sarat dengan nilai.
Menurut buku “Higher Education For America Democracy”: Education is an institution of civilized society, but the purposes of education are not the same in all societies, an educational system finds it‟s the guiding principles and ultimate goals in the aims and philosophy of the social order in which it functions (11: 5) “pendidikan alah suatu lembaga dalam tiap-tiap masyarakat yang beradab, tetapi tujuan pendidikan tidaklah sama dalam setiap masyarakat. Sistem pendidikan suatu masyarakat (bangsa) dan tujuan-tujuan pendidikannya didasarkan atas prinsip-prinsip (nilai) cita-cita dan filsafat yang berlaku dalam suatu masyarakat (bangsa)”.
Menurut Prof. Richy dalam buku “Planing for Teaching and Introduction to Education”: The term “education” refers to the broad function of preserving and inproving the life of the group through bringing new members into its shared concerns. Education is thus a far broader process thah that which accurs in schools. It is an essential social activity by which communicaties continue to exist in complex communicaties this function is specialized and institutionalized in formal education, but there is always the education outside the school with wich the formal process in related (12: 489) “Istilah pendidikan berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu bangsa (masyarakat) terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi muda) bagi penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang esensial yang memungkinkan masyarakat yang kompleks dan modern. Fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan formal di luar sekolah.
Prof. Lodge dalam buku “Philosophy of Education”: The word “education” is used, sometimes in a wider, sometimes in a narrower, sense. In the wider sense, all experienceis said to the educative and life is education and education is life. “Perkataan pendidikan kadang-kadang dipakai dalam pengertian yang luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian luas pendidikan adalah semua pengalaman, dapat dikatakan juga bahwa hidup adalah pendidikan atau pendidikan adalah hidup”. In the narrower sense “education is restricted to that function of the community which consists in passing in its traditions its background and its outlook to the members of the rising generation. “Pengertian pendidikan secara sempit adalah pendidikan dibatasi pada fungsi tertentu di dalam masyarakat yang terdiri atas penyerahan adat istiadat (tradisi) dengan latar belakang sosialnya, pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi berikutnya.
Menurut Brubacher dalam bukunya “Modern Philosophies of Education”: “Education should be thought of as the process of mans reciprocal adjusment to nature to his follows and to the ultimates nature of the cosmos. “Pendidikan diartikan sebagai proses timbal balik dari setiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman dan alam semesta. Education is the organized development and equipment of all the power of human being, moral, intellectual, and physical, by and for their individual and social uses, directed to word the union of these activities with their creator as their final end. “Pendidikan merupakan pula perkembangan yang terorganisasi dan kelengkapan dari semua potensi manusiawi, moral, intelektual dan jasmani oleh dan untuk kepribadian individunya serta kegunaan masyarakatnya yang diarahkan demi menghimpun semua aktivitas tersebut bagi tujuan hidupnya”.(The Internet,http.www.Wikipedia Pendidikan com)

Fenomena Pendidikan Indonesia

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang sakit ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak demikian. Seringkali kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada. Masalah pertama adalah bahwa pendidikan di Indonesia menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah atau tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Masalah kedua, sistem pendidikan yang top down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paula Freire (tokoh pendidik Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena peserta didik dianggap sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa. Masalah ketiga, model pendidikan yang hanya diorientasikan kepada manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (wujud dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak-belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, dan budaya situasi masyarakat lain. Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat toleran untuk direnungkan. 

Hakikat Pendidikan

Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture and transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia. Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Menurut pandangan Paula Freire pendidikan adalah proses pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan. Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Alquran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil) Dengan demikian hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh nilai-nilai, motivasi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri.Maka hakikat pendidikan dapat dirumuskan sebagi berikut :
1.         Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik;
2.         Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat;
3.         Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat;
4.         Pendidikan berlangsung seumur hidup;Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu.
Hakikat Pendidikan Islam Pendidikan secara semantik menunjukkan pada suatu kegiatan atau proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan seseorang kepada orang lain . Pengertian tersebut belum menunjukkan adanya program, sistem, dan metoda yang lazimnya digunakan dalam melakukan pendidikan atau pengajaran. Masih dalam pengertian kebahasaan ini, dijumpai pula kata tarbiyah dalam bahasa Arab. Kata ini sering digunakan oleh para ahli pendidikan Islam untuk menerjemahkan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia. Selain kata tarbiyah terdapat pula kata ta‟lim. Kata ini oleh para penerjemah sering diartikan pengajaran. Selain kata tarbiyah terdapat pula kata ta‟lim.
Kata ini oleh para penerjemah sering diartikan pengajaran. Dalam pengertian itu Yusuf A. Faisal, pakar dalam pendidikan mengatakan bahwa “Pengertian pendidikan islam dari sudut etimologi (ilmu akar kata) sering dikatakan istilah ta‟lim dan tarbiyah yang bersal dari kata allama dan rabba yang dipergunakan dalam al-Qur‟an sekalipun kata tarbiyah lebih luas konotasinya, yaitu mengandung arti memelihara, membesarkan dan mengandung makna sekaligus mengandung makna mengajar (allama). Selanjutnya Faisal mengutip pendapat Naquib Alatas dalam bukunya Islam and Secularism sebagaimana tersebut diatas terdapat pula kata ta‟dib yabg ada hubungannya dengan kata adab yang berarti sopan santun.” (Nata Abuddin 2005: 5)
Selanjutnya bagaimanakah penjelasan yang diberikan al-Quran terhadap ketiga kata tersebut ?. Untuk ini Muhammad Fuad „Abd al-Baqy dalam bukunya Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur‟an al Karim telah mengimformasikan bahwa dalam al-Qur‟an kata Tarbiyah dalam kata yang serumpum dengannya diulang sebanyak lebih dari 872 kali. Kata tersebut berakar pada rabb. Kata ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Raghib al-Ashfahany, pada mulanya berarti al-Tarbiyah yaitu insya‟ al-Sya‟i halan ila halin ila had tamam yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu tahap demi setahap sampai pada batas yang sempurna.
Kata selanjutnya digunakan oleh al-Qur‟an ntuk berbagai hal antara lain digunakan untuk menerangkan salah satu sifat atau perbuatan Tuhan, yaitu rabb al-„alamin yang artinya Pemelihara, Pendidik, Penjaga, Penguasa dan Penjaga sekalian alam. (lihat Q.S, al-Fatihah, 1:2; al-Baqarah 2:131; al-Maidah, 5:28; al-An‟am, 6:45; 71; 162 dan 164; al-Ar‟af, 7:54; dan seterusnya) selain kata rabb digunakan untuk arti sebagaimana disebut diatas, digunakan pula untuk arti yang obyeknya lebih terperinci lagi, yakni bahwa yang dipelihara, dididik dan seterusnya ada yang berupa al-„arsyy al azhim, yakni arsy yang demikian besar (Lihat Q.S 9:129), al-Masyaariw yakni ufuk timur tempat terbitnya matahari (Q.S 37:5), aba‟ukum al-awwalun yakni nenek moyang para pendahulu orang kafir Quraisy (Q.S 37:126), al-Maghrib ufuk barat tempat terbenamnya matahari (Q.S 55:17), al-Baldah yakni negeri dalam hal ini adalah Makkah al-Mukarramah (Q.S 2:126), Bait yakni rumah yang dalam hal ini adalah Baitullah, Kabah yang ada di Makkah. Beberapa ayat tersebut diatas menunjukan dengan jelas, bahwa kata rabb sebagaimana yang ditunjukan pada al-Quran ternyata digunakan untuk menunjukan obyek yang bermacam-macam, yang dalam ini meliputi benda-benda yang bersifat fisik dan non fisik. Dengan demikian pendidikan meliputi pemeliharaan terhadap seluruh mahluk Tuhan. Adapun kata yang kedua, dalam hal ini „allama sebagaimana dijelaskan oleh al-Raghib al-Ashfahany, digunakan secara khusus untuk menunjukan sesuatu yang dapat diulang dan diperbanyak sehingga meninggalkan bekas atau pengaruh pada diri seseorang dan ada pula yang mengatakan bahwa kata tersebut digunakan untuk mengingatkan jiwa agar memperoleh gambaan mengenai arti tentang sesuatu, dan kadang kata tersebut juga dapa diartikan pemberitahuan. Kata ta‟lim yang berakar padda kata „allama dengan erbagai akar kata yang serumpum dengannya delam al-Quran disebut sebanyak lebih dari 840 kali dan digunakan untuk arti berbagai macam. Terkadang oleh Allah digunakan untuk menjelaskan pengetahuan-Nya yang diberikan kepada manusia (Lihat Q.S 2:269), digunakan untuk menjelaskan bahwa Allah maha mengetahui terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia (Lihat Q.S 11:79) digunakan untuk menjelaskan bahwa Allah mengetahui orang-orang yang mengikuti petunjuknya. (Q.S 2:143). Dari informasi ini terlihat bahwa kata ta‟lim dalam al-Quran mengacu pada adanya sesuatu berupa pengetahuan yang diberikan kepada seseorang.. jadi sifatnya intelektual. Sedangkan kata tarbiyah lebih mengacu pada bimbingan, pemeliharaan, arahan, penjagaan, dan sifatnya pembentukan kepribadian.
Adapun mengenai ta‟dib yang berakar pada kata addba tidak dijumpai dalam al-Quran. Kata tersebut dijumpai dalam hadist antara lain ang berbunyi : addabani rabby fa ahsana ta‟diby, artinya : “ Tuhanku telah mendidikku dan telah membuat pendidikankku sebaik-baiknya. Dalam pembahasan selanjutnya dijumpai perbedaan pendapat dikalangan para ahli menengenai pemakaian kata tersebut dalam hubungannya dengan pendidikan. Abdurrahman al-Nahlawi, misalnya lebih cenderung menggunakan kata tarbiyah untuk kata pendidikan. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa kata tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu pertama dari kata rabba , yarbu, yang berarti bertambah dan bertumbuh, karena pendidikan mengandung misi untuk menambah bekal pengetahuan kepada anak didik dan menumbuhkan potensi yang dimilikinya; kedua dari kata rabbya, yarba, yang beararti menjadi besar, karena pendidikan juga mengandung arti untuk membesarkan jiwa dan memperluas wawasan seseorang, dan ketiga dari kata rabba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, dan memelihara sebagaimana telah dijelaskan diatas. Kemudian Naqwib al-Attas berpendapat bahwa:” kata yang paling tepat untuk mewakili kata pendidikan adalah kata ta‟dib. Sementara istilah tarbiyah dinilainya terlalu luas yakni mencakup pendidikan untuk hewan, tumbuhan dan sebagainya. Sedangkan kata ta‟dib sasaran pendidikannya adalah manusia.” (Nata Abuddin 2005: 13) Berbeda dengan kedua pendapat diatas, Abdul Fattah Jalal berpendapat bahwa istilah yang lebih komprehensip untuk mewakili istilah pendidikan adalah istilah ta‟lim. Menurutnya istilah yang terakhir ini (ta‟lim) justru lebih universal dibanding dengan istilah tarbiyah. Untuk ini Jalal mengajukan alasan, bahwa kata ta‟lim berhubungan dengan pemberian bekal pengetahuan. Pengetahuan ini dalam islam dinilai sesuatu yang dimiliki kedudukan yang tinggi. Hal ini misalnya dapat dijelaskan melalui kasus Nabi Adam yang yang diberi pengajaran (ta‟lim) oleh Allah. Dengan sebab ini, para malaikat bersujud (menghormati) Nabi Adam lihat Q.S Al-Baqarah.
Uraian diatas dapat memperlihatkan dengan jelas bahwa dikalangan para ahli pendidikan sendiri masih belum terdapat kesepakatan mengenai penggunaan dari ketiga istilah tersebut untuk mewakili kata pendidikan. Untuk menghindari pembicaraan berkepanjangan yang dasarnya hanya pemainan kosa kata, maka Konferensi Internasional pendidikan Islam pertama (First World Conferention Muslim Education) yang diselenggarakan oleh Universitas King Abdul Azis, Jeddah, pada tahun 1977, belum berhasil merumuskan secara jelas tentang definisi pendidikan, khususnya menurut Islam. Dalam bagian rekomendasi konferensi tersebut, para peserta membuat kesimpulan bahwa pengertian pendidikan menurut islam adalah keseluruhan pengertian yang terkandung didalam ketiga istilah tersebut. Namun demikian, ketiga istilah tersebut sebenarnya memberi kesan bahwa antara satu dan yang lainnya berbeda. Beda istilah ta‟lim mengesankan memberikan proses pemberian bekal pengetahuan. Sedangkan istilah tarbiyah, mengesankan proses pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental.sementara istilah ta‟dib mengesankan proses pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental, sedangkan sitilah ta‟dib mengesankan proses pembinaan terhadap sikap moral dan estetika dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat manusia. 

Kesimpulan 

Hakikat pendidikan adalah upaya sadar untuk mengembangkan potensi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan diarahkan pada tujuan yang diharapkan agar memanusiakan manusia atau menjadikannya sebagai insan kamil, manusia utuh atau kaffah. Hakikat pendidikan ini dapat terwujud melalui proses pengajaran, pembelajaran (ta‟lim dan tadris), pembersihan dan pembiasaan (tahdzib dan ta`dib), dan tadrib (latihan) dengan memperhatikan kompetensi kompetensi pedagogi berupa profesi, kepribadian dan sosial. Pendidikan menumbuhkan budi pekerti, kekuatan batin , karakter, pikiran dan tubuh peserta didik yang dilakukan secara integral tanpa dipisah-pisahkan antara ranah-ranaha tersebut.
Read more
Senin, 21 April 2014
no image



Oleh : S. Arifiannto



Abstraksi

Kajian budaya dan media dalam ranah efistimologi masih bersifat umum.Ia hidup dalam belantara diantara ilmu pengetahuan humaniora lainnya.Namun kajian ini berupaya menggabungkan teori-teori budaya dan media secara kritis. Membahas media dalam perspektif budaya, adalah memahami cara-cara produksi budaya dalam pertarungan ideologi. Sebagai kajian lintas disiplin dan bertolak dari perspektif ideologis, maka kajian budaya dan media (cultural studies and media) secara kritis akan mengkaji proses-proses budaya alternatif pada media dalam menghadapi arus budaya. Secara lebih spesifik adalah untuk memahami apa yang menyebabkan budaya alternatif itu tumbuh atau atas ketidakberdayaan dalam menerima arus budaya global, dari kemajuan teknologi informasi. Kata kunci : media, budaya, komodifikasi.


Pendahuluan

Kajian budaya dan media (cultural studies and media) sering disebut sebagai wilayah kajian multi-disiplin. Artinya kajian yang dimaksud lebih mengakar pada lintas disiplin ilmu humaniora. Kajian tersebut merupakan sebuah fenomena pascamodern dalam dunia akademis tentang mengaburnya batas-batas antar-disiplin ilmu.Jika dilihat dari sudut pandang nominalis disiplin’sebenarnya konsep ini hanyalah merupakan istilah untuk melegitimasi metode dan teori-teori dalam kajian yang bersangkutan.Kajian ini lebih melihat berbagai persoalan media dari perspektif budaya. Tetapi yang sering luput dalam perbincangan tentang lintas-disiplin dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora bahwa gagasan lintas-disiplin dalam kajian budaya dan media itu sendiri masih juga melibatkan gagasan tentang perlintasan antara teori dengan tindakan. Inilah persoalan pokok yang di anggap mampu membedakan antara kajian budaya dan media dengan displin lainnya. Relasi kajian budaya dan media dengan kekuasaan dan politik, dengan keinginan akan perubahan lebih banyak merepresentasikan kondisi kelompok-kelompok sosial masyarakat yang terpinggirkan. Terutama kelompok kelas, gender dan ras (tapi juga kelompok usia, kecacatan, kebangsaan, dsb) pada kultur tertentu. Kajian budaya dan media (cultural studies and media) merupakan sebuah bangunan teori yang dihasilkan para pemikir yang menganggap produksi pengetahuan teoritis sebagai suatu praktik politis. Pada konstelasi ini pengetahuan tidak pernah dipandang sebagai sebuah fenomena yang bersifat netral atau objektif. Setiap fenomena senantiasa di lihat sebagai persoalan posisional, yaitu persoalan dari mana, kepada siapa dan dengan tujuan apa seseorang bicara. Ciri kajian budaya dan media yang di anggap menonjol, di antaranya persoalan diskursif yang selalu mengedepan di lingkungan masyarakat kontemporer. Apa yang dimaksud dengan kajian budaya dan media adalah sebuah medan nyata di mana praktik dan representasi ”media” selalu di lihat dari sudut pandang perspektif budaya popular. Budaya itu sendiri merupakan bentukbentuk kontradiktif akal sehat yang sudah mengakar pada dan ikut membentuk kehidupan sehari-hari (Hall, 1996: 439). Budaya berkaitan dengan makna-makna sosial, yaitu beragam cara yang lazim di gunakan untuk memahami dunia. Meski demikian, maknamakna sosial itu tidak dengan sendirinya berada di luar konteksnya. Melainkan makna makna itu muncul lewat tanda,maupun petanda dalam bahasa.

Dalam kajian budaya dan media selalu berargumen bahwa bahasa bukan sebuah medium yang netral tempat dibentuknya makna yang bersifat objektif dan independen. Bahasa justru terlibat dalam pembentukan makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak. Dari bahasa tersebut bisa kita pahami berbagai istilah-istilah dan simbol simbol lainnya guna mereproduksi makna makna. Proses-proses produksi makna ini disebut praktik-praktik penandaan (signifying practices), mempelajari kajian budaya dan media sama halnya dengan meneliti bagaimana makna diproduksi secara simbolik dalam bahasa sebagai ‘sistem penandaan’ dalam budaya popular. Media sebagai sebuah industri budaya modern yang di dalamnya mengandung makna komodifikasi ekonomi komersial sudah memenuhi katagori sebagai budaya popular pada lazimnya. Sebagai budaya popular, yang mendapat perhatian lebih dalam kajian budaya dan media, maka ”media” merupakan salah satu medan di mana budaya popular itu terbentuk. Untuk memahami kekuasaan dan kesadaran terbentuknya budaya media, ada dua konsep yang sering digunakan dalam teks teks kajian budaya dan media. Kedua konsep yang sudah sering di gunakan itu adalah konsep ideologi dan hegemoni. Konsep ideologi lebih cenderung bertautan dengan petapeta makna yang berpretensi mengandung nilai kebenaran yang bersifat universal. Sebenarnya konsep ini lebih merupakan pengertian-pengertian yang spesifik yang menopengi atau melanggengkan kekuasaan. Misalnya, ”konstrusi berita media televisi yang bermakna menjelaskan dunia dalam kerangka bangsa-bangsa, dan dianggap sebagai objek secara ‘alami’, dengan mengaburkan pembagian-pembagian kelas dalam formasi sosial dan ketidak alamian kebangsaan (Barker, 2000: 10). Representasi gender dalam iklan yang menggambarkan perempuan sebagai tubuh-tubuh seksi. Mereduksi perempuan kedalam kategori-kategori itu, bermakna merampok mereka dari tempatnya sebagai manusia dan warga negara. Proses pembuatan, memperta hankan dan reproduksi makna dan praktik-praktik kekuasaan seperti itu disebut sebagai hegemoni. Hegemoni berkait dengan suatu situasi dimana ‘blok historis’ suatu kelompok yang berkuasa mendapatkan kewenangan dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat dengan cara merebut dan memenangkan kesadaran di antara subordinat tersebut.

Teori Kajian Budaya dan Media

Ada sejumlah besar karya dalam kajian budaya dan media yang teoretis dan tidak empiris. Teori dipahami sebagai narasi yang bertujuan memilah-milah dan menguraikan ciri-ciri umum yang mendeskripsikan, mendefinisikan dan menjelaskan kejadian-kejadian yang terus-menerus muncul. Teori tidak bisa memotret dunia realitas secara akurat,teori hanyalah sebuah alat, instrumen atau logika untuk mengatasi dunia realitas melalui mekanisme deskripsi, definisi, prediksi dan kontrol. Konstruksi teori adalah usaha diskursif yang sadar-diri (self-reflexive) yang bertujuan menafsirkan dan mengintervensi dunia realitas. Konstruksi teori melibatkan pengkajian konsep dan argumen-argumen, seringkali juga pendefinisian-ulang dan mengkritik hasil kerja sebelumnya, untuk mencari alat-alat baru yang digunakan untuk berpikir/memahami dunia realitas. Hal ini mendapat tempat yang tinggi dalam kajian budaya dan media. Pengkajian teoretis bisa dianggap sebagai peta-peta kultural yang menjadi panduan kita. Kajian budaya dan media menolak klaim para empirisis bahwa pengetahuan hanyalah masalah mengumpulkan fakta yang digunakan untuk mendeduksi atau menguji teori. Teori dipandang sudah selalu implisit dalam penelitian empiris melalui pemilihan topik, fokus riset dan konsep-konsep yang dipakai untuk mendiskusikan dan menafsirkannya. Dengan kata lain, ‘fakta’ tidaklah netral dan tidak ada tumpukan ‘fakta’ yang bisa menghasilkan kisah tentang hidup kita tanpa teori. Bahkan, teori adalah kisah tentang kemanusiaan yang punya implikasi untuk tindakan dan penilaian-penilaian tentang konsekuensi. Kajian budaya dan media ingin memainkan peran demistifikasi, untuk menunjukkan karakter terkonstruksi teks-teks kebudayaan yang terkomodifikasi media dan berbagai mitos dan ideologi yang tertanam di dalamnya. Hal tersebut di harapan bisa melahirkan posisi-posisi subjek, dan subjek-subjek sungguhan, yang mampu melawan subordinasi. Sebagai sebuah teori yang politis, kajian budaya dan media berharap dapat mengorganisir kelompok-kelompok oposisi yang berserak menjadi suatu aliansi politik kebudayaan. Meski demikian, Bennet (1992) mengatakan bahwa kebanyakan politik tekstual yang dihasilkan kajian budaya (a) tidak berkaitan dengan banyak orang dan (b) mengabaikan dimensi institusional kekuasaan kultural. Maka dari itu ia mendorong kajian budaya dan media untuk mengadopsi pendekatan yang lebih pragmatis dan bekerja dengan para produser industri kebudayaan dalam konstruksi dan penerepan kebijakan kultural. Pekerjaan itu tidak akan menjadi populis tanpa terkomodifikasi oleh media.

Metode Kajian Budaya dan Media

Meski ada perdebatan tentang epistemologi, kita bisa menunjuk dengan jelas metode-metode mana yang paling banyak dipakai dalam kajian budaya dan media. Bahkan para peneliti akan berbeda dalam melihat keunggulan masing-masing metode. Kita bisa mulai dengan pembedaan metodologis standar antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dimana metode-metode kuantitatif lebih terpusat pada angka-angka dan penghitungan (seperti statistik dan survey). Sedangkan metode-metode kualitatif lebih berkonsentrasi pada pemaknaan yang dihasilkan atau dikumpulkan melalui observasi partisipan, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah dan analisis tekstual. Secara keseluruhan, kajian budaya dan media lebih menyukai memadukan metode-metode kualitatif dengan perhatiannya pada makna kebudayaan. Misalnya kajian etnografi, kajian tekstual, kajian resepsi dan sejenisnya. Beberapa kajian tersebut lebih mengedepankan pandangan kritis terhadap berbagai teori terdahulu.Teori-teori tersebut ada yang masih bertahan, tetapi juga banyak di antara teori-teori yang gugur dengan munculnya teori-teori baru yang menggantikannya.

Kajian Etnografi

Etnografi merupakan pendekatan empiris dan teoritis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Menurut Geertz (1973) etnograf bertugas membuat thick descriptions (pelukisan mendalam) yang dianggap mampu menggambarkan ”kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks”, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil-detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan proses-proses sosial budaya yang lebih luas dan dinamis. Kajian etnografis memusatkan diri pada penjelajahan kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks ‘keseluruhan cara hidup’, yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia-kehidupan (life-worlds) dan identitas. Dalam kajian budaya dan media, etnografi menjadi ”kata yang dianggap mewakili” beberapa metode kualitatif, termasuk pengamatan pelibatan, wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah. Tetapi, ada beberapa kritik pada etnografi yang patut diperhatikan: Pertama, data yang dipresentasikan oleh seorang etnografer selalu sudah merupakan sebuah interpretasi yang dilakukan melalui mata seseorang [sumber data], dan dengan demikian selalu bersifat posisional. Tapi ini adalah argumen-argumen yang bisa diajukan pada segala bentuk penelitian. Meski argumen ini hanya menunjuk pada ”etnografi interpretatif”. Kedua, etnografi dianggap hanya sebagai sebuah genre penulisan yang menggunakan alat-alat retorika. Bahkan etnografi seringkali disamarkan hanya untuk mempertahankan klaim-klaim realisnya (Clifford dan Marcus, 1986). Argumen tersebut lebih cenderung mengarah pada konsep pemeriksaan teks-teks etnografis untuk mencari alat-alat retorikanya. Namun demikian pendekatan etnografi menuntut seorang penulis untuk memaparkan asumsi, pandangan dan posisi-posisi mereka. Dalam penulisan etnografi konsultasi dengan ”para subjek” etnografi perlu dilakukan. Tindakan ini dilakukan agar etnografi tidak sekedar menjadi ekspedisi pencarian fakta-fakta. Artinya fakta-fakta yang hanya dipersepsikan sebagai diskripsi percakapan antara mereka yang terlibat dalam proses penelitian etnografi itu sendiri. Realitasnya penulisan etnografi masih mendatangkan berbagai kritik yang bersifat dinamis terhadap eksistensinya. Walaupun demikian kritik terhadap klaim epistemologis etnografi tidak lantas membuatnya tidak bernilai atau harus ditinggalkan. Para aliran kritis melihat bahwa tidak ada perbedaan epistemologis yang mendasar antara etnografi dan sebuah novel. Etnografi lebih sebagai diskripsi berlapis-lapis yang tujuannya bukanlah untuk menghasilkan gambaran yang ”benar” tentang dunia realitas. Etnografi hanya untuk melahirkan empati dan melebarkan lingkaran solidaritas manusia (Rorty, 1989). Maka, seorang etnografer biasanya memiliki justifikasi personal, puitis dan politis ketimbang epistemologis. Menurut pandangan yang demikian, data etnografis memberi eskpresi puitis pada suara-suara dari budaya-budaya lain atau dari budaya lokal (local cultural) kita sendiri. Menulis tentang model-model semacam itu tidak lagi dianggap sebagai suatu laporan ”ilmiah”. Tetapi ia hanya sekedar ekspresi dan narasi puitis yang memunculkan suara-suara baru untuk bergabung, yang oleh disebut Rorty (1989) dianggap sebagai percakapan kosmopolitan umat manusia. Dengan konsep tersebut data etnografis bisa menjadi jalan keluar dimana budaya kita sendiri dibuat menjadi asing. Bahkan dianggap sangat memungkinkan memicu lahirnya deskripsi deskripsi baru tentang dunia realitas ini. Pendekatan etnografi dalam antropologi dapat dikatagorikan pendekatan dengan metoda baru. Meski dasar pendekatan ini dianggap tidak identik dengan baru. Salah satu diantara kelemahan bidang kajian antropologi adalah minimnya data etnografi. Bahkan menurut Goodenough (1964:7-9) terdapat tiga permasalahan yang dianggap paling pokok,yakni : (1).ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat dikalangan ahli antropologi sendiri, (2).mengenai sifat data itu sendiri dan (3). menyangkut masalah klasifikasi data etnografi. Untuk mencari jalan keluar pemecahan masalah ahli antropologi telah menempuh berbagai cara pelukisan kebudayaan dengan berbagai model. Salah satu model yang sering dipakai adalah model dari linguistik yaitu “fonologi”. Penggunaan model tersebut menuntut penulis berangkat dari dalam, yakni dari sudut pandang orang yang diteliti.
Karena model penggunaan linguistik lebih di tekankan pada pemberian “makna” terhadap obyek yang menjadi kajiannya. Ini berarti peneliti harus menguasai bahasa masyarakat yang ditelitinya. Kemudian merumuskannya sesuai dengan kerangka berfikir mereka. Dalam konteks ini peneliti barpandangan apa yang mereka diskripsikan dalam etnografi marupakan makna-makna yang hidup dalam masyarakat yang diteliti. Makna hidup yang dimaksud adalah makna yang diberikan oleh orang-orang yang diteliti. Meski biasanya para ahli antropologi menggunakan istilah yang beragan tetapi dalam hal metode penelitian, mereka menerapkan prosedur yang sama. Namun jika ada perbedaan tidak begitu mencolok. Konsep dasar etnografi tersebut kemudian digunakan sebagai alat untuk pengumpulan data penelitian berbagai bidang.Misalnya bidang ilmu sosiologi, komunikasi, media, hukum, psikologi, ekonomi dan sekarang telah berkembang secara dinamis di berbagai perguruan tinggi terkenal di luar negeri.


Kajian Tekstual

Meski kajian tekstual punya ragam penampilan, ada dua corak analisis yang paling banyak dipakai dalam kajian budaya dan media, yaitu semiotika dan teori narasi. Teks sebagai tanda dan simbol banyak dikaji dalam pendekatan simiotika. Pendekatan semiotika mempelajari bagaimana makna dari sebuah teks dan simbol bisa diperoleh melalui pengaturan tertentu tanda-tanda dan penerapan kode-kode kultural. Analisis ini menaruh perhatian pada ideologi atau mitos-mitos dari teks yang bersangkutan. Misalnya analisis semiotik tentang media ádalah “menggambarkan bagaimana berita televisi itu representasi yang dikonstruksi dan bukan sebuah cermin realitas”. Representasi-representasi media yang sarat nilai dan selektif bukanlah gambaran yang “akurat” tentang dunia realitas. Melainkan medan-medan pertempuran untuk memperebutkan apa yang akan dianggap sebagai makna dan kebenaran. Televisi memang tampak seolah “realistik” karena ia penyuntingannya yang halus dan potongan-potongannya yang tak kentara. Tetapi realisme ini dibentuk oleh sekumpulan konvensi estetis, dan bukan refleksi “dunia realitas”. Reproduksi media televisi semacam ini disebut sebagai realitas semu (Theodoro Adorno, 1992). Teks sebagai narasi, akan dilihat bahwa semua teks pasti mempunyai kisah tertentu, baik sebagai teori atau naskah pidato. Karena itu teori narasi juga memainkan peran penting dalam ranah kajian budaya dan media. Narasi adalah penuturan yang tertata dan urut (sekuensial). Ia mengklaim dirinya sebagai rekaman suatu peristiwa. Narasi adalah bentuk terstruktur yang biasanya digunakan suatu cerita/kisah untuk mengajukan penjelasan tentang tata-cara dunia realitas. Narasi memberi kita kerangka pemahaman dan aturan mengenai bagaimana tatanan sosial dan budaya itu dibentuk. Hampir semua “penelitian kualitatif” mengandalkan dari bagaimana kemampuan peneliti menarasikan fakta dan data lapangan yang mereka peroleh di lokasi penelitian. Meski teks narasi bisa mengambil ragam bentuk, karakter, dan struktur, teori strukturalis lebih menaruh perhatian pada ciri-ciri umum pada bagaimana pembentukan cerita. Menurut Thodorov (1977), sebuah narasi setidaknya berkaitan dengan goncangan terhadap suatu titik ekuilibrium dan pelacakan atas goncangan yang terucapkan sampai tercapai suatu ekuilibrium baru. Misalnya, “pasangan opera sabun” yang ditampilkan dalam pelukan penuh cinta sebagai pendahuluan atas pengungkapan bahwa salah satunya sedang berselingkuh.      Maka
pertanyaannya khalayak umumnya, apakah ini akan menjadi akhir hubungan tersebut? Banyak percakapan, emosi dan penjelasan yang terjadi sebelum kedua karakter itu rujuk kembali atau malah berpisah. Opera sabun adalah nama sebuah genre dalam banyak kajian
tentang film. Genre menstrukturkan dan mengekang proses narasi; genre meregulasi dengan cara tertentu, menggunakan elemen-elemen tertentu dan kombinasi antar elemen, untuk menghasilkan koherensi dan kredibilitas. Dengan demikian, genre merepresentasi sistematisasi dan pengulangan masalah dan solusi-solusi dalam sebuah narasi (Neale, 1980). Dalam banyak kajian budaya dan media konstruksi sebuah narasi harus bersifat rigit, mendalam dan terstruktur. Relasi antara satu genre dengan lainnya mempunyai koherensi yang mengikat. Hubungan itu dikonstruksi menjadi sebuah data kualitatif dalam penelitian, dimana keabsyahannya mempunyai derajat yang sama dengan data kuantitatif.

Kajian resepsi

Para ahli kajian resepsi atau konsumsi sering berpretensi bahwa analisis tekstual atas makna yang dilakukan seorang penulis, masih belum bisa dipastikan. Makna-makna yang manakah, ”kalau memang ada”,yang bisa diambil manfaatnya oleh pembaca/consumen/khalayak yang sesungguhnya. Artinya khalayak adalah merupakan pencipta makna yang aktif dalam hubungannya dengan teks. Mereka menerapkan berbagai kompetensi kultural yang diperoleh sebelumnya untuk membaca berbagai teks, sehingga khalayak dengan konstruksi yang berbeda akan memahami makna-makna yang beragam itu. Di garis depan teoretis, model ‘encoding-decoding’ dari Hall (1981) terbukti mempunyai pengaruh yang sangat penting dan dominan. Hall (1981) melihat bahwa produksi makna tidak menjamin dikonsumsinya makna tersebut sesuai yang dimaksudkan oleh enkodernya. Karena pesan-pesan (televisi), yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan berbagai komponen yang multi-accentuated, hanya bersifat polisemik. Artinya mereka memiliki lebih dari satu rangkaian makna potensial. Dari konsepsi tersebut sampai khalayak turut terlibat dalam kerangka kultural bersama para produser. Seakan akan khalayak menjadi bagian dari realitas yang dikonstrusi media. Maka konsekuensinya pembacaan oleh khalayak tidak jauh berbeda dengan produksi tekstual aslinya. Namun demikian ketika anggota khalayak betempat pada posisi social dan budaya yang berbeda (dalam hal kelas atau gender,) dari para produsen teksnya, maka mereka akan membaca program-program semacam seperti itu sebagai pilihan alternatif.


Kajian Budaya dan Media

Identitas : Dalam kajian budaya dan media identitas lebih bersifat kultural dan tidak punya keberadaan di luar representasinya sebagai wacana kultural. Identitas bukanlah sesuatu yang tetap dan bisa di simpan. Melainkan sebagai suatu proses untuk menjadi. Identitas juga dapat dimaknai sebagai genre pada entitas tertentu. Misalkan, pada etnisitas ras dan nasionalitas adalah konstruksi-konstruksi diskursif-performatif yang tidak mengacu pada “benda-benda” yang sudah ada. Artinya, etnisitas, ras dan nasionalitas merupakan kategori-kategori kultural yang kontingen. Ia bukanlah ”fakta” biologis yang bersifat universal. Sebagai konsep, etnisitas mengacu pada pembentukan dan pelanggengan batas batas kultural yang mempunyai keunggulan tersendiri. Dalam konteks tulisan ini penekanannya lebih dikonsentrasikan pada kajian-kajian sejarah, budaya, komunikasi, media, sosiologi dan bahasa. Ras dilihat sebagai sebuah gagasan yang problematis karena asosiasinya dengan wacana biologis tentang superioritas dan subordinasi kultural sangat kental. Relasi di antara keduanya sangat intrinsik bahkan tidak mungkin bisa dihindari. Meski demikian, konsep rasialisasi atau semacam pembentukan ras mempunyai kegunaan. Karena dapat menekankan pada kekuasaan, kontrol dan dominasi. Gagasan tentang identitas, ras, etnisitas dan bangsa mesti dilihat dalam kerangka saling ketergantungan yang satu dengan etnisitas yang lainnya. Seperti terlihat dalam konteks kemurnian etnis suatu bangsa yang dihipo tesiskan oleh wacana nasionalis. Peran yang dimainkan metafora gender dalam konstruksi tentang bangsa, ibu pertiwi, dsb. Misalnya: studi Buttler (1993) tentang konstruksi identitas seksual, studi Gilroy (dalam Woodward, 1987) dan Hall (1992) tentang identitas orang kulit hitam di Inggris, studi Ben Anderson (1991) tentang bangsa sebagai komunitas terbayangkan, studi Brah (1996) tentang masyarakat diaspora, dan lainnya yang sealiran. Studi-studi tersebut umumnya memberikan kritik tajam terhadap teori-teori yang berkembang pada zamannya. Semua ideologi yang tertuang dalam teori-teori tersebut terkomodifikasi, sehingga menjadi sebuah diskusi publik bagi para pengamat di akademisi dan komunitas lainnya.

Seks, Subjek,dan Representasi : Dalam kajian budaya dan media, seks dan gender dilihat sebagai konstruksi sosial dan budaya yang secara intrinsik terimplikasi oleh persoalan-persoalan representasi. Seks dan gender lebih merupakan persoalan kultural ketimbang alam. Meski ada juga pemikiran-pemikiran feminis yang menekankan pada perbedaan esensial antara maskulin dan peminin. Kajian budaya dan media cenderung mengeksplorasi gagasan tentang karakter identitas seksual yang spesifik secara historis, tidak stabil, plastis dan dinamis. Tapi bukan berarti kita bisa dengan mudah membuang identitas seksual dan menggantinya dengan yang lain. Kendatipun seks merupakan suatu konstruksi sosial, ia adalah konstruksi sosial yang mengkonstitusi melalui tekanan-tekanan kekuasaan dan identifikasi-identifikasi dalam psikis kita. Konstruksi sosial yang dibentuk adalah sesuatu yang diregulasi serta memiliki konsekuensi tertentu di dalamnya. Identitas seksual dilihat bukan sebagai masalah esensi biologis yang universal, tetapi lebih sebagai persoalan bagaimana feminitas dan maskulinitas dinegosiasikan. Maka itu kajian budaya dan media sudah seharusnya memberi perhatian pada masalah-masalah seks dan representasi. Misalnya fokus kajian budaya dan media terhadap representasi perempuan dalam budaya populer, atau sastra. Sampai sekarang perempuan masih cenderung dikonstruksi dan sebagai kelamin yang kedua. Perempuan selalu tersubordinasi dibawah laki-laki. Dalam persoalan tersebut posisi-posisi subjek yang dikonstruksi untuk perempuan cenderung menempatkan mereka dalam tatanan kerja patriarkis domestifikasi. Artinya sebuah tatanan kerja yang menjadikan perempuan sebagai ibu dan berkarir serta mengeksplorasi individualitasnya untuk bisa tampil anggun dan menarik. Perempuan di era pasca kolonial lebih banyak mengusung beban ganda karena tersubordinasi oleh kolonialisme sekaligus kaum laki-laki pribuminya. Meski demikian, ada kemungkinan untuk menggoyang stabilitas representasi-representasi tubuh yang terkelaminkan ini (kasus Madonna, Inul, Dewi Persik), dan lainnya. Karena meski teks memang mengkonstruksi posisi subjek, bukan berarti semua lelaki atau perempuan mengambil posisi-posisi yang ditawarkan. Kajian-kajian resepsi lebih cenderung menekankan pada negosiasi yang terjadi antara subjek dengan teks. Termasuk kemungkinan melakukan resistensi terhadap makna tekstual yang posisinya selalu tersubordinasi itu. Kajian-kajian inilah yang sering merayakan ”nilai-nilai dan budaya menonton” bagi perempuan. Contoh: studi Giddens tentang keintiman (1992), studi psikoanalisisnya Irigaray (1985) dan Mitchell (1974), studi Khrisnan dan Dighe (1990) representasi perempuan di televisi India, studi Bordo (1993) tentang tubuh, studi-studi representasi identitas dalam Woodward (1997). Kajian-kajian tersebut memberikan gambaran bahwa posisi perempuan di dunia cenderung tersubordinasi oleh kekuasaan.

Televisi, Teks, dan Audience : Sudah sekian dekade ini televisi mendapat perhatian dalam kajian budaya dan media. Karena televisi memiliki kedudukan sentral dalam praktik komunikasi masyarakat modern. Perhatian ini menjadi semakin kuat seiring dengan pergeseran televisi global dari jasa penyiaran publik menjadi televisi komersial. Realitasnya televisi komersial tersebut didominasi perusahaan multimedia yang bersinergi dan konvergensi. Mengglobalnya institusi-institusi televisi yang di ikuti oleh penyiaran global narasi dan genre-genre utama televisi. Genre utama media televisi itu di representasikan dalam programnya seperti ( berita, sinetron, televisi musik, olahraga dan ragam permainan) .Program televisi tersebut dikonstruksi dalam kerangka konsep budaya‘promosional’ dan postmodern. Konstruksi itu juga ditandai dengan adanya intertekstualitas dan kaburnya genre pada media televisi yang bersangkutan. Kajian budaya dan media dalam konteks ini juga menaruh perhatian khusus terhadap konstruksi ideologis program-program televisi. Seperti versi-versi hegemonik berita dunia global yang dianggap menyingkirkan perspektif-perspektif berita-berita alternatif dikomunitas lokal. Meski demikian, program-program televisi pada saat ini lebih cenderung bersifat polisemik. Yakni berita-berita yang memuat berbagai makna yang biasanya bersifat kontradiktif. Ini memungkinkan audiens mengeksplorasi keragaman makna potensial yang dikonstruksinya. Audiens adalah pencipta makna yang aktif dan tidak begitu saja mengambil makna-makna tekstual yang ditemukan di televisi. Pentingnya televisi tidak bisa dibatasi pada makna-makna tekstual, karena televisi ditempatkan dan dialami dalam aktivitas hidup sehari-hari. Meski ekonomi, politik dan arus program televisi lebih banyak bersifat global, aktivitas menonton televisi tetap saja tersituasikan dalam praktik-praktik domestik sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Contoh: studi Ang tentang penonton serial Dallas (1985), studi Widodo tentang sinetron (2003), studi Lull (1991) tentang penonton televisi di Cina, studi Kurniawan Adi tentang penonton film Indonesia (2002), studi Budiman (2002) tentang keluarga dan televisi di Yogyakarta.

Ruang Publik, Kota : Ruang selalu dikonotasikan dengan antar hubungan sosial tentang kelas, gender, etnisitas, dan sejenisnya. Ruang di berikan lebel sebagai tempat tempat kekuasaan yang dicirikan dengan adanya persaingan dalam makna-maknanya. Sementara kota tidak pernah dilihat sebagai sesuatu yang bersifat tunggal. Melainkan selalu termanifestasi dan dibaca sebagai serangkaian ruang dan representasi yang diperebutkan. Dari perspektif ekonomi politik kita mencatat kemunculan kota-kota global sebagai titik-titik komando ekonomi dunia. Penstrukturan ulang kota adalah salah satu aspek reorganisasi ekonomi global. Contoh: studi Abidin Kusno (2000) tentang politik arsitektur dan tata ruang di Indonesia, studi Zukin (1996) tentang Disney World, studi Massey (1994) tentang ruang yang tergenderkan, studi Nzegwu (1996) tentang kota postkolonial (Lagos, Nigeria).

Remaja,Gaya,dan Perlawanan : Meskipun lebih jarang dibahas bila dibandingkan dengan kelas, gender dan ras, usia adalah patokan klasifikasi dan stratifikasi sosial yang penting. Gambaran-gambaran tentang masa anak-anak, remaja, dewasa, lanjut usia, pensiunan, dst., merupakan kategori-kategori identitas yang mengandung berbagai konotasi mengenai kemampuan dan tanggung jawab. Remaja adalah klasifikasi kultural dari suatu rentang usia yang elastis yang dikodekan secara ambigu oleh orang dewasa sebagai indikasi ‘masalah’ dan ‘kesenangan’. Orang muda mengusung harapan-harapan orang dewasa untuk masa depan sekaligus menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Karya-karya awal kajian budaya Inggris melihat subkultur muda yang spektakuler sebagai manifestasi perlawanan simbolik terhadap tatanan kelas yang berkuasa. Subkultur dianggap menawarkan solusi-solusi magis bagi persoalan-persoalan struktural kelas. Ada tiga alat analitik penting: (a) konsep homologi, di mana benda-benda simbolik subkultural dianggap sebagai ekspresi dari kepriha tinan dan posisi-posisi struktural tersembunyi kelompok-kelompok muda; (b) brikolase, di mana simbol-simbol yang sebelumnya tidak terkait kemudian dipadu kan untuk menciptakan makna-makna baru; dan (c) gaya, suatu brikolase simbol yang membentuk suatu ekspresi yang koheren dan bermakna. Contoh: studi Willis tentang buruh remaja (1977), gang motor besar (1978), studi Hebdige tentang subkultur punk (1979) dan skuter (1988), studi McRobbie tentang subkultur remaja perempuan (1991), studi Mercer tentang rambut (1994).

Politik Kebudayaan : Politik kebudayaan merupakan kekuasaan untuk menamai dan merepresentasi dunia, di mana bahasa bersifat konstitutif bagi dunia dan menjadi panduan untuk bertindak. Politik kebudayaan bisa dipahami sebagai serangkaian pergulatan kolektif yang diorganisir di seputar kelas, gender, ras, seksualitas, usia, dan lain-lain, yang hendak mendeskripsikan ulang dunia sosial berdasar nilai-nilai tertentu dan untuk mencapai konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan. Contoh: studi Bennet (1992) dan Cunningham (1992) tentang keterlibatan kajian budaya dalam politik institusional dan birokrasi.Cultural studies dan media merupakan bidang multi disiplin yang juga mengaburkan sekat-sekat antara dirinya dengan disiplin ilmu pengetahuan lainnya. Dalam konteks yang lebih luas kita bisa melihat politik kebudayaan terkait dengan,:kekuasaan untuk menamai, kekuasaan untuk merepresentasikan, kekuasaan untuk menciptakan dan kekuasaan untuk merepresentasikan dunia sosial yang legitimate ( Yordan & Weedon,1995 :13). Secara lebih spesifik makna dan kebenaran dalam domain budaya dibangun di dalam pola kekuasaan. Konsep kekuasaan itu tidak bisa terpisahkan dengan Gramscian dalam hegemoni (Gramsci,1971).Hegemoni kekuasaan yang dibangun adalah melalui penciptaan makna. Dimana representasi dan praktik dominan dan otoritatif diproduksi dan tetap dilestarikan. Menurut Gramsci hegemoni ideologis merupakan proses dimana cara pemahaman tentang dunia realitas menjadi begitu nyata dan alami, sehingga memandang alternatif sebagai sesuatu yang tidak masuk akal serta tidak dapat terpikirkan. Bagi gramsci pengetahuan dan budaya popular telah menjadi arena penting bagi tempat pertarungan ideologi kekuasaan itu. Salah satu teks Gramscian dalam cultural studies adalah”Resistance Trough Ritual” (Hall & Jefferson,1976) yang isinya merangkum pengaruh Gramscian pada tema cultural studies. Dalam teks tersebut subkultur pemuda diekspresikan sebagai bentuk bergaya perlawanan terhadap budaya hegemonik. Gaya
dibaca sebagai bentuk perlawanan simbolik yang dibangun di atas wilayah perjuangan hegemonik dan kontra hegemonik. Meski gaya perlawanan yang dibangunnya hanya sebatas pada sumberdaya simbolis, yang tidak mampu mengatasi posisi kelas struktural pekerja saat itu. Dari berbagai pandangan yang elah di paparkan tersebut kita mencatat sejumlah tantangan terhadap politik perbedaan budaya yang cenderung memusatkan sebagian besar perhatiannya pada konsep Bennet (1992) terhadap cultural studies dan media untuk terlibat lebih produktif dalam pembentukan implementasi kebijakan studi budaya dan media dimasa mendatang. Argumen ini saya kemukakan atas dasar interpretasi konsep Foucault (1991) tentang ”governmentalitas”dimana konsep-konsep kebudayaan merupakan kepanjangan tangan pemerintah, serta reformis bergagai perkembangan ilmu pengetahuan. Tetapi pada saat yang sama kita dihadapkan pada suatu logika dimana seruan dan kebijakan terhadap kajian budaya dan media cenderung bersifat pragmatis, dan mengabaikan nilai-nilai kajian yang bersifat kritis.  Akhirnya pragmatisme sebagai suatu filsafat mungkin bisa menawarkan solusi untuk menyatukan politik perbedaan dan representasi kebijakan kajian budaya dan media itu sendiri. Sebagaimana telah di paparkan dalam tulisan ini kajian budaya dan media
masih bersifat umum. Ia hidup dalam hutan belantara diantara ilmu pengetahuan humaniora lainnya. Namun kajian ini berupaya menggabungkan teori-teori budaya dan media. Membahas media dalam perspektif budaya, secara spesifik adalah memahami caracara produksi budaya dalam pertarungan ideologi. Sebagai kajian lintas disiplin dan bertolak dari perspektif ideologis, maka kajian budaya dan media (cultural studies and media) secara kritis akan mengkaji proses-proses budaya alternatif pada media dalam menghadapi arus budaya, untuk memahami apa yang menyebabkan budaya alternatif itu tumbuh dan berkembang.

Sebaliknya atas ketidak berdayaan dalam menerima arus budaya global, dari kemajuan teknologi informasi (TIK). Kajian budaya dan media lebih cenderung menonjolkan kritik terhadap budaya popular yang termediasi.Ketika budaya telah bergeser menjadi sebuah industri maka budaya yang bersangkutan akan lebih dominan merepresentasikan modernitasnya. Sementara konsep-konsep budaya modernitas itu sendiri tidak bisa menolak hadirnya ideologi kapitalisme liberal. Dalam konteks ini budaya kapitalisme liberal lebih di maknai atas nilai materialnya ketimbang nilai spiritualnya. Maka dari itu tidak heran jika teori-teori yang di pakai untuk menganalisis lebih banyak menggunakan teori-teori post modern. Namun demikian keberadaan teori-teori tersebut toh tidak mampu menyatukan budaya tinggi dan budaya rendah (popular) dalam perspektif  kajian budaya dan media seperti fenomena yang terjadi selama ini.

Penutup

Dari pemaparan teori-teori budaya dan humaniora tersebut memberikan gambaran bahwa kajian budaya dan media masih bersifat umum.Kajian ini bagaikan masuk di hutan belantara diantara disiplin ilmu lainnya. Meski ia ingin mencari ruang yang lebih spesifik dan kritis, toh masih belum mampu menjebatani antara budaya dan media itu sendiri. Meski dalam praktiknya ia berusaha mengkaji media dari perspektif budaya popular. Membahas media dalam perspektif budaya, adalah memahami cara-cara produksi budaya dalam pertarungan ideologi. Sebagai kajian lintas disiplin dan bertolak dari perspektif ideologis, maka kajian budaya dan media (cultural studies and media) secara kritis akan mengkaji proses-proses budaya alternatif pada media dalam menghadapi arus budaya.  Secara lebih spesifik adalah untuk memahami apa yang menyebabkan budaya alternatif itu tumbuh atau atas ketidak berdayaan dalam menerima arus budaya global, dari kemajuan teknologi informasi. Esensi ideologis tersebut menjadi ruang negosiasi yang dianggap paling diskursif dalam kajian ini. Maka dari itu tidak salah jika banyak pihak melihat bahwa disiplin, kajian budaya dan media ini masih dalam rangka mencari bentuk, atau identitas baru.

. *** .
Read more