Open top menu
#htmlcaption1 SEA DICAT POSIDONIUM EX GRAECE URBANITAS SED INTEGER CONVALLIS LOREM IN ODIO POSUERE RHONCUS DONEC Stay Connected
Senin, 26 Oktober 2020
no image

 

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Muawiyah lahir lahir empat tahun menjelang Rasulullah SAW menjalankan dakwah di kota Makkah. Riwayat lain menyebutkan dia lahir dua tahun sebelum diutusnya Muhammad SAW menjadi Nabi.

Beberapa riwayat menyatakan bahwa
 Muawiyah memeluk Islam bersama ayahnya, Abu Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti Utbah tatkala terjadi Fathu Makkah. Namun riwayat lain menyebutkan, Muawiyah masuk Islam pada peristiwa Umrah Qadha’ tetapi menyembunyikan keislamannya sampai peritistiwa Fathu Makkah.

Di masa Rasulullah SAW, dia diangkat sebagai salah seorang pencatat wahyu setelah bermusyawarah dengan Malaikat Jibril. Ambillah dia sebagai penulis wahyu karena dia jujur,” kata Jibril.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah diangkat menjadi salah seorang panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin Jarrah. Kaum Muslimin berhasil  menaklukkan Palestina, Syria (Suriah), dan  Mesir dari tangan Imperium Romawi Timur. Berbagai kemenangan ini terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab.

Ketika Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah menggantikan Umar, Muawiyah diangkat sebagai gubernur untuk wilayah Syria dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus menggantikan Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah.

Pada masa pemerintahan Ali, terjadi beberapa konflik antara kaum Muslimin. Di antaranya Perang Shiffin. Perang yang terjadi antara Ali dan Muawiyah ini berakhir dengan perdamaian.

Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh, kaum Muslimin sempat mengangkat putranya, Hasan bin Ali. Namun melihat keadaan yang tidak menentu, setelah tiga bulan, akhirnya Hasan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah bin Abi Sufyan.

Serah terima jabatan itu berlangsung di kota Kufah. Tahun inilah yang dalam sejarah dikenal dengan Amul Jama’ah (Tahun Kesatuan). Dengan demikian, Muawiyah resmi menjadi khalifah.

Beberapa kalangan ada yang menyebut Muawiyah dengan julukan yang jauh dari akhlak islami. Padahal walau bagaimanapun dia tetap sahabat Rasulullah, yang telah banyak memberikan sumbangan untuk Islam.

Dia ikut di berbagai peperangan, baik di masa Rasuullah atau Khulafaur Rasyidin. Mengenai tudingan yang menjelekkannya, tidak semuanya bisa diterima begitu saja.

Bahkan beberapa kebijakan yang oleh sebagian sahabat dianggap ‘menyimpang’ masih bisa dimaklumi. Kendati pun ada, hal itu wajar mengingat ia adalah manusia biasa yang kadang khilaf atau dipengaruhi orang-orang sekitarnya. Semua itu tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat, bahkan masih terbilang keluarga dekat Rasulullah SAW.

Muawiyah dikenal sebagai negarawan dan politikus ulung. Ungkapannya tentang hal ini dicatat sejarah, “Aku tidak akan menggunakan pedangku selagi cambukku sudah cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku selagi lisanku masih bisa mengatasinya. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan penentangku, maka rambut itu tidak akan putus selamanya. Jika mereka mengulurkannya, maka aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurnya.”

Dia mempunyai kemampuan diplomasi yang sangat tinggi sehingga Nicholsan dalam bukunya Literaty History of The Arabs menulis, “Muawiyah adalah seorang diplomat yang cakap dibanding dengan Richelieu, politikus Prancis yang terkenal itu.” Lebih tepat lagi ia mencontohkan Muawiyah dengan Oliver Cromwell, politikus dan protektor Inggris yang termasyhur, yang pernah membubarkan parlemen.

Mu'awiyah memulai karier politiknya sebagai penguasa setelah ditunjuk menjadi Gubernur Syria pada 639 oleh Khalifah 'Umar bin Khattab dan membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang cakap. Salah satu capaiannya adalah pembentukan angkatan laut Muslim pertama. Pembunuhan Khalifah 'Utsman bin 'Affan pada tahun 656 dan perbedaan pendapat mengenai status pembunuhnya menjadikan terjadinya perselisihan antara pihak Mu'awiyah dan Khalifah 'Ali bin Abi Thalib yang berujung pada Pertempuran Shiffin. Sepeninggal 'Ali mangkat dan putranya, Hasan, melepas jabatan khalifah setelah disandang selama sekitar enam atau tujuh bulan, Mu'awiyah resmi menjadi khalifah pada tahun 661.

 

Dalam menjalankan pemerintahannya, Muawiyah mengubah kebijaksanaan pendahulunya. Kalau pada masa empat khalifah sebelumnya, pengangkatan khalifah dilakukan dengan cara pemilihan, maka Muawiyah mengubah kebijakan itu dengan cara turun-temurun. Karenanya, khalifah penggantinya adalah Yazid bin Muawiyah, putranya sendiri.

Muawiyah adalah pendiri Daulah Umawiyah. Pada masa ini kaum Muslimin memperoleh kemajuan yang sangat pesat. Tidak hanya penyebaran agama Islam, tetapi juga penemuan-penemuan ilmu lainnya.

Ketika Byzantium mengerahkan tentaranya untuk memperluas jajahannya, dia tiba di beberapa daerah kekuasaan Muawiyah. Untuk mengusir tentara Byzantium itu, Muawiyah mengerahkan 1.700 kapal perang kecil yang mampu menghalau pasukan musuh. Dengan tidak mengenal lelah, kaum Muslimin menaklukkan pulau Cyprus dan Rhodus di Laut Tengah.

Pada masanya, Mu'awiyah melakukan berbagai upaya penaklukan. Pengepungan Konstantinopel pada masanya merupakan upaya penaklukan pertama Konstantinopel oleh umat Muslim. Dalam bidang pemerintahan, Mu'awiyah lebih mengedepankan kecakapan dan kesetiaan daripada sistem kebangsawanan lama. Secara kepribadian, Mu'awiyah juga termasuk Muslim yang saleh dan menjaga ibadahnya meski dia menanggung beban memimpin kekhalifahan yang wilayahnya sudah sangat luas.

Perselisihannya dengan 'Ali bin Abi Thalib, juga penunjukkan putranya untuk menjadi khalifah sepeninggalnya, merupakan tema utama yang menjadikan Mu'awiyah sebagai sosok yang kontroversial dalam sejarah Islam. Literatur Madinah awal dan Abbasiyah awal memiliki gambaran yang baik terkait Mu'awiyah, tetapi tidak demikian dengan literatur Abbasiyah pada masa belakangan yang lebih cenderung bersifat anti-Umayyah.

 

Di samping itu, pada tahun 50 H, Muawiyah mengangkat Uqbah bin Nafi’ menjadi gubernur di Maroko. Dengan 10.000 tentara ia berhasil mengalahkan orang-orang Romawi. Ia juga dapat mengalahkan bangsa Barbar dan penduduk asli Afrika. Lebih dari itu semua, ia telah meletakkan pondasi Daulah Umawiyah yang telah mengharumkan nama Islam selama ratusan tahun.

Setelah menjabat sebagai gubernur di Palestina selama 10 tahun dan di Syam 10 tahun, serta sebagai Khalifah Daulah Umawiyah selama 20 tahun, Muawiyah meninggal dunia pada Kamis pertengahan Rajab 60 H dalam usia 78 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Penaklukan Afrika Utara (647 M- 709 M) merupakan peristiwa penting dan bersejarah selama masa kekuasaannya. Gubernur Mesir kala itu, Amr Ibnu Ash, merasa terganggu oleh kekuasaan Romawi di Afrika Utara. Karenanya, Amr Ibnu Ash mengerahkan pasukan di bawah pimpinan Jenderal Uqbah untuk menaklukkan wilayah Afrika Utara itu.

Pasukan Uqbah akhirnya berhasil menguasai Kairowan hingga ke bagian selatan wilayah Tunisia. Khalifah Mu'awiyah kemudian membangun benteng untuk melindungi kota Kairowan dari serangan pasukan Berber dan menjadikan kota Kairowan sebagai ibukota propinsi Afrika Utara.

Mu'awiyah tercatat sebagai pendiri armada angkatan laut Islam. Selama kepemimpinannya pula Mu'awiyah telah memiliki lima puluh armada laut yang tangguh. Pasukan laut ini akhirnya berhasil menaklukkan Cyprus (649 M), Rhodes (672 M), dan kepulauan lainnya di sekitar Asia Kecil.

Dengan penaklukan Afrika Utara (647 M- 709 M) dan Spanyol (705-715 M), kirakira 40 tahun kemudian, armada angkatan laut Islam di seluruh Laut Tengah menjelma sebagai yang terkuat dan tak terkalahkan hingga dua abad berikutnya. Pasukan ekspedisi dari Afrika Utara menduduki Sisilia pada tahun 211 H (837 M). Angkatan laut tersebut hingga masuk ke wilayah pantai Italia dan Prancis Selatan.

Dengan penciptaan sebuah armada, Muawiyah adalah kekuatan muslim melawan Byzantium. Angkatan lautnya menantang angkatan laut Byzantium dan menyerbu pulau-pulau dan pantai Bizantium.

Kekalahan mengejutkan armada imperial oleh angkatan laut muda Muslim di Battle of the Masts pada 655 adalah sebuah  titik balik. Perang ini membuka Mediterania, dianggap sebagai "danau Romawi", dan memulai serangkaian konflik laut selama berabad-abad atas kendali Mediterania. Ini juga memungkinkan perluasan negara ke Afrika Utara dan Spanyol.

Perdagangan antara pantai timur dan selatan Muslim dan pantai utara Kristen hampir berhenti selama periode ini, mengisolasi Eropa Barat dari perkembangan di dunia Muslim.

Pada jaman dahulu, dan lagi di Abad Pertengahan, pelayaran dari Italia ke Alexandria adalah hal yang lumrah. Di masa awal Islam kedua negara begitu jauh sehingga bahkan informasi yang paling dasar tidak diketahui.

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Muawiyah sangat senang memperindah Damaskus, dan mengembangkan istana untuk menyaingi Konstantinopel. Dia memperluas batas-batas kekaisaran, mencapai gerbang Konstantinopel. Hanya wilayah Anatolia yang tidak dimilikinya .

Muawiyah memiliki koleksi perpustakaan pribadi (bayt al-hikmah). Kemudian dikembangkan oleh penerusnya selama dinasti Umayyah.

Ini perpustakaan besar pertama di luar masjid dikenal dikenal dengan koleksi karya astrologi, kedokteran, kimia, ilmu militer, dan berbagai seni praktis dan ilmu terapan selain agama.

Muawiyah memiliki beberapa kebijakan yang langka. Dia secara politik mahir dalam berurusan dengan Kekaisaran Romawi Timur dan oleh karena itu dia pernah menjadi sekretaris Rasulullah.

Setelah perdamaian didirikan, Muawiyah mendamaikan banyak orang yang telah bertikai satu sama lain oleh kedermawanan dan keadilannya. Bahkan lawan yang paling keras kepala pun sering meleleh di bawah kedermawanan dan diplomasi. Dia juga berhasil melalui diplomasi yang bagus untuk mengimbangi persaingan suku.

Selama pemerintahan Mu'awiyah dia mempraktekkan nasihat yang diberikan Rasulullah kepadanya, "Ketika anda memerintah, lakukanlah dengan baik." Dia teliti tentang keadilan dan murah hati dan adil bagi orang-orang dari semua kelas.

Dia menghormati orang-orang yang memiliki kemampuan dan bakat dan membantu mereka untuk memajukan bakat mereka, terlepas dari suku mereka.

Muawiyah memiliki atau julukan. Julukannya adalah Abu Abdurrahman dan Al-Quraisyi al-Umawi Al-MakkiMuawiyah adalah laki-laki yang berperawakan tinggi, berkulit putih, tampan, dan penuh wibawa.

Umar bin Khattab juga berkata bahwa Muawiyah suka makan makanan yang lezat dan bergaya seperti raja. Umar berkata begitu bukan bermaksud menjelekkan Muawiyah tapi hanya menginformasikan ciri khas Muawiyah. Bisa dimengerti mengapa Muawiyah melakukan hal itu karena ia memang berasal dari kabilah terpandang di masyarakat.

Saat kecil, Abu Sufyan pernah melihat Muawiyah yang sedang merangkak, lalu berkata, "anakku ini berkepala besar, dia pantas memimpin kaumnya". Hindun menjawab, "hanya memimpin kaumnya saja? Seharusnya ia memimpin bangsa Arab seluruhnya"

Read more
no image

 

Penulis Arum Sutrisni Putri | Editor Arum Sutrisni Putri

KOMPAS.com - Pelaksanaan demokrasi pada masa pemerintahan parlementer (1949-1959) merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia. Akan tetapi kesuksesan demokrasi parlementer tidak berumur panjang. Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, demokrasi parlementer hanya bertahan selama sembilan tahun. Demokrasi parlementer berakhir saat dikeluarkannya Dekrit oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali pada UUD 1945. Presiden menganggap demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong. Sehingga Soekarno menganggap sistem demokrasi ini telah gagal mengadopsi nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia. Baca juga: Bukti Normatif dan Empirik Indonesia Negara Demokrasi Akhir demokrasi parlementer Mengapa demokrasi parlementer gagal? Berikut ini beberapa alasan kegagalan demokrasi parlementer: Pertama, munculnya usulan Presiden yang dikenal dengan konsepsi presiden. Konsepsi Presiden untuk membentuk pemerintahan yang bersifat gotong royong yang melibatkan semua kekuatan politik yang ada termasuk Partai Komunis Indonesia. Melalui konsepsi ini presiden membentuk Dewan Nasional yang melibatkan semua organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Konsepsi Presiden dan Dewan Nasional ini mendapat tantangan yang sangat kuat dari sejumlah partai politik terutama Masyumi dan PSI. Mereka menganggap pembentukan Dewan Nasional adalah pelanggaran sangat fundamental terhadap konstitusi negara, karena lembaga tersebut tidak dikenal dalam konstitusi. Kedua, Dewan Konstituante mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan merumuskan ideologi nasional. Karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu politik, yaitu kelompok yang menginginkan Islam sebagai ideologi negara dan kelompok lain yang menginginkan Pancasila sebagai ideologi negara. Ketika voting dilakukan ternyata suara mayoritas yang diperlukan tidak pernah tercapai. Baca juga: 10 Pilar Demokrasi Indonesia Ketiga, dominannya politik aliran sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik. Akibat politik aliran tersebut, setiap konflik yang terjadi cenderung meluas melewati batas wilayah, yang pada akhirnya membawa dampak yang sangat negatif terhadap stabilitas politik. Keempat, basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah. Struktur sosial yang dengan tegas membedakan kedudukan masyarakat secara langsung tidak mendukung keberlangsungan demokrasi. Akibatnya semua komponen yang di masyarakat sulit dipersatukan. Sehingga hal tersebut mengganggu stabilias pemerintahan. Dampaknya, begitu mudahnya pemerintahan yang sedang berjalan dijatuhkan atau diganti sebelum masa jabatannya selesai.

 

Sumber : www.kegagalandemokrasi.com

Mengapa demokrasi tidak mengarah pada solidaritas, kemakmuran dan kebebasan tetapi konflik sosial, anggaran belanja negeri yang berlebihan dan pemerintahan yang bersifat menindas.

Banyak yang menganggap demokrasi sebagai sistem politik terbaik yang bisa dibayangkan. Karena itu tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi sebuah agama sekuler. Kepercayaan politik terbesar di bumi. Mengkritik ide demokrasi adalah sesuatu yang berisiko dan Anda bisa dianggap musuh masyarakat beradab karenanya.

Namun itulah yang ingin dikemukakan oleh Karel Beckman dan Frank Karsten. Dalam buku yang provokatif dan sangat mudah dibaca ini, mereka menguak tabu politik terkini: gagasan bahwa keselamatan kita ada pada demokrasi.

Dengan argumen yang sederhana dan langsung mereka menunjukkan bahwa demokrasi, berbeda dengan kepercayaan yang populer, tidak mengarah pada kebebasan, peradaban, kemakmuran, perdamaian, dan penegakan hukum, tetapi sebaliknya: hilangnya kebebasan, konflik sosial, anggaran belanja negeri yang berlebihan, standar hidup yang lebih rendah dan sabotase hak-hak individu.

Hanya dalam 102 halaman mereka membuka kepalsuan 13 mitos besar yang biasa digunakan untuk mempertahankan demokrasi. Selain itu, mereka menawarkan alternatif yang menarik: sebuah masyarakat berdasarkan kebebasan individu dan hubungan sosial sukarela.

Apakah Anda bertanya-tanya mengapa pemerintah terus tumbuh menjadi lebih besar dan hutang publik menjadi semakin tinggi, sementara kebebasan dan kemakmuran terlihat semakin terancam? Setelah membaca buku ini, Anda tidak akan bertanya-tanya lagi - Anda akan tahu mengapa hal itu terjadi dan apa yang bisa dilakukan.

Kegagalan Demokrasi adalah sebuah buku terobosan dan menarik untuk semua orang yang ingin lebih memahami krisis ekonomi dan masalah sosial saat ini.

 

 

Demokrasi Terbukti Gagal


https://www.kompasiana.com/shafiyanabilla/5520a838a333110f4746d110/demokrasi-terbukti-gagal

Apa yang terjadi di Mesir dari mulai penggulingan Mursi dari kursi kepresidenan oleh militer (kudeta militer) yang dipimpin oleh Al-Sisi bulan Juli kemarin hingga tanggal 14 Agustus 2013 dimana telah terjadi pembantaian oleh aparat keamanan Mesir kepada para demonstran pendukung Mursi adalah bukti bahwa system demokrasi yang diterapkan di negara tersebut telah gagal.

Bagaimana tidak dibilang gagal, kita semua tahu bahwa Mursi terpilih menjadi presiden adalah melalui system pemilu dimana rakyat yang memilih sendiri tapi secara tiba-tiba Mursi digulingkan melalui kudeta militer padahal Ia presiden yang terpilih secara demokratisSebenarnya apa yang telah terjadi?, hal itu dikarenakan Amerika telah mencabut dukungannya kepada Mursi. Karena Mursi dianggap gagal menciptakan stabilitas yang melayani kepentingan Amerika.

Militer telah mengkudeta demokrasi yang membawa Mursi sebagai “penguasa yang sah” bagi negara, seperti yang mereka klaim. Kudeta itu dilakukan dengan dalih penolakan Pemimpin Umum Militer atas “penyalahgunaan lembaga nasional negara dan keagamaan”, serta “intimidasi dan ancaman oleh sekelompok warga”.

Selain melakukan kudeta, militer Mesir sudah melakukan hal yang sudah diluar nalar dan batas kemanusiaan. Dengan menggunakan buldoser, tank dan senjata api bahkan gas air mata pun digunakan untuk menghadapi para demonstran yang notabene adalah para supporter Mursi. Tidak bisa di elakkan jika kekacauan pun terjadi dan jangan ditanya bagaimana mengerikannya situasi disana. Para demonstran hanya membawa air minum dan al quran dengan melakukan aksi protes tetapi dihadapi dengan mobil lapis baja dan senjata api, sementara itu tidak sedikit para demonstran yang wanita dan membawa anak. Darah berceceran di mana-mana bahkan tidak sedikit foto dan video yang menunjukkan kekejaman yang telah dilakukan oleh militer Mesir. Peristiwa ini lebih buruk daripada masa penurunan Husni Mubarak. Lebih tepatnya bisa disebut sebagai pembantaian yang dilakukan oleh militer Mesir.

Kenapa bisa begitu?? Karena memang tidak ada keraguan bahwa ada kelompok yang berbahaya dari kaum sekularis, liberal, Koptik dan kaum kiri yang tidak ingin Ikhwanul Muslimin memimpin panggung politik di Mesir. Mereka tidak hanya membenci Ikhwanul Muslimin. Mereka juga menolak Islam politik dan proyek Islam, apapun proyeknya.

Lalu apa hubungannya antara kudeta yang terjadi di Mesir dengan negara adidaya Amerika? Seperti dikutip dari The New York Times online (6/7) menggambarkan keterlibatan Amerika dengan adanya kontak pihak Mursi dengan menlu negara Arab yang mengklaim bertindak sebagai utusan Washington. Media tersebut juga mengungkap adanya kontak Dubes Amerika Serikat di Kairo Anne W. Patterson dan penasihat keamanan nasional AS Susan E. Rice dengan penasihat menteri luar negeri Mursi, Essam El-Hadad pada saat-saat terakhir penggulingan Mursi.

Kemudian ada lagi yakni  dikutip dari Aljazeera (12/7) juga mengungkap peranan Amerika dalam pendanaan politisi dan aktifis untuk menggulingkan Mursi. Keberadaan puluhan dokumen pemerintah AS mengkonfirmasikan bahwa Washington telah mendanai politisi oposisi yang menyerukan penggulingan Presiden Mursi melalui program Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Bantuan ini dilakukan dalam rangka promosi Demokrasi di Timur Tengah.

Sebenarnya peristiwa Mesir ini bukanlah yang pertama, sebelumnya ada FIS di Aljazair. Kemenangannya juga diberangus militer dengan dukungan negara-negara barat karena dicurigai ingin menerapkan syariah Islam. Kemudian hal yang sama juga terjadi dengan HAMAS di Palestina, mereka mengalami tekanan politik yang kuat dari Barat dan rival politiknya, Fatah, yang juga dikontrol oleh Barat.

Mungkin yang selama kita tahu tentang demokrasi adalah bahwa kebebasan berpendapat adalah dijunjung tinggi, akan tetapi dalam penerapan yang sebenarnya adalah bahwa jika pendapat tersebut adalah tentang islam apalagi masalah islam politik, maka kata “demokrasi” hanyalah sekedar kata tanpa ada esensi sedikitpun.

Sementara itu dunia hanya diam dan hanya mengecam dan mengutuk tanpa ada tindakan riil yang berarti, tanpa ada langkah-langkah diplomatis untuk menyelesaikan masalah krisis di Mesir. Lalu apa fungsinya PBB dan pihak-pihak yang mendukung tinggi HAM?... apakah yang mereka lakukan hanyalah melihat dan duduk manis dan hanya melakukan rapat rapat dan rapat yang tidak bermanfaat sama sekali untuk mencari solusi atas yang terjadi di Mesir. Mereka hanya diam sementara ribuan nyawa rakyat Mesir sudah melayang dan Kairo seperti banjir darah. Bahkan para penguasa negeri Arab malah mendukung militer Mesir bukannya bersimpati dan sigap menolong para korban. Sungguh ironis.

Inikah wajah dari Demokrasi? Agaknya demokrasi adalah sebagai jalan pembuka bagi pemerintahan yang dictator, jika setelah melihat gagalnya demokrasi di Mesir dan kita melihat di negeri kita sendiri Indonesia yang justru sebaliknya, para pengusung ide demokrasi saat ini sedang getol mempromosikan bahwa hanya dengan pemilu saja system pemerintahan baru bisa berjalan dengan benar dan baik. Sungguh berarti negeri ini juga sudah hampir di ambang kehacurannya. Sudah bukan rahasia lagi jika system ini melahirkan korupsi yang semakin merajalela dan merugikan negara, lalu apalagi yang kita harapkan dari demokrasi(pemilu) jika output nya adalah sudah jelas bobroknya.

lalu apa seharusnya solusi dari masalah Mesir?...  solusi sementara adalah seret pelaku kudeta dan pembantai rakyat mesir ke pengadilan internasional untuk dijatuhi hukuman yang setimpal karena tindakan mereka yang sudah menghancurkan stabilitas negara tersebut dan untuk solusi terbaiknya adalah ganti system demokrasi yang sudah terbukti gagal dengan system yang lebih baik

Read more
Sabtu, 24 Oktober 2020
Dinamika Penerapan Khilafah Sebuah Tinjauan Sosio-Historis

Henny Yusalia
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Raden Fatah Palembang


Abstrak: Gagasan tentang pemerintahan Islam yang lazim disebut Khilafah Islamiyah, menjadi kontroversi yang hampir tak berkesudahan. Gerakan membentuk ini tetap muncul dan bahkan sudah berada di berbagai negara. Era kekhalifahan dulu menjadi inspirasi untuk membentuk sistem pemerintahan Islam pada saat ini. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa dalam konteks negara modern saat ini yang sudah menetapkan batas-batas administratif, dengan mempertimbangkan berbagai hal sebagai pembentuk negara, maka gagasan Khilafah Islamiyah dalam bentuk negara yang lintas batas administratif menjadi masalah. Bervariasinya pemahaman mengenai khilafah islamiyah, menyebabkan penerapan konsep ini akan selalu berada di batas cita-cita belaka. Penyatuan persepsi dan pemahaman, sulit dicapai karena masing-masing manusia memiliki aneka ragam logika pemikiran. Tulisan ini bukan hasil penelitian, tetapi didasarkan kajian mendalam  tentang gagasan tersebut dan refleksinya dalam konteks negara modern.

A.            Pendahuluan

Permasalahan awal yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat Islam sesudah Rasulullah SAW wafat, adalah masalah kekuasaan politik,  yaitu pengganti beliau yang akan memimpin umat atau disebut persoalan Imamah (khilafah). Alqur’an sebagai acuan disamping Sunnah Nabi tidak sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang pengganti atau tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya (Pulungan,2001:ix). Termasuk pula tidak terdapat dalil baik qath’i dan zhanni yang jelas memerintahkan untuk mendirikan negara Islam.

Tidak mengherankan apabila dalam pentas perjalanan sejarah umat Islam pasca Nabi bahkan sampai abad modern ini, terdapat corak pemahaman yang berbeda tentang hal tersebut sehingga umat Islam menampilkan berbagai sistem dan bentuk pemerintahan, mulai dari bentuk pemerintahan yang demokratis sampai ke bentuk yang monarkhi absolut.

Berbicara tentang bentuk kekhalifahan yang diterapkan sejak masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin telah memberikan kontribusi yang berarti, terutama sebagai simbol kesatuan umat Islam. Akan tetapi sejak terjadinya penghapusan sistem khilafah era Turki Usmani, menyebabkan kegusaran umat terutama para pemikir Islam. Banyak usaha yang dilakukan kelompok tertentu untuk menghidupkan kembali syari’at Islam (sistem khilafah) tersebut bahkan sampai saat ini.

Kenyataannya, isu syariat Islam, atau diperluas lagi menjadi Khilafah Islamiyah, memang jadi bahan perdebatan. Sebagian golongan menganggap hal itu mutlak diterapkan, dengan mengacu pada kondisi zaman kekhalifahan. Sebagian lagi menganggap tidak ada konsep negara Islam pada zaman Rasulpun sebenarnya bukan negara Islam tetapi peradaban Islam. Munawir Syadzali (1993;

233) berkata bahwa Islam tidak mempunyai sistem politik dan hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggaraan negara.

Kontroversi mengenai ini tidak pernah selesai. Bahkan jika dilihat secara historis dan perkembangan akhir-akhir ini, dengan menguatnya paham negara modern menurut konsep demokrasi barat, khilafah islamiyah (jika dipahami sebagai sebuah negara Islam definitif) hanya sebuah angan-angan. Akan tetapi, semua ini perlu dibicarakan. Dalam konteks pluralitas, semua perbedaan adalah kekayaan intelektual yang perlu aktualisasi. Tulisan ini mencoba melihat lebih jauh tentang Khilafah Islamiyah, apakah hanya sebatas angan-angan ataukah memang bisa diterapkan. Sebuah format kekhilafahan dicoba dihadirkan disini, walau hanya sebatas alternatif yang tentu saja kekuatan kebenarannya sangat relatif sekali.


B.            Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah

Konsep Khilafah Islamiyah memiliki banyak penafsiran dari berbagai kalangan. Ragam penafsiran ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian “Multitafsir Khilafah Islamiyah”. Namun dalam bagian ini akan dijabarkan terlebih dahulu batasan Khilafah Islamiyah yang akan menjadi pegangan dalam keseluruhan makalah ini.

Khilafah, berasal dari kata “khalafa” yang artinya penggantian (al-Munawir, 1991;363). Khilafah diartikan menggantikan tempat seseorang sepeninggalnya. Dalam kaidah ajaran Sunni, kata itu merujuk pada wewenang seseorang yang berfungsi sebagai Nabi dalam kapasitas sebagai pemimpin masyarakat, namun bukan dalam fungsi kenabiannya (Taimiyah, 1994;9). Al-Maududi (1993;63-66) mengatakan bahwa khilafah itu mewakili hakim yang sebenarnya yaitu Allah SWT. Khilafah menjadi benar selama ia mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT.

Khilafah Islamiyah selama ini diidentikan dengan Daulah Islamiyah, yaitu pemerintahan Islam. Thawawy (Ramadhan, 2003;1) menyebutkan bahwa khilafah merupakan refleksi dari kepemimpinan Daulah Islamiyah yang melaksanakan konstitusi Islam di wilayah tertentu di antara pandangan-pandangan politik yang ada. Adapun Musthofa Shabary (Ramadhan, 2003;3) mengatakan Khilafah adalah pengganti dari Rasulullah SAW dalam melaksanakan syari’at Islam.

Pandangan lain yang banyak menjadi anutan dalam memahami pengertian ini, diambil dari pendapat Imam Taqiyyuddin An Nabhani1 yang menyatakan bahwa Khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Pendapat ini sangat populer, sehingga bagi hampir semua kalangan Islam memahami Khilafah Islamiyah dalam definisi ini. Pembahasan dalam makalah ini, selanjutnya juga mematok definisi khilafah Islamiyah berdasarkan pandangan Imam Taqiyyuddin di atas. Namun pemakaian definisi ini hanya sebagai batasan semata, dalam arti kata belum bisa dipastikan bahwa penulis sepakat dengan konsep yang ditawarkan oleh Imam tersebut. Justru berdasarkan pengertian tersebut, makalah ini akan mengkritisi dan melihat titik lemah yang ada serta mencoba menawarkan alternatif lain pemerintahan Islam. Konteksnya tetap dengan asumsi sang Imam bahwa khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan Islam di seluruh dunia.

Secara praktis, konsep Khilafah Islamiyah menjadi terminologi pada masa setelah Rasulullah SAW, tepatnya di masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dan kepemimpinan suku-suku setelah itu. Definisi yang sudah dijelaskan di bagian awal tulisan ini memang telah memperlihatkan bahwa khilafah adalah pemerintahan


1http://majelis.mujahidin.or.id/new/kolom/opini_dan_artikel/apakah_khilafah_itu, 12 Oktober 2005


sesudah Rasul. Artinya, konsep khilafah memiliki rangkaian erat dengan kepemimpinan Muhammad SAW.

Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah SAW berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah al-Munawarah. Atas dasar ini tegaklah dasar, pilar, struktur, pasukan, serta hubungan ke dalam dan ke luar negeri Islam (Ramadhan, 2003;17). Rasulullah SAW diyakini berhasil mendirikan negara yang berlandaskan pada azas akidah Islam, yaitu dua kalimat kunci: La Illaha Illallah, Muhammadur Rasulullah (Tiada Ilah kecuali Allah, Muhammad utusan Allah). Kalangan pendukung penerapan Khilafah Islamiyah percaya bahwa atas dasar inilah Rasul membangun pemerintahan, mengatur, dan mendakwahkan Islam kepada seluruh umat manusia.

Dari penjelasan singkat itu, kita sepakati bahwa era Rasul adalah era pemerintahan Islam. Dengan kata lain, pandangan yang mengatakan bahwa zaman Rasul bukanlah bentuk sebuah negara, akan berbeda pandangan dengan makalah ini. Asumsinya diawali dengan keyakinan bahwa zaman Rasul adalah bentuk pemerintahan Islam yang melengkapi diri dengan struktur dan susunan pemerintahan tersendiri.

Kenyataan bahwa era Rasul adalah sebuah bentuk pemerintahan, terbukti dengan adanya pasukan-pasukan, wali untuk daerah tertentu, serta para amir. Beliau pernah menempatkan Utab bin Usaid sebagai wali di Mekkah, Bazan bin Sasan sebagai wali di Yaman, Mu’ad bin Jabal al-Khazraji sebagai wali di Janad, Khalid bin Walid sebagai amil di Shun’a, Abu Dujanah menjadi wali di Madinah. Semua wali dan amir tersebut mendasarkan diri pada sebuah “konstitusi” dasar yaitu Al Qur’an dan dijabarkan melalui Sunnah.

Dua fase perkembangan Islam dapat dilihat terjadi pada era kenabian ini. Fase yang menjadi titik sentral perkembangan umat Islam selanjutnya. Fase ini yaitu, masa sebelum dan sesudah hijrah dari Mekkah ke Madinah (Rais, 2001;3). Fase pertama tidak terlalu menjadi kajian dalam politik Islam karena ini adalah masa peletakan dasar-dasar keislaman. Boleh dikatakan ini adalah tumbuhnya embrio masyarakat Islam dan penetapan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Baru pada fase kedua, bangunan umat Islam berhasil dibentuk dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general bisa dijabarkan secara mendetail. Pada masa ini juga jamaah Islam telah menguasai urusannya sendiri dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi.

Setelah Rasulullah wafat, dimulailah era kekhalifahan. Masa ini disebut juga dengan Khulafaur Rasyidin. Khalifah pertama adalah Abu Bakar as Siddieq (632 – 634 M), dilanjutkan oleh Umar ibn al-Khatab (634 – 644 M), Utsman ibn Affan (644 – 656 M), Ali ibn Abi Talib (656 – 661 M). Pada masa ini wilayah pemerintahan Islam meliputi seluruh Jazirah Arab – dalam hitungan sekarang


meliputi 7 negara – yaitu, Arab Saudi, Yaman Utara/Selatan, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain.

Permulaan dari penetapan institusi kekhalifahan adalah pertemuan di Saqifah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Islam, para sahabat, dan pemimpin sekte saat itu. Pertemuan yang mirip dengan muktamar luar biasa ini berlangsung dalam suasana dialog yang bebas dan terbuka. Hasil akhirnya adalah sebuah keputusan politik yang berpengaruh besar terhadap perjalanan umat Islam selanjutnya, yaitu berdirinya institusi kekhalifahan sebagai model pemerintahan Islam (Rais, 2001;14). Pertemuan ini juga yang kemudian menyepakati Abu Bakar as Siddieq sebagai khalifah pertama bagi dunia Islam setelah wafatnya nabi Muhammad saw. Dasar pemilihan Abu Bakar adalah karena mempunyai kedudukan keagamaan yang tinggi dibandingkan dengan sahabat lain, pihak yang pertama masuk Islam, telah berjasa besar dalam membela Islam, imannya teguh, serta sifat dan pribadinya yang sempurna bagi insan muslim (Ibnu Hisyam dalam Rais, 2001;16). Terlihat bahwa pemilihan Abu Bakar bukan berdasarkan aspek lain, seperti adat istiadat bangsa Arab yang memegang kuat kekuatan sekte dan suku.

Masa-masa kekhalifahan di era ini, mulai memperlihatkan dinamika pemerintahan Islam. Konflik dan pertentangan mulai terjadi di antara sesama umat. Pertikaian yang kerap terjadi adalah perbedaan pandangan yang berujung pada konflik fisik antar suku. Terbukti, dari keempat khulafaur rasyidin, tiga diantaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib) mengakhiri masa jabatannya karena terbunuh. Begitupun dengan masa-masa setelah khulafaur rasyidin, yaitu era kepempinan dinasti-dinasti bangsa Arab, pertikaian perebutan jabatan khalifah semakin menguat.

Penggunaan gelar khalifah pasca Khulafa’al-rasyidin kemudian dilanjutkan oleh dinasti Bani Umayyah di Damaskus (40-132H/661-750M) dengan 14 khalifah, Dinasti Bani Umayyah di Spanyol (Cordova dan Granada) dengan 57 khalifah (750-1492M), Dinasti Bani Abbas di Baghdad (132-656H’750-1258M) dengan 37 khalifah, Dinasti Fathimiyah di Mesir (297-567HJ/909-1171M) dengan 14 khalifah dan Dinasti Turki Usmani di Istanbul (1299-1922M) dengan 37 khalifah (Pulungan, 2002:58)

Khalifah-khalifah tersebut di atas sekaligus telah mengubah sistem dan bentuk pemerintahan dari sistem musyawarah pada masa khulafa al-Rasyidin kepada sistem dan bentuk dinasti dan monarki. Perubahan sistem pemerintahan demokrasi dalam Islam menjadi Monarkhiheridetis (kerajaan turun-temurun) terjadi pada awal masa kekuasaan bani Umayyah.

Pada masa kekhalifahan ini wilayah pemerintahan Islam tidak dibatasi pada beberapa negara. Sifatnya, seperti di era Rasul, yaitu meliputi semua Jazirah dan terus meluaskan wilayah kekuasaannya. Metode perluasan wilayah, umumnya dengan menggunakan kekuatan militer, sehingga bagi kalangan orientalis barat,


kerap disebutkan metode penyebaran Islam bersifat ekspansionis. Proses suksesi kepemimpinan, di era ini, bergantung dan bergiliran di beberapa kelompok (firqah). Alhasil yang terlihat adalah pemilihan pimpinan berdasarkan keturunan dan garis darah.

Model pemerintahan khilafah tidak dapat dipertahankan eksistensinya oleh umat Islam sejak Mustafa Kemal Attaturk sebagai Presiden pertama Turki menghapuskannya pada tanggal 3 Maret 1924 setelah pembentukan negara nasional sekuler Republik Turki pada oktober 1923 (Harun Nasution,2001:142). Sejak itu institusi khilafah yang dipandang sebagai supremasi politik dan simbol kesatuan umat Islam telah lenyap. Hal ini mendapat tantanagan hebat dari kalangan ulama dunia Islam. Sebagaimana dijelaskan Suyuthi Pulungan  (2001:48), menyikapi hal tersebut umat Islam pernah berusaha menghidupkan kembali lembaga khilafah melalui Muktamar khilafah di Cairo (1926), kongres khilafah di Mekkah. Di India timbul pula gerakan khilafah, dan organisasi-organisai Islam di Indonesia membentuk komite khilafah yang berpusat di Surabaya untuk tujuan yang sama.

Dengan dihapuskannya sistem kekhilafahan, umat Islam sedunia dewasa ini hidup di bawah berbagai bentuk pemerintahan yang merdeka dan berdaulat, bentuk kerajaan atau monarkhi dan tidak lagi memiliki supremasi politik dan simbol kesatuan model khilafah. Yang ada saat ini adalah organisasi konferensi Islam yang menghimpun 50 negara. (Pulungan:48)

Bahasan tentang lintasan sejarah khilafah Islamiyah tidak akan membahas satu persatu masa khalifah, namun dari kenyataan sejarah dapat dibuktikan bahwa Islam dalam bentuk sebuah Daulah memang pernah ada. Kekuasaan pada masa khalifah membuktikan bahwa mereka menguasai dan mengatur perikehidupan masyarakat, mulai dari aspek sosial, ekonomi, hukum, politik, dan keamanan (Ramadhan;2003; 30).

Masa pemerintahan Islam dengan menggunakan sistem kekhilafahan ini juga pernah berhasil menghantarkan Islam kepada kemajuan politik yang berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan sehingga Islam berhasil mencapai masa kejayaan, kegemilangan serta masa keemasan yang mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama (Yatim,2004:59). Meskipun sangat disayangkan setelah periode ini berakhir, Islam mengalami kemunduran.

Akan tetapi, sistem pemerintahan Islam tidak dapat disamakan dengan sistem lain yang dipakai saat ini. Pemerintahan Islam bukan monarchi, republik, federasi, ataupun kekaisaran/kerajaan. Taqiyuddin al-Nabhani (Ramadhan, 2003;29) menyatakan bahwa pemerintahan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari sisi bentuk negara, aparatusnya, dan aspek pemerintahan lainnya.


Pemerintahan pada zaman khalifah membuktikan hal itu. Sistem pemerintahannya, walaupun memiliki jangkauan luas, namun tetap terpusat pada satu pemimpin. Walaupun terpusat, ia tidak otoriter karena masing-masing wilayah punya kewenangan tertentu, dan hak-hak sipil mendapat penghargaan tinggi. Prinsip yang lebih sering dikenal adalah Syura, ‘Adalah, dan Musyawah. Jika diterjemahkan, ini mirip dengan konsep demokrasi ala barat, namun muatan utamanya tetap pada aspek Islami dengan landasan utama pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Hanya saja, dalam perjalanan sejarah terlihat bahwa masing-masing dinasti yang berkuasa kerap terjadi konflik. Peperangan dan perebutan kekuasaan menjadi biasa pada saat itu. Bahkan beberapa khalifah di era Khulafaur Rasyidin, mengakhiri jabatannya karena terbunuh, yaitu Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib. Hal ini kemudian menjadi penguat alasan bahwa Daulah Khilafah Islamiyah, akan sulit diterapkan dalam konteks multikultur saat ini.

 

C.            Multitafsir tentang Khilafah Islamiyah

Pemahaman terhadap apa dan bagaimana khilafah islamiyah, harus diakui sangat beragam. Berbagai kelompok Islam memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam melihat konsep negara Islam yang mereka inginkan. Sudut pandang yang berbeda, pada akhirnya menyebabkan khilafah islamiyah juga menjadi rumit dan hampir-hampir tidak mungkin untuk diterapkan.

Di tengah-tengah situasi menggelorannya keinginan umum agar sistem kekhilafahan dihidupkan kembali, muncullah thesis Ali Abdur Raziq, sarjana  muslim yang pertama kali dicatat dalam sejarah sebagai orang yang melancarkan propaganda menentang adanya khilafah. Ia mengatakan bahwa khilafah itu bukanlah sistem pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam, persoalan- persoalan agama dan dunia kita sama sekali tidak membutuhkan adanya khilafah sebagaimana yang pernah ada dalam sejarah politik Islam (Raziq,1985:xii) Hal ini dijelaskan pula oleh Maryam Jameelah (182:203), Raziq menolak bahwa Alqur’an ataupun Hadits secara harfiyah menyebutkan perlunya khilafah. Ia menolak bahwa Nabi pernah berusaha melaksanakan kekuasaan politik dan menyatakan bahwa misi Nabi kita adalah semata-mata spiritual. Bahkan dalam pandangannya Islam sama sekali tidak ada hubungannya dengan negara.

Terbitnya buku “Al Islam Wa Al Ushul Al Hukm”yang disusun oleh Raziq sebagaimana dikemukakan dalam Ensiklopedi Islam (1993:110) mendapat tantangan hebat dari umat Islam bukan hanya dari ulama tradisional yang meyakini secara taken for granted bahwa khilafah merupakan bagian dari doktrin Islam, tapi juga dari kalangan intelektual muslim yang masih menaruh harapan pada lembaga Khilafah. Karena pemikiran Raziq bertolak belakang dengan ijma’ yang disepakati oleh ulama dan mereka yakin bahwa khilafah adalah bagian yang tidak


terpisahkan dari ajaran Islam. Diantara ulama yang menentang buku Raziq adalah Rasyid Ridha, ia menganggap pandangan Abd. Raziq sebagai gagasan yang berbahaya dan perlu diluurskan. Penolakan terhadap khilafah atau sistem pemerintahan Islam justru akan memperlemah posisi Islam yang sudah tercabik- cabik oleh kolonialisme.

Dalam pandangan Ridho, jabatan khilafah adalah wajib syar’i dan eksistensi khilafah sangat penting dalam rangka penerapan hukum syari’at Islam. Ini sejalan dengan pandangannya bahwa Islam adalah agama untuk kedaulatan, politik dan pemerintahan. Ridho justru tampil dengan vokal untuk menghidupkan kembali khilafah yang memelihara kekuasaan absolut, yang dihapuskan oleh Muhammad Kemal attaturk. Untuk itu eksistensi khilafah sangat penting dalam rangka penerapan hukum syari’at Islam. Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa Islam adalah agama untuk kedaulatan, politik dan pemerintah.3 Bila demikian, menurut Suyuthi Pulungan (1997:293) berarti bentuk pemerintahan lain dalam pandangan Ridho tidak bisa menerapkan syari’at Islam.

Dari pandangan Abd Raziq, terlihat bahwasanya Raziq terlalu berani mengemukakan pendapat seolah-olah khilafat tidak penting tanpa melakukan analisis secara mendalam berdasarkan fakta sejarah tentang Sirah Nabawiyah sehingga dari pandangannya tersebut terlihat upaya yang akan membentuk opini politik agar umat Islam tidak lagi memperjuangkan khilafah.

Adapun menurut Muhammad Abduh, Islam dalam pemahamannya tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan. Ini mengandung makna bahwa apapun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian tentu saja implikasi dari konsep teologinya tentang manusia; manusia punya kehendak bebas dalam memilih dan berbuat (Pulungan,1997:282). Dari pandangan Abduh ini dapat diketahui bahwa Ia mengakui kekhalifahan tetapi Islam tidak menentapkannya secara jelas, namun sistem pemerintahannya saja yang menurutnya harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dengan jalan ijtihad .


Banyaknya komunitas Islam yang berkembang memperlihatkan pula banyaknya tafsir tentang pemerintahan Islam. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah salah satu organisasi yang sangat intens untuk penerapan khilafah ini. HTI adalah bagian dari jaringan Hizbut Tahrir yang secara internasional telah bergerak di lebih dari 40 negara. Organisasi ini lahir tahun 1953 di Al Quds (Yerusalem) Palestina. Mereka menyatakan diri sebagai partai politik, bukan organisasi massa yang  sekedar bersifat sosial kemasyarakatan. Panutan utamanya adalah Syaikh

3Untuk lebih jelasnya lihat Rasyid Ridho, Al-Wahy al-Muhammadi,Mathaba’at al-Qahirat, Mesir,1960 hal 239


Taqiyuddin an-Nabhani. Kelahirannya sebagai respon atas hancurnya khilafah islamiyah di Turki dan berdirinya Israel di Palestina tahun 1948. Gerakan ini  bertujuan membangkitkan umat Islam di seluruh dunia untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui tegaknya syariah dan khilafah Islamiyah(www.hizbut.tahrir.or.id)

Dalam gerakannya, Hizbut tahrir bersifat revolusioner, yaitu keinginan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah dan menyeluruh. Dasarnya diambil dari ajaran Syaikh Taqiyuddin. Mereka meyakini bahwa daulah khilafah adalah satu-satunya untuk seluruh dunia, dan mengharamkan umat hidup lebih dari satu negara. Dalil kekuatannya diambil dari nash-nash di Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ sahabat dan Qiyas. Salah satunya adalah Surat Ali Imran;103.

Keyakinan Hizbut tahrir ini diterjemahkan secara lebih rinci ke dalam bentuk-bentuk struktur pemerintahan yang disebutnya struktur khilafah islamiyah. Bentuknya mengadopsi konsep di masa kekhalifahan yaitu adanya, Khalifah, Mu’awin Tafwidh, Mu’awin Tanfidz, Amirul Jihad, Wali, Qadhi, Jihaz Idari, dan Majelis Umat. Sesuatu yang tampak jelas di sini adalah pemakaian bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa yang resmi. Hizbut tahrir sendiri meyakini, karena hukumnya wajib, pelaksanaan khilafah islamiyah saat ini, juga mutlak dan harus dilaksanakan. Hizbut tahrir kemudian tidak mengenal batasan wilayah, karena semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan Allah, karena itu semua wilayah harus mengikuti aturan Islami. Pemerintahan untuk seluruh dunia.

Dalam pandangan Hizbut tahrir, perjuangan umat untuk mendirikan Khilafah harus berdasarkan kepada: pertama, hukum-hukum syara’, tidak boleh didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang non syara’. Kedua, bahwa umat Islam wajib mengambil suri teladan (uswah hasanah) dari nabi Muhammad SAW, hal ini didasarkan karena Rasulullah telah memberi teladan bagaimana cara mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Seperti yang terdapat dalam Firman Allah SWT yang berbunyi: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah)” (Qs.Al-Ahzab (33):21).

Berdasarkan 2 (dua) prinsip itu, Hizbut tahrir merumuskan langkah- langkah untuk mendirikan Khilafah, yaitu:

1.  Perjuangan harus dilakukan secara jama’i (berkelompok), sebab tanpa berkelompok tidak mungkin kewajiban mulia itu dapat terealisir secara sempurna. Hal ini juga tercermin dalam Firman Allah swt: “ Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memmeluk Islam), memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali Imran:104)


2.  Perjuangan harus berada pada jalur politik (siyasah). Sebab mendirikan Khilafah adalah masalah politik sehingga metode yang relevan untuk mendirikannya tentunya adalah melalui pendekatan politik. Maksudnya adalah, perjuangan yang dilakukan harus selalu mengacu pada kativitas pemeliharaan urusan umat, sebab politik (siyasah) adalah pemeliharaan dan pengaturan segala urusan umat menuurt hukum-hukum syara’

3.  Perjuangan tidak menggunakan cara kekerasan (fisik).

Misalnya dengan membentuk milisi-milisi bersenjata untuk menyerang penguasa.

4.  Perjuangan harus menempuh tahap-tahap yang dicontohkan Rasulullah SAW, yaitu tahapan pembinaan dan pengkaderan, tahapan berinteraksi  dengan umat, dan tahap pengambilalihan kekuasaan.

Pandangan dari HTI ini, berbeda dengan tafsiran dari Jemaah Ahmadiyah. Jemaah yang pernah menimbulkan kontroversi ini dan bahkan telah mendapat fatwa larangan dari MUI (Majelis Ulama Indonesia), melihat bahwa Islam mengandung aspek keragaman. Aturan syariat Islam memang dianjurkan dalam Al Qur’an, tetapi manusia hidup berkelompok-kelompok, karena itu ada aturan lain. Kelompok ini melihat bahwa Indonesia memiliki Pancasila dan UUD 1945 yang menghargai keragaman dan perbedaan, dan itu dianggap tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul (Sinar Harapan, 10 Desember 2005).

Sementara itu, Abdul Malik an-Najar (1999;70-72) mengatakan bahwa kekhalifahan adalah tugas nyata manusia sebagai wakil Allah di muka bumi dalam menerapkan iradah dan syariat-Nya. Tugas ini memiliki substansi tersendiri yaitu, pertama, adanya kelebihan manusia dibanding makhluk lain, terutama dari susunan jazad dan rohnya. Kedua, manusia sebagai satu-satunya pengemban amanat taklif yaitu, ajaran buat manusia dalam kaitan kekhalifahan. Manusia dapat memilih dan melaksanakan berdasarkan kebebasan berkehendak sesuai dengan batasannya.

Makna yang jelas dari keterangan Abdul Malik di atas adalah adanya makna-makna wahyu dan kemampuan akal manusia. Hal ini berimplikasi pada penerapan syariat-syariat, dimana manusia harus bisa memadukan antara kemampuan nalar akal dengan ketentuan mutlak dalam wahyu. Secara umum, Abdul Malik memang tidak menyebutkan soal Khilafah Islamiyah (negara Islam), namun ia mengajukan kewajiban manusia untuk memahami posisi akal dan wahyu yang selalu butuh penafsiran.

Perbedaan dalam memaknai khilafah islamiyah pernah pula menorehkan berbagai catatan negatif di Indonesia. Salah satunya adalah pemberontakan DI/TII dan keinginan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) tahun 1949. Kelompok ini menginginkan pendirian negara Islam dengan menggunakan kekuatan militer. Mereka melakukan perlawanan bersenjata, membakar rumah penduduk,


membunuh para kiai, santri, yang semuanya justru umat Islam (Usep Romli, dalam Pikiran Rakyat, 18 September 2004). Tujuan gerakan ini sangat jelas, yaitu pendirian negara Islam dan pelaksanaan syariat Islam menurut versi mereka. Dalam hal ini DI/TII memiliki perbedaan dengan kelompok lain.

Memaknai khilafah Islamiyah, sejak awal sudah memiliki ragam pendapat. Ibnu Khaldun memaknai Khilafah sebagai wakil Allah dalam menjaga agama dan urusan dunia. Syaikh al-Islam Ibrahim al-Baijuri menyebutkan khilafah sebagai wakil Nabi SAW untuk mengatur kemaslahatan kaum muslimin. Sementara Imam al-Mawardiy mendefinisikan sebagai imamah yang diposisikan untuk khilafah nubuwwah dalam hal menjaga agama dan urusan dunia. Dari beberapa pendapat itu saja, sudah terlihat bahwa masing-masing orang berbeda dalam  memahaminya, apakah khilafah dianggap wakil Allah di dunia atau wakil Muhammad. Ini baru pada tataran konsep general, belum lagi pada hal-hal yang lebih detail, seperti soal fiqh dan syariat. Akan tetapi, kelompok HTI dengan Syekh Taqiyuddin memberanikan diri mengambil sebuah pilihan paling tepat yaitu, “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di kehidupan dunia, untuk menegakkan hukum-hukum Islam, dan mengemban dakwah islamiyah ke seluruh dunia.” (Ramadhan,2003;5). Kelompok ini kemudian mengklaim bahwa inilah yang paling tepat.

Pandangan senada dikemukakan Dhiauddin Rais (2001:163) yakni  jika kita kaji secara serius, hakikat sebuah kekahalifahan adalah kepemimpinan umum umat Islam yang merepresentasikan kesatuannya, mampu menjaga eksistensinya,mengetahui apa yang paling urgen untuk kepentingan umat, serta dapat mewujudkan kemaslahatan kolektif dan menerapkan semua prinsip Islam. Lebih lanjut dijelaskannya, hakikat kekhalifahan adalah usaha untuk mendirikan negara islam dan menjaga kebersinambungannya. Negara Islam adalah negara yang berdiri atas dasar agama Islam, negara yang melaksanakan syari’at islam yang bertugas menjaga tanah-tanah negara Islam, membela penduduk negara Islam dan berusaha menyebarkan misi Islam di dunia.




Tafsiran lain tentang khilafah islamiyah muncul dari tokoh-tokoh muslim di Indonesia. Azyumardi Azra (1999;172) mengatakan bahwa konsep negara Islam di Indonesia tidak jelas, tidak feasible dan viable. Hal ini didasarkan atas gerakan dan misi yang dibawa oleh Masyumi. Ia bahkan mengatakan gagasan negara Islam seperti yang dicanangkan oleh Masyumi dan Kartosuwirjo hanyalah romantisme masa lalu dan normativisme keagamaan belaka.

Sementara itu, Amien Rais (Azra,1999;174) lebih tegas lagi menyebutkan bahwa, “Negara Islam saya kira tidak ada dalam Al-Qur’an, maupun dalam As- Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Yang penting adalah selama negara menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat yang


egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia manapun, berarti menurut Islam sudah dipandang sebagai negara yang baik. Apalah artinya negara kalau hanya formalitas kosong.”

Pandangan ini lebih melihat kepada substansi, yang menilai khilafah islamiyah sebagai kewajiban moral, bukan dalam wujud fisik sebuah sistem kenegaraan. Ini dipertegas lagi oleh Nurcholish Madjid (Sartoso, 1997) yang mengatakan bahwa istilah negara Islam muncul di kalangan muslim sebagai gejala di masa modern saja. Hal ini muncul karena interaksi kaum muslim dengan golongan agama lain. Dikatakannya bahwa negara Islam yang formalistik tidak pernah digunakan, baik oleh Nabi Muhammad SAW maupun para khalifah  rasyidin.

Seorang ulama lain, Yusuf Musa (1990;132) mengatakan khalifah adalah pemegang kekuasaan dalam negara, dalam kedudukannya sebagai khalifah bukan sebagai pribadi, selama umat tetap menempatkan dirinya pada jabatan  tertinggi ini. Jabatan ini dimsksudkan agar ia dapat mengatur umat dengan  hukum allah dan syari’at-Nya serta membimbingnya ke jalan kemaslahatan dan kebaikan, mengurus kepentingannya secara jujur dan adil dan memimpinnya ke arah kehidupan mulia dan terhormat. Akan tetapi Meskipun menduduki jabatan tertinggi,ia tidak dapat semena-mena memerintah orang lain dan beranggapan tak ada lagi kekuasaan yang melebihi dirinya serta merasa sebagai sumber kekuasaan dan kekuatan.

Seorang tokoh intelektual muslim, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nurwahid, juga pernah melontarkan kerisauannya dan menolak wacana pelaksanaan khilafah Islamiyah di Indonesia (Suara Merdeka, 26 Oktober 2004). Pernyataannya terkait dengan aksi HTI yang menginginkan pelaksanaan kembali Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945. Nurwahid mengatakan bahwa yang terpenting adalah pelaksanaan agama pada tingkat moral dan etos kerja.

Multitafsir tentang khilafah Islamiyah dipengaruhi pula oleh kenyataan bahwa penguasa-penguasa muslim pasca Nabi dan Khulafaur Rasyidin, pada dasarnya adalah raja yang absolut. Sistem ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan egaliterianisme yang diajarkan Islam. Sistem monarki juga bertentangan dengan ajaan Islam dalam suksesi kepemimpinan yaitu berdasarkan, kualitas kepribadian, keilmuan, dan kesalehan. Kenyataanya yang terjadi justru berdasarkan keturunan dan pertalian darah (Azra, 1999;175).

Wacana di atas menunjukkan pada kita bahwa sampai saat ini, konsep khilafah Islamiyah tidak pernah satu kata dipahami. Penafsiran yang beragam dari kalangan ulama dan intelektual muslim, yang semuanya mendasarkan diri pada Al- Qur’an dan Hadits, membuat konsep khilafah Islamiyah sudah memperlihatkan titik


lemah pada level mendasarnya. Apabila diterjemahkan lagi pada aturan yang lebih rinci, maka kontroversi dan perdebatan akan semakin melebar.

 

D.         Khilafah Islamiyah di Dunia Modern

Sub judul di atas muncul dari penjelasan yang sudah dijabarkan sebelumnya. Berdasarkan konsep khilafah yang didengung-dengungkan para penggagasnya serta realitas masyarakat dunia saat ini, maka penulis hanya bisa meletakkan konsep Khilafah Islamiyah (menurut definisi pada awal makalah ini) sebatas angan-angan. Sikap pesimistis ini secara yakin diambil karena realitas dunia modern yang sudah lintas batas dan ideologi, serta gejala menguatnya ikatan-ikatan etnis dan agama pada berbagai kelompok masyarakat, memperkuat keyakinan bahwa memaksakan sebuah konsep negara kepada semua  entitas umat hanya akan berbuah konflik dan pertikaian tanpa akhir.

Realitas masyarakat dunia saat ini telah diwarnai penguatan ideologi- ideologi keagamaan, etnis, dan nasionalisme kebangsaan. Tesis Huntington yang telah dijelaskan sebelumnya memperlihatkan bahwa benturan antar peradaban akan mengarah pada konflik berkepanjangan antara Timur dan Barat. Penguatan sentimen etnis dan agama adalah pemicu yang paling besar dan itulah yang akan menghambat jalannya konsep kekhilafahan di era sekarang ini.

Secara lebih konkret, kenapa konsep Khilafah Islamiyah sulit, atau malah tidak mungkin diterapkan, dapat dilihat dari pandangan Abdul Moqsith Ghazali (http://islamlib.com/id,04/04/2005), Aktifis Jaringan Islam Liberal (JIL) ini membantah pernyataan dan keyakinan dari HTI mengenai konsep negara Islam. Menurutnya, Khilafah Islamiyah bukan hanya sekedar tidak realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan.

Pertama, amat tidak mudah mencari rumusan khilafah yang disepakati oleh seluruh umat Islam yang menyebar di sejumlah kawasan dunia. Konsep khilafah yang diusung oleh HTI adalah hanya salah satu rumusan dari Taqiyuddin al-Nabhani, yang belum tentu diamini oleh para ulama yang lain. Dalam konteks Indonesia, agak sulit dibayangkan bagaimana umat Islam bisa satu kata untuk menerima satu konsep mengenai khilafah. Eksperimentasi khilafah model siapa? Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, atau yang lainnya? Cukup pelik memang menghadirkan konsep khilafah dalam konteks sekarang. Bahkan jauh-jauh hari, NU dan Muhammadiyah telah bersuara bahwa Indonesia dengan Pancasilanya adalah bentuk negara bangsa yang final. Khilafah tidak pernah dipertimbangkan oleh kedua ormas Islam terbesar itu.

Kedua, jika khilafah merupakan lanskap atau wadah untuk memformalisasikan syariat Islam, maka pertanyaan sederhananya adalah syariat Islam yang mana? Syariat dalam tafsir siapa? Sebagaimana dikatakan Ibn ‘Aqil, bukankah syariat itu amat beragam, sekalipun agama tetap satu? Al-din wahid wa


al-syari’atu mukhtalifah. Memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan syariat Islam yang lain. Alasan ini kiranya yang menyadarkan seorang tokoh sekelas Imam Malik ketika menolak tawaran khalifah saat itu untuk menjadikan al-Muwaththa`, salah satu karyanya, menjadi konstitusi negara (daulah).

Ketiga, khilafah tidak memiliki kisah sukses yang memadai. Sejarah telah banyak menunjukkan perihal kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan khilafah. Betapa dari empat Khulafa` Rasyidun, tiga di antaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib) mati terbunuh justru ketika konsep khilafah itu diterapkan. Peperangan onta (waq’ah al-jamal) yang melibatkan Ali ibn Abi Thalib (menantu sekaligus sepupu Nabi) dan Siti Aisyah (istri Muhammad SAW) telah menelan korban nyawa yang tidak sedikit. Inkuisisi (mihnah) dengan menghukum para intelektual muslim brilian juga terjadi dalam dunia khilafah. Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah bukanlah konsep yang ideal. Ia telah gagal justru pada saat uji cobanya yang pertama.

Bachtiar A (http://padhangmbulan.com) pernah pula mengatakan bahwa jika ingin menerapkan syariat Islam ataupun Khilafah Islamiyah, pertanyaan utama yang perlu diajukan adalah, syariat Islam menurut siapa yang akan dipakai ? Saya setuju dengan syariat Islam, tapi syariat yang mana dan menurut siapa ? Apakah menurut Sunni, Syiah, NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Hizbut Tahrir, atau siapa

? Semua ini memiliki ragam tafsir dan sumber yang bervariasi pula. Ada yang langsung mengambil dari jaman Rasulullah SAW, ada yang dari Khulafaur Rasyidin, dan zaman Khilafah selanjutnya. Satu yang pasti, semuanya didasarkan atas sudut pandang dan pemahaman sendiri-sendiri.

Perlu kita pahami bahwa kebenaran agama, ibaratkan cermin dari Tuhan. Kini cermin itu telah pecah dan berkeping-keping. Masing-masing pihak memegang kepingan sendiri-sendiri dan meyakini bahwa apa yang dilihat itulah kebenaran. Oleh karena itu, Bachtiar juga meyakini bahwa dalam perjalanan sejarah perkembangan Islam, hampir tidak ditemui khilafah Islam yang ideal. Islam sendiri juga tidak mengajarkan apa bentuk negara, namun memberikan panduan bagaimana bernegara yang baik.

Terlihat jelas bahwa persoalan dalam penerapan khilafah Islam adalah beda penafsiran yang sangat besar, dan itu terjadi justru di sesama umat Islam sendiri. Kelompok-kelompok dalam Islam tidak pernah memiliki persepsi yang sama dalam memandang khilafah Islam. Semakin banyak kelompok dan golongan, maka makin banyak pula tafsiran tentang negara Islam.

Lebih jauh apabila kita cermati, negara-negara dan masyarakat dunia, saat ini sudah membagi diri pada berbagai kelompok dan ikatan tertentu. Ikatan-ikatan tersebut terwujud dari sejak adanya masyarakat itu, ataupun terbentuk karena perkembangan daya kritis analitis manusia. Berkembangnya paham pluralisme dan


sekularisme dalam beragama adalah gejala yang melihat kondisi masyarakat yang multikultur. Ide-ide dari kelompok ini semakin menguat dan makin memperlihatkan dukungan besar dari masyarakat. Tentu saja, paham ini akan berseberangan dengan kelompok lain yang meyakini keampuhan negara Islam saat ini.

Multikulturalisme lahir sebagai reaksi atas fakta bahwa manusia di seluruh dunia adalah beragam. Keragaman ini terlihat dari semua sisi, baik secara fisik, daerah, bahasa, keyakinan, sudut pandang, ideologi, dan kepercayaan. Inilah fakta sosial yang tidak bisa dipungkiri. CW Watson (2000;87) menegaskan bahwa multikulturisme, sebagai sebuah kajian, muncul menjelang masuknya abad ke-20, dimana pertumbuhan masyarakat semakin kompleks dan beragam, jumlah penduduk semakin menguat dan perkembangan teknologi yang mendorong munculnya ide baru juga menguat.

Konsep multikulturisme pada dasarnya sudah ada dulu. Dalam sosiologi, konsep ini dikenal dengan istilah kearifan lokal (indigenous knowledge). Masyarakat zaman dulu telah bisa memahami bahwa setiap manusia memiliki perbedaan dengan manusia lainnya. Secara arif mereka menyesuaikan diri dan menciptakan aturan yang bisa mengadopsi semua kepentingan. Sasaran akhir adalah tercapainya kedamaian dan stabilitas hidup bermasyarakat. Coba renungkan makna Bhineka Tunggal Ika yang tergantung di lambang negara Indonesia. Kata-kata itu dicanangkan ketika negara ini akan dibentuk (1945), jauh sebelum konsep pluralisme masuk ke Indonesia. Tapi toh para founding fathers negeri ini telah memahami keragaman bangsa. Begitupun dengan konsep Piagam Jakarta yang dimodifikasi sehingga bisa mengadopsi semua golongan di Indonesia.

Dalam Islam, konsep multikultur ini sudah jadi keyakinan yang mutlak. Surat Al-Maidah ; 48 secara tegas menyebutkan, tiap-tiap kalian Kami buatkan syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (metode pelaksanaan). Seandainya Allah menghendaki, pasti Dia jadikan kalian (manusia) umat yang satu, tetapi dijadikan beragam itu untuk menguji kalian atas apa-apa yang Dia anugerahkan kepada kalian. Maka berlomba-lombalah kalian menuju kebajikan-kebajikan. Kepada Allah kalian semua akan kembali dan kelak Dia akan menjelaskan kepada kalian apa saja yang kalian perselisihkan. Inilah dasar pluralisme beragama. Keyakinan bahwa manusia memang beragam dan berbeda, namun tetap dalam satu keyakinan terhadap kebenaran ajaran Tuhan.

Penerapan syariat Islam dalam bentuk Daulah Islamiyah (menurut konsep HTI) akan sangat absurd bahkan terlihat akan mustahil untuk diterapkan. Sampai kapanpun, peradaban yang terbentuk tetap dalam bentuk keragaman, bahkan semakin melebar. Ini dimungkinkan karena gejala perkembangan global yang sudah melintas batas sehingga perkembangan pola pikir dan tingkat keragaman semakin meluas.


Akan tetapi, adopsi nilai-nilai keislaman dalam sistem pemerintahan tentu saja dimungkinkan. Beberapa inteletktual muslim sangat menyarankan hal itu, namun bukan pembentukan negara secara fisik. Amien Rais, Hidayat Nurwahid, Abdurrahman Wahid, adalah tokoh-tokoh yang menginginkan konsep nilai-nilai Islam jadi anutan bagi semua warga negara. Nilai-nilai Islam dalam pandangan universal dengan pedoman utama bagi kemajuan dan rahmatan lil alamin. Bentuk konkritnya adalah pengadopsian etos kerja Islam dan semangat Islami.

Dasar dari konsep tersebut adalah sudut pandang bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan hal yang sama, yaitu berbuat baik dan saling bersikap toleransi. Kerja keras dan sikap kejujuran. Ini adalah nilai-nilai universal. Nilai-nilai inilah yang semestinya bisa diadopsi oleh kalangan yang menginginkan pembentukan negara Islam. Pemaksaan pada level negara definitif dengan aturan- aturan syariat yang masih multitafsir, hanya akan menciptakan gejolak konflik baru. Semestinya, nilai-nilai kemanusiaan yang dikedepankan.

Dalam beberapa diskusi penulis dengan teman sejawat, muncul sebuah ide lain yaitu penerapan khilafah Islamiyah dengan meniru konsep keuskupan  yang berpusat di Vatikan. Modelnya adalah memunculkan pemimpin religius yang menjadi panutan dan pedoman bagi semua umat. Hanya saja, wewenangnya terbatas pada soal-soal keimanan dan keagamaan dalam arti sempit. Sebagai pemimpin religius, ia tidak mempunyai kewenangan pada level praktis kenegaraan. Masing-masing negara tetap berdaulat dan melaksanakan kegiatan kenegaraan dengan format dan bentuk masing-masing.

Model ini cenderung sekuler, memisahkan wewenang agama pada batas- batas tertentu dengan wewenang pemerintahan. Akan tetapi, kelebihan utama model ini adalah kemampuannya untuk menyatukan semua umat dalam satu pimpinan dan panutan. Walaupun ritual dan syariat berbeda-beda, tapi mereka mengacu pada sebuah pemimpin agung yang memiliki kewenangan dari sisi religius.

Akan tetapi model inipun sulit diterapkan, karena dari sisi sejarah dan keyakinan sebagian besar umat Islam, penghormatan berlebihan (bahkan cenderung kultus) pada seorang pimpinan tidak dibenarkan. Hal lain, ajaran Islam selalu multitafsir di dalam pemeluknya, sehingga akan timbul kesulitan dan kerumitan, dalam menentukan dasar hukum dan dalil nash pendukung model ini. Konsep pemimpin spiritual Iran, sebenarnya sudah mengarah pada model ini, namun tetap tidak bisa mengadopsi semua keyakinan.

Bukti sejarah juga memperlihatkan, kehancuran Khilafah Abdul Majid II (1924) di Turki yang berposisi sebagai pemimpin spiritual, juga memperlihatkan lemahnya model ini di ajaran Islam. Kendatipun ada unsur lain yaitu intervensi Mustafa Kemal Pasha Ataturk, yang jelas pemisahan antara pemimpin spiritual dan pemimpin kenegaraan, juga sulit dan mustahil.


Jalan tengah dan ideal diterapkan adalah adopsi nilai-nilai universal Islam yang bertumpu pada etos kerja dan semangat rahmatan lil alamin. Ini sesuai dengan konsep kemajemukan masyarakat dan kelenturan nilai-nilai Islam di semua zaman dan waktu.

 

E.        Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa konsep Khilafah Islamiyah sangat sulit diterapkan saat ini. Kemajemukan dan keragaman masyarakat tidak memungkinkan munculnya satu konsep ideal tentang negara Islam. Multitafsir mengenai khilafah islamiyah akan selalu menimbulkan persoalan di masyarakat.

Meskipun tidak ditetapkan dalam Alqur’an untuk menciptakan negara Islami (sistem Khilafah), tapi ada kewajiban menegakkan tatanan masyarakat Islami. Model yang tepat diterapkan adalah peningkatan pemahaman terhadap etos kerja dan semangat Islam yang rahmatan lil alamin. Dalam praktek, aturan, dan bahasa mungkin berbeda-beda, tetapi semangatnya tetap satu. Model seperti ini tidak melihat negara Islam secara fisik, tapi abstrak dalam pemahaman individu- individu.

Bervariasinya pemahaman mengenai khilafah islamiyah, menyebabkan penerapan konsep ini akan selalu berada di batas angan-angan. Penyatuan persepsi dan pemahaman, sulit dicapai karena masing-masing manusia memiliki aneka ragam logika pemikiran.
Read more