Open top menu
Selasa, 07 Mei 2013
no image



Pada proses belajar mengajar  terdapat porsi terbesar dari profesi  guru, yang menuntut penguasaan isi, materi, wawasan yang berhubungan dengan  bidang studi  yang diajarkan, mendesain   program pembelajaran, serta menyusun RPP   yang akan menjadi panduan pembelajaran di kelas. Guru harus mengembangkan materi dengan kreatifitas maksimal agar siswa termotivasi dan mengikiti sekaligus melaksanakan  aktifitas yang menjadi dasar  konsep yang dimiliki , akan tetapi tidak mudah melahirkan kreatifitas yang bermakna tersebut, sehingga guru memerlukan latihan-latihan dan penambahan kegiatan yang mengarah pada proses pencetusan ide dan  konsep-konsep perkembangan.

Semua ini terbukti dengan kesulitan guru dalam menyusun Rencana Program Pembelajaran (RPP) pada  mata pelajaran Bahasa Indonesia yang kreatif, yang dapat menghidupkan suasana  belajar mengajar menjadi hidup dan tidak membosankan, karena  Rencana program Pembelajaran yang kreatis sangat diperlukan  sejalan dengan beraneka ragam corak perkembangan media pembelajaran  serta sumber belajar disekitar sekolah yang dapat dimanfaatkan oleh guru  dalam menunjang  proses pembelajaran.

            Pendidikan adalah proses yang bersifat terencana dan sistematik, karena itu perencanaannya disusun secara lengkap, dengan pengertian dapat dipahami dan dilakukan oleh orang lain dan tidak menimbulkan penafsiran ganda. Sebagai illustrasi dapat kita gunakan profesi seorang Insinyur bangunan. Rancang bangun yang disusunnya dapat dilaksanakan dengan baik oleh beberapa orang tukang bangunan dibantu dengan beberapa orang buruh bangunan. Mengapa? karena rancang bangun yang disusun Insinyur tersebut cukup lengkap dan operasional, sehingga seorang tukang yang tidak memiliki pendidikan teknik bangunan sekalipun dapat memahami dan melaksanakannya.

Sebagaimana ditegaskan dalam PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 20 bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sekurang-kurangnya memuat tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dijabarkan dari silabus, dan merupakan skenario proses pembelajaran untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa dalam upaya mencapai KD. Di dalam RPP tercermin kegiatan yang harus dilakukan guru dan siswa untuk mencapai kompetensi dasar.

Pertanyaannya: Apakah rencana pembelajaran yang telah disusun oleh guru selama ini sudah lengkap dan operasional?

Pengertian dan Fungsi RPP
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas. Berdasarkan RPP inilah seorang guru bisa menerapkan pembelajaran secara terprogram. Oleh karena itu, RPP harus mempunyai daya terap yang tinggi. RPP adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus, Sehingga lingkup RPP paling luas mencakup satu KD yang terdiri atas satu atau beberapa indikator.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah persiapan yang disiapkan guru sebelum mengajar yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu KD yang telah ditetapkan dalam SI dan dijabarkan dalam silabus.

Kenyataannya, pada pengamatan terhadap dokumen RPP pada portofolio sertifikasi guru, umumnya hanya berisi langkah-langkah yang cenderung tidak operasional dan langkah tersebut cenderung bersifat kegiatan rutin. Belum tampak adanya spesifikasi langkah-langkah pembelajaran sesuai karakter mata pelajaran dan perkembangan peserta didik.
Seharusnya RPP tersebut disusun selengkap mungkin dan sistematis sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan oleh guru lain. Terutama ketika guru yang bersangkutan tidak hadir, guru lain dari mata pelajaran serumpun dapat menggantikan langsung, tanpa harus merasa kebingungan ketika hendak melaksanakannya.
Pada hakekatnya penyusunan RPP bertujuan merancang pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tidak ada alur pikir (algoritma) yang spesifik untuk menyusun suatu RPP, karena rancangan tersebut seharusnya kaya akan inovasi sesuai dengan spesifikasi materi ajar dan lingkungan belajar siswa (sumber daya alam dan budaya lokal, kebutuhan masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi). Pengalaman dari penilaian portofolio sertifikasi guru ditemukan, bahwa pada umumnya RPP guru cenderung bersifat rutinitas dan kering akan inovasi. Mengapa? diduga dalam melakukan penyusunan RPP guru tidak melakukan penghayatan terhadap jiwa profesi pendidik. Keadaan ini dapat dipahami karena, guru terbiasa menerima borang-borang dalam bentuk format yang mengekang guru untuk berinovasi dan penyiapan RPP cenderung bersifat formalitas.
Bukan menjadi komponen utama untuk sebagai acuan kegiatan pembelajaran. Sehingga ketika otonomi pendidikan dilayangkan tak seorang gurupun bisa mempercayainya. Buktinya perilaku menyusun RPP dan perilaku mengajar guru tidak berubah jauh.

Tujuan RPP adalah untuk: (1) mempermudah, memperlancar dan meningkatkan hasil proses pembelajaran, (2) mengetahui profesionalitas guru. Sedangkan fungsi RPP adalah sebagai acuan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran agar lebih terarah, efektif dan efisien. RPP dapat diartikan sebagai skenario pembelajaran, itu sebabnya RPP hendaknya bersifat fleksibel untuk disesuaikan dengan suasana kelas dan respon peserta didik.

Acuan alur pikir yang dapat digunakan sebagai alternatif adalah:
1.     Kompetensi apa yang akan dicapai.
2.     Indikator-indikator yang dapat menunjukkan hasil belajar dalam bentuk perilaku yang menggambarkan pencapaian kompetensi dasar.
3.     Tujuan pembelajaran yang merupakan bentuk perilaku terukur dari setiap indikator.
4.     Materi dan uraian materi yang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa agar ianya dapat mencapai tujuan pem­belajaran.
5.     Metode-metode yang akan digunakan dalam pembelajaran.
6.     Langkah-langkah penerapan metode-metode yang dipilih dalam satu kemasan pengalaman belajar.
7.     Sumber dan media belajar yang terkait dengan aktivitas pengalaman belajar siswa.
8.     Penilaian yang sesuai untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran.
           
Secara umum, ciri-ciri Rencana Pelaksanaan Pembelajaran  (RPP) yang baik adalah sebagai berikut:
1.     Memuat aktivitas proses belajar mengajar yang akan dilaksanakan oleh guru yang akan menjadi pengalaman belajar bagi siswa.
2.     Langkah-langkah pembelajaran disusun secara sistematis agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.
3.     Langkah-langkah pembelajaran disusun serinci mungkin, sehingga apabila RPP digunakan oleh guru lain (misalnya, ketiga guru mata pelajaran tidak hadir), mudah dipahami dan tidak menimbulkan penafsiran ganda.

Prinsip Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
1.     Berorientasi pada silabus mata pelajaran atau tematik.
2.     Perumusan indikator pencapaian kompetensi, pemilihan materi pembelajaran, penyusunan urutan penyajian materi, serta penilaian hasil pembelajaran dilakukan dengan mengacu pada SK dan KD yang ada dalam silabus.
3.     Memperhatikan perbedaan individu peserta didik.
4.     RPP disusun dengan memperhatikan kemampuan prasyarat, kemampuan awal, keragaman tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, keragaman latar belakang budaya, norma dan tata nilai serta lingkungan sekolah.
5.     RPP disusun dengan mempertimbangkan kemungkinan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi dan sistematis dalam pembelajaran.
6.     Mendorong adanya pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
7.     Proses pembelajaran dirancang dengan berfokus pada siswa untuk mendorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar, serta budaya membaca, menulis dan berhitung.
8.     Harus dirancang adanya pemberian penguatan, umpan balik positif, pengayaan, dan remedial terhadap siswa untuk mengatasi hambatan belajar siswa.
9.     Disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, materi pokok, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu dan sumber belajar dalam satu keutuhan kegiatan.
10.  Disusun dengan mengakomodasikan keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.

Laporan Harian Pembelajaran
Bahwa perlu disadari pada kenyataannya penyelesaian RPP yang dilakukan oleh guru-guru sebagian besar hanya menyalin copy paste yang pada akhirnya tidak ada perubahan dan nyaris sama pada setiap tahun pelajarannya, bahkan ada yang menduplikasi punya teman dari sekolah lain. Hal ini menjadi jelas hanya beberapa saja guru yang benar-benar membuat RPP secara asli dibuat sendiri dan belum tentu RPP tersebut sudah sesuai dengan apa yang dilakukan didalam kelas, karena kebiasaan guru masuk kelas tanpa membawa RPP ke dalam kelas menjadi tidak pernah ada koreksi dari perencanaan program pembelajaran itu sudah terlaksana, maka perlu kira harus dipikirkan bahwa perencanaan saja masih kurang tanpa ada evaluasi atau laporan dari setiap kegiatan pembelajaran didalam kelas, maka selayaknya sebuah kegiatan atau bentuk-bentuk even-even apapun harus adanya evaluasi sebagai koreksi dari kekurangan selama kegiatan tersebut berlangsung dan segera melakukan perbaikan-perbaikan, namun dalam RPP kalau tidak ada supervisi dari para pejabat sekolah maka RPP itu bahkan tidak pernah dilakukan revisi-revisi perbaikan, maka hal ini yang menjadi kualitas guru-guru tidak signifikan meningkat dan juga berakibat kualitas kompetensi lulusan masih jauh dari harapan, sedangkan tuntutan harus mengikuti keinginan Dinas Pendidikan, pada akhirnya melakukan kecurangan-kecurangan agar kredibilitas guru dapat terjaga dan inilah bahayanya sehingga terpuruknya pendidikan di Indonesia.
            Penting laporan pembelajaran harian dari setiap guru menjadi perlu diperhatikan secara penuh oleh setiap sekolah, sehingga dapat dipelajari hasil laporan tersebut untuk dilakukan evaluasi kinerja guru dan pada akhirnya peserta didik menjadi tercukupi kompetensinya, sehingga kualitas kompetensi lulusan menjadi diatas standar ditetapkan Dinas Pendidikan tanpa harus ada kecurangan-kecurangan.
Read more
no image



Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme guru bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu;
  1. Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam; 
  2. Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar;
  3. Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar;
  4. Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993, dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
  1. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
  2. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa,
  3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi,
  4. Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
  5. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Untuk membangun profesionalisme guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai;
  1. dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
  2. penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
  3. pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu;
  1. memiliki kepribadian yang matang dan berkembang;
  2. penguasaan ilmu yang kuat;
  3. keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan
  4. pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi.
Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan.
Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru dalam pendidikan nasional disebabkan oleh antara lain;
  1. masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada;
  2. belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju;
  3. kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan;
  4. kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.

Disamping itu ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru;
  1. masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total,
  2. rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan,
  3. pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan,
  4. masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru,
  5. masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme guru sebagai anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.
Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001).
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998).
Pengembangan profesionalisme guru harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.
Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

Read more
no image



Secara politis, strategi pendidikan nasional yang sesuai dengan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak pernah dipikirkan apalagi ditetapkan. Program dan sistem pendidikan diserahkan saja kepada birokrat bekas guru-guru sekolah rendah yang berdiploma. Karena mereka tidak memiliki wawasan, apalagi menghayati makna nasionalisme dan tujuan kemerdekaan, mereka “menjiplak” saja apa yang mereka peroleh dari sekolahnya dulu: sistem , program dan kurikulumnya. Label pendidikan nasional diartikan sama dengan membuang kurikulum bahasa Belanda dan yang berbau Belanda.

Pelajaran kesenian seperti menggambar dan bernyanyi, serta kerajinan tangan sejak dari sekolah rendah yang berfungsi untuk melatih murid agar dapat bekerja dan meniru secara teliti secara estetika, tidak diajarkan lagi. Tidak diajarkan, bukan karena program atau sistemnya salah, melainkan karena tidak mengerti akan fungsinya serta sangat mendewakan ilmu pengetahuan umum. Padahal kemampuan meniru dengan baik dan bekerja dengan teliti melalui pendidikan kesenian itu sangat diperlukan bagi mereka yang akan bekerja pada bidang administrasi, terutama di pemerintahan. Besertanya pendidikan bagi rasa keindahan atau estetika pada murid pun terabaikan.

Bahkan sejak dari sekolah rendah, kepada murid tidak diberi perpustakaan yang menyediakan buku-buku sebagai alat bantu untuk mengembangkan wawasan murid, karena alasan tidak ada dana. Padahal seluruh kurikulum menggiring murid agar mampu masuk ke perguruan tinggi yang akan mewajibkan mahasiswa melakukan banyak studi kepustakaan. Oleh karena itu, ketika menjadi mahasiswa, mereka tidak mempunyai minat membaca dan menulis sehingga waktu mereka lebih banyak diisi dengan kelakar atau mengobrol bergerombol dari pada studi.

Tingkat dan jenis sekolah serta program dan kurikulum diseragamkan untuk seluruh Indonesia tanpa mengindahkan kondisi dan situasi yang berbeda-beda di berbagai daerah dengan dalih demi persatuan bangsa. Akibatnya, anak petani atau nelayan di pedesaan terpencil mendapat program pendidikan yang sama dengan anak kota besar yang makmur. Jika anak kota besar yang disiapkan ke perguruan tinggi mulai belajar bahasa Inggris di SMP, anak petani atau nelayan itu pun wajib pula belajar bahasa Inggris. Tidak ada yang peduli, apakah bahasa itu akan menjadi bahasa kedua atau tidak akan berfaedah bagi kehidupan masa depan di desanya. Pokoknya, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pendidikan di seluruh Indonesia mesti diseragamkan.

Demokrasi pendidikan diartikan bahwa semua orang berhak mendapat pendidikan yang sama dan setinggi-tingginya. Oleh karena itu, setiap tingkat sekolah dijadikan jenjang pendidikan untuk memasuki perguruan tinggi dengan muatan kurikulum yang disesuaikan untuk ke sana. Tidak ada pikiran bahwa tidak semua anak yang mampu ke perguruan tinggi, baik karena kemampuan otaknya maupun kemampuan biaya. Diperkirakan yang mampu ke perguruan tinggi hanya 10%, sedangkan yang 90% tercecer di SD, SMP dan SMA. Mereka tak ubahnya sebagai korban dari program demokrasi pendidikan yang salah kaprah itu.

Akibat dari sistem demokrasi pendidikan yang “sama rata” itu, sekolah pun diperbanyak setiap tahun, sedangkan pemerintah tidak punya dana yang cukup. Dengan sendirinya, sarana dan prasarana pendidikan menjadi minim dan kian minim lagi setiap penambahan jumlah sekolah apapun jenjangnya. Sudah tentu hasil dari pendidikan itu pun kian terpuruk.

Hal yang tidak dapat dipahami pula ialah masalah waktu libur sekolah yang tetap memakai aturan pada masa kolonial yang menetapkan waktu libur disesuaikan dengan musim di eropa. Tidak dengan iklim tropis yang mengatur musim turun ke sawah. Akibatnya, anak-anak petani di pedesaan yang secara tradisional membantu orang tuanya, terputus dengan tradisinya atau terputus dengan sekolahnya. Yang melanjutkan sekolah tidak lagi mencintai pekerjaan pertanian, yang terputus sekolahnya tetap tinggal bodoh.

Memang banyak sudah upaya pemerintah memperbaiki kondisi pendidikan sejak dari penyempurnaan prasarana dan sarana sampai kepada perbaikan kurikulum. Antara lain dengan membuat program yang cukup drastis: membuka sekolah percobaan sebagai pilot project yang dikelola langsung oleh beberapa IKIP. Namun, ketika terjadi pergantian menteri, pilot project tersebut dihentikan. Menteri lain melaksanakan program “modul” dengan mengelompokkan kurikulum, yang dihentikan pula oleh menteri yang baru. Berikutnya dilaksanakan lagi perubahan yang lebih mementingkan “humaniora”, lalu oleh menteri berikutnya lebih mementingkan “program matematik”. Namun, oleh menteri yang menggantikannya, program baru itu diganti lagi dengan “sekolah unggul” yang kemudian berganti nama dengan program sekolah “plus”, disamping ada program kurikulum “muatan lokal”.

Ternyata kurikulum “muatan lokal” cenderung untuk memenuhi tuntutan sikap emosional orang-orang daerah yang berorientasi lokal pula. Hampir tidak ada pemikiran yang rasional, agar materi kurikulum “muatan lokal” itu berfungsi untuk menunjang pembentukan watak bangsa yang tengah berpacu mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.

Semua perubahan itu membuktikan, semua orang menyadari bahwa hasil pendidikan di Indonesia kian lama kian turun mutunya atau kian tertinggal dari bangsa lain, dan ada usaha untuk memperbaikinya. Yang paling merasakan rendahnya mutu pendidikan itu ialah para pengajar di perguruan tinggi. Selanjutnya, kepada mereka pula ditugaskan menyusun konsep perbaikan mutu pendidikan sekolah di bawahnya. Adalah tidak mengherankan apabila dari sana lahir program perbaikan pendidikan hanya demi kepentingan mutu perguruan tinggi, bukan bagi kepentingan tuntutan kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan yang tengah berubah dengan cepatnya itu.

Program dan hasil pendidikan di Indonesia dinilai tidak lebih baik daripada zaman penjajahan. Sesalah-salah strategi dan sistem pendidikan pada jaman kolonial, mutu dan hasil pendidikannya masih lebih baik, baik di bidang ilmu maupun etika dan moralnya. Oleh karena sejak sekolah lanjutan sampai ke perguruan tinggi pengelolaannya melalui prosedur yang terseleksi dengan ketat, tidak memassal. Sekolah lanjutan dibuka hanya untuk anak-anak yang otaknya pintar dan orang tuanya mampu. Dengan sendirinya terjadilah perlombaan ketekunan belajar pada murid. Oleh karena itu, anak-anak yang kurang mampu, baik otak maupun dananya, tidak didorong untuk melanjutkan sekolah. Kesalahan strategi pendidikan moral kolonial ialah karena tidak meyiapkan murid untuk berani terjun ke masyarakat dan tidak menyiapkan murid sebagai bangsa yang memiliki etos kerja dan sikap yang mandiri.

Kebijaksanaan yang dipakai di Indonesia sekarang ini ialah dengan membuka sekolah sebanyak-banyaknya, dengan hasil yang bersifat massal, meskipun sudah diketahui mutunya akan terus merosot. Pada ujungnya, tamatan pendidikan dari jenjang sekolah manapun akan menjadi penganggur juga. Apapun macam perbaikan program pendidikan senantiasa tidak akan mencapai sasaran yang sesuai dengan tuntutan jaman, apabila murid sejak di sekolah dasar tidak terbentuk wataknya sebagai manusia seperti yang tercantum dalam filsafat Pancasila dan UUD 1945. Manusia itu dapat diibaratkan seperti pohon kelapa yang setiap komponennya berfaedah, seperti daging buah, air, batok , sabut, daun, lidi dan batang. Pohon itu dapat tumbuh, namun kualitasnya akan ditentukan oleh lembaganya, yaitu umbut atau embrio yang akan menjadi bibitnya.

Kebijaksanaan pendidikan yang berlabel pendidikan nasional dengan program menyiapkan setiap murid untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi masih menanamkan cita-cita agar menjadi orang kantoran, padahal jumlah pegawai negeri terbatas. Pada akhirnya, setiap orang dari setiap jenjang pemikiran lebih memilih menjadi penganggur daripada tidak dapat bekerja sebagai pegawai negeri. Kalaupun mereka bekerja juga pada akhirnya, baik sebagai karyawan maupun wiraswasta, pada umumnya tidak relevan dengan bidang studi yang dipelajarinya sehingga seolah-olah setiap jenjang pendidikan itu berfungsi untuk menunda masa pengangguran.

Memang, diwaktu perkembangan ekonomi sangat pesat, banyak terbuka lapangan kerja di luar pemerintahan. Namun, itu hanya berlaku di kota besar, tempat kegiatan ekonomi terpusat. Di daerah, tempat perkembangan ekonomi bergerak lamban, satu-satunya lapangan kerja yang mampu menjamin masa depan hanyalah di pemerintahan. Akibatnya, jumlah sarjana penganggur kian membengkak dari tahun ke tahun berhubung instansi pemerintah tidak mampu menampung. Karena perlu mempertahankan hidupnya, mereka terpaksa bekerja pada tempat yang sepatutnya untuk tamatan sekolah rendah saja. Itu bukan suatu pilihan hidup, melainkan karena keterpaksaan.

Sistem kepangkatan menurut diploma pada pegawai negeri, juga menjadi salah satu pendorong utama bagi orang untuk memasuki perguruan tinggi. Sebagian mereka memilih fakultas favorit, namun lebih banyak memilih fakultas apa saja asal bisa masuk. Ukuran favorit tidak terletak pada ilmu yang hendak diperoleh, melainkan prospek yang menjamin dapat pekerjaan. Hasilnya sama saja antara memilih fakultas favorit dengan memilih fakultas apa saja, jika dilihat pada perilaku dari produk sistem pendidikan itu sendiri.

Tampaknya, karena banyak peminat, kebijaksanaan politik dalam pengelolaan perguruan tinggi lebih memilih memperbanyak fakultas atau jurusan, daripada meningkatkan kualitas. Masa waktu pendidikan diperpendek dan lama masa mengikuti kuliah dibatasi. Tampaknya, kebijaksanaan itu seperti untuk memaksa agar mahasiswa belajar lebih rajin. Namun, bisa terjadi sebaliknya. Mahasiswa mencari “jalan pintas” yang paling mudah untuk mendapat diploma. Karena pada umumnya setiap instansi pemerintah, oleh alasan yang tidak etis, penerimaan tenaga kerja hanya melihat diploma, tidak pada kualitas dan relevansi bidang studinya.

Pemerintah memang mendirikan beraneka ragam sekolah kejuruan. Akan tetapi, sekolah kejuruan tidak menarik. Oleh karena cita-cita masyarakat, yang telah dibentuk sejak 100 tahun yang lalu, memandang status sosial pegawai negeri yang terhormat ialah di perkantoran, bukan di bengkel atau di lapangan. Di samping itu, sekolah kejuruan tidak mendidik orang agar memiliki etos kerja yang terampil. Di sisi lain, sekolah kejuruan akan tidak memungkinkan orang melanjutkan ke perguruan tinggi. Masyarakat memandang sekolah kejuruan sebagai sekolah kelas dua, sekolah bagi murid yang bekecerdasan kurang. Memasuki sekolah kejuruan bukan karena pilihan, melainkan karena tidak dapat memilih. Pada satu masa, pemerintah memang memberi peluang kepada murid sekolah kejuruan agar mampu ke perguruan tinggi dengan cara mengisi beberapa kurikulum pendidikan umum, namun akibatnya kurikulum praktek kejuruannya menjadi kian berkurang.

Di sekolah kejuruan tidak disertakan program pendidikan etos kerja. Sistem dan metode serta tujuan sama dengan sekolah umum. Tidak ada pikiran untuk melaksanakan konsep pendidikan kejuruan yang relevan dengan program pembangunan yang membutuhkan manusia yang cinta pada pekerjaan, ulet dan tekun. Tentu saja banyak masalah yang menjadi hambatan, terutama karena setiap sekolah kejuruan yang relevan untuk jamannya, memerlukan peralatan yang memadai. Dan itu mahal.
Di Jepang, sekolah kejuruan hadir dalam posisi yang tidak kalah pentingnya dengan sekolah umum. Dalam 1000 sekolah, terdapat 125 sekolah kejuruan yang menghasilkan tenaga terampil untuk mengisi lowongan beragam industri. Dalam materi kurikulum ilmu bumi SD Jepang, dicantumkan nama negara yang menjadi pasar industri Jepang. Sebaliknya, di Indonesia yang disuruh hafal ialah nama gunung tertinggi, sungai terpanjang atau laut terdalam. Sejak dari pendidikan di tingkat sekolah menengah di Jepang, para murid telah dituntun untuk berpikir realistis untuk ke arah mana mereka akan melanjutkan pendidikan. Namun, murid di Indonesia diarahkan untuk melanjutkan ke SMA agar kelak bisa masuk ke sekolah tinggi. Sampai menamatkan SMA, murid tetap tidak tahu ke sekolah tinggi apa mereka akan melanjutkan pendidikan.

Kemerdekaan Indonesia yang dicapai berkat usaha para pemimpin bangsa, tidak diimbangi dengan strategi pendidikan yang konsepsional. Kemerdekaan Indonesia baru pada tingkat ketatanegaraan dan politik. Maka tujuan kemerdekaan bangsa menjadi tidak lain daripada penggantian posisi dari bekas penjajah kepada anak jajahan.

Slogan “Tut Wuri Handayani” yang diambil dari konsep Taman Siswa, dipahami secara dangkal. Sebatas pengertian bahwa guru berfungsi sebagai penggiring murid dari belakang, sedangkan arahnya tetap memakai konsep pendidikan kolonial. Konsep pendidikan Taman Siswa dengan slogan itu, bertujuan menggiring murid agar sadar pada hak serta kewajiban sebagai manusia menurut harkatnya, agar memiliki wawasan nasional yang diperjuangkan tanpa pamrih demi kepentingan bangsa. Bukan untuk menjadikan bangsa yang menurut pada sistem feodalisme.

Konsep pendidikan nasional yang berlaku, masih terpaut dalam pengertian perjuangan ideologi politik bernegara akibat terjadinya serentetan pemberontakan yang memecah belah kesatuan bangsa dan menentang ajaran ideologi komunis yang ateistis. Oleh karena itu, kurikulum utama yang diajarkan sejak dari SD sampai ke perguruan tinggi ialah ideologi bernegara melalui kurikulum moral Pancasila dan agama. Karena kurikulum itu menggunakan metode indoktrinasi, dan pada setiap ujian nilai hafal lebih menentukan daripada nilai perbuatan, sekolah cenderung mengabaikan mutu kurikulum yang berfungsi meningkatkan kecerdasan otak.
Read more