Open top menu
Selasa, 07 Mei 2013
no image



Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme guru bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu;
  1. Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam; 
  2. Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar;
  3. Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar;
  4. Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993, dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
  1. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
  2. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa,
  3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi,
  4. Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
  5. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Untuk membangun profesionalisme guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai;
  1. dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
  2. penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
  3. pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu;
  1. memiliki kepribadian yang matang dan berkembang;
  2. penguasaan ilmu yang kuat;
  3. keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan
  4. pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi.
Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan.
Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru dalam pendidikan nasional disebabkan oleh antara lain;
  1. masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada;
  2. belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju;
  3. kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan;
  4. kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.

Disamping itu ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru;
  1. masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total,
  2. rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan,
  3. pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan,
  4. masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru,
  5. masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme guru sebagai anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.
Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001).
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998).
Pengembangan profesionalisme guru harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.
Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

Read more
no image



Secara politis, strategi pendidikan nasional yang sesuai dengan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak pernah dipikirkan apalagi ditetapkan. Program dan sistem pendidikan diserahkan saja kepada birokrat bekas guru-guru sekolah rendah yang berdiploma. Karena mereka tidak memiliki wawasan, apalagi menghayati makna nasionalisme dan tujuan kemerdekaan, mereka “menjiplak” saja apa yang mereka peroleh dari sekolahnya dulu: sistem , program dan kurikulumnya. Label pendidikan nasional diartikan sama dengan membuang kurikulum bahasa Belanda dan yang berbau Belanda.

Pelajaran kesenian seperti menggambar dan bernyanyi, serta kerajinan tangan sejak dari sekolah rendah yang berfungsi untuk melatih murid agar dapat bekerja dan meniru secara teliti secara estetika, tidak diajarkan lagi. Tidak diajarkan, bukan karena program atau sistemnya salah, melainkan karena tidak mengerti akan fungsinya serta sangat mendewakan ilmu pengetahuan umum. Padahal kemampuan meniru dengan baik dan bekerja dengan teliti melalui pendidikan kesenian itu sangat diperlukan bagi mereka yang akan bekerja pada bidang administrasi, terutama di pemerintahan. Besertanya pendidikan bagi rasa keindahan atau estetika pada murid pun terabaikan.

Bahkan sejak dari sekolah rendah, kepada murid tidak diberi perpustakaan yang menyediakan buku-buku sebagai alat bantu untuk mengembangkan wawasan murid, karena alasan tidak ada dana. Padahal seluruh kurikulum menggiring murid agar mampu masuk ke perguruan tinggi yang akan mewajibkan mahasiswa melakukan banyak studi kepustakaan. Oleh karena itu, ketika menjadi mahasiswa, mereka tidak mempunyai minat membaca dan menulis sehingga waktu mereka lebih banyak diisi dengan kelakar atau mengobrol bergerombol dari pada studi.

Tingkat dan jenis sekolah serta program dan kurikulum diseragamkan untuk seluruh Indonesia tanpa mengindahkan kondisi dan situasi yang berbeda-beda di berbagai daerah dengan dalih demi persatuan bangsa. Akibatnya, anak petani atau nelayan di pedesaan terpencil mendapat program pendidikan yang sama dengan anak kota besar yang makmur. Jika anak kota besar yang disiapkan ke perguruan tinggi mulai belajar bahasa Inggris di SMP, anak petani atau nelayan itu pun wajib pula belajar bahasa Inggris. Tidak ada yang peduli, apakah bahasa itu akan menjadi bahasa kedua atau tidak akan berfaedah bagi kehidupan masa depan di desanya. Pokoknya, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pendidikan di seluruh Indonesia mesti diseragamkan.

Demokrasi pendidikan diartikan bahwa semua orang berhak mendapat pendidikan yang sama dan setinggi-tingginya. Oleh karena itu, setiap tingkat sekolah dijadikan jenjang pendidikan untuk memasuki perguruan tinggi dengan muatan kurikulum yang disesuaikan untuk ke sana. Tidak ada pikiran bahwa tidak semua anak yang mampu ke perguruan tinggi, baik karena kemampuan otaknya maupun kemampuan biaya. Diperkirakan yang mampu ke perguruan tinggi hanya 10%, sedangkan yang 90% tercecer di SD, SMP dan SMA. Mereka tak ubahnya sebagai korban dari program demokrasi pendidikan yang salah kaprah itu.

Akibat dari sistem demokrasi pendidikan yang “sama rata” itu, sekolah pun diperbanyak setiap tahun, sedangkan pemerintah tidak punya dana yang cukup. Dengan sendirinya, sarana dan prasarana pendidikan menjadi minim dan kian minim lagi setiap penambahan jumlah sekolah apapun jenjangnya. Sudah tentu hasil dari pendidikan itu pun kian terpuruk.

Hal yang tidak dapat dipahami pula ialah masalah waktu libur sekolah yang tetap memakai aturan pada masa kolonial yang menetapkan waktu libur disesuaikan dengan musim di eropa. Tidak dengan iklim tropis yang mengatur musim turun ke sawah. Akibatnya, anak-anak petani di pedesaan yang secara tradisional membantu orang tuanya, terputus dengan tradisinya atau terputus dengan sekolahnya. Yang melanjutkan sekolah tidak lagi mencintai pekerjaan pertanian, yang terputus sekolahnya tetap tinggal bodoh.

Memang banyak sudah upaya pemerintah memperbaiki kondisi pendidikan sejak dari penyempurnaan prasarana dan sarana sampai kepada perbaikan kurikulum. Antara lain dengan membuat program yang cukup drastis: membuka sekolah percobaan sebagai pilot project yang dikelola langsung oleh beberapa IKIP. Namun, ketika terjadi pergantian menteri, pilot project tersebut dihentikan. Menteri lain melaksanakan program “modul” dengan mengelompokkan kurikulum, yang dihentikan pula oleh menteri yang baru. Berikutnya dilaksanakan lagi perubahan yang lebih mementingkan “humaniora”, lalu oleh menteri berikutnya lebih mementingkan “program matematik”. Namun, oleh menteri yang menggantikannya, program baru itu diganti lagi dengan “sekolah unggul” yang kemudian berganti nama dengan program sekolah “plus”, disamping ada program kurikulum “muatan lokal”.

Ternyata kurikulum “muatan lokal” cenderung untuk memenuhi tuntutan sikap emosional orang-orang daerah yang berorientasi lokal pula. Hampir tidak ada pemikiran yang rasional, agar materi kurikulum “muatan lokal” itu berfungsi untuk menunjang pembentukan watak bangsa yang tengah berpacu mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.

Semua perubahan itu membuktikan, semua orang menyadari bahwa hasil pendidikan di Indonesia kian lama kian turun mutunya atau kian tertinggal dari bangsa lain, dan ada usaha untuk memperbaikinya. Yang paling merasakan rendahnya mutu pendidikan itu ialah para pengajar di perguruan tinggi. Selanjutnya, kepada mereka pula ditugaskan menyusun konsep perbaikan mutu pendidikan sekolah di bawahnya. Adalah tidak mengherankan apabila dari sana lahir program perbaikan pendidikan hanya demi kepentingan mutu perguruan tinggi, bukan bagi kepentingan tuntutan kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan yang tengah berubah dengan cepatnya itu.

Program dan hasil pendidikan di Indonesia dinilai tidak lebih baik daripada zaman penjajahan. Sesalah-salah strategi dan sistem pendidikan pada jaman kolonial, mutu dan hasil pendidikannya masih lebih baik, baik di bidang ilmu maupun etika dan moralnya. Oleh karena sejak sekolah lanjutan sampai ke perguruan tinggi pengelolaannya melalui prosedur yang terseleksi dengan ketat, tidak memassal. Sekolah lanjutan dibuka hanya untuk anak-anak yang otaknya pintar dan orang tuanya mampu. Dengan sendirinya terjadilah perlombaan ketekunan belajar pada murid. Oleh karena itu, anak-anak yang kurang mampu, baik otak maupun dananya, tidak didorong untuk melanjutkan sekolah. Kesalahan strategi pendidikan moral kolonial ialah karena tidak meyiapkan murid untuk berani terjun ke masyarakat dan tidak menyiapkan murid sebagai bangsa yang memiliki etos kerja dan sikap yang mandiri.

Kebijaksanaan yang dipakai di Indonesia sekarang ini ialah dengan membuka sekolah sebanyak-banyaknya, dengan hasil yang bersifat massal, meskipun sudah diketahui mutunya akan terus merosot. Pada ujungnya, tamatan pendidikan dari jenjang sekolah manapun akan menjadi penganggur juga. Apapun macam perbaikan program pendidikan senantiasa tidak akan mencapai sasaran yang sesuai dengan tuntutan jaman, apabila murid sejak di sekolah dasar tidak terbentuk wataknya sebagai manusia seperti yang tercantum dalam filsafat Pancasila dan UUD 1945. Manusia itu dapat diibaratkan seperti pohon kelapa yang setiap komponennya berfaedah, seperti daging buah, air, batok , sabut, daun, lidi dan batang. Pohon itu dapat tumbuh, namun kualitasnya akan ditentukan oleh lembaganya, yaitu umbut atau embrio yang akan menjadi bibitnya.

Kebijaksanaan pendidikan yang berlabel pendidikan nasional dengan program menyiapkan setiap murid untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi masih menanamkan cita-cita agar menjadi orang kantoran, padahal jumlah pegawai negeri terbatas. Pada akhirnya, setiap orang dari setiap jenjang pemikiran lebih memilih menjadi penganggur daripada tidak dapat bekerja sebagai pegawai negeri. Kalaupun mereka bekerja juga pada akhirnya, baik sebagai karyawan maupun wiraswasta, pada umumnya tidak relevan dengan bidang studi yang dipelajarinya sehingga seolah-olah setiap jenjang pendidikan itu berfungsi untuk menunda masa pengangguran.

Memang, diwaktu perkembangan ekonomi sangat pesat, banyak terbuka lapangan kerja di luar pemerintahan. Namun, itu hanya berlaku di kota besar, tempat kegiatan ekonomi terpusat. Di daerah, tempat perkembangan ekonomi bergerak lamban, satu-satunya lapangan kerja yang mampu menjamin masa depan hanyalah di pemerintahan. Akibatnya, jumlah sarjana penganggur kian membengkak dari tahun ke tahun berhubung instansi pemerintah tidak mampu menampung. Karena perlu mempertahankan hidupnya, mereka terpaksa bekerja pada tempat yang sepatutnya untuk tamatan sekolah rendah saja. Itu bukan suatu pilihan hidup, melainkan karena keterpaksaan.

Sistem kepangkatan menurut diploma pada pegawai negeri, juga menjadi salah satu pendorong utama bagi orang untuk memasuki perguruan tinggi. Sebagian mereka memilih fakultas favorit, namun lebih banyak memilih fakultas apa saja asal bisa masuk. Ukuran favorit tidak terletak pada ilmu yang hendak diperoleh, melainkan prospek yang menjamin dapat pekerjaan. Hasilnya sama saja antara memilih fakultas favorit dengan memilih fakultas apa saja, jika dilihat pada perilaku dari produk sistem pendidikan itu sendiri.

Tampaknya, karena banyak peminat, kebijaksanaan politik dalam pengelolaan perguruan tinggi lebih memilih memperbanyak fakultas atau jurusan, daripada meningkatkan kualitas. Masa waktu pendidikan diperpendek dan lama masa mengikuti kuliah dibatasi. Tampaknya, kebijaksanaan itu seperti untuk memaksa agar mahasiswa belajar lebih rajin. Namun, bisa terjadi sebaliknya. Mahasiswa mencari “jalan pintas” yang paling mudah untuk mendapat diploma. Karena pada umumnya setiap instansi pemerintah, oleh alasan yang tidak etis, penerimaan tenaga kerja hanya melihat diploma, tidak pada kualitas dan relevansi bidang studinya.

Pemerintah memang mendirikan beraneka ragam sekolah kejuruan. Akan tetapi, sekolah kejuruan tidak menarik. Oleh karena cita-cita masyarakat, yang telah dibentuk sejak 100 tahun yang lalu, memandang status sosial pegawai negeri yang terhormat ialah di perkantoran, bukan di bengkel atau di lapangan. Di samping itu, sekolah kejuruan tidak mendidik orang agar memiliki etos kerja yang terampil. Di sisi lain, sekolah kejuruan akan tidak memungkinkan orang melanjutkan ke perguruan tinggi. Masyarakat memandang sekolah kejuruan sebagai sekolah kelas dua, sekolah bagi murid yang bekecerdasan kurang. Memasuki sekolah kejuruan bukan karena pilihan, melainkan karena tidak dapat memilih. Pada satu masa, pemerintah memang memberi peluang kepada murid sekolah kejuruan agar mampu ke perguruan tinggi dengan cara mengisi beberapa kurikulum pendidikan umum, namun akibatnya kurikulum praktek kejuruannya menjadi kian berkurang.

Di sekolah kejuruan tidak disertakan program pendidikan etos kerja. Sistem dan metode serta tujuan sama dengan sekolah umum. Tidak ada pikiran untuk melaksanakan konsep pendidikan kejuruan yang relevan dengan program pembangunan yang membutuhkan manusia yang cinta pada pekerjaan, ulet dan tekun. Tentu saja banyak masalah yang menjadi hambatan, terutama karena setiap sekolah kejuruan yang relevan untuk jamannya, memerlukan peralatan yang memadai. Dan itu mahal.
Di Jepang, sekolah kejuruan hadir dalam posisi yang tidak kalah pentingnya dengan sekolah umum. Dalam 1000 sekolah, terdapat 125 sekolah kejuruan yang menghasilkan tenaga terampil untuk mengisi lowongan beragam industri. Dalam materi kurikulum ilmu bumi SD Jepang, dicantumkan nama negara yang menjadi pasar industri Jepang. Sebaliknya, di Indonesia yang disuruh hafal ialah nama gunung tertinggi, sungai terpanjang atau laut terdalam. Sejak dari pendidikan di tingkat sekolah menengah di Jepang, para murid telah dituntun untuk berpikir realistis untuk ke arah mana mereka akan melanjutkan pendidikan. Namun, murid di Indonesia diarahkan untuk melanjutkan ke SMA agar kelak bisa masuk ke sekolah tinggi. Sampai menamatkan SMA, murid tetap tidak tahu ke sekolah tinggi apa mereka akan melanjutkan pendidikan.

Kemerdekaan Indonesia yang dicapai berkat usaha para pemimpin bangsa, tidak diimbangi dengan strategi pendidikan yang konsepsional. Kemerdekaan Indonesia baru pada tingkat ketatanegaraan dan politik. Maka tujuan kemerdekaan bangsa menjadi tidak lain daripada penggantian posisi dari bekas penjajah kepada anak jajahan.

Slogan “Tut Wuri Handayani” yang diambil dari konsep Taman Siswa, dipahami secara dangkal. Sebatas pengertian bahwa guru berfungsi sebagai penggiring murid dari belakang, sedangkan arahnya tetap memakai konsep pendidikan kolonial. Konsep pendidikan Taman Siswa dengan slogan itu, bertujuan menggiring murid agar sadar pada hak serta kewajiban sebagai manusia menurut harkatnya, agar memiliki wawasan nasional yang diperjuangkan tanpa pamrih demi kepentingan bangsa. Bukan untuk menjadikan bangsa yang menurut pada sistem feodalisme.

Konsep pendidikan nasional yang berlaku, masih terpaut dalam pengertian perjuangan ideologi politik bernegara akibat terjadinya serentetan pemberontakan yang memecah belah kesatuan bangsa dan menentang ajaran ideologi komunis yang ateistis. Oleh karena itu, kurikulum utama yang diajarkan sejak dari SD sampai ke perguruan tinggi ialah ideologi bernegara melalui kurikulum moral Pancasila dan agama. Karena kurikulum itu menggunakan metode indoktrinasi, dan pada setiap ujian nilai hafal lebih menentukan daripada nilai perbuatan, sekolah cenderung mengabaikan mutu kurikulum yang berfungsi meningkatkan kecerdasan otak.
Read more
Senin, 06 Mei 2013
no image



Secara umum faktor-faktor yag mempengaruhi proses hasil belajar dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.  Kedua faktor tersebut saling memengaruhi dalam proses individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar.

1.     FAKTOR INTERNAL
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat memengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis.
1)    Faktor fisiologis
Faktor-faktor  fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks. 
Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal. Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar. 

Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar. 
Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Factor-factor ini dibedakan menjadi dua macam :
(a)   Keadaan jasmani.
Keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat memengaruhi aktivitas belajar seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh karena itu keadaan tonus jasmani sangat mempengaruhi proses belajar, maka perlu ada usaha untuk menjaga kesehatan jasmani.
Cara untuk menjaga kesehatan jasmani antara lain adalah :
1.     menjaga pola makan yang sehat dengan memerhatikan nutrisi yang masuk kedalam tubuh, karena  kekurangan gizi atau nutrisi akan mengakibatkan tubuh cepat lelah, lesu , dan mengantuk, sehingga tidak ada gairah untuk belajar,
2.     rajin berolah raga agar tubuh selalu bugar dan sehat;
3.     istirahat yang cukup dan sehat.
(b)   Keadaan fungsi jasmani/fisiologis.
Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologis pada tubuh manusia sangat memengaruhi hasil belajar, terutama panca indra. Panca indra yang berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula dalam proses belajar, merupakan pintu  masuk bagi segala informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia. Sehinga manusia dapat menangkap dunia luar. Panca indra yang memiliki peran besar dalam aktivitas belajar adalah mata dan telinga. Oleh karena itu, baik pendidik maupun peserta didik perlu menjaga panca indra dengan baik, baik secara preventif maupun secara yang bersifat kuratif. Dengan menyediakan sarana belajar yang memenuhi persyaratan, memeriksakan kesehatan fungsi mata dan telinga secara periodic, mengonsumsi makanan yang bergizi, dan lain sebagainya.
2)    Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar, jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara terpisah. Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif. 

1. Perhatian 
Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya. 

Strategi pembelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan  dari peserta didik.  Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif  untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja. 

2.  Pengamatan 
Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran. 

Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran. 

Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya. 

3.  Ingatan 
Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan. Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya. 

Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu.

Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama. 

Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai. 

Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau proses produksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar. Pendidik dapat mempertajam kemampuan peserta didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang telah diberikan. 

4.   Berfikir 
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan. 

Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya.  Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya” tentang satu materi pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan peserta didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong peserta didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi peserta didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri. 

5.   Motif 
Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu. 

Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif. 

Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain.

Faktor-faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses belajar adalah kecerdasan peserta didik, motivasi , minat, sikap dan bakat.
(a)   Kecerdasan /intelegensia siswa
Pada umumnya kecerdasan diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik dalam mereaksikan rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga organ-organ tubuh lainnya. Namun bila dikaitkan dengan kecerdasan, tentunya otak merupakan organ yang penting dibandingkan organ yang lain, karena fungsi otak itu sebagai organ pengendali tertinggi (executive control) dari hampir seluruh aktivitas manusia.
Kecerdasan merupakan faktor psikologis yang paling penting dalam proses belajar peserta didik, karena itu menentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi inteligensi seorang individu, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat intelegensi individu, semakin sulit individu itu mencapai kesuksesan belajar. Oleh karena itu, perlu bimbingan belajar dari orang lain, seperti guru/dosen, orang tua, dan lain sebagainya. Sebagai faktor psikologis yang penting dalam mencapai kesuksesan belajar, maka pengetahuan dan pemahaman tentang kecerdasan perlu dimiliki oleh setiap calon guru/dosen professional, sehingga mereka dapat memahami tingkat kecerdasannya.
Pemahaman tentang tingkat kecerdasan individu dapat diperoleh oleh orang tua dan guru atau pihak-pihak yang berkepentingan melalui konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Sehingga dapat diketahui anak didik berada pada tingkat kecerdasan yang mana, amat superior, superior, rata-rata, atau mungkin malah lemah mental. Informasi tentang taraf kecerdasan seseorang merupakan hal yang sangat berharga untuk memprediksi kemampuan belajar seseorang. Pemahaman terhadap tingkat kecerdasan peserta didik akan membantu mengarahkan dan merencanakan bantuan yang akan diberikan kepada peserta didik.
(b)   Motivasi
Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar peserta didik. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, 1994). Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku seseorang.
Dari sudut sumbernya motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motaivasi intrinsik adalah semua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca, karena membaca tidak hanya menjadi aktifitas kesenangannya, tapi bisa jadi juga telah mejadi kebutuhannya. Dalam proses belajar, motivasi intrinsik memiliki pengaruh yang efektif, karena motivasi intrinsic relaatif lebih lama dan tidak tergantung pada motivasi dari luar (ekstrinsik).
Menurut Arden N. Frandsen (Hayinah, 1992), yang termasuk dalam motivasi intrinsik untuk belajar antara lain adalah:
1.     Dorongan ingin tahu dan ingin menyelisiki dunia yang lebih luas;
2.     Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
3.     Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari orang-orang penting, misalkan orang tua, saudara, guru, atau teman-teman, dan lain sebagainya.
4.     Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengetahuan yang berguna bagi dirinya, dan lain-lain.
Motivasi ekstrinsik adalah faktor  yang datang dari luar diri individu tetapi memberi pengaruh terhadap kemauan untauk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orangtua, danlain sebagainya. Kurangnya respons dari lingkungansecara positif akan memengaruhi semangat belajar seseorang menjadi lemah.
(c)   Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (Syah, 2003) minat bukanlah istilah yang popular dalam psikologi disebabkan ketergantungannya terhadap berbagai faktor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
Namun lepas dari kepopulerannya, minat sama halnya dengan kecerdasan dan motivasi, karena memberi pengaruh terhadap aktivitas belajar, ia akan tidak bersemangat atau bahkan tidak mau belajar. Oleh karena itu, dalam konteks belajar di kelas, seorang guru atau pendidik lainnya perlu membangkitkan minat peserta didik agar tertarik terhadap materi pelajaran yang akan dihadapainya atau dipelajaranya.
Untuk membangkitkan minat belajar tersebut, banyak cara yang bisa digunakan. Antara lain, pertama, dengan membuat materi yang akan dipelajari semenarik mingkin dan tidak membosankan, baik dari bentuk buku materi, desain pembelajaran yang membebaskan siswa mengeksplor apa yang dipelajari, melibatkan seluruh domain belajar siswa (kognitif, afektif, psikomotorik) sehingga siswa menjadi aktif, maupun performansi guru yang menarik saat mengajar. Kedua, pemilihan jurusan atau bidang  studi. Dalam hal ini, alangkah baiknya jika jurusan atau bidang studi dipilih sendiri oleh siswa sesuai dengan minatnya.
(d)   Sikap
Dalam proses belajar, sikap individu dapat memengaruhi keberhasilan proses belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang mendimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dangan cara yang relatif tetap terhadap obyek, orang, peristiwa dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Syah, 2003).
Sikap siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang pada performan guru, pelajaran, atau lingkungan sekitarnya. Dan untuk mengantisipasi munculnya sikap yang negative dalam belajar, pendidik sebaiknya berusaha untuk menjadi guru yang professional dan bertanggungjawab terhadap profesi yang dipilihnya. Dengan profesionalitas, seorang pendidik akan berusaha memberikan yang terbaik bagi siswanya; berusaha mengambangkan kepribadian sebagai seorang peserta didik yang empati, sabar, dan tulus kepada peserta didiknya; berusaha untuk menyajikan pelajaran dengan baik dan menarik sehingga membuat peserta didik dapat mengikuti pelajaran dengan senang dan tidak menjemukan; meyakinkan peserta didik bahwa bidang studi yang dipelajari bermanfaat bagi diri peserta didik.
(5)   Bakat
Faktor psikologis lain yang mempengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum, bakat  didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Syah, 2003). Berkaitan dengan belajar, Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang dimilki seorang siswa untauk belajar. Dengan demikian, bakat adalah kemampuan seseorang menjadi salah satukomponen yang diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil.
Pada dasarnya setiap orang mempunyai bakat atau potensi untuk mencapai prestasi belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Karena itu, bakat juga diartikan sebagai kemampuan dasar individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa tergantung upaya pendidikan dan latihan. Individu yang telah mempunyai bakat tertentu, akan lebih mudah menyerap informasiyang berhungan dengan bakat yang dimilkinya. Misalnya, peserta didik yang berbakat dibidang bahasa akan lebih mudah mempelajari bahasa-bahasa yang lain selain bahasanya sendiri.
Karena belajar juga dipengaruhi oleh potensi yang dimilki setiap individu,maka para pendidik, orangtua, dan guru perlu memerhatikan dan memahami bakat yang dimilki oleh anaknya atau peserta didiknya, anatara lain dengan mendukung,ikut mengembangkan, dan tidak memaksa anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai dengan bakatnya.

2.     FAKTOR EKSTERNAL
Selain karakteristik siswa atau faktor-faktor endogen, faktor-faktor eksternal juga dapat memengaruhi proses belajar siswa.dalam hal ini, Syah (2003) menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non sosial.
1)      Lingkungan Sosial
(a)   Lingkungan sosial pendidikan, seperti guru/dosen, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan harmonis antra ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baikdisekolah. Perilaku yang simpatik dan dapat menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk belajar.
(b)  Lingkungan sosial masyarakat. Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak terlantar juga dapat memengaruhi aktivitas belajarsiswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilikinya.
(c)  Lingkungan sosial keluarga. Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaankeluarga, semuannya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan anatara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.
2)   Lingkungan non sosial.
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial adalah;
(a)     Lingkungan alamiah, seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk dan tenang. Lingkungan alamiah tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar siswa akan terlambat.
(b)    Faktor instrumental, yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar,fasilitas belajar, lapangan olah raga dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, buku panduan, silabus dan lain sebagainya.
(3)    Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa). Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan siswa begitu juga denganmetode mengajar guru, disesuaikandengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang postif terhadap aktivitas belajr siswa, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan konsdisi siswa.
Read more