Dinamika Penerapan Khilafah Sebuah Tinjauan Sosio-Historis
A.
Pendahuluan
Permasalahan
awal yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat Islam sesudah Rasulullah SAW wafat, adalah masalah kekuasaan
politik, yaitu pengganti beliau yang
akan memimpin umat atau disebut persoalan Imamah (khilafah). Alqur’an sebagai
acuan disamping Sunnah Nabi tidak sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang
pengganti atau tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya
(Pulungan,2001:ix). Termasuk pula tidak terdapat dalil baik qath’i dan zhanni
yang jelas memerintahkan untuk mendirikan negara Islam.
Tidak
mengherankan apabila dalam pentas perjalanan sejarah umat Islam pasca Nabi
bahkan sampai abad modern ini, terdapat corak pemahaman yang berbeda tentang
hal tersebut sehingga umat Islam menampilkan berbagai sistem dan bentuk
pemerintahan, mulai dari bentuk pemerintahan yang demokratis sampai ke bentuk
yang monarkhi absolut.
Berbicara
tentang bentuk kekhalifahan yang diterapkan sejak masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin telah memberikan kontribusi yang berarti, terutama sebagai simbol
kesatuan umat Islam. Akan tetapi sejak terjadinya penghapusan sistem khilafah
era Turki Usmani, menyebabkan kegusaran umat terutama para pemikir Islam.
Banyak usaha yang dilakukan kelompok tertentu untuk menghidupkan kembali
syari’at Islam (sistem khilafah) tersebut bahkan sampai saat ini.
Kenyataannya,
isu syariat Islam, atau diperluas lagi menjadi Khilafah Islamiyah, memang jadi
bahan perdebatan. Sebagian golongan menganggap hal itu mutlak diterapkan,
dengan mengacu pada kondisi zaman kekhalifahan.
Sebagian lagi menganggap tidak ada konsep negara Islam pada zaman Rasulpun
sebenarnya bukan negara Islam tetapi peradaban Islam. Munawir Syadzali
(1993;
233)
berkata bahwa Islam tidak mempunyai sistem politik dan hanya memiliki
seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggaraan negara.
Kontroversi
mengenai ini tidak pernah selesai. Bahkan jika dilihat secara historis dan
perkembangan akhir-akhir ini, dengan menguatnya paham negara modern menurut
konsep demokrasi barat, khilafah islamiyah (jika dipahami sebagai sebuah negara
Islam definitif) hanya sebuah angan-angan. Akan tetapi, semua ini perlu
dibicarakan. Dalam konteks pluralitas, semua perbedaan adalah kekayaan
intelektual yang perlu aktualisasi. Tulisan ini mencoba melihat lebih jauh
tentang Khilafah Islamiyah, apakah hanya sebatas angan-angan ataukah memang
bisa diterapkan. Sebuah format kekhilafahan dicoba dihadirkan disini, walau
hanya sebatas alternatif yang tentu saja kekuatan kebenarannya sangat relatif sekali.
B.
Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah
Konsep Khilafah
Islamiyah memiliki banyak penafsiran dari berbagai kalangan. Ragam penafsiran
ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian “Multitafsir Khilafah Islamiyah”.
Namun dalam bagian ini akan dijabarkan terlebih dahulu batasan Khilafah
Islamiyah yang akan menjadi pegangan dalam keseluruhan makalah ini.
Khilafah,
berasal dari kata “khalafa” yang
artinya penggantian (al-Munawir, 1991;363). Khilafah diartikan menggantikan
tempat seseorang sepeninggalnya. Dalam kaidah ajaran Sunni, kata itu merujuk
pada wewenang seseorang yang berfungsi sebagai Nabi dalam kapasitas sebagai
pemimpin masyarakat, namun bukan dalam fungsi kenabiannya (Taimiyah, 1994;9).
Al-Maududi (1993;63-66) mengatakan bahwa khilafah itu mewakili hakim yang
sebenarnya yaitu Allah SWT. Khilafah menjadi benar selama ia mengikuti
aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Khilafah
Islamiyah selama ini diidentikan dengan Daulah Islamiyah, yaitu pemerintahan
Islam. Thawawy (Ramadhan, 2003;1) menyebutkan bahwa khilafah merupakan refleksi
dari kepemimpinan Daulah Islamiyah yang melaksanakan konstitusi Islam di
wilayah tertentu di antara pandangan-pandangan politik yang ada. Adapun
Musthofa Shabary (Ramadhan, 2003;3) mengatakan Khilafah adalah pengganti dari
Rasulullah SAW dalam melaksanakan syari’at Islam.
Pandangan
lain yang banyak menjadi anutan dalam memahami pengertian ini, diambil dari
pendapat Imam Taqiyyuddin An Nabhani1 yang menyatakan bahwa Khilafah
Islamiyah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk
menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh
penjuru dunia. Pendapat ini sangat populer, sehingga bagi hampir semua kalangan
Islam memahami Khilafah Islamiyah dalam definisi ini. Pembahasan dalam makalah
ini, selanjutnya juga mematok definisi khilafah Islamiyah berdasarkan pandangan
Imam Taqiyyuddin di atas. Namun pemakaian definisi ini hanya sebagai batasan
semata, dalam arti kata belum bisa dipastikan bahwa penulis sepakat dengan
konsep yang ditawarkan oleh Imam tersebut. Justru berdasarkan pengertian
tersebut, makalah ini akan mengkritisi dan melihat titik lemah yang ada serta
mencoba menawarkan alternatif lain pemerintahan Islam. Konteksnya tetap dengan
asumsi sang Imam bahwa khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan Islam di seluruh dunia.
Secara praktis,
konsep Khilafah Islamiyah menjadi terminologi pada masa setelah Rasulullah SAW,
tepatnya di masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dan kepemimpinan suku-suku
setelah itu. Definisi yang sudah dijelaskan di bagian awal tulisan ini memang
telah memperlihatkan bahwa khilafah adalah pemerintahan
1http://majelis.mujahidin.or.id/new/kolom/opini_dan_artikel/apakah_khilafah_itu, 12 Oktober 2005
sesudah
Rasul. Artinya, konsep khilafah memiliki rangkaian erat dengan kepemimpinan
Muhammad SAW.
Perjalanan
sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah SAW berhasil mendirikan Daulah Islam di
Madinah al-Munawarah. Atas dasar ini tegaklah dasar, pilar, struktur, pasukan,
serta hubungan ke dalam dan ke luar negeri Islam (Ramadhan, 2003;17).
Rasulullah SAW diyakini berhasil mendirikan negara yang berlandaskan pada azas
akidah Islam, yaitu dua kalimat kunci: La
Illaha Illallah, Muhammadur Rasulullah (Tiada Ilah kecuali Allah, Muhammad
utusan Allah). Kalangan pendukung penerapan Khilafah Islamiyah percaya bahwa
atas dasar inilah Rasul membangun pemerintahan, mengatur, dan mendakwahkan
Islam kepada seluruh umat manusia.
Dari
penjelasan singkat itu, kita sepakati bahwa era Rasul adalah era pemerintahan
Islam. Dengan kata lain, pandangan yang mengatakan bahwa zaman Rasul bukanlah
bentuk sebuah negara, akan berbeda pandangan dengan makalah ini. Asumsinya
diawali dengan keyakinan bahwa zaman Rasul adalah bentuk pemerintahan Islam
yang melengkapi diri dengan struktur dan susunan pemerintahan tersendiri.
Kenyataan
bahwa era Rasul adalah sebuah bentuk pemerintahan, terbukti dengan adanya
pasukan-pasukan, wali untuk daerah tertentu, serta para amir. Beliau pernah
menempatkan Utab bin Usaid sebagai wali di Mekkah, Bazan bin Sasan sebagai wali
di Yaman, Mu’ad bin Jabal al-Khazraji sebagai wali di Janad, Khalid bin Walid
sebagai amil di Shun’a, Abu Dujanah
menjadi wali di Madinah. Semua wali dan amir tersebut mendasarkan diri pada
sebuah “konstitusi” dasar yaitu Al Qur’an
dan dijabarkan melalui Sunnah.
Dua fase
perkembangan Islam dapat dilihat terjadi pada era kenabian ini. Fase yang
menjadi titik sentral perkembangan umat Islam selanjutnya. Fase ini yaitu, masa
sebelum dan sesudah hijrah dari Mekkah ke Madinah (Rais, 2001;3). Fase pertama
tidak terlalu menjadi kajian dalam politik Islam karena ini adalah masa
peletakan dasar-dasar keislaman. Boleh dikatakan ini adalah tumbuhnya embrio
masyarakat Islam dan penetapan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Baru
pada fase kedua, bangunan umat Islam berhasil dibentuk dan kaidah-kaidah yang
sebelumnya bersifat general bisa dijabarkan secara mendetail. Pada masa ini
juga jamaah Islam telah menguasai urusannya sendiri dan telah hidup dalam era
kebebasan dan independensi.
Setelah
Rasulullah wafat, dimulailah era kekhalifahan. Masa ini disebut juga dengan
Khulafaur Rasyidin. Khalifah pertama adalah Abu Bakar as Siddieq (632 – 634 M),
dilanjutkan oleh Umar ibn al-Khatab (634 – 644 M), Utsman ibn Affan (644 – 656
M), Ali ibn Abi Talib (656 – 661 M). Pada masa ini wilayah pemerintahan Islam
meliputi seluruh Jazirah Arab – dalam hitungan sekarang
meliputi
7 negara – yaitu, Arab Saudi, Yaman Utara/Selatan, Uni Emirat Arab, Qatar,
Oman, Bahrain.
Permulaan
dari penetapan institusi kekhalifahan adalah pertemuan di Saqifah yang dihadiri
oleh tokoh-tokoh Islam, para sahabat, dan pemimpin sekte saat itu. Pertemuan
yang mirip dengan muktamar luar biasa ini berlangsung dalam suasana dialog yang
bebas dan terbuka. Hasil akhirnya adalah sebuah keputusan politik yang
berpengaruh besar terhadap perjalanan umat Islam selanjutnya, yaitu berdirinya
institusi kekhalifahan sebagai model pemerintahan Islam (Rais, 2001;14).
Pertemuan ini juga yang kemudian menyepakati Abu Bakar as Siddieq sebagai
khalifah pertama bagi dunia Islam setelah wafatnya nabi Muhammad saw. Dasar
pemilihan Abu Bakar adalah karena mempunyai kedudukan keagamaan yang tinggi
dibandingkan dengan sahabat lain, pihak yang pertama masuk Islam, telah berjasa
besar dalam membela Islam, imannya teguh, serta sifat dan pribadinya yang
sempurna bagi insan muslim (Ibnu Hisyam dalam Rais, 2001;16). Terlihat bahwa
pemilihan Abu Bakar bukan berdasarkan aspek lain, seperti adat istiadat bangsa
Arab yang memegang kuat kekuatan sekte dan suku.
Masa-masa
kekhalifahan di era ini, mulai memperlihatkan dinamika pemerintahan Islam.
Konflik dan pertentangan mulai terjadi di antara sesama umat. Pertikaian yang
kerap terjadi adalah perbedaan pandangan yang berujung pada konflik fisik antar
suku. Terbukti, dari keempat khulafaur rasyidin, tiga diantaranya (Umar ibn
Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib) mengakhiri masa jabatannya
karena terbunuh. Begitupun dengan masa-masa setelah khulafaur rasyidin, yaitu
era kepempinan dinasti-dinasti bangsa Arab, pertikaian perebutan jabatan
khalifah semakin menguat.
Penggunaan
gelar khalifah pasca Khulafa’al-rasyidin kemudian dilanjutkan oleh dinasti Bani
Umayyah di Damaskus (40-132H/661-750M) dengan 14 khalifah, Dinasti Bani Umayyah
di Spanyol (Cordova dan Granada) dengan 57 khalifah (750-1492M), Dinasti Bani
Abbas di Baghdad (132-656H’750-1258M) dengan 37 khalifah, Dinasti Fathimiyah di
Mesir (297-567HJ/909-1171M) dengan 14 khalifah dan Dinasti Turki Usmani di
Istanbul (1299-1922M) dengan 37 khalifah (Pulungan, 2002:58)
Khalifah-khalifah
tersebut di atas sekaligus telah mengubah sistem dan bentuk pemerintahan dari
sistem musyawarah pada masa khulafa al-Rasyidin kepada sistem dan bentuk
dinasti dan monarki. Perubahan sistem pemerintahan demokrasi dalam Islam
menjadi Monarkhiheridetis (kerajaan
turun-temurun) terjadi pada awal masa kekuasaan bani Umayyah.
Pada masa
kekhalifahan ini wilayah pemerintahan Islam tidak dibatasi pada beberapa
negara. Sifatnya, seperti di era Rasul, yaitu meliputi semua Jazirah dan terus
meluaskan wilayah kekuasaannya. Metode perluasan wilayah, umumnya dengan
menggunakan kekuatan militer, sehingga bagi kalangan orientalis barat,
kerap
disebutkan metode penyebaran Islam bersifat ekspansionis. Proses suksesi
kepemimpinan, di era ini, bergantung dan bergiliran di beberapa kelompok (firqah). Alhasil yang terlihat adalah
pemilihan pimpinan berdasarkan keturunan dan garis darah.
Model
pemerintahan khilafah tidak dapat dipertahankan eksistensinya oleh umat Islam
sejak Mustafa Kemal Attaturk sebagai Presiden pertama Turki menghapuskannya
pada tanggal 3 Maret 1924 setelah pembentukan negara nasional sekuler Republik
Turki pada oktober 1923 (Harun Nasution,2001:142). Sejak itu institusi khilafah
yang dipandang sebagai supremasi politik dan simbol kesatuan umat Islam telah
lenyap. Hal ini mendapat tantanagan hebat dari kalangan ulama dunia Islam.
Sebagaimana dijelaskan Suyuthi Pulungan
(2001:48), menyikapi hal tersebut umat Islam pernah berusaha menghidupkan
kembali lembaga khilafah melalui Muktamar khilafah di Cairo (1926), kongres
khilafah di Mekkah. Di India timbul pula gerakan khilafah, dan
organisasi-organisai Islam di Indonesia membentuk komite khilafah yang berpusat
di Surabaya untuk tujuan yang sama.
Dengan
dihapuskannya sistem kekhilafahan, umat Islam sedunia dewasa ini hidup di bawah
berbagai bentuk pemerintahan yang merdeka dan berdaulat, bentuk kerajaan atau
monarkhi dan tidak lagi memiliki supremasi politik dan simbol kesatuan model
khilafah. Yang ada saat ini adalah organisasi konferensi Islam yang menghimpun
50 negara. (Pulungan:48)
Bahasan tentang
lintasan sejarah khilafah Islamiyah tidak akan membahas satu persatu masa
khalifah, namun dari kenyataan sejarah dapat dibuktikan bahwa Islam dalam
bentuk sebuah Daulah memang pernah
ada. Kekuasaan pada masa khalifah membuktikan bahwa mereka menguasai dan
mengatur perikehidupan masyarakat, mulai dari aspek sosial, ekonomi, hukum,
politik, dan keamanan (Ramadhan;2003; 30).
Masa
pemerintahan Islam dengan menggunakan sistem kekhilafahan ini juga pernah
berhasil menghantarkan Islam kepada kemajuan politik yang berjalan seiring
dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan sehingga Islam berhasil mencapai masa
kejayaan, kegemilangan serta masa keemasan yang mencapai puncaknya terutama
pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama (Yatim,2004:59). Meskipun sangat
disayangkan setelah periode ini berakhir, Islam mengalami kemunduran.
Akan tetapi,
sistem pemerintahan Islam tidak dapat disamakan dengan sistem lain yang dipakai
saat ini. Pemerintahan Islam bukan monarchi, republik, federasi, ataupun
kekaisaran/kerajaan. Taqiyuddin al-Nabhani (Ramadhan, 2003;29) menyatakan bahwa
pemerintahan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari sisi
bentuk negara, aparatusnya, dan aspek pemerintahan lainnya.
Pemerintahan
pada zaman khalifah membuktikan hal itu. Sistem pemerintahannya, walaupun
memiliki jangkauan luas, namun tetap terpusat pada satu pemimpin. Walaupun
terpusat, ia tidak otoriter karena masing-masing wilayah punya kewenangan
tertentu, dan hak-hak sipil mendapat penghargaan tinggi. Prinsip yang lebih
sering dikenal adalah Syura, ‘Adalah, dan
Musyawah. Jika diterjemahkan, ini
mirip dengan konsep demokrasi ala barat, namun muatan utamanya tetap pada aspek
Islami dengan landasan utama pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Hanya saja,
dalam perjalanan sejarah terlihat bahwa masing-masing dinasti yang berkuasa
kerap terjadi konflik. Peperangan dan perebutan kekuasaan menjadi biasa pada
saat itu. Bahkan beberapa khalifah di era Khulafaur Rasyidin, mengakhiri
jabatannya karena terbunuh, yaitu Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali
ibn Abi Thalib. Hal ini kemudian
menjadi penguat alasan bahwa Daulah Khilafah Islamiyah, akan sulit diterapkan
dalam konteks multikultur saat ini.
C.
Multitafsir tentang Khilafah Islamiyah
Pemahaman
terhadap apa dan bagaimana khilafah islamiyah, harus diakui sangat beragam.
Berbagai kelompok Islam memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam melihat
konsep negara Islam yang mereka inginkan. Sudut pandang yang berbeda, pada
akhirnya menyebabkan khilafah islamiyah juga menjadi rumit dan hampir-hampir
tidak mungkin untuk diterapkan.
Di tengah-tengah
situasi menggelorannya keinginan umum agar sistem kekhilafahan dihidupkan
kembali, muncullah thesis Ali Abdur Raziq, sarjana muslim yang pertama kali dicatat dalam
sejarah sebagai orang yang melancarkan propaganda menentang adanya khilafah. Ia
mengatakan bahwa khilafah itu bukanlah sistem pemerintahan yang sesuai dengan
ajaran Islam, persoalan- persoalan agama dan dunia kita sama sekali tidak membutuhkan
adanya khilafah sebagaimana yang pernah ada dalam sejarah politik Islam
(Raziq,1985:xii) Hal ini dijelaskan pula oleh Maryam Jameelah (182:203), Raziq
menolak bahwa Alqur’an ataupun Hadits secara harfiyah menyebutkan perlunya
khilafah. Ia menolak bahwa Nabi pernah berusaha melaksanakan kekuasaan politik
dan menyatakan bahwa misi Nabi kita adalah semata-mata spiritual. Bahkan dalam
pandangannya Islam sama sekali tidak ada hubungannya dengan negara.
Terbitnya
buku “Al Islam Wa Al Ushul Al Hukm”yang
disusun oleh Raziq sebagaimana dikemukakan dalam Ensiklopedi Islam (1993:110)
mendapat tantangan hebat dari umat Islam bukan hanya dari ulama tradisional
yang meyakini secara taken for granted bahwa
khilafah merupakan bagian dari doktrin Islam, tapi juga dari kalangan
intelektual muslim yang masih menaruh harapan pada lembaga Khilafah. Karena
pemikiran Raziq bertolak belakang dengan ijma’ yang disepakati oleh ulama dan
mereka yakin bahwa khilafah adalah bagian yang tidak
terpisahkan
dari ajaran Islam. Diantara ulama yang menentang buku Raziq adalah Rasyid
Ridha, ia menganggap pandangan Abd. Raziq sebagai gagasan yang berbahaya dan
perlu diluurskan. Penolakan terhadap khilafah atau sistem pemerintahan Islam
justru akan memperlemah posisi Islam yang sudah tercabik- cabik oleh
kolonialisme.
Dalam pandangan
Ridho, jabatan khilafah adalah wajib syar’i dan eksistensi khilafah sangat
penting dalam rangka penerapan hukum syari’at Islam. Ini sejalan dengan
pandangannya bahwa Islam adalah agama untuk kedaulatan, politik dan
pemerintahan. Ridho justru tampil dengan vokal untuk menghidupkan kembali
khilafah yang memelihara kekuasaan absolut, yang dihapuskan oleh Muhammad Kemal
attaturk. Untuk itu eksistensi khilafah sangat penting dalam rangka penerapan
hukum syari’at Islam. Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa Islam adalah
agama untuk kedaulatan, politik dan pemerintah.3 Bila demikian,
menurut Suyuthi Pulungan (1997:293) berarti bentuk pemerintahan lain dalam
pandangan Ridho tidak bisa menerapkan syari’at Islam.
Dari pandangan Abd Raziq, terlihat bahwasanya Raziq terlalu berani
mengemukakan pendapat seolah-olah khilafat tidak penting tanpa melakukan
analisis secara mendalam berdasarkan fakta sejarah tentang Sirah Nabawiyah
sehingga dari pandangannya tersebut terlihat upaya yang akan membentuk opini
politik agar umat Islam tidak lagi memperjuangkan khilafah.
Adapun menurut
Muhammad Abduh, Islam dalam pemahamannya tidak menetapkan suatu bentuk
pemerintahan. Jika sistem khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model
pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat
dalam kehidupan materi dan kebebasan. Ini mengandung makna bahwa apapun bentuk
pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan
demikian ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian tentu
saja implikasi dari konsep teologinya tentang manusia; manusia punya kehendak
bebas dalam memilih dan berbuat (Pulungan,1997:282). Dari pandangan Abduh ini
dapat diketahui bahwa Ia mengakui kekhalifahan tetapi Islam tidak
menentapkannya secara jelas, namun sistem pemerintahannya saja yang menurutnya
harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dengan jalan ijtihad .
Banyaknya komunitas Islam yang berkembang memperlihatkan pula banyaknya tafsir tentang pemerintahan
Islam. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah
salah satu organisasi yang sangat intens untuk penerapan
khilafah ini. HTI adalah bagian
dari jaringan Hizbut Tahrir yang secara internasional telah bergerak di lebih dari 40 negara. Organisasi ini
lahir tahun 1953 di Al Quds
(Yerusalem) Palestina. Mereka
menyatakan diri sebagai partai
politik, bukan organisasi massa yang sekedar bersifat
sosial kemasyarakatan. Panutan utamanya
adalah Syaikh
3Untuk lebih
jelasnya lihat Rasyid Ridho, Al-Wahy
al-Muhammadi,Mathaba’at al-Qahirat, Mesir,1960 hal 239
Taqiyuddin an-Nabhani. Kelahirannya sebagai
respon atas hancurnya khilafah
islamiyah di Turki dan berdirinya
Israel di Palestina tahun 1948.
Gerakan ini bertujuan membangkitkan umat Islam di seluruh dunia untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui tegaknya syariah dan khilafah
Islamiyah(www.hizbut.tahrir.or.id)
Dalam
gerakannya, Hizbut tahrir bersifat revolusioner, yaitu keinginan untuk
menerapkan syariat Islam secara kaffah dan
menyeluruh. Dasarnya diambil dari ajaran Syaikh Taqiyuddin. Mereka meyakini
bahwa daulah khilafah adalah satu-satunya untuk seluruh dunia, dan mengharamkan
umat hidup lebih dari satu negara. Dalil kekuatannya diambil dari nash-nash di
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ sahabat dan
Qiyas. Salah satunya adalah Surat Ali Imran;103.
Keyakinan Hizbut
tahrir ini diterjemahkan secara lebih rinci ke dalam bentuk-bentuk struktur
pemerintahan yang disebutnya struktur khilafah islamiyah. Bentuknya mengadopsi
konsep di masa kekhalifahan yaitu adanya, Khalifah, Mu’awin Tafwidh, Mu’awin
Tanfidz, Amirul Jihad, Wali, Qadhi, Jihaz Idari, dan Majelis Umat. Sesuatu yang
tampak jelas di sini adalah pemakaian bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa
yang resmi. Hizbut tahrir sendiri meyakini, karena hukumnya wajib, pelaksanaan
khilafah islamiyah saat ini, juga mutlak dan harus dilaksanakan. Hizbut tahrir
kemudian tidak mengenal batasan wilayah, karena semua yang ada di dunia ini
adalah ciptaan Allah, karena itu semua wilayah harus mengikuti aturan Islami.
Pemerintahan untuk seluruh dunia.
Dalam pandangan Hizbut tahrir, perjuangan umat untuk
mendirikan Khilafah harus berdasarkan kepada: pertama, hukum-hukum syara’, tidak boleh didasarkan kepada
pertimbangan-pertimbangan yang non syara’. Kedua,
bahwa umat Islam wajib mengambil suri teladan (uswah hasanah) dari nabi
Muhammad SAW, hal ini didasarkan karena Rasulullah telah memberi teladan
bagaimana cara mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Seperti
yang terdapat dalam Firman Allah SWT yang berbunyi: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) rasulullah itu suri teladan yang
baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
kedatangan hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir
dan mengingat Allah)” (Qs.Al-Ahzab (33):21).
Berdasarkan 2
(dua) prinsip itu, Hizbut tahrir merumuskan langkah- langkah untuk mendirikan
Khilafah, yaitu:
1.
Perjuangan harus dilakukan secara jama’i
(berkelompok), sebab tanpa berkelompok tidak mungkin kewajiban mulia itu dapat terealisir secara sempurna. Hal
ini juga tercermin dalam Firman Allah swt: “
Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada
kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memmeluk Islam), memerintahkan
kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang
beruntung.” (Qs. Ali Imran:104)
2.
Perjuangan harus berada pada jalur politik (siyasah). Sebab mendirikan Khilafah
adalah masalah politik sehingga metode yang relevan untuk mendirikannya
tentunya adalah melalui pendekatan politik. Maksudnya adalah, perjuangan yang
dilakukan harus selalu mengacu pada kativitas pemeliharaan urusan umat, sebab
politik (siyasah) adalah pemeliharaan dan pengaturan segala urusan umat menuurt
hukum-hukum syara’
3. Perjuangan tidak menggunakan
cara kekerasan (fisik).
Misalnya
dengan membentuk milisi-milisi bersenjata untuk menyerang penguasa.
4.
Perjuangan harus menempuh tahap-tahap yang dicontohkan
Rasulullah SAW, yaitu tahapan pembinaan dan pengkaderan, tahapan
berinteraksi dengan umat, dan tahap
pengambilalihan kekuasaan.
Pandangan
dari HTI ini, berbeda dengan tafsiran dari Jemaah Ahmadiyah. Jemaah yang pernah
menimbulkan kontroversi ini dan bahkan telah mendapat fatwa larangan dari MUI
(Majelis Ulama Indonesia), melihat bahwa Islam mengandung aspek keragaman.
Aturan syariat Islam memang dianjurkan dalam Al Qur’an, tetapi manusia hidup
berkelompok-kelompok, karena itu ada aturan lain. Kelompok ini melihat bahwa
Indonesia memiliki Pancasila dan UUD 1945 yang menghargai keragaman dan
perbedaan, dan itu dianggap tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah
Rasul (Sinar Harapan, 10 Desember 2005).
Sementara
itu, Abdul Malik an-Najar (1999;70-72) mengatakan bahwa kekhalifahan adalah
tugas nyata manusia sebagai wakil Allah di muka bumi dalam menerapkan iradah dan syariat-Nya. Tugas ini
memiliki substansi tersendiri yaitu, pertama,
adanya kelebihan manusia dibanding makhluk lain, terutama dari susunan
jazad dan rohnya. Kedua, manusia
sebagai satu-satunya pengemban amanat taklif yaitu, ajaran buat manusia dalam
kaitan kekhalifahan. Manusia dapat memilih dan melaksanakan berdasarkan
kebebasan berkehendak sesuai dengan batasannya.
Makna yang
jelas dari keterangan Abdul Malik di atas adalah adanya makna-makna wahyu dan
kemampuan akal manusia. Hal ini berimplikasi pada penerapan syariat-syariat,
dimana manusia harus bisa memadukan antara kemampuan nalar akal dengan
ketentuan mutlak dalam wahyu. Secara umum, Abdul Malik memang tidak menyebutkan
soal Khilafah Islamiyah (negara Islam), namun ia mengajukan kewajiban manusia
untuk memahami posisi akal dan wahyu yang selalu butuh penafsiran.
Perbedaan dalam
memaknai khilafah islamiyah pernah pula menorehkan berbagai catatan negatif di
Indonesia. Salah satunya adalah pemberontakan DI/TII dan keinginan mendirikan
Negara Islam Indonesia (NII) tahun 1949. Kelompok ini menginginkan pendirian
negara Islam dengan menggunakan kekuatan militer. Mereka melakukan perlawanan
bersenjata, membakar rumah penduduk,
membunuh
para kiai, santri, yang semuanya justru umat Islam (Usep Romli, dalam Pikiran
Rakyat, 18 September 2004). Tujuan gerakan ini sangat jelas, yaitu pendirian
negara Islam dan pelaksanaan syariat Islam menurut versi mereka. Dalam hal ini
DI/TII memiliki perbedaan dengan kelompok lain.
Memaknai
khilafah Islamiyah, sejak awal sudah memiliki ragam pendapat. Ibnu Khaldun
memaknai Khilafah sebagai wakil Allah dalam menjaga agama dan urusan dunia.
Syaikh al-Islam Ibrahim al-Baijuri menyebutkan khilafah sebagai wakil Nabi SAW untuk mengatur kemaslahatan kaum
muslimin. Sementara Imam al-Mawardiy mendefinisikan sebagai imamah yang
diposisikan untuk khilafah nubuwwah dalam hal menjaga agama dan urusan dunia.
Dari beberapa pendapat itu saja, sudah terlihat bahwa masing-masing orang
berbeda dalam memahaminya, apakah
khilafah dianggap wakil Allah di dunia atau wakil
Muhammad. Ini baru pada tataran konsep general, belum lagi pada hal-hal yang
lebih detail, seperti soal fiqh dan syariat. Akan tetapi, kelompok HTI dengan
Syekh Taqiyuddin memberanikan diri mengambil sebuah pilihan paling tepat yaitu,
“kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di kehidupan dunia, untuk
menegakkan hukum-hukum Islam, dan mengemban dakwah islamiyah ke seluruh dunia.”
(Ramadhan,2003;5). Kelompok ini kemudian mengklaim bahwa inilah yang paling tepat.
Pandangan senada
dikemukakan Dhiauddin Rais (2001:163) yakni
jika kita kaji secara serius, hakikat sebuah kekahalifahan adalah
kepemimpinan umum umat Islam yang merepresentasikan kesatuannya, mampu menjaga
eksistensinya,mengetahui apa yang paling urgen untuk kepentingan umat, serta
dapat mewujudkan kemaslahatan kolektif dan menerapkan semua prinsip Islam.
Lebih lanjut dijelaskannya, hakikat kekhalifahan adalah usaha untuk mendirikan
negara islam dan menjaga kebersinambungannya. Negara Islam adalah negara yang
berdiri atas dasar agama Islam, negara yang melaksanakan syari’at islam yang
bertugas menjaga tanah-tanah negara Islam, membela penduduk negara Islam dan
berusaha menyebarkan misi Islam di dunia.
Tafsiran lain
tentang khilafah islamiyah muncul dari tokoh-tokoh muslim di Indonesia.
Azyumardi Azra (1999;172) mengatakan bahwa konsep negara Islam di Indonesia
tidak jelas, tidak feasible dan viable. Hal ini didasarkan atas gerakan
dan misi yang dibawa oleh Masyumi. Ia bahkan mengatakan gagasan negara Islam
seperti yang dicanangkan oleh Masyumi dan Kartosuwirjo hanyalah romantisme masa
lalu dan normativisme keagamaan belaka.
Sementara itu,
Amien Rais (Azra,1999;174) lebih tegas lagi menyebutkan bahwa, “Negara Islam saya
kira tidak ada dalam Al-Qur’an, maupun dalam As- Sunnah. Oleh karena itu, tidak
ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Yang penting adalah
selama negara menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan sosial dan
menciptakan suatu masyarakat yang
egalitarian, jauh dari eksploitasi
manusia atas manusia manapun, berarti menurut Islam sudah dipandang sebagai
negara yang baik. Apalah artinya negara kalau hanya formalitas kosong.”
Pandangan
ini lebih melihat kepada substansi, yang menilai khilafah islamiyah sebagai
kewajiban moral, bukan dalam wujud fisik sebuah sistem kenegaraan. Ini
dipertegas lagi oleh Nurcholish Madjid (Sartoso, 1997) yang mengatakan bahwa
istilah negara Islam muncul di kalangan muslim sebagai gejala di masa modern
saja. Hal ini muncul karena interaksi kaum muslim dengan golongan agama lain.
Dikatakannya bahwa negara Islam yang formalistik tidak pernah digunakan, baik
oleh Nabi Muhammad SAW maupun para khalifah
rasyidin.
Seorang ulama
lain, Yusuf Musa (1990;132) mengatakan khalifah adalah pemegang kekuasaan dalam
negara, dalam kedudukannya sebagai khalifah bukan sebagai pribadi, selama umat
tetap menempatkan dirinya pada jabatan
tertinggi ini. Jabatan ini dimsksudkan agar ia dapat mengatur umat
dengan hukum allah dan syari’at-Nya
serta membimbingnya ke jalan kemaslahatan dan kebaikan, mengurus kepentingannya
secara jujur dan adil dan memimpinnya ke arah kehidupan mulia dan terhormat.
Akan tetapi Meskipun menduduki jabatan tertinggi,ia tidak dapat semena-mena
memerintah orang lain dan beranggapan tak ada lagi kekuasaan yang melebihi
dirinya serta merasa sebagai sumber kekuasaan dan kekuatan.
Seorang tokoh
intelektual muslim, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat
Nurwahid, juga pernah melontarkan kerisauannya dan menolak wacana pelaksanaan
khilafah Islamiyah di Indonesia (Suara Merdeka, 26 Oktober 2004). Pernyataannya
terkait dengan aksi HTI yang menginginkan pelaksanaan kembali Piagam Jakarta
dalam amandemen UUD 1945. Nurwahid mengatakan bahwa yang terpenting adalah
pelaksanaan agama pada tingkat moral dan etos
kerja.
Multitafsir
tentang khilafah Islamiyah dipengaruhi pula oleh kenyataan bahwa
penguasa-penguasa muslim pasca Nabi dan Khulafaur Rasyidin, pada dasarnya
adalah raja yang absolut. Sistem ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan
dan egaliterianisme yang diajarkan Islam. Sistem monarki juga bertentangan
dengan ajaan Islam dalam suksesi kepemimpinan yaitu berdasarkan, kualitas
kepribadian, keilmuan, dan kesalehan. Kenyataanya yang terjadi justru
berdasarkan keturunan dan pertalian darah (Azra, 1999;175).
Wacana di
atas menunjukkan pada kita bahwa sampai saat ini, konsep khilafah Islamiyah
tidak pernah satu kata dipahami. Penafsiran yang beragam dari kalangan ulama
dan intelektual muslim, yang semuanya mendasarkan diri pada Al- Qur’an dan
Hadits, membuat konsep khilafah Islamiyah sudah memperlihatkan titik
lemah pada level mendasarnya. Apabila
diterjemahkan lagi pada aturan yang lebih rinci, maka kontroversi dan
perdebatan akan semakin melebar.
D.
Khilafah Islamiyah di Dunia Modern
Sub judul di
atas muncul dari penjelasan yang sudah dijabarkan sebelumnya. Berdasarkan
konsep khilafah yang didengung-dengungkan para penggagasnya serta realitas
masyarakat dunia saat ini, maka penulis hanya bisa meletakkan konsep Khilafah
Islamiyah (menurut definisi pada awal makalah ini)
sebatas angan-angan. Sikap pesimistis ini secara yakin diambil karena
realitas dunia modern yang sudah lintas batas dan ideologi, serta gejala
menguatnya ikatan-ikatan etnis dan agama pada berbagai kelompok masyarakat,
memperkuat keyakinan bahwa memaksakan sebuah konsep negara kepada semua entitas
umat hanya akan berbuah konflik dan pertikaian tanpa akhir.
Realitas masyarakat
dunia saat ini telah diwarnai penguatan ideologi- ideologi keagamaan, etnis,
dan nasionalisme kebangsaan. Tesis Huntington yang telah dijelaskan sebelumnya
memperlihatkan bahwa benturan antar peradaban akan mengarah pada konflik
berkepanjangan antara Timur dan Barat. Penguatan sentimen etnis dan agama
adalah pemicu yang paling besar dan itulah yang akan menghambat jalannya konsep
kekhilafahan di era sekarang ini.
Secara lebih
konkret, kenapa konsep Khilafah Islamiyah sulit, atau malah tidak mungkin diterapkan,
dapat dilihat dari pandangan Abdul Moqsith Ghazali (http://islamlib.com/id,04/04/2005),
Aktifis Jaringan Islam Liberal (JIL) ini membantah pernyataan dan keyakinan
dari HTI mengenai konsep negara Islam. Menurutnya, Khilafah Islamiyah bukan
hanya sekedar tidak realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan.
Pertama, amat tidak mudah mencari
rumusan khilafah yang disepakati oleh seluruh umat Islam yang menyebar di
sejumlah kawasan dunia. Konsep khilafah yang diusung oleh HTI adalah hanya
salah satu rumusan dari Taqiyuddin al-Nabhani, yang belum tentu diamini oleh
para ulama yang lain. Dalam konteks Indonesia, agak sulit dibayangkan bagaimana
umat Islam bisa satu kata untuk menerima satu konsep mengenai khilafah.
Eksperimentasi khilafah model siapa? Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, atau yang
lainnya? Cukup pelik memang menghadirkan konsep khilafah dalam konteks
sekarang. Bahkan jauh-jauh hari, NU dan Muhammadiyah telah bersuara bahwa Indonesia
dengan Pancasilanya adalah bentuk negara bangsa yang final. Khilafah tidak
pernah dipertimbangkan oleh kedua ormas Islam terbesar itu.
Kedua, jika khilafah merupakan lanskap
atau wadah untuk memformalisasikan syariat Islam, maka pertanyaan sederhananya adalah
syariat Islam yang mana? Syariat dalam tafsir siapa? Sebagaimana dikatakan Ibn
‘Aqil, bukankah syariat itu amat beragam, sekalipun agama tetap satu? Al-din wahid wa
al-syari’atu mukhtalifah.
Memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan syariat Islam
yang lain. Alasan ini kiranya yang menyadarkan seorang tokoh sekelas Imam Malik
ketika menolak tawaran khalifah saat itu untuk menjadikan al-Muwaththa`, salah
satu karyanya, menjadi konstitusi negara (daulah).
Ketiga, khilafah tidak memiliki kisah
sukses yang memadai. Sejarah telah banyak menunjukkan perihal kegagalan demi
kegagalan penyelenggaraan khilafah. Betapa dari empat Khulafa` Rasyidun, tiga
di antaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib) mati
terbunuh justru ketika konsep khilafah itu diterapkan. Peperangan onta (waq’ah al-jamal) yang melibatkan Ali ibn
Abi Thalib (menantu sekaligus sepupu Nabi) dan Siti Aisyah (istri Muhammad SAW)
telah menelan korban nyawa yang tidak sedikit. Inkuisisi (mihnah) dengan menghukum para intelektual muslim brilian juga
terjadi dalam dunia khilafah. Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah bukanlah
konsep yang ideal. Ia telah gagal justru pada saat uji cobanya yang pertama.
Bachtiar A (http://padhangmbulan.com)
pernah pula mengatakan bahwa jika ingin menerapkan syariat Islam ataupun
Khilafah Islamiyah, pertanyaan utama yang perlu diajukan adalah, syariat Islam
menurut siapa yang akan dipakai ? Saya setuju dengan syariat Islam, tapi
syariat yang mana dan menurut siapa ? Apakah menurut Sunni, Syiah, NU,
Muhammadiyah, Ahmadiyah, Hizbut Tahrir, atau siapa
?
Semua ini memiliki ragam tafsir dan sumber yang bervariasi pula. Ada yang
langsung mengambil dari jaman Rasulullah SAW, ada yang dari Khulafaur Rasyidin,
dan zaman Khilafah selanjutnya. Satu yang pasti, semuanya didasarkan atas sudut
pandang dan pemahaman sendiri-sendiri.
Perlu kita
pahami bahwa kebenaran agama, ibaratkan cermin dari Tuhan. Kini cermin itu
telah pecah dan berkeping-keping. Masing-masing pihak memegang kepingan
sendiri-sendiri dan meyakini bahwa apa yang dilihat itulah kebenaran. Oleh
karena itu, Bachtiar juga meyakini bahwa dalam perjalanan sejarah perkembangan
Islam, hampir tidak ditemui khilafah Islam yang ideal. Islam sendiri juga tidak
mengajarkan apa bentuk negara, namun memberikan
panduan bagaimana bernegara yang baik.
Terlihat
jelas bahwa persoalan dalam penerapan khilafah Islam adalah beda penafsiran yang
sangat besar, dan itu terjadi justru di sesama umat Islam sendiri.
Kelompok-kelompok dalam Islam tidak pernah memiliki persepsi yang sama dalam
memandang khilafah Islam. Semakin banyak kelompok dan golongan, maka makin
banyak pula tafsiran tentang negara Islam.
Lebih jauh
apabila kita cermati, negara-negara dan masyarakat dunia, saat ini sudah
membagi diri pada berbagai kelompok dan ikatan tertentu. Ikatan-ikatan tersebut
terwujud dari sejak adanya masyarakat itu, ataupun terbentuk karena
perkembangan daya kritis analitis manusia. Berkembangnya paham pluralisme dan
sekularisme
dalam beragama adalah gejala yang melihat kondisi masyarakat yang multikultur.
Ide-ide dari kelompok ini semakin menguat dan makin memperlihatkan dukungan
besar dari masyarakat. Tentu saja, paham ini akan berseberangan dengan kelompok
lain yang meyakini keampuhan negara Islam saat ini.
Multikulturalisme
lahir sebagai reaksi atas fakta bahwa manusia di seluruh dunia adalah beragam.
Keragaman ini terlihat dari semua sisi, baik secara fisik, daerah, bahasa,
keyakinan, sudut pandang, ideologi, dan kepercayaan. Inilah fakta sosial yang
tidak bisa dipungkiri. CW Watson (2000;87) menegaskan bahwa multikulturisme,
sebagai sebuah kajian, muncul menjelang masuknya abad ke-20, dimana pertumbuhan
masyarakat semakin kompleks dan beragam, jumlah penduduk semakin menguat dan
perkembangan teknologi yang mendorong munculnya ide baru juga menguat.
Konsep
multikulturisme pada dasarnya sudah ada dulu. Dalam sosiologi, konsep ini
dikenal dengan istilah kearifan lokal (indigenous
knowledge). Masyarakat zaman dulu telah bisa memahami bahwa setiap manusia memiliki perbedaan dengan manusia
lainnya. Secara arif mereka menyesuaikan diri dan menciptakan aturan yang bisa
mengadopsi semua kepentingan. Sasaran akhir adalah tercapainya kedamaian dan
stabilitas hidup bermasyarakat. Coba renungkan makna Bhineka Tunggal Ika yang tergantung di lambang negara Indonesia.
Kata-kata itu dicanangkan ketika negara ini akan dibentuk (1945), jauh sebelum
konsep pluralisme masuk ke Indonesia. Tapi toh
para founding fathers negeri ini
telah memahami keragaman bangsa. Begitupun dengan konsep Piagam Jakarta yang
dimodifikasi sehingga bisa mengadopsi semua golongan di Indonesia.
Dalam Islam, konsep multikultur ini sudah jadi keyakinan yang
mutlak. Surat Al-Maidah ; 48 secara tegas menyebutkan, tiap-tiap kalian Kami buatkan syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan
minhaj (metode pelaksanaan). Seandainya Allah menghendaki, pasti Dia jadikan
kalian (manusia) umat yang satu, tetapi dijadikan beragam itu untuk menguji
kalian atas apa-apa yang Dia anugerahkan kepada kalian. Maka berlomba-lombalah
kalian menuju kebajikan-kebajikan. Kepada Allah kalian semua akan kembali dan
kelak Dia akan menjelaskan kepada kalian apa saja yang kalian perselisihkan. Inilah
dasar pluralisme beragama. Keyakinan bahwa manusia memang beragam dan berbeda,
namun tetap dalam satu keyakinan terhadap kebenaran ajaran Tuhan.
Penerapan
syariat Islam dalam bentuk Daulah Islamiyah (menurut konsep HTI) akan sangat
absurd bahkan terlihat akan mustahil untuk diterapkan. Sampai kapanpun,
peradaban yang terbentuk tetap dalam bentuk keragaman, bahkan semakin melebar.
Ini dimungkinkan karena gejala perkembangan global yang sudah melintas batas
sehingga perkembangan pola pikir dan tingkat keragaman semakin meluas.
Akan tetapi,
adopsi nilai-nilai keislaman dalam sistem pemerintahan tentu saja dimungkinkan.
Beberapa inteletktual muslim sangat menyarankan hal itu, namun bukan
pembentukan negara secara fisik. Amien Rais, Hidayat Nurwahid, Abdurrahman
Wahid, adalah tokoh-tokoh yang menginginkan konsep nilai-nilai Islam jadi
anutan bagi semua warga negara. Nilai-nilai Islam dalam pandangan universal
dengan pedoman utama bagi kemajuan dan rahmatan
lil alamin. Bentuk konkritnya adalah pengadopsian etos kerja Islam dan
semangat Islami.
Dasar dari
konsep tersebut adalah sudut pandang bahwa semua agama pada dasarnya
mengajarkan hal yang sama, yaitu berbuat baik dan saling bersikap toleransi.
Kerja keras dan sikap kejujuran. Ini adalah nilai-nilai universal. Nilai-nilai
inilah yang semestinya bisa diadopsi oleh kalangan yang menginginkan
pembentukan negara Islam. Pemaksaan pada level negara definitif dengan aturan-
aturan syariat yang masih multitafsir, hanya akan menciptakan gejolak konflik
baru. Semestinya, nilai-nilai kemanusiaan yang dikedepankan.
Dalam beberapa
diskusi penulis dengan teman sejawat, muncul sebuah ide lain yaitu penerapan
khilafah Islamiyah dengan meniru konsep keuskupan yang berpusat di Vatikan. Modelnya adalah
memunculkan pemimpin religius yang menjadi panutan dan pedoman bagi semua umat.
Hanya saja, wewenangnya terbatas pada soal-soal keimanan dan keagamaan dalam arti
sempit. Sebagai pemimpin religius, ia tidak mempunyai kewenangan pada level
praktis kenegaraan. Masing-masing negara tetap berdaulat dan melaksanakan
kegiatan kenegaraan dengan format dan bentuk
masing-masing.
Model ini
cenderung sekuler, memisahkan wewenang agama pada batas- batas tertentu dengan
wewenang pemerintahan. Akan tetapi, kelebihan utama model ini adalah
kemampuannya untuk menyatukan semua umat dalam satu pimpinan dan panutan.
Walaupun ritual dan syariat berbeda-beda, tapi mereka mengacu pada sebuah
pemimpin agung yang memiliki kewenangan dari sisi religius.
Akan tetapi
model inipun sulit diterapkan, karena dari sisi sejarah dan keyakinan sebagian
besar umat Islam, penghormatan berlebihan (bahkan cenderung kultus) pada
seorang pimpinan tidak dibenarkan. Hal lain, ajaran Islam selalu multitafsir di
dalam pemeluknya, sehingga akan timbul kesulitan dan kerumitan, dalam
menentukan dasar hukum dan dalil nash pendukung
model ini. Konsep pemimpin spiritual Iran, sebenarnya sudah mengarah pada model
ini, namun tetap tidak bisa mengadopsi semua keyakinan.
Bukti sejarah
juga memperlihatkan, kehancuran Khilafah Abdul Majid II (1924) di Turki yang
berposisi sebagai pemimpin spiritual, juga memperlihatkan lemahnya model ini di
ajaran Islam. Kendatipun ada unsur lain yaitu intervensi Mustafa Kemal Pasha
Ataturk, yang jelas pemisahan antara pemimpin spiritual dan pemimpin
kenegaraan, juga sulit dan mustahil.
Jalan tengah dan
ideal diterapkan adalah adopsi nilai-nilai universal Islam yang bertumpu pada
etos kerja dan semangat rahmatan lil
alamin. Ini sesuai dengan konsep kemajemukan masyarakat dan kelenturan
nilai-nilai Islam di semua zaman dan waktu.
E.
Kesimpulan
Dapat
disimpulkan bahwa konsep Khilafah Islamiyah sangat sulit diterapkan saat ini.
Kemajemukan dan keragaman masyarakat tidak memungkinkan munculnya satu konsep
ideal tentang negara Islam. Multitafsir mengenai khilafah islamiyah akan selalu
menimbulkan persoalan di masyarakat.
Meskipun tidak
ditetapkan dalam Alqur’an untuk menciptakan negara Islami (sistem Khilafah),
tapi ada kewajiban menegakkan tatanan masyarakat Islami. Model yang tepat
diterapkan adalah peningkatan pemahaman terhadap etos kerja dan semangat Islam
yang rahmatan lil alamin. Dalam
praktek, aturan, dan bahasa mungkin berbeda-beda, tetapi semangatnya tetap
satu. Model seperti ini tidak melihat negara Islam secara fisik, tapi abstrak
dalam pemahaman individu- individu.