KONTRUKSI TEORI-TEORI DALAM PERSPEKTIF ”KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA"
Oleh
: S. Arifiannto
Abstraksi
Kajian
budaya dan media dalam ranah efistimologi masih bersifat umum.Ia hidup dalam
belantara diantara ilmu pengetahuan humaniora lainnya.Namun kajian ini berupaya
menggabungkan teori-teori budaya dan media secara kritis. Membahas media dalam
perspektif budaya, adalah memahami cara-cara produksi budaya dalam pertarungan
ideologi. Sebagai kajian lintas disiplin dan bertolak dari perspektif
ideologis, maka kajian budaya dan media (cultural studies and media)
secara kritis akan mengkaji proses-proses budaya alternatif pada media dalam
menghadapi arus budaya. Secara lebih spesifik adalah untuk memahami apa yang
menyebabkan budaya alternatif itu tumbuh atau atas ketidakberdayaan dalam
menerima arus budaya global, dari kemajuan teknologi informasi. Kata kunci :
media, budaya, komodifikasi.
Pendahuluan
Kajian budaya
dan media (cultural studies and media) sering disebut sebagai wilayah
kajian multi-disiplin. Artinya kajian yang dimaksud lebih mengakar pada lintas
disiplin ilmu humaniora. Kajian tersebut merupakan sebuah fenomena pascamodern
dalam dunia akademis tentang mengaburnya batas-batas antar-disiplin ilmu.Jika
dilihat dari sudut pandang nominalis disiplin’sebenarnya konsep ini hanyalah
merupakan istilah untuk melegitimasi metode dan teori-teori dalam kajian yang
bersangkutan.Kajian ini lebih melihat berbagai persoalan media dari perspektif
budaya. Tetapi yang sering luput dalam perbincangan tentang lintas-disiplin
dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora bahwa gagasan lintas-disiplin dalam kajian
budaya dan media itu sendiri masih juga melibatkan gagasan tentang perlintasan
antara teori dengan tindakan. Inilah persoalan pokok yang di anggap mampu
membedakan antara kajian budaya dan media dengan displin lainnya. Relasi kajian
budaya dan media dengan kekuasaan dan politik, dengan keinginan akan perubahan lebih
banyak merepresentasikan kondisi kelompok-kelompok sosial masyarakat yang terpinggirkan.
Terutama kelompok kelas, gender dan ras (tapi juga kelompok usia, kecacatan,
kebangsaan, dsb) pada kultur tertentu. Kajian budaya dan media (cultural
studies and media) merupakan sebuah bangunan teori yang dihasilkan para
pemikir yang menganggap produksi pengetahuan teoritis sebagai suatu praktik
politis. Pada konstelasi ini pengetahuan tidak pernah dipandang sebagai sebuah
fenomena yang bersifat netral atau objektif. Setiap fenomena senantiasa di
lihat sebagai persoalan posisional, yaitu persoalan dari mana, kepada siapa dan
dengan tujuan apa seseorang bicara. Ciri kajian budaya dan media yang di anggap
menonjol, di antaranya persoalan diskursif yang selalu mengedepan di lingkungan
masyarakat kontemporer. Apa yang dimaksud dengan kajian budaya dan media adalah
sebuah medan nyata di mana praktik dan representasi ”media” selalu di lihat dari
sudut pandang perspektif budaya popular. Budaya itu sendiri merupakan
bentukbentuk kontradiktif akal sehat yang sudah mengakar pada dan ikut
membentuk kehidupan sehari-hari (Hall, 1996: 439). Budaya berkaitan dengan
makna-makna sosial, yaitu beragam cara yang lazim di gunakan untuk
memahami dunia. Meski demikian, maknamakna sosial itu tidak dengan sendirinya
berada di luar konteksnya. Melainkan makna makna itu muncul lewat tanda,maupun
petanda dalam bahasa.
Dalam kajian
budaya dan media selalu berargumen bahwa bahasa bukan sebuah medium yang netral
tempat dibentuknya makna yang bersifat objektif dan independen. Bahasa justru
terlibat dalam pembentukan makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna
pada objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi
tampak. Dari bahasa tersebut bisa kita pahami berbagai istilah-istilah dan
simbol simbol lainnya guna mereproduksi makna makna. Proses-proses produksi makna
ini disebut praktik-praktik penandaan (signifying practices), mempelajari
kajian budaya dan media sama halnya dengan meneliti bagaimana makna diproduksi
secara simbolik dalam bahasa sebagai ‘sistem penandaan’ dalam budaya popular.
Media sebagai sebuah industri budaya modern yang di dalamnya mengandung makna
komodifikasi ekonomi komersial sudah memenuhi katagori sebagai budaya popular
pada lazimnya. Sebagai budaya popular, yang mendapat perhatian lebih dalam
kajian budaya dan media, maka ”media” merupakan salah satu medan di mana budaya
popular itu terbentuk. Untuk memahami kekuasaan dan kesadaran terbentuknya
budaya media, ada dua konsep yang sering digunakan dalam teks teks kajian
budaya dan media. Kedua konsep yang sudah sering di gunakan itu adalah konsep
ideologi dan hegemoni. Konsep ideologi lebih cenderung bertautan dengan
petapeta makna yang berpretensi mengandung nilai kebenaran yang bersifat
universal. Sebenarnya konsep ini lebih merupakan pengertian-pengertian yang
spesifik yang menopengi atau melanggengkan kekuasaan. Misalnya, ”konstrusi
berita media televisi yang bermakna menjelaskan dunia dalam kerangka bangsa-bangsa,
dan dianggap sebagai objek secara ‘alami’, dengan mengaburkan pembagian-pembagian
kelas dalam formasi sosial dan ketidak alamian kebangsaan (Barker, 2000: 10).
Representasi gender dalam iklan yang menggambarkan perempuan sebagai tubuh-tubuh
seksi. Mereduksi perempuan kedalam kategori-kategori itu, bermakna merampok
mereka dari tempatnya sebagai manusia dan warga negara. Proses pembuatan, memperta
hankan dan reproduksi makna dan praktik-praktik kekuasaan seperti itu disebut
sebagai hegemoni. Hegemoni berkait dengan suatu situasi dimana ‘blok historis’
suatu kelompok yang berkuasa mendapatkan kewenangan dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok
subordinat dengan cara merebut dan memenangkan kesadaran di antara subordinat
tersebut.
Teori Kajian
Budaya dan Media
Ada sejumlah
besar karya dalam kajian budaya dan media yang teoretis dan tidak empiris.
Teori dipahami sebagai narasi yang bertujuan memilah-milah dan menguraikan ciri-ciri
umum yang mendeskripsikan, mendefinisikan dan menjelaskan kejadian-kejadian yang
terus-menerus muncul. Teori tidak bisa memotret dunia realitas secara
akurat,teori hanyalah sebuah alat, instrumen atau logika untuk mengatasi dunia
realitas melalui mekanisme deskripsi, definisi, prediksi dan kontrol. Konstruksi
teori adalah usaha diskursif yang sadar-diri (self-reflexive) yang
bertujuan menafsirkan dan mengintervensi dunia realitas. Konstruksi teori melibatkan
pengkajian konsep dan argumen-argumen, seringkali juga pendefinisian-ulang dan
mengkritik hasil kerja sebelumnya, untuk mencari alat-alat baru yang digunakan
untuk berpikir/memahami dunia realitas. Hal ini mendapat tempat yang tinggi
dalam kajian budaya dan media. Pengkajian teoretis bisa dianggap sebagai peta-peta
kultural yang menjadi panduan kita. Kajian budaya dan media menolak klaim para
empirisis bahwa pengetahuan hanyalah masalah mengumpulkan fakta yang digunakan untuk
mendeduksi atau menguji teori. Teori dipandang sudah selalu implisit dalam penelitian
empiris melalui pemilihan topik, fokus riset dan konsep-konsep yang dipakai untuk
mendiskusikan dan menafsirkannya. Dengan kata lain, ‘fakta’ tidaklah netral dan
tidak ada tumpukan ‘fakta’ yang bisa menghasilkan kisah tentang hidup kita
tanpa teori. Bahkan, teori adalah kisah tentang kemanusiaan yang punya
implikasi untuk tindakan dan penilaian-penilaian tentang konsekuensi. Kajian
budaya dan media ingin memainkan peran demistifikasi, untuk menunjukkan
karakter terkonstruksi teks-teks kebudayaan yang terkomodifikasi media dan
berbagai mitos dan ideologi yang tertanam di dalamnya. Hal tersebut di harapan
bisa melahirkan posisi-posisi subjek, dan subjek-subjek sungguhan, yang mampu
melawan subordinasi. Sebagai sebuah teori yang politis, kajian budaya dan media
berharap dapat mengorganisir kelompok-kelompok oposisi yang berserak menjadi suatu
aliansi politik kebudayaan. Meski demikian, Bennet (1992) mengatakan bahwa kebanyakan
politik tekstual yang dihasilkan kajian budaya (a) tidak berkaitan dengan banyak
orang dan (b) mengabaikan dimensi institusional kekuasaan kultural. Maka dari
itu ia mendorong kajian budaya dan media untuk mengadopsi pendekatan yang lebih
pragmatis dan bekerja dengan para produser industri kebudayaan dalam konstruksi
dan penerepan kebijakan kultural. Pekerjaan itu tidak akan menjadi populis
tanpa terkomodifikasi oleh media.
Metode Kajian
Budaya dan Media
Meski ada
perdebatan tentang epistemologi, kita bisa menunjuk dengan jelas metode-metode
mana yang paling banyak dipakai dalam kajian budaya dan media. Bahkan para
peneliti akan berbeda dalam melihat keunggulan masing-masing metode. Kita bisa
mulai dengan pembedaan metodologis standar antara metode penelitian kuantitatif
dan kualitatif. Dimana metode-metode kuantitatif lebih terpusat pada
angka-angka dan penghitungan (seperti statistik dan survey). Sedangkan
metode-metode kualitatif lebih berkonsentrasi pada pemaknaan yang dihasilkan
atau dikumpulkan melalui observasi partisipan, wawancara mendalam, diskusi
kelompok terarah dan analisis tekstual. Secara keseluruhan, kajian budaya dan
media lebih menyukai memadukan metode-metode kualitatif dengan perhatiannya
pada makna kebudayaan. Misalnya kajian etnografi, kajian tekstual, kajian
resepsi dan sejenisnya. Beberapa kajian tersebut lebih mengedepankan pandangan
kritis terhadap berbagai teori terdahulu.Teori-teori tersebut ada yang masih bertahan,
tetapi juga banyak di antara teori-teori yang gugur dengan munculnya
teori-teori baru yang menggantikannya.
Kajian Etnografi
Etnografi
merupakan pendekatan empiris dan teoritis yang bertujuan mendapatkan deskripsi
dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork)
yang intensif. Menurut Geertz (1973) etnograf bertugas membuat thick descriptions
(pelukisan mendalam) yang dianggap mampu menggambarkan ”kejamakan struktur-struktur
konseptual yang kompleks”, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan taken-for-granted
(yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan sosial budaya
masyarakat. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil-detil
kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan proses-proses sosial budaya yang
lebih luas dan dinamis. Kajian etnografis memusatkan diri pada penjelajahan
kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks ‘keseluruhan cara hidup’,
yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia-kehidupan (life-worlds) dan
identitas. Dalam kajian budaya dan media, etnografi menjadi ”kata yang dianggap
mewakili” beberapa metode kualitatif, termasuk pengamatan pelibatan, wawancara
mendalam dan kelompok diskusi terarah. Tetapi, ada beberapa kritik pada
etnografi yang patut diperhatikan: Pertama, data yang dipresentasikan oleh
seorang etnografer selalu sudah merupakan sebuah interpretasi yang dilakukan melalui
mata seseorang [sumber data], dan dengan demikian selalu bersifat posisional. Tapi
ini adalah argumen-argumen yang bisa diajukan pada segala bentuk penelitian.
Meski argumen ini hanya menunjuk pada ”etnografi interpretatif”. Kedua,
etnografi dianggap hanya sebagai sebuah genre penulisan yang menggunakan
alat-alat retorika. Bahkan etnografi seringkali disamarkan hanya untuk mempertahankan
klaim-klaim realisnya (Clifford dan Marcus, 1986). Argumen tersebut lebih
cenderung mengarah pada konsep pemeriksaan teks-teks etnografis untuk mencari alat-alat
retorikanya. Namun demikian pendekatan etnografi menuntut seorang penulis untuk
memaparkan asumsi, pandangan dan posisi-posisi mereka. Dalam penulisan etnografi
konsultasi dengan ”para subjek” etnografi perlu dilakukan. Tindakan ini dilakukan
agar etnografi tidak sekedar menjadi ekspedisi pencarian fakta-fakta. Artinya fakta-fakta
yang hanya dipersepsikan sebagai diskripsi percakapan antara mereka yang terlibat
dalam proses penelitian etnografi itu sendiri. Realitasnya penulisan etnografi
masih mendatangkan berbagai kritik yang bersifat dinamis terhadap
eksistensinya. Walaupun demikian kritik terhadap klaim epistemologis etnografi
tidak lantas membuatnya tidak bernilai atau harus ditinggalkan. Para aliran
kritis melihat bahwa tidak ada perbedaan epistemologis yang mendasar antara
etnografi dan sebuah novel. Etnografi lebih sebagai diskripsi berlapis-lapis
yang tujuannya bukanlah untuk menghasilkan gambaran yang ”benar” tentang dunia
realitas. Etnografi hanya untuk melahirkan empati dan melebarkan lingkaran
solidaritas manusia (Rorty, 1989). Maka, seorang etnografer biasanya memiliki justifikasi
personal, puitis dan politis ketimbang epistemologis. Menurut pandangan yang demikian,
data etnografis memberi eskpresi puitis pada suara-suara dari budaya-budaya lain
atau dari budaya lokal (local cultural) kita sendiri. Menulis tentang
model-model semacam itu tidak lagi dianggap sebagai suatu laporan ”ilmiah”.
Tetapi ia hanya sekedar ekspresi dan narasi puitis yang memunculkan suara-suara
baru untuk bergabung, yang oleh disebut Rorty (1989) dianggap sebagai
percakapan kosmopolitan umat manusia. Dengan konsep tersebut data etnografis
bisa menjadi jalan keluar dimana budaya kita sendiri dibuat menjadi asing.
Bahkan dianggap sangat memungkinkan memicu lahirnya deskripsi deskripsi baru
tentang dunia realitas ini. Pendekatan etnografi dalam antropologi dapat dikatagorikan
pendekatan dengan metoda baru. Meski dasar pendekatan ini dianggap tidak identik
dengan baru. Salah satu diantara kelemahan bidang kajian antropologi adalah minimnya
data etnografi. Bahkan menurut Goodenough (1964:7-9) terdapat tiga permasalahan
yang dianggap paling pokok,yakni : (1).ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan
oleh perbedaan minat dikalangan ahli antropologi sendiri, (2).mengenai sifat data
itu sendiri dan (3). menyangkut masalah klasifikasi data etnografi. Untuk
mencari jalan keluar pemecahan masalah ahli antropologi telah menempuh berbagai
cara pelukisan kebudayaan dengan berbagai model. Salah satu model yang sering dipakai
adalah model dari linguistik yaitu “fonologi”. Penggunaan model tersebut
menuntut penulis berangkat dari dalam, yakni dari sudut pandang orang yang
diteliti.
Karena model
penggunaan linguistik lebih di tekankan pada pemberian “makna” terhadap obyek
yang menjadi kajiannya. Ini berarti peneliti harus menguasai bahasa masyarakat yang
ditelitinya. Kemudian merumuskannya sesuai dengan kerangka berfikir mereka. Dalam
konteks ini peneliti barpandangan apa yang mereka diskripsikan dalam etnografi marupakan
makna-makna yang hidup dalam masyarakat yang diteliti. Makna hidup yang dimaksud
adalah makna yang diberikan oleh orang-orang yang diteliti. Meski biasanya para
ahli antropologi menggunakan istilah yang beragan tetapi dalam hal metode penelitian,
mereka menerapkan prosedur yang sama. Namun jika ada perbedaan tidak begitu
mencolok. Konsep dasar etnografi tersebut kemudian digunakan sebagai alat untuk
pengumpulan data penelitian berbagai bidang.Misalnya bidang ilmu sosiologi,
komunikasi, media, hukum, psikologi, ekonomi dan sekarang telah berkembang
secara dinamis di berbagai perguruan tinggi terkenal di luar negeri.
Kajian Tekstual
Meski kajian
tekstual punya ragam penampilan, ada dua corak analisis yang paling banyak
dipakai dalam kajian budaya dan media, yaitu semiotika dan teori narasi. Teks sebagai
tanda dan simbol banyak dikaji dalam pendekatan simiotika. Pendekatan semiotika
mempelajari bagaimana makna dari sebuah teks dan simbol bisa diperoleh melalui pengaturan
tertentu tanda-tanda dan penerapan kode-kode kultural. Analisis ini menaruh perhatian
pada ideologi atau mitos-mitos dari teks yang bersangkutan. Misalnya analisis semiotik
tentang media ádalah “menggambarkan bagaimana berita televisi itu representasi yang
dikonstruksi dan bukan sebuah cermin realitas”. Representasi-representasi media
yang sarat nilai dan selektif bukanlah gambaran yang “akurat” tentang dunia
realitas. Melainkan medan-medan pertempuran untuk memperebutkan apa yang akan
dianggap sebagai makna dan kebenaran. Televisi memang tampak seolah “realistik”
karena ia penyuntingannya yang halus dan potongan-potongannya yang tak kentara.
Tetapi realisme ini dibentuk oleh sekumpulan konvensi estetis, dan bukan
refleksi “dunia realitas”. Reproduksi media televisi semacam ini disebut
sebagai realitas semu (Theodoro Adorno, 1992). Teks sebagai narasi, akan
dilihat bahwa semua teks pasti mempunyai kisah tertentu, baik sebagai
teori atau naskah pidato. Karena itu teori narasi juga memainkan peran penting
dalam ranah kajian budaya dan media. Narasi adalah penuturan yang tertata dan urut
(sekuensial). Ia mengklaim dirinya sebagai rekaman suatu peristiwa.
Narasi adalah bentuk terstruktur yang biasanya digunakan suatu cerita/kisah
untuk mengajukan penjelasan tentang tata-cara dunia realitas. Narasi memberi
kita kerangka pemahaman dan aturan mengenai bagaimana tatanan sosial dan budaya
itu dibentuk. Hampir semua “penelitian kualitatif” mengandalkan dari bagaimana kemampuan
peneliti menarasikan fakta dan data lapangan yang mereka peroleh di lokasi penelitian.
Meski teks narasi bisa mengambil ragam bentuk, karakter, dan struktur, teori
strukturalis lebih menaruh perhatian pada ciri-ciri umum pada bagaimana
pembentukan cerita. Menurut Thodorov (1977), sebuah narasi setidaknya berkaitan
dengan goncangan terhadap suatu titik ekuilibrium dan pelacakan atas goncangan
yang terucapkan sampai tercapai suatu ekuilibrium baru. Misalnya, “pasangan
opera sabun” yang ditampilkan dalam pelukan penuh cinta sebagai pendahuluan
atas pengungkapan bahwa salah satunya sedang berselingkuh. Maka
pertanyaannya
khalayak umumnya, apakah ini akan menjadi akhir hubungan tersebut? Banyak
percakapan, emosi dan penjelasan yang terjadi sebelum kedua karakter itu rujuk kembali
atau malah berpisah. Opera sabun adalah nama sebuah genre dalam banyak kajian
tentang film.
Genre menstrukturkan dan mengekang proses narasi; genre meregulasi dengan cara
tertentu, menggunakan elemen-elemen tertentu dan kombinasi antar elemen, untuk
menghasilkan koherensi dan kredibilitas. Dengan demikian, genre merepresentasi sistematisasi
dan pengulangan masalah dan solusi-solusi dalam sebuah narasi (Neale, 1980).
Dalam banyak kajian budaya dan media konstruksi sebuah narasi harus bersifat
rigit, mendalam dan terstruktur. Relasi antara satu genre dengan lainnya
mempunyai koherensi yang mengikat. Hubungan itu dikonstruksi menjadi sebuah
data kualitatif dalam penelitian, dimana keabsyahannya mempunyai derajat yang
sama dengan data kuantitatif.
Kajian resepsi
Para ahli kajian
resepsi atau konsumsi sering berpretensi bahwa analisis tekstual atas makna
yang dilakukan seorang penulis, masih belum bisa dipastikan. Makna-makna yang
manakah, ”kalau memang ada”,yang bisa diambil manfaatnya oleh pembaca/consumen/khalayak
yang sesungguhnya. Artinya khalayak adalah merupakan pencipta makna yang aktif
dalam hubungannya dengan teks. Mereka menerapkan berbagai kompetensi kultural
yang diperoleh sebelumnya untuk membaca berbagai teks, sehingga khalayak dengan
konstruksi yang berbeda akan memahami makna-makna yang beragam itu. Di garis
depan teoretis, model ‘encoding-decoding’ dari Hall (1981) terbukti mempunyai
pengaruh yang sangat penting dan dominan. Hall (1981) melihat bahwa produksi
makna tidak menjamin dikonsumsinya makna tersebut sesuai yang dimaksudkan oleh
enkodernya. Karena pesan-pesan (televisi), yang dikonstruksi sebagai sistem
tanda dengan berbagai komponen yang multi-accentuated, hanya bersifat
polisemik. Artinya mereka memiliki lebih dari satu rangkaian makna potensial.
Dari konsepsi tersebut sampai khalayak turut terlibat dalam kerangka kultural
bersama para produser. Seakan akan khalayak menjadi bagian dari realitas yang
dikonstrusi media. Maka konsekuensinya pembacaan oleh khalayak tidak jauh
berbeda dengan produksi tekstual aslinya. Namun demikian ketika anggota
khalayak betempat pada posisi social dan budaya yang berbeda (dalam hal kelas
atau gender,) dari para produsen teksnya, maka mereka akan membaca program-program
semacam seperti itu sebagai pilihan alternatif.
Kajian Budaya
dan Media
Identitas : Dalam kajian
budaya dan media identitas lebih bersifat kultural dan tidak punya keberadaan
di luar representasinya sebagai wacana kultural. Identitas bukanlah sesuatu
yang tetap dan bisa di simpan. Melainkan sebagai suatu proses untuk menjadi. Identitas
juga dapat dimaknai sebagai genre pada entitas tertentu. Misalkan, pada
etnisitas ras dan nasionalitas adalah konstruksi-konstruksi diskursif-performatif
yang tidak mengacu pada “benda-benda” yang sudah ada. Artinya, etnisitas, ras
dan nasionalitas merupakan kategori-kategori kultural yang kontingen. Ia
bukanlah ”fakta” biologis yang bersifat universal. Sebagai konsep, etnisitas mengacu
pada pembentukan dan pelanggengan batas batas kultural yang mempunyai
keunggulan tersendiri. Dalam konteks tulisan ini penekanannya lebih
dikonsentrasikan pada kajian-kajian sejarah, budaya, komunikasi, media,
sosiologi dan bahasa. Ras dilihat sebagai sebuah gagasan yang problematis
karena asosiasinya dengan wacana biologis tentang superioritas dan subordinasi
kultural sangat kental. Relasi di antara keduanya sangat intrinsik bahkan tidak
mungkin bisa dihindari. Meski demikian, konsep rasialisasi atau semacam pembentukan
ras mempunyai kegunaan. Karena dapat menekankan pada kekuasaan, kontrol dan
dominasi. Gagasan tentang identitas, ras, etnisitas dan bangsa mesti dilihat
dalam kerangka saling ketergantungan yang satu dengan etnisitas yang lainnya. Seperti
terlihat dalam konteks kemurnian etnis suatu bangsa yang dihipo tesiskan oleh
wacana nasionalis. Peran yang dimainkan metafora gender dalam konstruksi
tentang bangsa, ibu pertiwi, dsb. Misalnya: studi Buttler (1993) tentang
konstruksi identitas seksual, studi Gilroy (dalam Woodward, 1987) dan Hall
(1992) tentang identitas orang kulit hitam di Inggris, studi Ben Anderson
(1991) tentang bangsa sebagai komunitas terbayangkan, studi Brah (1996) tentang
masyarakat diaspora, dan lainnya yang sealiran. Studi-studi tersebut umumnya
memberikan kritik tajam terhadap teori-teori yang berkembang pada zamannya.
Semua ideologi yang tertuang dalam teori-teori tersebut terkomodifikasi,
sehingga menjadi sebuah diskusi publik bagi para pengamat di akademisi dan
komunitas lainnya.
Seks, Subjek,dan
Representasi :
Dalam kajian budaya dan media, seks dan gender dilihat sebagai konstruksi
sosial dan budaya yang secara intrinsik terimplikasi oleh persoalan-persoalan
representasi. Seks dan gender lebih merupakan persoalan kultural ketimbang
alam. Meski ada juga pemikiran-pemikiran feminis yang menekankan pada perbedaan
esensial antara maskulin dan peminin. Kajian budaya dan media cenderung mengeksplorasi
gagasan tentang karakter identitas seksual yang spesifik secara historis, tidak
stabil, plastis dan dinamis. Tapi bukan berarti kita bisa dengan mudah membuang
identitas seksual dan menggantinya dengan yang lain. Kendatipun seks merupakan
suatu konstruksi sosial, ia adalah konstruksi sosial yang mengkonstitusi
melalui tekanan-tekanan kekuasaan dan identifikasi-identifikasi dalam psikis
kita. Konstruksi sosial yang dibentuk adalah sesuatu yang diregulasi serta
memiliki konsekuensi tertentu di dalamnya. Identitas seksual dilihat bukan
sebagai masalah esensi biologis yang universal, tetapi lebih sebagai persoalan
bagaimana feminitas dan maskulinitas dinegosiasikan. Maka itu kajian budaya dan
media sudah seharusnya memberi perhatian pada masalah-masalah seks dan representasi.
Misalnya fokus kajian budaya dan media terhadap representasi perempuan dalam
budaya populer, atau sastra. Sampai sekarang perempuan masih cenderung dikonstruksi
dan sebagai kelamin yang kedua. Perempuan selalu tersubordinasi dibawah laki-laki.
Dalam persoalan tersebut posisi-posisi subjek yang dikonstruksi untuk perempuan
cenderung menempatkan mereka dalam tatanan kerja patriarkis domestifikasi. Artinya
sebuah tatanan kerja yang menjadikan perempuan sebagai ibu dan berkarir serta mengeksplorasi
individualitasnya untuk bisa tampil anggun dan menarik. Perempuan di era pasca
kolonial lebih banyak mengusung beban ganda karena tersubordinasi oleh kolonialisme
sekaligus kaum laki-laki pribuminya. Meski demikian, ada kemungkinan untuk
menggoyang stabilitas representasi-representasi tubuh yang terkelaminkan ini
(kasus Madonna, Inul, Dewi Persik), dan lainnya. Karena meski teks memang
mengkonstruksi posisi subjek, bukan berarti semua lelaki atau perempuan
mengambil posisi-posisi yang ditawarkan. Kajian-kajian resepsi lebih cenderung
menekankan pada negosiasi yang terjadi antara subjek dengan teks. Termasuk
kemungkinan melakukan resistensi terhadap makna tekstual yang posisinya selalu
tersubordinasi itu. Kajian-kajian inilah yang sering merayakan ”nilai-nilai dan
budaya menonton” bagi perempuan. Contoh: studi Giddens tentang keintiman
(1992), studi psikoanalisisnya Irigaray (1985) dan Mitchell (1974), studi Khrisnan
dan Dighe (1990) representasi perempuan di televisi India, studi Bordo (1993) tentang
tubuh, studi-studi representasi identitas dalam Woodward (1997). Kajian-kajian tersebut
memberikan gambaran bahwa posisi perempuan di dunia cenderung tersubordinasi oleh
kekuasaan.
Televisi, Teks,
dan Audience :
Sudah
sekian dekade ini televisi mendapat perhatian dalam kajian budaya dan media.
Karena televisi memiliki kedudukan sentral dalam praktik komunikasi masyarakat
modern. Perhatian ini menjadi semakin kuat seiring dengan pergeseran televisi
global dari jasa penyiaran publik menjadi televisi komersial. Realitasnya
televisi komersial tersebut didominasi perusahaan multimedia yang bersinergi dan
konvergensi. Mengglobalnya institusi-institusi televisi yang di ikuti oleh
penyiaran global narasi dan genre-genre utama televisi. Genre utama media
televisi itu di representasikan dalam programnya seperti ( berita, sinetron,
televisi musik, olahraga dan ragam permainan) .Program televisi tersebut
dikonstruksi dalam kerangka konsep budaya‘promosional’ dan postmodern.
Konstruksi itu juga ditandai dengan adanya intertekstualitas dan kaburnya genre
pada media televisi yang bersangkutan. Kajian budaya dan media dalam konteks
ini juga menaruh perhatian khusus terhadap konstruksi ideologis program-program
televisi. Seperti versi-versi hegemonik berita dunia global yang dianggap
menyingkirkan perspektif-perspektif berita-berita alternatif dikomunitas lokal.
Meski demikian, program-program televisi pada saat ini lebih cenderung bersifat
polisemik. Yakni berita-berita yang memuat berbagai makna yang biasanya
bersifat kontradiktif. Ini memungkinkan audiens mengeksplorasi keragaman makna
potensial yang dikonstruksinya. Audiens adalah pencipta makna yang aktif dan
tidak begitu saja mengambil makna-makna tekstual yang ditemukan di televisi.
Pentingnya televisi tidak bisa dibatasi pada makna-makna tekstual, karena
televisi ditempatkan dan dialami dalam aktivitas hidup sehari-hari. Meski
ekonomi, politik dan arus program televisi lebih banyak bersifat global,
aktivitas menonton televisi tetap saja tersituasikan dalam praktik-praktik domestik
sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Contoh: studi Ang tentang penonton serial
Dallas (1985), studi Widodo tentang sinetron (2003), studi Lull (1991)
tentang penonton televisi di Cina, studi Kurniawan Adi tentang penonton film
Indonesia (2002), studi Budiman (2002) tentang keluarga dan televisi di
Yogyakarta.
Ruang Publik,
Kota : Ruang
selalu dikonotasikan dengan antar hubungan sosial tentang kelas, gender,
etnisitas, dan sejenisnya. Ruang di berikan lebel sebagai tempat tempat kekuasaan
yang dicirikan dengan adanya persaingan dalam makna-maknanya. Sementara kota
tidak pernah dilihat sebagai sesuatu yang bersifat tunggal. Melainkan selalu
termanifestasi dan dibaca sebagai serangkaian ruang dan representasi yang diperebutkan.
Dari perspektif ekonomi politik kita mencatat kemunculan kota-kota global sebagai
titik-titik komando ekonomi dunia. Penstrukturan ulang kota adalah salah satu aspek
reorganisasi ekonomi global. Contoh: studi Abidin Kusno (2000) tentang politik arsitektur
dan tata ruang di Indonesia, studi Zukin (1996) tentang Disney World, studi Massey
(1994) tentang ruang yang tergenderkan, studi Nzegwu (1996) tentang kota postkolonial
(Lagos, Nigeria).
Remaja,Gaya,dan
Perlawanan :
Meskipun
lebih jarang dibahas bila dibandingkan dengan kelas, gender dan ras, usia
adalah patokan klasifikasi dan stratifikasi sosial yang penting.
Gambaran-gambaran tentang masa anak-anak, remaja, dewasa, lanjut usia, pensiunan,
dst., merupakan kategori-kategori identitas yang mengandung berbagai konotasi
mengenai kemampuan dan tanggung jawab. Remaja adalah klasifikasi kultural dari
suatu rentang usia yang elastis yang dikodekan secara ambigu oleh orang dewasa sebagai
indikasi ‘masalah’ dan ‘kesenangan’. Orang muda mengusung harapan-harapan orang
dewasa untuk masa depan sekaligus menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Karya-karya
awal kajian budaya Inggris melihat subkultur muda yang spektakuler sebagai
manifestasi perlawanan simbolik terhadap tatanan kelas yang berkuasa. Subkultur
dianggap menawarkan solusi-solusi magis bagi persoalan-persoalan struktural
kelas. Ada tiga alat analitik penting: (a) konsep homologi, di mana benda-benda
simbolik subkultural dianggap sebagai ekspresi dari kepriha tinan dan posisi-posisi
struktural tersembunyi kelompok-kelompok muda; (b) brikolase, di mana
simbol-simbol yang sebelumnya tidak terkait kemudian dipadu kan untuk
menciptakan makna-makna baru; dan (c) gaya, suatu brikolase simbol yang
membentuk suatu ekspresi yang koheren dan bermakna. Contoh: studi Willis
tentang buruh remaja (1977), gang motor besar (1978), studi Hebdige
tentang subkultur punk (1979) dan skuter (1988), studi McRobbie tentang
subkultur remaja perempuan (1991), studi Mercer tentang rambut (1994).
Politik
Kebudayaan : Politik
kebudayaan merupakan kekuasaan untuk menamai dan merepresentasi dunia, di mana
bahasa bersifat konstitutif bagi dunia dan menjadi panduan untuk bertindak.
Politik kebudayaan bisa dipahami sebagai serangkaian pergulatan kolektif yang
diorganisir di seputar kelas, gender, ras, seksualitas, usia, dan lain-lain,
yang hendak mendeskripsikan ulang dunia sosial berdasar nilai-nilai tertentu
dan untuk mencapai konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan. Contoh: studi
Bennet (1992) dan Cunningham (1992) tentang keterlibatan kajian budaya dalam
politik institusional dan birokrasi.Cultural studies dan media merupakan
bidang multi disiplin yang juga mengaburkan sekat-sekat antara dirinya dengan
disiplin ilmu pengetahuan lainnya. Dalam konteks yang lebih luas kita bisa
melihat politik kebudayaan terkait dengan,:kekuasaan untuk menamai, kekuasaan
untuk merepresentasikan, kekuasaan untuk menciptakan dan kekuasaan untuk
merepresentasikan dunia sosial yang legitimate ( Yordan & Weedon,1995 :13).
Secara lebih spesifik makna dan kebenaran dalam domain budaya dibangun di dalam
pola kekuasaan. Konsep kekuasaan itu tidak bisa terpisahkan dengan Gramscian
dalam hegemoni (Gramsci,1971).Hegemoni kekuasaan yang dibangun adalah melalui
penciptaan makna. Dimana representasi dan praktik dominan dan otoritatif
diproduksi dan tetap dilestarikan. Menurut Gramsci hegemoni ideologis merupakan
proses dimana cara pemahaman tentang dunia realitas menjadi begitu nyata dan
alami, sehingga memandang alternatif sebagai sesuatu yang tidak masuk akal
serta tidak dapat terpikirkan. Bagi gramsci pengetahuan dan budaya popular
telah menjadi arena penting bagi tempat pertarungan ideologi kekuasaan itu.
Salah satu teks Gramscian dalam cultural studies adalah”Resistance
Trough Ritual” (Hall & Jefferson,1976) yang isinya merangkum pengaruh
Gramscian pada tema cultural studies. Dalam teks tersebut subkultur pemuda diekspresikan
sebagai bentuk bergaya perlawanan terhadap budaya hegemonik. Gaya
dibaca sebagai
bentuk perlawanan simbolik yang dibangun di atas wilayah perjuangan hegemonik
dan kontra hegemonik. Meski gaya perlawanan yang dibangunnya hanya sebatas pada
sumberdaya simbolis, yang tidak mampu mengatasi posisi kelas struktural pekerja
saat itu. Dari berbagai pandangan yang elah di paparkan tersebut kita mencatat
sejumlah tantangan terhadap politik perbedaan budaya yang cenderung memusatkan
sebagian besar perhatiannya pada konsep Bennet (1992) terhadap cultural
studies dan media untuk terlibat lebih produktif dalam pembentukan
implementasi kebijakan studi budaya dan media dimasa mendatang. Argumen ini
saya kemukakan atas dasar interpretasi konsep Foucault (1991) tentang ”governmentalitas”dimana
konsep-konsep kebudayaan merupakan kepanjangan tangan pemerintah, serta reformis
bergagai perkembangan ilmu pengetahuan. Tetapi pada saat yang sama kita
dihadapkan pada suatu logika dimana seruan dan kebijakan terhadap kajian budaya
dan media cenderung bersifat pragmatis, dan mengabaikan nilai-nilai kajian yang
bersifat kritis. Akhirnya pragmatisme
sebagai suatu filsafat mungkin bisa menawarkan solusi untuk menyatukan politik
perbedaan dan representasi kebijakan kajian budaya dan media itu sendiri.
Sebagaimana telah di paparkan dalam tulisan ini kajian budaya dan media
masih bersifat
umum. Ia hidup dalam hutan belantara diantara ilmu pengetahuan humaniora
lainnya. Namun kajian ini berupaya menggabungkan teori-teori budaya dan media.
Membahas media dalam perspektif budaya, secara spesifik adalah memahami
caracara produksi budaya dalam pertarungan ideologi. Sebagai kajian lintas
disiplin dan bertolak dari perspektif ideologis, maka kajian budaya dan media (cultural
studies and media) secara kritis akan mengkaji proses-proses budaya
alternatif pada media dalam menghadapi arus budaya, untuk memahami apa yang menyebabkan
budaya alternatif itu tumbuh dan berkembang.
Sebaliknya atas
ketidak berdayaan dalam menerima arus budaya global, dari kemajuan teknologi
informasi (TIK). Kajian budaya dan media lebih cenderung menonjolkan kritik
terhadap budaya popular yang termediasi.Ketika budaya telah bergeser menjadi
sebuah industri maka budaya yang bersangkutan akan lebih dominan merepresentasikan
modernitasnya. Sementara konsep-konsep budaya modernitas itu sendiri tidak bisa
menolak hadirnya ideologi kapitalisme liberal. Dalam konteks ini budaya kapitalisme
liberal lebih di maknai atas nilai materialnya ketimbang nilai spiritualnya. Maka
dari itu tidak heran jika teori-teori yang di pakai untuk menganalisis lebih
banyak menggunakan teori-teori post modern. Namun demikian keberadaan
teori-teori tersebut toh tidak mampu menyatukan budaya tinggi dan budaya rendah
(popular) dalam perspektif kajian budaya
dan media seperti fenomena yang terjadi selama ini.
Penutup
Dari pemaparan
teori-teori budaya dan humaniora tersebut memberikan gambaran bahwa kajian
budaya dan media masih bersifat umum.Kajian ini bagaikan masuk di hutan belantara
diantara disiplin ilmu lainnya. Meski ia ingin mencari ruang yang lebih
spesifik dan kritis, toh masih belum mampu menjebatani antara budaya dan media
itu sendiri. Meski dalam praktiknya ia berusaha mengkaji media dari perspektif
budaya popular. Membahas media dalam perspektif budaya, adalah memahami
cara-cara produksi budaya dalam pertarungan ideologi. Sebagai kajian lintas
disiplin dan bertolak dari perspektif ideologis, maka kajian budaya dan media (cultural
studies and media) secara kritis akan mengkaji proses-proses budaya
alternatif pada media dalam menghadapi arus budaya. Secara lebih spesifik adalah untuk memahami
apa yang menyebabkan budaya alternatif itu tumbuh atau atas ketidak berdayaan
dalam menerima arus budaya global, dari kemajuan teknologi informasi. Esensi
ideologis tersebut menjadi ruang negosiasi yang dianggap paling diskursif dalam
kajian ini. Maka dari itu tidak salah jika banyak pihak melihat bahwa disiplin,
kajian budaya dan media ini masih dalam rangka mencari bentuk, atau identitas
baru.
.
*** .