Salah
satu gagasan ekonomi yang dalam beberapa waktu belakangan ini cukup banyak mengundang
perhatian adalah mengenai 'ekonomi kerakyatan'. Di tengah-tengah himpitan
krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia, serta maraknya perbincangan mengenai
globalisasi dan globalisme dalam pentas wacana ekonomi-politik dunia, kehadiran
ekonomi kerakyatan dalam pentas wacana ekonomi-politik Indonesia memang terasa
cukup menyegarkan. Akibatya, walau pun penggunaan ungkapan itu dalam kenyataan
sehari-hari cenderung tumpang tindih dengan ungkapan ekonomi rakyat, ekonomi
kerakyatan cenderung dipandang seolah-olah merupakan gagasan baru dalam pentas
ekonomi-polilik di Indonesia.
Kesimpulan
seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab, bila ditelusuri ke belakang, dengan
mudah dapat diketahui bahwa perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan sesungguhnya
telah berlangsung jauh sebelum Indonesia memproklamkkan kemerdekaannya. Pada
mulanya adalah Bung Hatta, di tengah-tengah dampak buruk depresi ekonomi dunia
yang tengah melanda Indonesia, yang menulis sebuah artikel dengan judul Ekonomi
Rakyat di harian Daulat Rakyat (Hatta, 1954). Dalam artikel yang diterbitkan
tanggal 20 Nopember 1933 tersebut, Bung Hatta secara jelas mengungkapkan kegusarannya
dalam menyaksikan kemerosotan kondisi ekonomi rakyat Indonesia dibawah tindasan
pemerintah Hindia Belanda.
Yang
dimaksud dengan ekonomi rakyat oleh Bung Hatta ketika itu tentu tidak lain dari
ekonomi kaum pribumi atau ekonomi penduduk asli Indonesia. Dibandmgkan dengan ekonomi
kaum penjajah yang berada di lapisan atas, dan ekonomi warga timur asing yang berada
di lapisan tengah, ekonomi rakyat Indonesia ketika itu memang sangat jauh tertinggal.
Sedemikian mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan penderitaan rakyat pada
masa itu, meika tahun 1934 beliau kembali menulis sebuah artikel dengan nada
serupa. Judulnya kali ini adalah Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (Hatta, 1954).
Dari judulnya dengan mudah dapat diketahui betapa semakin mendalamnya kegusaran
Bung Hatta menyaksikan kemerosotan ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan
pemerintah Hindia Belanda. Tetapi sebagai seorang ekonom yang berada di luar
pemerintahan, Bung Hatta tentu tidak
bisa
berbuat banyak untuk secara langsung mengubah kebijakan ekonomi pemerintah. Untuk
mengatasi kendala tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Bung Hatta kecuali
terjun secara langsung ke gelanggang politik. Dalam pandangan Bung Hatta,
perbaikan kondisi ekonomi rakyat hanya. mungkin dilakukan bila kaum penjajah disingkirkan
dari negeri ini. Artinya, bagi Bung Hatta, perjuangan merebut kemerdekaan sejak
semula memang diniatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Walau
pun demikian, sebagai seorang ekonom pejuang, tidak berarti Bung Hatta serta merta
meninggalkan upayanya untuk memperkuat ekonomi rakyat melalui perjuangan ekonomi.
Tindakan konkret yang dilakukan Bung Hatta untuk memperkuat ekonomi rakyat
ketika itu adalah dengan menggalang kekuatan ekonomi rakyat melalui pengembangan
koperasi. Terinspirasi oleh perjuangan kaum buruh dan tani di Eropa, Bung Hatta
berupaya sekuat tenaga untuk mendorong pengembangan koperasi sebagai wadah
perjuangan ekonomi rakyat. Sebagaimana terbukti kemudian, kepedulian Bung Hatta
terhadap koperasi tersebut berlanjut jauh setelah Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya. Hal itu antara lain disebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa
perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada
proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk
memperbaiki
kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi
Indonesia dari sebuah perekonomian yang berwatak kolonial menjadi sebuah perekonomian
nasional. Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, yang dimaksud dengan ekonomi nasional
adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat
banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air (lihat
Weinsten, 1976).
Kesadaran-kesadaran
seperti itulah yang menjadi titik tolak perumusian pasal 33 Undang Undang Dasar
(UUD) 1945. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pasal tersebut, "Dalam
pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk
semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu,
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun
perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi." Dalam kutipan
penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut, ungkapan ekonomi kerakyatan memang tidak
ditemukan secara eksplisit. Ungkapan konsepsional yang ditemukan dalam penjelasan
Pasal 33 itu adalah mengenai 'demokrasi ekonomi'. Walau i pun demikian, mengacu
pada definisi kata 'kerkayatari' sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta (Hatta,
1932), serta penggunaan kata kerakyatan pada sila keempat Pancasila, tidak terlalu
sulit untuk disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan sesungguhnya
tidak lain dari demokrasi ekonomi sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan
pasal 33 UUD 1945 itu. Artinya, ekonomi kerakyatan hanyalah ungkapan lain dari
demokrasi ekonomi (Baswir, 1995). Ekonomi Kerakyatan dan Bung Hatta.
Perbincangan
mengenai ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi memang tidak dapat dipisahkan
dari Bung Hatta. Sebagai Bapak Pendiri Bangsa dan sekaligus sebagai seorang
ekonom pejuang, Bung Hatta tidak hanya telah turut meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan
sebuah negara merdeka dan berdaulat berdasarkan konstitusi. Beliau juga
inemainkan peranan yang sangat besar dalam meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan
perekonomian nasional berdasarkan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi.
Bahkan, sebagai Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta lah yang secara konsisten
dan terus menerus memperjuangkan tegaknya kedaulatan ekonomi rakyat dalam
penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Tetapi bila ditelusuri ke belakang,
akan segera diketahui bahwa persinggungan Bung Hatta dengan gagasan ekonomi
kerakyatan atau demokrasi ekonomi sekurang-kurangnya telah dimulai sejak
berlangsungnya perbincangan antara Bung Hatta dan Tan Malaka di Berlin, bulan
Juli 1922. Bung Hatta ketika itu bduni genap setahun berada di negeri Belanda.
Dalam perbincangan tersebut, yaitu ketika Tan Malaka mengungkapkan kekecewaannya
terhadap model pemerintahan diktatur yang diselenggarakan Stalin di Uni Soviet,
Bung Hatta serta merta menyelanya dengan sebuah pertanyaan yang sangat tajam,
"Bukankah kediktaturan memang inheren dalam paham komunisme? Pertanyaan
Bung Hatta tersebut ditanggapi oleh Tan Malaka dengan menjelaskan teori
diktatur proletariat yang diperkenalkan oleh Karl Marx. Menurut Tan Malaka,
diktatur proletariat sebagaimana dikemukakan oleh Marx hanya berlangsung selama
periode transisi, yaitu selama berlangsungnya pemindahan penguasaan alat-alat
produksi dari tangan kaum kapitalis ke tangan rakyat banyak.
Selanjutya,
kaum pekerja yang sebelumnya telah tercerahkan di bawah panduan perjuangan
kelas, akan mengambil peran sebagai penunjuk jalan dalam membangun keadilan Hal
itu akan dicapai dengan cara menyelenggarakan produksi oleh semua, untuk semua,
di bawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat. Hal tersebut jelas
sangat bertolak belakang dengan diktatur personal" (Hatta, 1981).
Penggalan
kalimat Tan Malaka yang berbunyi "produksi oleh semua, untuk semua, dibawah
pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat" itu tentu mengingatkan kita
pada penggalan kalimat yang terdapat dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 sebagaimana
dikemukakan tadi. Kemiripan kedua kalimat tersebut secara jelas mengungkapkan
bahwa persinggungan Bung Hatta dengan konsep ekonomi kerakyatan
setidak-tidaknya telah berlangsung sejak tahun 1922, sejak tahun pertama ia
berada di negeri Belanda.
Perkenalan
pertama itu tampaknya sangat berkesan bagi Bung Hatta, sehingga mendorongnya
untuk melakukan pengkajian secara mendalam. Selain membaca buku-buku sosialisme,
Bung Hatta juga memperluas pergaularmya dengan kalangan Partai Buruh Sosial
Demokrat (SDAP) di Belanda. Bahkan, tahun 1925, sebagai aktivis Perhimpunan Indonesia,
Bung Hatta sengaja memutuskan untuk melakukan kunjungan ke beberapa negara
Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia. Tujuannya adalah untuk
mempelajari gerakan koperasi. dari dekat (Hatta, 1981). Selepas menyelesaikan
studi di Belanda, komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan terus
berlanjut. Salah satu tulisan yang mengungkapkan konsistensi komitmen Bung
Hatta terhadap ekonomi kerakyatan adalah pamphlet yang disusunnya untuk Pendidikan
Nasional Indonesia (PNI Baru) pada tahun 1932. Dalam pamphlet yang berjudul
"Menuju Indonesia Merdeka" tersebut, Bung Hatta mengupas secara
panjang lebar mengenai pengertian kerakyatan, demokrasi., dan arti penting
demokrasi ekonomi sebagai salah satu pilar model demokrasi sosial yang cocok
bagi Indonesia merdeka, Sebagaimana ditulisnya, di atas sendi yang ketiga
(cita-cita tolong-menolong-pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi.
Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yarng mesti menguasai
penghidupan orang bariyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan
rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan.
Sebab
itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar
pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan
perwakilannya," (Hatta, 1932). Dengan latar belakang seperti itu, mudah
dimengerti bila dalam kedudukan sebagai penyusun UUD 1945, Bung Hatta berusaha
sekuat tenaga untuk memasukkan ekonomi kerakyatan sebagai prinsip dasar sistem
perekonomian Indonesia. Hal itu pula, saya kira, yang menjelaskan mengapa
setelah menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta terus mendorong
pengembangan koperasi di Indonesia. Berkat komitmen tersebut, sangat wajar bila
tahun 1947 Bung Hatta secara resmi dikukuhkan oleh Sentral Organisasi Koperasi
Rakyat Indonesia (SOKRI) sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Konsistensi
komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan itu bahkan berlanjut setelah
beliau melepaskan jabatannya sebagai wakil presiden. Sebagaimana terungkap dalam
tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita, yang diterbitkan empat tahun setelah beliau
meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden pada taliun 1956, Bung Hatta
sekali lagi mempertegas pentingnya penyelenggaraan ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi sebagai jalan dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Sebagaimana
ditulisnya, "Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan
persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi
ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum
ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial., melingkupi
seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia," (Hatta, 1960).
Mengikuti
jejak Bung Hatta dalam memperjuangkan penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan
di Indonesia, dapat disaksikan betapa Bung Hatta tidak hanya memandang ekonomi
kerakyatan sebagai amanat konstitusi. Bung Hatta telah menghayati ekonomi kerakyatan
jauh sebelum ia kembali ke Indonesia. la terus raenerus meletakkan
dasardasarnya selama masa perjuangan kemerdekaan. Bahkan ia terus pienerus
mendorong penyelenggarannya selama menjadi penguasa. Dan ia tetap meyakini
kebenarannya setelah menanggalkan kekuasaannya, yang perlu digaris bawahi
adalah, dengan dinyatakannya ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sebagai
konsep dasar sistem perekonomian Indonesia, berarti Bung Hatta dan para
penyusun UUD 1945 telah secara resmi menggeser perbincangan mengenai "ekonomi rakyat menjadi ekonomi kerakyatan”.
Tujuan
jangka pendek kebijakan itu adalah untuk menghapuskan penggolong golongan status
sosial-ekonomi masyarakat, baik berdasarkan ras maupun berdasarkan tingkat penguasaan
faktor-faktor produksi. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mengoreksi
struktur ekonomi kolonial yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda, serta
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda
perekonomian Indonesia. Tetapi karena pengembangan ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi harus dilakukan secara demokratis pula, hal itu secara tidak
langsung mengungkapkan pandangan dialektik para bapak pettdiri bangsa mengenai
hubungan antara transfonnasi politik dan transformasi ekonomi dalam mengisi
kemerdekaan Indonesia. Secara politik, penjajahan harus segera dihapuskan dari
muka bumi. Namun secara ekonomi, transformasi ekonomi harus dilakukan secara
bertahap sesuai dengan perangkat hukum yang tersedia, Adalah tugas pemerintah
Indonesia untuk secara berangsur-angsur memperbaharui perangkat hukum yang
mendasari penyelenggaraan sistem perekonomian Indonesia.
Yang
menarik, walau pun memiliki akar jauh sebelum Indonesia merdeka, perjalanan ekonomi
kerakyatan dalam pentas pemikiran ekonomi Indonesia ternyata bukanlah sebuah
perjalanan yang mudah. Dalam era 1945 - 1958, gagasan ekonomi kerakyatan cenderung
mengalami proses pasang surut. Sebagaimana diketahui, sampai dengan 1949 kaum
penjajah belum sepenuhnya rela meninggalkan Indonesia, Sementara antara 1950 -1958,
walaupun Pemilu 1955 berlangsung dengan sukses, Indonesia terlanjui' terjebak
ke dalam kancah pergulatan politik internal yang hampir tiada hentinya. Sedangkan
antara 1959-1965, yang dikenal sebagai era ekonomi dan demokrasi terpimpin itu,
di tengah-tengah situasi perekonomian Indonesia yang teras memburuk, semangat
ekonomi kerakyatan cenderung mengalami politisasi secara besar-besaran. Puncaknya
adalah pada terjadinya kudeta 30 September 1965, yaitu yang memicu terjadinya
peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto pada 11 Maret 1966.
Ekonomi
Orde Baru
Sebagai
antithesa dari era pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Soeharto yang kemudian
dikenal sebagai pemerintahan Orde Baru, menandai bergesernya bandul perekonomian
Indonesia ke sisi sebelah kanan. Hal itu
antara lain ditandai dengan diundangkannya
Undang Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No. 1/1967 dan UU Koperasi No.
12/1967. Memang, di awal Orde Baru ini gagasan ekonomi kerakyatan sempat
mencoba muncul kembali. Tetapi dalam pergulatan pemikiran yang terjadi antara kubu
ekonomi kerakyatan yang antara lain dimotori oleh Sarbini Sumawinata, dengan kubu
ekonomi neoliberal yang dimotori oleh Widjojo Nitisastro, kubu ekonomi neoliberal
muncul sebagai pemenang. Sarbini hanya sempat singgah sebentar di Bappenas pada
beberapa tahun pertama Orde Baru.
Setelah itu,
walaupun tahun 1974 Indonesia sempat diguncang oleh peristiwa Malari, perkembangan
perekonomian Indonesia di tangan teknokrat neoliberal boleh dikatakan semakin
sulit dibendung. Para teknokrat neoliberal, dengan dukungan penuh dari Dana. Moneter
Intemasional (IMF), Bank Dunia, dan negara-negara kreditur yang tergabung dalam
Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI), silih berganti memimpin perumusan
kebijakan ekonomi Indonesia. Sasaran utama mereka adalah terpeliharanya stabilitas
makro ekonomi dan tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi setinggitingginya. Untuk
itu, instrumen utamanya adalah penggalangan modal asing, baik melalui pembuatan
utang luar negeri maupun dengan mengundangnya masuknya. investasi asing
langsung. Pada mulanya prestasi teknokrat neoliberal, yang sempat dikenal
sebagai Mafia Berkeley itu, memang cukup mencengangkan. Terhitung sejak awal
Pelita I (1969 -1973), inflasi berhasil dikendalikan di bawah dua digit.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia berhasil dipacu dengan rata-rata 6,5 persen
pertahun. Implikasinya, pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang pada 1969
masih sekitar USD 90, lahun 1982 berhasil ditingkatkan menjadi USD 520. Bahkan,
di penghujung 1980-an, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan
sempat dipuji oleh Bank Dunia. Menurut lembaga keuangan multilateral yang
didirikan pada tahun 1944 tersebut, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan
patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang lainnya (World Bank,
1990), Tahun 1997, sebelum perekonomian Indonesia. ambruk dilanda oleh krisis moneter,
pendapatan perkapita penduduk Indonesia sudah berhasil ditingkatkan menjadi USD
1,020.
Dengan
mengemukakan hal itu tentu tidak berarti bahwa perjalanan ekonomi neoliberal sepanjang
era Orde Baru tidak berlangsung tanpa kritik. Salah satu kritik yang sering dialamatkan
terhadap kebijakan ekonomi yang pro pertumbuhan dan modal asing itu adalah soal
melebarnya jurang kesenjangan. Pertumbuhan ekonomi lndonesia yang cukup mengagumkan
itu, ternyata tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan penduduk.
Kesenjangan pengeluaran antara 10 persen penduduk termiskin dengan 10 persen
penduduk terkaya, meningkat dari 1 : 6,5 pada tahun 1970, meujadi 1 : 8,7 pada
tahun 1995. Salah seorang pengritik kebijakan ekonomi neoliberal yang cukup
terkemuka sepanjang tahun delapan puluhan adalah Mubyarto. Dalam pidato
pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi di Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun
1979, Mubyarto dengan tajam mengritik kebijakan ekonomi Orde Baru yang
dipandangnya sudah sangat jauh melenceng dari amanat konstitusi. Sembari
menggaris bawahi pentingnya pendekatan transdisipliner dalam pelaksanaan
pembangunan di Indonesia, Mubyarto kembali memunculkan semangat ekonomi
kerakyatan ke permukaan dengan label Ekonomi Pancasila. Namun demikian,
sebagaimana Sarbini, kritik tajam Mubyarto hilang begitu saja seperti ditelan
ombak. Bahkan, Mubyarto sendiri kemudian turut ditelan oleh 'ombak'
Kabinet
Pembangunan VI.
Kritik
lain yang mencuat terhadap kebijakan ekonomi neoliberal dalam era 1980-an adalah
mengenai merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kesenjangan ekonomi
Indonesia terayata tidak hanya disebabkan oleh adanya trade off antara pertumbuhan
dengan pemerataan. Secara empiris, hal itu ternyata diperparah oleh merajalelanya
KKN pada hampir semua tingkat birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Beberapa
tahun terakhir menjelang kejatuhan Soeharto, Indonesia praktis sudah dikenal oleh
masyarakat intemasional sebagai salah satu negara juara korupsi di dunia. Konsekuensinya,
perkoncoan penguasa-pengusaha dalam pentas ekonomi Orde Baru cenderung tampak
semakin kasat mata. Bahkan, terhitung sejak pertengahan 1980-an, keterlibatan
kerabat Cendana dalam memperebutkan kue bisnis di Indonesia mulai mencuat ke
permukaan menjadi bahan perbincangan umum. Separuh terakhir era ekonomi Orde
Baru memang ditandai oleh maraknya perbincangan mengenai perkembangan
kapitalisme perkoncoan (crony capitalism) di Indonesia. Yang tidak banyak
diketahui oleh warga masyarakat adalah soal keterlibatan para pejabat pemerintah
dan para pengusaha kroni Orde Baru itu dalam menumpuk utang luar negeri.
Selain
hidup dari fasilitas negara dan penyalahgunaan tabungan masyarakat, para pengusaha
kroni Orde Baru tersebut ternyata juga membangun kerajaan bisnis mereka dengan
cara menumpuk utang. Dengan bertumpuknya utang luar negeri sektor swasta sebesar
65 milyar dolar AS, di atas tumpukkan utang luar negeri pemerintah sebesar 54 milyar
dolar AS, dapat disaksikan betapa kebiasaan menumpuk utang luar negeri dalam era
Orde Baru, selain dilakukan oleh sektor negara, dilakukan pula oleh sektor
dunia usaha. Klimaksnya, sebagaimana berlangsung sejak pertengahan 1997,
perekonomian Indonesia tiba-tiba ambruk dihantam oleh badai krisis moneter yang
ditiupkan. oleh kekuatan kapitalisme kasino (casiho capitalism). Fundamental
ekonomi Indonesia yang dipermukaan tampak cukup meyakinkan, bagian dalamnya
temyata keropos dan menyimpan bom waktu. Selain ditandai oleh tingkat
kesenjangan ekonomi yang mencolok dan merajalelanya KKN, pertumbuhan ekonomi
Orde Baru yang rata-rata mencapai 6,5 persen tadi ternyata hanyalah pertumbuhan
ekonomi semu yang dibangun di atas fondasi tumpukan utang luar negeri.
Selanjutnya,
seiring dengan semakin merosotya nilai rupiah dan tumbangnya Soeharto, para
kroni Orde Baru yang telah terlanjur menumpuk utang luar negeri tersebut, terjungkal
satu per satu. Celakanya, antara lain melalui penerbitan obligasi
rekapitalisasi yang secara keseluruhan berjumlah sekitar Rp 650 trilyun, yaitu
yang ditujukan untuk menyelamatkan sektor perbankan, rakyat banyak yang sudah
cukup lama menderita turut mereka bawa serta. Sebagaimana diketahui, kurs rupiah
pada permulaan 1998 memang sempat merosot secara tajam dari rata-rata Rp 2.400
menjadi Rp l6.000 per satu dollar AS. Akibatya, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada tahun 1998 mengalami kontraksi secara dramatis sebesar -13,8 persen. Dengan
demikian, krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak hanya menjadi malapetaka
bagi mereka yang berkuasa dan serba punya, tetapi menjadi malapetaka pula bagi
rakyat banyak yang telah lama menderita.
Singkat
cerita, krisis ekonomi yang sempat meluas menjadi kerusuhan sosial dan politik itu,
bermuara pada melambungnya harga berbagai kebutuhan pokok rakyat, ditutupnya 16
bank atas perintah Dana Moneter Internasional (MF), bangkruIya sejumlah
perusahaan, dan meluasnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara nasional.
Bahkan, menyusul penerbitan obligasi rekapitalisasi sebesar Rp 650 trilyun
sebagaimana dikemukakan tadi, pemerintah Indonesia secara resmi terpuruk ke
dalam perangkap utang dalam dan luar negeri sebesar Rp l.300 trilyun. Di
tengah-tengah situasi seperti itu, yaitu dengan berlangsungnya proses
sistematis sosialisasi beban ekonomi negara kepada rakyat banyak, kondisi
perekonomian rakyat dengan sendirinya terpuruk semakin dalam.
Substansi Ekonomi Kerakyatan.
Pertanyaannya,
urgensi apakah sesungguhnya yang mendorong mencuatya kembali
perbincangan
mengenai ekonomi kerakyatan dalam beberapa tahun belakangan ini? Adakah hal itu
merupakan pertanda bahwa gagasan ekonomi kerakyatan akan kembali menunjukkan
taringnya dalam pergulatan pemikiran ekonomi di Indonesia? Ataukah ia hanya
akan singgah sebentar untuk kemudian pergi kembali tanpa meninggalkan bekas apa-apa?
Sebelum
menjawab pertanyaan itu, ada baiknya bila substansi ekonomi kerakyata dikemukakan
secara singkat. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, landasan konstitusional
sistem ekonomi kerakyatan adalah Pasal 33 UUD 1945. "Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan
oleh semua untuk semua di bawali pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang
seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi."
Berdasarkan bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu, dapat
disaksikan bahwa substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga
hal sebagai berikut.
Pertama,
partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional ini menempati kedudukan
yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting
untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga sebagai
dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam menikmati
hasil produksi nasional. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945
yang menyatakan, "Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian."
Kedua,
partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional.
Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota
masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan
anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang
menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin
dan anak-anak terlantar di Indonesia.
Ketiga,
kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung
di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam
rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh
hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan
agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walaupun kegiatan pembentukan
produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan
angota-anggota masyarakat.
Unsur
ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang ketiga tersebut saya kira perlu digarisbawahi.
Sebab unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itulah yang mendasari perlunya
partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau
faktor-faktor produksi nasional. Perlu diketahui, yang dimaksud dengan modal
dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material
capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capitaf) dan modal
institusional (institusional capital).
Sebagai
konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk
secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut
secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan modal
material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak
kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua
anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat
yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok
menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara
mereka. Sehubungan dengan modal intelektual, negara wajib menyelenggarakan
pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan
atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung
dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak
swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan
kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi
seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
Sementara
itu, sehubungan dengan modal institusional, saya kira tidak ada keraguan sedikit
pun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat
untuk. berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu
diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan
Undang-undang." Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat,
berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk
serikat-serikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat
ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan bagi negara untuk meniadakan
hak anggota masyarakat untuk membentuk serikat-serikat ekonomi seperti serikat
tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha kecil-menengah, serikat
kaum miskin kota dan berbagai bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan
koperasi.
Bertolak
dari uraian tersebut, dapat disaksikan bahwa tujuan utama ekonomi kerakyatan pada
dasarnya adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya
roda perekonomian. Bila tujuan utama ekonomi kerakyatan itu dijabarkan lebih lanjut,
maka sasaran pokok ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya meliputi lima hal berikut:
1. Tersedianya
peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota
masyarakat.
2. Terselenggaranya
sistem jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir
miskin dan anak-anak terlantar.
3. Terdistribusikannya
kepemilikan modal material secata relatif merata di antara anggota masyarakat.
4. Terselenggaranya
pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setia anggota
masyarakat.
5. Terjaminnya
kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan
menjadi anggota serikat-serikat ekonomi.
Sejalan dengan
itu, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, negara memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Peranan
negara tidak hanya terbatas sebagai pengatur jalannya roda perekonomian. Melalui
pendirian Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu untuk menyelenggarakan
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak, negara dapat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan
berbagai kegiatan ekonomi tersebut. Tujuannya adalah untuk menjamin agar
kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakinuran orang seorang,
dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke taugan orang seorang, yang memungkinkan
ditindasnya rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.
Walau pun
demikian, sama sekali tidak benar jika dikatakan bahwa system ekonomi kerakyatan
cenderung mengabaikan efisiensi dan bersifat anti pasar. Efisiensi dalam sistem
ekonomi kerakyatan tidak hanya dipahami dalam perspektif jangka pendek dan berdimensi
keuangan, melainkan dipahami secara komprehensif dalam arti memperhatikan baik
aspek kualitatif dan kuantitatif, keuangan dan non-keuangan, maupun aspek
kelestarian lingkungan. Politik ekonomi kerakyatan memang tidak didasarkan atas
pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas, melainkan atas keadilan, partisipasi,
dan keberlanjutan. Mekanisme alokasi dalam sistem ekonomi kerakyatan, kecuali
untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak, tetap di dasarkan atas mekanisme pasar. Tetapi mekanisme pasar
bukan satu-satunya. Selain melalui mekanisme pasar, alokasi juga didorong untuk
diselenggaran melalui mekanisme usaha bersama (koperasi). Mekanisme pasar dan
koperasi dapat. diibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama
dalam mekanisme alokasi sistem ekonomi kerakyatan.
Dalam rangka itu, sejalan dengan amanat penjelasan pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan
pasar dan koperasi dalam sistem ekonomi kerakyatan harus dilakukan dengan terus
menerus melakukan penataan kelembagaan, yaitu dengan cara memeratakan penguasaan
modal atau faktor-faktor produksi kepada segenap lapisan anggota maisyarakat.
Proses sistematis untuk mendemokratisasikan penguasaan faktor-faktor produksi
atau peningkatan kedaulatan ekonomi rakyat inilah yang menjadi substansi sistem
ekonomi kerakyatan (lihat Dahl, 1992). Dilihat
dari sudut Pasal 33 UUD 1945, keikutsertaan anggota masyarakat dalam memiliki faktor-faktor
produksi itulah antara lain yang menyebabkan dinyatakannya koperasi sebagai
bangun perusahaan yang sesuai dengan sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana diketahui,
perbedaan koperasi dari perusahaan perseroan terletak pada diterapkannya prinsip
keterbukaan bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha
yang dijalankan oleh koperasi untuk turut menjadi anggota koperasi (Hatta,
1954, hal. 218). Sehubungan dengan itu, Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta,
berulangkali menegaskan bahwa pada koperasi memang terdapat perbedaan mendasar
yang membedakannya secara diametral dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Di
antaranya adalah pada dihilangkannya pemilahan buruh-majikan, yaitu
diikutsertakannya buruh sebagai pemilik perusahaan atau anggota koperasi. Sebagaimana
ditegaskan oleh Bung Hatta, "Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada
buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan
bersama" (Ibid, hal. 203}.
Penegasan
seperti itu diuraikan lebih lanjut oleh Bung Hatta dengan mengemukakan beberapa
contoh, "Misalnya koperasi menggaji bumn untuk menyapu ruangan bekerja, supaya
anggota-anggota yang bekerja jangan terganggu kesehatannya oleh debu. Umpamanya
pula koperasi menggaji instruktur untuk mengajar dan memberi petunjuk tentang
cara mengerjakan administrasi dan pembukuan kepada anggota yang diserahi dengan
pekerjaan itu. Sungguh pun demikian, juga terhadap mereka yang memburuh itu, yang
mengerjakan pekerjaan kecil-kecil, koperasi harus' membuka kesempatan untuk menjadi
anggota. Bukan corak pekerjaan yang dikerjakan yang menjadi ukuran untuk menjadi
anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung
dalam dada dan kepala masing-masing" (Ibid., hal. 215). Berdasarkan
ilustrasi Bung Hatta itu, kiranya jelas, karakter utama ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi pada dasamya terletak pada dihilangkannya watak individualistis
dan kapitalistis dari wajah perekonomian Indonesia. Secara mikro hal itu antara
lain berarti diikutsertakannya pelanggan dan buruh sebagai anggota koperasi
atau pemilik perusahaan. Sedangkan secara makro hal itu berarti ditegakkannya
kedaulatan ekonomi rakyat dan diletakkannya kemakmuran masyarakat di atas
kemakmuran orang seorang.
Pendek
kata, dengan diangkatya ekonomi kerakyatan sebagai prinsip penyelenggaraan ekonomi
Indonesia, prinsip itu dengan sendirinya tidak hanya memiliki kedudukan penling
dalam menentukan corak sistem perekonomian yang harus diselenggarakan oleh pemerintah
pada tingkat makro. la juga memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menentukan
corak perusahaan yang sepatuIya dikembangkan pada tingkat mikro. Penegakan
kedaulatan ekonomi rakyat dan pengutamaan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran
orang seorang, hanya dapat dilakukan dengan menerapkan dan mengamalkan priusip
tersebut.
Urgensi
Ekonomi Kerakyatan
Sebagai
sebuah paham dan sistem ekonomi yang bermaksud menegakkan kedaulatan rakyat
dalam bidang ekonomi, tentu sangat wajar bila ekonomi kerakyatan cenderung mendapat
perlawanan dari berbagai kalangan. Bagi para penganut kapitalisme neoliberal, misalnya,
gagasan ekonomi kerakyatan tidak hanya dipandang tidak sejalan dengan
teoriteori ekonomi yang telah mereka yakini, tetapi juga cenderung dipandang
sebagai ancaman serius terhadap pemenuhan kepentingan-kepentingan pribadi
mereka. Terdapat berbagai argumen yang sering dilontarkan oleh para penghayat
kapitalisme neoliberal untuk melecehkan ekonomi kerakyatan. Mereka yang
bergerak dalam dunia akademis biasanya akan segera mengatakan bahwa ekonomi
kerakyatan hanyalah sebuah jargon politik, tidak ada dalam teks book, dan tidak
ada coritohnya dalam dunia nyata. Sementara mereka yang bergerak di sektor
dunia usaha, cenderung mengasosiasikan ekonomi kerakyatan dengan sistem ekonomi
sosialis otoriter ala Uni Soviet yang sudah bangkrut itu.
Agak
berbeda dari para penghayat paham kapitalisme neoliberal adalah mereka yang bersimpati
terhadaip substansi ekonomi kerakyatan, tetapi tidak yakin terhadap peluang penerapannya.
Kelompok yang tergolong ragu-ragu ini biasanya menganggap ekonomi kerakyatan
sebagai sebuah gagasan idealis yang tidak realistis. Menurut mereka, ditengah-tengah
hegemoni kapitalisme noeliberal yang ditandai oleh berlangsungnya dominasi
kapitalisme kasino seperti saat ini, bagaimana mungkin ekonomi kerakyatan dapat
diselenggarakan? Perlawanan dan keragu-raguan terhadap ekonomi kerakyatan
adalah hal yang wajar.
Sebagai
sebuah paham dan sistem ekonomi, setidak-tidaknya dalam jangka pendek, ekonomi
kerakyatan memang tidak bermaksud membahagiakan semua kalangan. Artinya, walau
puri dalam jangka panjang ekonomi kerakyatan menjanjikan kondisi perekonomian
yang lebih berkeadilan, dalam jangka pendek ia adalah ancaman yang sangat
serius bagi mereka yang telah merasa sangat diuntungkan oleh sistem ekonomi
kapitalis neoliberal. Sehubungan dengan itu, mungkin ada baiknya bila
dikemukakan secara singkat argumentasi yang melatar belakangi pentingnya pelaksanaan
demokratisasi modal atau demokratisasi penguasaan faktor-faktor produksi dalam
rangka penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan. Selain didasarkan pada motivasi
untuk menciptakan keadilan ekonomi, secara politik, demokratisasi modal atau
demokratisasi penguasaan faktor-faktor produksi adalah pilar penting bagi
sistem demokrasi sosial Indonesia untuk menjamin terselenggaranya demokrasi
politik dalam arti yang sebenarnya (Hatta, 1960). Dalam pandangan ekonomi
kerakyatan, demokrasi politik saja tidak mencukupi bagi
rakyat
banyak untuk mengendalikan jalannya roda perekonomian. Sebab, sebagaimana berbagai
bidang kehidupan lainnya, persaingan politik sangat tergantung pada modal.
Dengan
demikian, walau pun suatu masyarakat telah memiliki kelembagaan politik yang secara
prosedural tergolong demokratis, letapi faktor modal akan tetap memainkan peranan
sangat penting dalam mempengaruhi pilihan-pilihan politik masyarakat. Sebagaimana
pemah dikemukakan oleh Gramsei (dalam Sugiono, 1999), sesungguhnya para pemodal
besar tidak hanya cenderung memanfaatkan negara sebagai sarana untuk membela
kepentingan kelas mereka. Melalui kekuatan modal yang mereka miliki, demokrasi
pun cenderung mereka pakai sekedar sebagai sarana untuk melestarikan posisi dominan
mereka di tengah-tengah masyarakat. Hal itu mereka lakukan baik dengan memberi
dukungan modal material terhadap kandidat atau partai politik yang memperjuangkan
kepentingan-kepentingan kelas mereka, menghambat proses penguatan modal
institusional pada kelompok masyarakat yang
mereka eksploitasi, maupun dengan cara menguasai dan memanipulasi informasi serta
dengan cara mengkomersialkan penyelenggaraan pendidikan. Untuk menghadapi
kelicikan para pemodal besar tersebut, tidak ada pilihan lain bagi rakyat
banyak seperti kaum buruh, kaum tani, kaum nelayan, usaha kecil-menengah, dan kaum
miskin kota, kecuali berusaha mempersenjatai diri mereka dengan modal material yang
cukup, kemampuan intelektual yang memadai, dan terutama sekali modal institusional
yang kuat.
Upaya
untuk mempersenjatai diri dengan ketiga jenis modal tersebut jelas tidak mungkin
diperoleh secara cuma-cuma. la memerlukan perjuangan. Jika dilihat berdasarkan perspektif
pemenuhan hak azasi manusia, terutama hak-hak ekohomi, rakyat banyak pada dasarnya
memiliki hak untuk menuntut kepada negara agar memfasilitasi proses penguasaan
ketiga jenis modal atau faktor produksi tersebut. Sebagai misal, sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, adalah dengan menuntut penyediaan. peluang kerja dan penghidupan
yang layak, serta penyelenggarakan pendidikan cuma-cuma bagi seluruh anggota
masyarakat. Dengan latar belakang seperti itu, sebagaimana halnya kapitalisme
neoliberal, ekonomi kerakyatan bukanlah sebuah paham dan sistem ekonomi. Selain
merupakan sebuah paham dan sistem ekonomi, ekonomi kerakyatan adalah gerakan
politik yang secara tegas memihak pada pemberdayaan kelompok masyarakat yang
terpinggirkan dalam sistem ekonomi kapitalis neoliberal, khususnya dari
dominasi para pemodal besar yang memang memiliki watak untuk secara terus
menerus meminggirkan mereka.
Tujuan
utama paham dan sistem ekonomi kerakyatan, berbeda dari sistem ekonomi sosialias
otoriter yang pernah dijalankan di Uni Sovyet, bukanlah untuk membasmi para pemodal
besar. Tujuan utama ekonomi kerakyatan adalah untuk menciptakan kondisi ekonomi
dan politik yang demokratis dan berkeadilan dalam arti yang sebenar-benarnya. Dengan
meningkatya penguasaan modal atau faktor-faktor produksi oleh segenap lapisan anggota
masyarakat, dan dengan meningkatnya kemampuan mereka dalam mengendalikan
jalannya roda perekonomian, maka penyalahgunaan demokrasi sebagai sarana untuk
memperoleh legitimasi oleh para pemodal besar diharapkan akan dapat dihindari. Berangkat
dari substansi dan urgensi sistem ekonomi kerakyatan sebagaimana dikemukakan
tersebut, beberapa hal mudah-mudahan kini menjadi lebih jelas, terutama bagi
mereka yang selama ini masih ragu-ragu terhadap kemungkinan penyelenggaraan
sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.
Pertama,
sebagai sebuah paham, ekonomi kerakyatan bukanlah sebuah paham yang bersifat
apolitis. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ekonomi kerakyatan juga berperan
sebagai gerakan politik untuk mencegah berlanjutya kesewenang-wenangan para
pemodal .besar, termasuk kesewenang-wenangan kekuatan modal internasional dan lembaga-lembaga
keuangan dan perdagangan multilateral seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO.
Kedua,
jika dilihat dari segi konstituennya, konstituen utama ekonomi kerakyatan adalah
kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam sistem ekonomi kapitalis neoliberal.
Dalam garis besarnya mereka terdiri dari kaum buruh, kaum tani, kaum nelayan,
pegawai negeri golongan bawah, usaha kecil-menengah, dan kaum miskin kota. Di
luar kelima kelompok besar tersebut tentu terdapat berbagai kelompok masyarakat
lainnya yang dapat pula digolongkan sebagai kelompok teipinggirkan (kaum
musiad'afiri) dalam sistem ekonomi kapitalis neoliberal.
Ketiga,
jika dilihat dari musuh strategisnya, musuh utama gerakan ekonomi kerakyatan terdiri
dari para penguasa negara-negara industri pemberi ulang, perusahaan-perusahaan multinasional
dan transnasional (MNC dan IC), lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan mulitateral
yang menjadi agen utama penyebarluasan kapitalisme neoliberal, para penguasa
negara yang menjadi kaki tangan kepentingan para pemodal besar, dan para
pemodal besar domestik yang menghalang-halangi upaya perwujudan sistera ekonomi
kerakyatan. Orientasi ekonomi kerakyatan pada penciptaan kondisi ekonomi dan
politik yang demokratis dan berkeadilan tersebut tentu sangat bertentangan
dengan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat yang telali merasa sangat
diuntungkan oleh sistem perekonomian yang sedang berjalan. Artinya, dengan
orientasi seperti itu, tantangan yang dihadapi oleh ekonomi kerakyatan pada
dasarnya tidak hanya karena ia sekedar jargon politik, atau karena ia tidak
ditemukan dalam teksbook, melainkan karena penyelenggaraannya merupakan ancaman
bagi kesinambungan dominasi kelompok yang berkuasa. dan serba punya dalam
mengendalikan jalannya roda perekonomian Indonesia. Dalam konteks situasi
perekonomian Indonesia ssat ini, secara keseluruhan, tantangan, terbesar yang
dihadapi oleh ekonomi kerakyatan terutama datang dari dua pihak. Pertama, dari
kelompok masyarakat yang selama ini telah sangat diuntungkan oleh kapitalisme
perkoncoan (crony capitalism) yang diselenggarakan oleh Orde Baru. Walaupun
secara formal Orde Baru telah berhasil disingkirkan, tetapi praktik KKN masih
terus merajalela. Bahkan, ada indikasi bahwa dalam era multi partai sekarang
ini, berlangsung proses demokratisasi dalam pelaksanaan KKN di Indonesia.
Sebagaimana ditengarai oleh lembaga Transparency International yang berkedudukan
di Jerman, tahun 2002 Indonesia masih menempati urutan ketujuh sebagai negara
juara korupsi. Tetapi tahun 2003, posisi Indonesia justru naik ke urutan
keenam.
Kejahatan
ekonomi-politik yang sebagian besar melibatkan para pejabat negara dan para pemodal
besar tersebut, tentu merupakan kenikmatan tersendiri yang diwariskan Orde Baru,
yang tidak mudah untuk dihapus begitu saja. Para pejabat negara yang telah bertahun-tahun
menikmati rasa manis kapitalisme perkoncoan tersebut tentu akan mempertahankan
sistem itu sekuat tenaga. Demikian halnya dengan para pengusaha perkoncoan atau
para kroninya. Banyak cara yang dapat mereka tempuh dalam mempertahankan posisi
dominan mereka miliki, termasuk dengan menyelinap dan menelikung proses
transisi demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Kedua, dari jaringan
kekuatan modal intemasional, khususnya dari kekuatan kapitalisme kasino yang
ingin mencengkeram dan menghisap perekonomian Indonesia.
Walau
pun selama Orde Baru kekuatan modal intemasional ini sudah hadir di sini,
tetapi ketika itu mereka terpaksa harus berbagi dengan Soeharto dan para
kroninya. Kini, setelali berakhimya kekuasaan Soeharto, mereka berusaha sekuat
tenaga untuk memiliki arena bermain yang lebih leluasa untuk mengekploitasi dan
menguras kekayaan Indonesia. Celakanya, Orde Baru telah mewariskan utang luar
negeri yang sangat besar jumlahnya terhadap rakyat Indonesia. Bahkan, untuk
menyelamatkan perekonomian Indonesia dari kehancuran yang lebih drastis,
Soeharto telah secara resmi mengundang IMF untuk menjadi 'dokter penyelamat'
perekonomian Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia yang terlanjur terjebak dalam
perangkap utang luar negeri sebesar hampir 130 milyar dolar AS itulah terutama
yang dicoba dimanfaatkan oleh jaringan kekuatan modal internasional untuk
memaksakan penyelenggaraan sistem ekonomi kapitalis neoliberal di negeri ini.
Sebagaimana
berlangsung beberapa tahun belakangan ini, menyusul penanda tanganan letter of
intent (LOI) oleh pemerintah Indonesia, negeri ini dipaksa oleh IMF untuk menyelenggarakan
sejumlah agenda kapitalisme neoliberal yang dikenal sebagai paket program
penyesuaian struktural (structural adjustment program). Pelaksanaan paket program
penyesuaian struktural yang dikenal pula sebagai paket kebijakan Konsensus - Washington
itulah yang kita saksikan melalui pelaksanaan kebijakan uang ketat dan penghapusan
subsidi, liberalisasi keuangan dan perdagangan, serta dalam pelaksanaan privatisasi
BUMN di Indonesia.
Di
tengah-tengah situasi perekonomian Indonesia yang tengah menjadi ajang rebutan antara
oligarki kekuatan kapitalisme perkoncoan Orde Baru dan kekuatan kapitalisme internasional
itu, jelas tidak ada pilihan lain bagi rakyat Indonesia, kecuali segera merapatkan
barisan untuk memperjuangkan penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan secepatya.
Amanat Ketetapan Majelas Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) No. IV/1999) untuk menyelenggarakan
sistem ekonomi kerakyatan, harus benar-benar dimanfaatkan oleh seluruh rakyat
Indonesia untuk mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan secepatya.
Agenda
Ekonomi Kerakyatan
Dalam
rangka ilu, agar ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat wacana, sejumlah
agenda kongkret ekonomi kerakyatan harus segera diangkat kepermukaan. Dalam
garis besarnya terdapat tujuhi agenda pokok ekonomi kerakyatan yang perlu
mendapat perhatian. Ketujuhnya adalah inti dari politik ekonomi kerakyatan dan
merupakan titik masuk untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan dalam jangka
panjang. Pertama, memperjuangkan penghapusan sebagian utang
luar negeri Indonesia sebagai upaya untuk mengurangi tekanan terhadap belanja
negara dan neraca pembayaran.
Penghapusan
utang luar negeri terutama perlu dilakukan terhadap utang luar negeri yang tergolong
sebagai utang najis (odious debt), yaitu utang luar negeri yang proses pembuatannya
sarat dengan manipulasi para kreditur, sedangkan pemanfaatannya cenderung
diselewengkan oleh para pejabat yang berkuasa untuk memperkaya diri mereka
sendiri (Adam.) Selanjutnya, pembuatan utang luar negeri baru perlu dihentikan,
sebab selain ini ia lebih banyak ditujukan untuk menjaga keseimbangan neraca
pembayaran dan òmembangun berbagai proyek yang bersifat memfasilitasi penanaman
modal asing di sini. Selain tidak bermanfaat bagi peningkatan kemakmuran
rakyat, pembuatan utang luar negeri baru hanya akan menyebabkan semakin
dalamnya perekonomian Indonesia terpuruk ke dalam perangkap utang. Kedua, meningkatkan disiplin pengelolaan keuangan negara dengan tujuan untuk memerangi
KKN dalam segala dimensinya. Salah satu tindakan yang perlu diprioritaskan dalam
hal ini adalah penghapusan dana-dana non-bujeter yang lersebar secara merata pada
hampir semua instansi pemerintah. Melalui peningkatan disiplin pengelolaan keuangan
negara ini, diharapkan tidak hanya dapat diketahui volume pendapatan dan belanja
negara yang sesungguhnya, tetapi nilai tambah dari berbagai komponen keuangan negara
itu terha'dap peningkatan kilalitas pelayanan publik dapat ditingkatkan pula.
Sehubungan
dengan itu, peranan negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945, wajib dipertahankan. Peranan ekonomi negara
tidak hanya terbatas sebagai pembuat dan pelaksana peraturan. Melalui pengelolaan
keuangan negara yang disiplin, negara selanjutya memiliki kewajiban dalam memenuhi
hak-hak dasar ekonomi setiap warga negara. Prioritas peranan negara dalam hal
ini adalah dalam menanggulangi kemiskinan, menyediakan peluang kerja, dan meningkatkan
kualitas pelayanan publik bagi setiap anggota masyarakat. Ketiga, mendemokratisasikan
pengelolaan BUMN. Sebagaimana diketahui pengelolaan BUMN selama ini cenderung
didominasi oleh para pejabat pemerintah pusat. Dominasi para pejabat
pemerintah ini tidak hanya berakibat pada buruknya kualitas pelayanan BUMN,
tetapi teratama berdampak pada berubah BUMN menjadi objek sapi perah para penguasa.
Dengan latar belakang seperti itu, alih-alih tumbuh menjadi badan usaha meringankan
beban keuangan negara, BUMN justru hadir sebagai badan usaha yang menggerogoti
keuangan negara. Untuk mengakhiri hal itu, solusinya bukanlah dengan melakukan
privatisasi BUMN, tetapi dengan mendemokratisasikan pengelolaannya. Tiga hal
yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah sebagai berikut. Pertama, otonomi
penyelenggaraan BUMN dari birokrasi pemerintahan, yaitu dengan melimpahkannya
kepada sebuah badan otonom yang secara khusus dibentuk sebagai penyelenggara BUMN.
Kedua, peningkatan peranan serikat pekerja dalam penyelenggaraan BUMN, baik
dengan secara langsung mengikutsertakan pekerja sebagai pemilik saham BUMN,
atau raemberi hak suara kepada. para pekerja BUMN melalui penerbitan Undang
Undang. Ketiga, khusus bagi BUMN yang bergerak dalam bidang eksplorasi
sumberdaya alam, keikutsertaan pemerintah daerah dalam kepemilikan perlu dipertimbangkan
(Baswir, 2003}. Keempat, peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan
negara dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini terutama
harus diselenggarakan dengan melakukan pembagian pendapatan (revenue and tax
sharring), yaitu dengan memberikan hak kepada pemerintah daerah untuk turut
secara langsung dalam pengumpulan berbagai jenis pajak yang selama ini
dimonopoli oleh pemerintah pusat Bahkan, untuk jenis-jenis pajak terteritu
seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), hak pungut sebaiknya langsung . diserahkan
kepada pemerintah daerah. Kelima, pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar
para pekerja serta peningkatan partisipasi para pekerja dalam penyelenggaraan
perusahaan. Sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, setiap warga
negara Indonesia tidak hanya berhak mendapatkan pekerjaaan, tetapi juga berhak
mendapatkan penghidupan yang layak bordasarkan kemanusiaan. Dalam rangka itu,
peningkatan partisipasi pekerja dalam penyelenggaraan perusahaan (demokrasi di
tempat kerja), yang antara lain dapat dimulai dengan menyelenggarakan program kepemilikan
saham bagi para pekerja (employee stock option program), adalah bagian integral
dari proses pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar para pekerja tersebut.
Keenam,
pembatasan penguasaan dan redistribusi
pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap. Penguasaan lahan
pertanian secara berlebihan yang dilakukan oleh segelintir pejabat, konglomerat,
dan petani berdasi sebagaimana berlangsung saat ini harus segera diakhiri.
Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA 1960, negara berhak
mengatur peruntukan, penggunaan, persediaaan, dan pemeliharaan lahan pertanian
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil pengambilalihan lahan pertanian
ini, ditambah dengan ribuan hektar lahan pertanian di bawah penguasaan negara
lainnya, harus diredistribusikan kembali kepada para petani penggarap yang
memang menggantungkan kelangsungan hidup segenap anggota keluarganya dari
mengolah lahan pertanian. Ketujuh, pembaharuan UU koperasi dan pembentukan
koperasi-koperasi sejati dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan. Koperasi
sejati tidak sama dengan koperasi 'persekutuan majikan' ala Orde Baru yang
kennggolaannya bersifat tertutup dan dibatasi pada segelintir pemilik modal
sebagaimana saat ini banyak terdapat di Indonesia (Baswir, 2000). Koperasi
sejati adalah koperasi yang modalnya dimiliki secara bersama-sama oleh seluruh
konsunien dan karyawan koperasi itu. Dengan kata lain, koperasi sejati adalah koperasi
yang tidak mengenal diskriminasi sosial, agama, ras, dan antar golongan dalam menentukan
kriteria keanggotaamya. Dengan berdirinya koperasi-koperasi sejati, pemilikan
dan pemanfaatan modal dengan sendirinya akan langsung berada di bawah kendali
anggota masyarakat. Sebagai penutup perlu dikemukakan bahwa peningkatan
kesejahteraan rakyat dalam rangka sistem ekonomi kerakyatan, berbeda dari
kebiasaan selama ini, tidak didasarkan pada paradigma lokomotif. Tetapi
berdasarkan paradigma fondasi.
Artinya,
peningkatankesejahteraan rakyat dalam rangka sistem ekonomi kerakyatan tidak
lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat, pasar ekspor, modal asing, dan
dominasi perusahaanperusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah
daerah, sumberdaya domestik, partisipasi para pekerja, usaha pertanian rakyat,
serta pada pengembangan koperasi sejati, yaitu yang berfungsi sebagai fondasi
penguatan dan peningkatan kedaulatan ekonomi rakyat. Di tengah-tengah situasi
perekonomian dunia yang dikuasai oleh kekuatan kapitalisme kasino seperti saat
ini, kekuatan pemerintah daerah, sumberdaya dan pasar domestik, partisipasi
para pekerja, usaha-usaha pertanian rakyat, serta jaringan koperasi sejati,
sangat diperlukan sebagai fondasi tahan gempa keberlanjutan perekonomian Indonesia.
Di atas fondasi ekonomi tahan gempa itulah selanjutya sistem ekonomi kerakyatan
yang berkeadilan, partisipatif, dan berkelanjutan akan diselenggarakan.
Dengan
melaksanakan ketujuh agenda ekonomi kerakyatan tersebut, inudah mudahan bangsa
Indonesia tidak hanya mampu keluar dari krisis, tetapi sekaligus mampu mewujudkan
masyarakat yang adil-makmur sebagaimana pernah dicita-citakan oleh para Bapak
Pendiri Bangsa. Ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang
berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah
sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan
(popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang
dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya terutama meliputi sektor
pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan
kepentingan masyarakat lainnya.
Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi
definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis
kehidupan masyarakat local dalam mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan
ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal
dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan
ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan,
perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya
serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut
dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya
ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya
sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang
ada.
Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya
alternatif dari para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang
dialami oleh negara negara berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan teori
pertumbuhan. Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di
negara negara kawasan Eropa ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di
sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan
tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata
banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil
pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang
berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini,
akhirnya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang
bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan
prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang
berintikan pada manusia pelakunya.
Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan berbagai
kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Dari pernyataan tersebut
jelas sekali bahwa konsep, ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya untuk
lebih mengedepankan masyarakat. Dengan kata lain konsep ekonomi kerakyatan
dilakukan sebagai sebuah strategi untuk
membangun kesejahteraan dengan lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat. Sebagai suatu jejaringan, ekonomi kerakyatan diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga “lembaga bisnis internasional, Ekonomi kerakyatan dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik. Ekomomi kerakyatan sebagai antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi berbasis produksi masal ala Taylorism. Dengan demikian Ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala ekonomi dan efisien yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat, skala besar kemandirian ekonomi rakyat, skala besar dengan pola pengelolaan yang menganut model siklus terpendek dalam bentuk yang sering disebut dengan pembeli .
membangun kesejahteraan dengan lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat. Sebagai suatu jejaringan, ekonomi kerakyatan diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga “lembaga bisnis internasional, Ekonomi kerakyatan dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik. Ekomomi kerakyatan sebagai antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi berbasis produksi masal ala Taylorism. Dengan demikian Ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala ekonomi dan efisien yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat, skala besar kemandirian ekonomi rakyat, skala besar dengan pola pengelolaan yang menganut model siklus terpendek dalam bentuk yang sering disebut dengan pembeli .
Berkaitan dengan uraian diatas, agar sistem ekonomi
kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat wacana, sejumlah agenda konkret
ekonomi kerakyatan harus segera diangkat kepermukaan. Secara garis besar ada
lima agenda pokok ekonomi kerakyatan yang harus segera diperjuangkan. Ketujuh
agenda tersebut merupakan inti dari poitik ekonomi kerakyatan dan menjadi titik
masuk ( entry point) bagi terselenggarakannya system ekonomi kerakyatan dalam
jangka panjang dan peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan
utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala
bentuknya; Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme ; persaingan
yang berkeadilan (fair competition) ; Peningkatan alokasi sumber-sumber
penerimaan negara kepada pemerintah daerah.; Penguasaan dan redistribusi
pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap ; Pembaharuan UU Koperasi dan
pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan. Yang
perlu dicermati peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi
kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma
fondasi. Artinya, peningkatan kesejahteraan tak lagi bertumpu pada
dominasi pemerintah pusat, modal asing dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, persaingan yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera peran koperasi sejati, yang diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat. Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat
merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang ada saat ini adalah lebih merupakan alat control birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan
ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat kampung dan Distrik bisadimulai dengan pendemokrasian pratana sosial politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di tingkat Distrik untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.
dominasi pemerintah pusat, modal asing dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, persaingan yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera peran koperasi sejati, yang diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat. Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat
merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang ada saat ini adalah lebih merupakan alat control birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan
ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat kampung dan Distrik bisadimulai dengan pendemokrasian pratana sosial politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di tingkat Distrik untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.
Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dimaksudkan untuk penggalian
potensi-potensi kemandirian dan pengembangan ekonomi Rakyat melalui
pemberdayaan dan pengembangan ekonomi strategis dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam/Agraria secara Adil dan Berkelanjutan, yang berlandaskan pada subtansi
yang dimaknai bahwa Pengembangan Ekonomi Kerakyatan berlandaskan pada ”
Alat Produksi/Faktor Produksi dan Proses Produksi ” tetap berada dalam
penguasaan, kontrol dan pengelolaan rakyat.
- Mengembangkan ekonomi strategis berbasis potensi lokal berdasarkan akar budaya/local wisdom – kearifan lokal masyarakat.
- Menumbuhkembangkan model-model pengembangan ekonomi berbasis rakyat atas dasar keswadayaan dan kemandirian.
- Penguatan – penguatan institusi dan kelembagaan ekonomi masyarakat dalam rangka menumbuhkan sistem perekonomian kolektif dan penguatan permodalan secara swadaya dan mandiri.
0 komentar