Open top menu
Selasa, 25 Maret 2014
no image



BAB  I
PENDAHULUAN


Pada dasarnya manusia hidup didunia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan, ketenangan, ketentraman hati, dan terpenuhinya kebutuhan rohani dan jasmaninya. Maka manusia akan selalu memikirkan untuk mendapatkan itu semua, sebuah pencarian kesempurnaan hidup dan kehidupan. Sebenarnya, setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali ia sendiri tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak mampu diketahuinya, lambat-laun mulai terbuka di hadapannya. Semakin dalam ia berpikir, semakin bertambahlah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Seseorang yang tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani sebuah kehidupan yang penuh kepalsuan dan kesesatan.
Akibatnya ia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan alam, dan arti keberadaan dirinya di dunia. Padahal, Allah telah menciptakan segala sesuatu untuk sebuah tujuan sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya." Banyak yang beranggapan bahwa untuk "berpikir secara mendalam", seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap "berpikir secara mendalam" sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan "filosof". Padahal, sebagaimana telah disebutkan di atas, Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" Yang ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir.













BAB  II
LANDASAN  TEORI

A.      Hakekat Manusia
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah.

Membicarakan tentang manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat bergantung metodologi yang digunakan dan terhadap filosofis yang mendasari. Para penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo volens (makhluk berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku interaksi antara komponen biologis (id), psikologis (ego), dan sosial (superego). Di dalam diri manusia tedapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai).

Para penganut teori behaviorisme menyebut manusia sebagai homo mehanibcus (manusia mesin). Behavior lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (aliran yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan subjektif dan psikoanalisis (aliran yang berbicara tentang alam bawa sadar yang tidak nampak). Behavior yang menganalisis prilaku yang Nampak saja. Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek.

Para penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berpikir). Menurut aliran ini manusia tidak di pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya, makhluk yang selalu berfikir. Penganut teori kognitif mengecam pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa. Padahal berpikir , memutuskan, menyatakan, memahami, dan sebagainya adalah fakta kehidupan manusia.

Dalam Al-Quran istilah manusia ditemukan 3 kosa kata yang berbeda dengan makna manusia, akan tetapi memilki substansi yang berbeda yaitu kata basyar, insan dan al-nas. Kata basyar dalam al-quran disebutkan 37 kali salah satunya al-kahfi : “innama anaa basyarun mitlukum...” (sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu). Kata basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis, seperti asalnya dari tanah liat, atau lempung kering (al-hijr : 33 ; al-ruum : 20), manusia makan dan minum (al-mu’minuum : 33).

Kata insan disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 65 kali, diantaranya (al-alaq : 5), yaitu “allamal insaana maa lam ya’..”. (dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya). Konsep islam selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dfan memikul amanah (al-ahzar : 72). Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.

Kata al-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti al-zumar : 27 “walakad dlarabna linnaasi fii haadzal quraani min kulli matsal” (sesungguhnya telah kami buatkan bagi manusia dalam Al-Quran ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau secara kolektif.

Dengan demikian Al-Quran memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Manusia sebagai basyar, diartikan sebagai makhluk sosial yang tidak biasa hidup tanpa bantuan orang lain dan atau makhluk lain.
Manusia bukan saja makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri, tetapi juga menghadapi masalah lain, seperti halnya menghadapi kesulitan. Ia mengolah diri sendiri serta dapat mengangkat, merendahkan, atau menjatuhkan diri sendiri. Ia berjarak dan namun juga bersatu terhadap diri sendiri. Manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Ia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak. Manusia selaluterlibat dalam sebuah situasi. Situasi tersebut berubah dan mengubah manusia. Berdasarkan dinamika tersebut, manusia mampu mengukir sejarah. ( Sarwoko Soemowinoto. 2008. Hal:62 ).
Di dalam dunia kehidupan terkhusus dalam pendidikan, konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam kerangka berpikir dari seorang pemikir. Sebab ia termasuk bagian dari pandangan hidup. Karena itu, meskipun manusia tetap diakui sebagai misteri yang tidak pernah dapat dimengerti secara tuntas, keinginan untuk mengetahui hakikatnya ternyata tidak pernah berhenti. Menurut R.G. Collingwood konsep manusia penting bukan demi pengetahuan akan manusia itu saja, tetapi yang lebih penting adalah karena ia merupakan syarat bagi pembenaran kritis dan landasan yang aman bagi pengetahuan-pengetahuan manusia. Di dalam sejarah pemikiran islam, pandangan yang mendasar tentang manusia ditemukan pada filsafat dan tasawuf. Namun, menurut Muhammad Yasir Nasution pengaruh Fuqaha dan Mutakallimin yang kuat di dunia Islam menyebabkan pandangan mereka yang negatif terhadap filsafat berkembang, sehingga orang takut berfilsafat. Sehingga serangan yang lebih keras dan sistematis terhadap filsafat adalah yang dilakukan oleh Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M).
Konsep pemikiran Al-Ghazali tentang manusia sangat komprehensif. Ia menyatakan pengenalan hakikat diri adalah dasar untuk mengenal Tuhan. Al-Ghazali merupakan salah satu ulama yang juga pemikir besar muslim yang karya-karyanya banyak menyinggung masalah manusia. Beliau merupakan orang yang ulet dalam mencari dan menggeluti segala pengetahuan yang hendak di ketahuinya untuk mencapai keyakinan dan hakikat dari suatu kebenaran.
Hakikat berasal dari kata Arab Al-haqiqat, yang berarti kebenaran dan esensi. Dalam pengertian ini, Muhammad Yasir Nasution mengungkapkan bahwa hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang lainnya. Lebih lanjut, yang mendasari jalan berpikir merumuskan hakikat manusia adalah prinsip yang umum dianut oleh para filosof, yaitu mabda’ al-dzatiyyat (prinsip identitas) yang lebih populer dengan sebutan prinsip pertama. Prinsip ini berbunyi : “sesuatu yang ada hanya identik dengan dirinya sendiri”. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang ada mempunyai identitas yang menandai esensinya dan menunjukkan kebedaannya dari yang lain.
Menurut kajian ilmu, manusia sebagai individu terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan lain-lain (materi) yang membentuk jasad. Ilmu mengakui bahwa dalam diri manusia ada jiwa, bahkan penganut teori evolusi pun mengakuinya. Namun, apakah jiwa itu substansi yang berdiri sendiri, ataukah ia hanya merupakan fungsi atau aktivitas jasad dengan organ-organnya.
Lebih lanjut, Al-Ghazali menggambarkan manusia terdiri dari Al-Nafs, Al-ruh dan Al-jism. Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat. Al-ruh adalah panas alam di (al-hararat al-ghariziyyat) yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf. Sedangkan al-jism adalah yang tersusun dari unsur-unsur materi. Al-jism (tubuh) adalah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak mempunyai daya sama sekali. Ia hanya mempunyai mabda’ thabi’i (prinsip alami), yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Tegasnya, al-jism tanpa al-ruh dan al-nafs adalah benda mati.
Selain itu, Al-Ghazali juga menyebutkan manusia terdiri dari substansi yang mempunyai dimensi dan substansi (tidak berdimensi) yang mempuyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Yang pertama adalah al-jism dan yang kedua al-nafs. Di sini, ia tidak membicarakan al-ruh dalam arti sejenis uap yang halus atau panas alami, tetapi ia menggambarkan adanya dua tingkatan al-nafs dibawah al-nafs dalam arti esensi manusia, yaitu al-nafs al-nabatiyyat (jiwa vegetatif) dan al-nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif). Kedua jiwa ini disebut di bawah jiwa manusia, karena dipunyai secara bersama oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya, tumbuh-tumbuhan untuk yang pertama dan hewan serta tumbuh-tumbuhan untuk yang kedua.
Menurut Al-Ghazali, Jiwa (al-nafs al-nathiqah) sebagai esensi manusia mempunyai hubungan erat dengan badan. Hubungan tersebut diibaratkan seperti hubungan antara penunggang kuda dengan kudanya. Hubungan ini merupakan aktifitas, dalam arti bahwa yang memegang inisiatif adalah penunggang kuda bukan kudanya. Kuda merupakan alat untuk mencapai tujuan. Ini berarti bahwa badan merupakan alat bagi jiwa. Jadi, badan tidak mempunyai tujuan pada dirinya, dan tujuan itu akan ada apabila dihubungkan dengan jiwa, yaitu sebagai alat untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya.
Disamping itu, berdasarkan proses penciptaannya, manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen materi dan immateri. Komponen materi berasal dari tanah (Q.S. As Sajadah/32:7) dan komponen immateri ditiupkan oleh Allah (Q.S. Al Hijr/15:29). Kesatuan ini memberi makna bahwa di satu sisi manusia sama dengan dunia di luar dirinya (fana), dan disisi lain menandakan bahwa manusia itu mampu mengatasi dunia sekitarnya, termasuk dirinya sebagai jasmani (baqa).
Demikianlah pandangan Al-Ghazali tentang hakikat manusia mengenai hubungan badan dengan jiwa. Dimana, badan hanya sebatas alat sedangkan jiwa yang merupakan memegang inisiatif yang mempunyai kemampuan dan tujuan. Badan tanpa jiwa tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Badan tidak mempunyai tujuan, tetapi jiwa yang mempunyai tujuan. Badan menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, jiwalah nanti yang akan menikmati dan merasakan  bahagia atau sengsaranya di akhirat kelak.
Seorang muslim sudah seharusnya memahami hakikat hidupnya di dunia: Dari mana ia berasal, untuk apa hidup dan bagaimana dia harus menjalani hidupnya, serta kemana setelah mati? Sudah sewajarnya bila setiap muslim memahami hal ini. Pemahaman akan hakikat hidup sangatlah penting, oleh karena ia akan menentukan corak atau gaya hidup seseorang. Saking pentingnya persoalan ini, sampai mungkin bisa dikatakan, janganlah kita hidup sebelum memahami apa sebenarnya hakikat hidup kita itu.

Tapi tidak sedikit muslim yang tidak memahami, bahkan kehilangan makna hidupnya yang hakiki ini. Ada yang terhanyut oleh pola hidup sekuler, ada pula yang acuh tak acuh menjalani hidupnya. Padahal, memahami hakikat hidup bukan hal yang sukar bagi seorang muslim. Allah SWT telah memberikan bekal dan potensi pada diri manusia, berupa daya pikir (akal) dan fitrah yang melekat pada manusia sejak dia diciptakan oleh Allah SWT. Allah SWT telah memberikan panca-indera, sebagai salah satu unsur penting untuk proses berpikir.

Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kalian bersyukur.” (QS An Nahl : 78). Semua bekal ini semestinya bisa digunakan dengan sebaik-baiknya, agar pada gilirannya ia dapat memahami hakikat hidupnya di dunia.

Kegagalan manusia dalam memahami hakikat hidupnya, tiada lain karena kelalaian dan keengganannya menggunakan bekal-bekal tersebut, sehingga arah dan orientasi hidupnya menjadi tidak jelas atau menyimpang dari jalan yang semestinya. Akhirnya, hawa nafsu atau setanlah yang dijadikan “tuhan”, yakni menjadi sumber penentu sikap dan tujuan hidupnya. Orang sesat seperti ini dicap oleh Allah SWT bagaikan binatang ternak, bahkan lebih rendah lagi daripada itu.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam banyak dari jin dan manusia. Mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) , dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al A’raaf : 179)

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS Al Furqaan : 43-44).

Jelaslah, memahami hakikat hidup merupakan suatu hal yang sangat fundamental. Kegagalan memahami hakikat hidup, akan membuat seseorang menjalani hidup bagaikan layang-layang putus yang bergerak mengikuti kemana angin berhembus, atau bagaikan kapal berlayar tanpa nakhoda yang bisa saja menumbuk karang, atau dihempaskan ombak ke mana saja tanpa tujuan. Artinya, seorang muslim mudah sekalil tersesat, atau bahkan tak mustahil menjadi murtad tanpa dia sadari, sehingga amalnya di dunia menjadi sia-sia bagaikan fatamorgana atau debu beterbangan. “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS Al Furqaan : 24)


B.      Kehadiran Manusia

Allah Swt, merencanakan penciptaan manusia, ketika Allah mulai membuat “cerita” tentang asal-usul manusia, Malaikat Jibril seolah khawatir karena takut manusia akan berbuat kerusakan di muka bumi. Di dalam Al-Quran, kejadian itu diabadikan.

"...Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud" (QS. Al Hijr: 28-29)

Firman inilah yang membuat malaikat bersujud kepada manusia, sementara iblis tetap dalam kesombongannya dengan tidak melaksanakan firman Allah. Inilah dosa yang pertama kali dilakukan oleh makhluk Allah yaitu kesombongan. Karena kesombongan tersebut Iblis menjadi makhluk paling celaka dan sudah dipastikan masuk neraka. Kemudian Allah menciptakan Hawa sebagi teman hidup Adam. Allah berpesan pada Adam dan Hawa untuk tidak mendekati salah satu buah di surga, namun Iblis menggoda mereka sehingga terjebaklah Adam dan Hawa dalam kondisi yang menakutkan. Allah menghukum Adam dan Hawa sehingga diturunkan kebumi dan pada akhirnya Adam dan Hawa bertaubat. Taubat mereka diterima oleh Allah, namun Adam dan Hawa menetap dibumi. Baca Surat Al-Baqarah Ayat 33-39.

Adam adalah ciptaan Allah yang memiliki akal sehingga memiliki kecerdasan, bisa menerima ilmu pengetahuan dan bisa mengatur kehidupan sendiri. Inilah keunikan manusia yang Allah ciptakan untuk menjadi penguasa didunia, untuk menghuni dan memelihara bumi yang Allah ciptakan. Dari Adam inilah cikal bakal manusia diseluruh permukaan bumi. Melalui pernikahannya dengan Hawa, Adam melahirkan keturunan yang menyebar ke berbagai benua diseluruh penjuru bumi; menempati lembah, gunung, gurun pasir dan wilayah lainnya diseluruh penjuru bumi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT yang berbunyi:

"...Dan sesungguhnya Kami muliakan anak-anak Adam; Kami angkut mereka didaratan dan di lautan; Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyak makhluk yang telah Kami ciptakan." (QS. al-Isra' [17]: 70)
Manusia dicipta dan ditentukan harus melalui proses perjalanan hidup yang panjang dan berliku. Satu proses hidup yang harus dilalui adalah hidup di dunia. Mau menjadi apa di dunia, manusia harus berusaha. Posisi manusia ditentukan oleh pikirannya. Mengapa harus hidup di dunia? Karena Allah mempunyai maksud dan misi. Manusia dicipta bukan untuk main-main. Allah berfirman dalam QS Al-Mu’minun 23:115. Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”, atas dasar misi tersebut, Allah menilai manusia sejauh mana bisa mengimplementasikannya dalam bentuk tugas dan tanggung jawab. Dengan demikian, manusia telah mengambil peran yang pasti dalam hidup, berikut di bawah inilah diantara tugas dan peran manusia.
1. Tugas Manusia Sebagai Khalifah
Bila direnungkan dengan mata batin yang mendalam, kemudian dipakai daya nalar dengan pikiran yang tajam, akan disadari betapa kehadiran manusia di dunia ini bukanlah atas kemauannya sendiri, melainkan merupakan kreasi terindah dari Al Khalik. Manusia dilahirkan sebagai khalifah, yang harus mampu mengubah dunia menjadi “Alam adabiyah yang terang benderang” karena peran manusia sebagai rahmatan lil’alamin.
Kehadiran manusia di muka bumi harus memberi manfaat bagi lingkungan, menjadi regulator, memberi kesejukan dan menunjukkan arah kehidupan yang terang benderang (QS Al Ahzab,33:46). Allah SWT menciptakan langit dan bumi bukan tanpa maksud. Diciptakan bumi dan isinya untuk manusia. Bagaimana manusia mampu mengelola dan mendapatlan manfaat, di situlah letaknya tantangan bagi manusia. Ketika seseorang mampu menyelesaikan tantangan dan merubah sesuatu menjadi lebih baik serta melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan umat manusia, maka dialah yang layak mendapat penilaian terbaik dari Allah sebagaimana dalam QS Al Kahfi:7.
Agama Islam berisi ajaran yang mendorong dan membangkitkan semangat inovatif bagi pemeluknya. Mengubah yang statis menjadi dinamis, terus bergerak maju memberantas kebodohan dan mengikis keterbelakangan. Karena itu seorang muslim yang berhasil dan sukses bukanlah mereka yang sanggup memikul tanggung jawab kepada keluarga semata. Muslim yang sukses adalah orang hidupnya produktif, mampu menggerakkan lingkungan tempat tinggalnya untuk maju, dan keberadaannya bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
Tidak ada amal yang patut diacungi jempol di dunia, selain sikap tanggap dan cepat bertindak di saat orang lain memerlukan pertolongan. Tidak ada pekerjaan yang bisa menyelamatkan dan dibanggakan di akhirat kecuali pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas. Resposnsif adalah ciri khas dari akhlak Rasulullah. Keteladanan dan langsung turun ke bawah adalah kepribadian Rasulullah. Beliau sangat tegas terhadap penyimpangan tetapi disampaikan dengan santun dan dengan tutur kata yang lemah lembut. Beliau penuh kasih sayang terhadap sesama, memberikan pujian kepada orang yang berprestasi dan berbuat baik, mencela orang yang berbuat aib dan merusak tatanan.
Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi mempunyai tugas menjaga keseimbangan dan ekosistemnya, tidak boleh membiarkan terjadinya kerusakan dan kehancuran. Lebih dari itu, dia mempunyai tugas menyembah Allah sperti disebutkan dalam QS Adz Dzaariyat,51:56. Ibadah yang dikehendaki oleh Allah ada 2 macam, umum dan khusus. Yang pertama, yaitu ibadah sosial yang menyangkut seluruh aspek gerak kehidupan,dan seluruh aktifitas kebaikan. Yang kedua ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang telah diatur oleh Allah tatalaksananya, seperti shalat dan sebagainya.
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah. Shalat misalnya, adalah ibadah seorang hamba bersifat pribadi kepada Allah. Manusia diperintahkan untuk menjalankan shalat dengan khusyu, berkonsentrasi penuh hanya tertuju kepada Allah melupakan seluruh urusan dunia. Selesai hubungan dengan Allah (shalat), manusia harus kembali berhubungan  dengan dunia,tidak boleh berdiam diri lantaran sudah bertemu dengan Allah. Manusia harus bertebaran je berbagai penjuru untuk mencari karunia Allah demi kemanfaatan dirinya da orang lain serta lingkungannya.
2. Memaknai Tugas Sebagai Khalifah
Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Penunjukan manusia sebagai kalifah sempat mendapat “reaksi” dan “protes” keras dari malaikat,sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah,2:30. Menanggapi reaksi dari Malaikat,Allah SWT memperlihatkan “keunggulan” manusia,terutama potensi keilmuannya(QS Al Baqarah,2:31). Para malaikat pun tunduk seta patuh dan berkata sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah,2:32.
Sebagai khalifah Allah di muka bumi manusia berperan menjadi “pengganti/penerus” (QS Yunus,10:14) dan “pemimpin/penguasa”(QS Shad,38;36). Selain harus beribadah dan hanya menyembah kepada Allah SWT, manusia juga berkewajiban mengemban tugas untuk memakmurkan bumi, menjaga ekosistemnya dan menghindarkannya dari kerusakan. Allah berfirman dalam QS Hud,11:61,“Dia telah mrnciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya”. Sebagai pemakmur, manusia dalam melaksanakan tugasnya selaku khalifah di muka bumi, perlu pengenalan dan penguasaan pengetahuan untuk lebih mengenali jati dirinya berupa:
1.      Mengenal bumi yang menjadi lingkungan wilayah yurisdiksinya.
2.      Mengenal dan menggali rahasia-rahasia alam dan hukum yang ada dibalik alam (taqdir) dan hukum Allah yang tersembunyi (sunatullah),misalnya melalui observasi. Pengenalan oleh manusia terhadap hukum alam, dapat memajukan kehidupan dan kemakmuran dimuka bumi yang sekaligus menjadi tugas dalam mengantar manusia dekat dengan Tuhan-Nya.
3.      Menjaga dan memelihara bumi dari kerusakan termasuk pencemaran lingkungan. Sebagai khalifah,manusia bertanggugjawab terhadap kelangsungan kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu setiap manusia agar tidak kehilangan jati dirinya wajib menyingsingkan lengan untuk memakmurkan bumi.
4.      Manusia Bertasbih dan Sujud
Alam semesta bertasbih dan bersujud kepada Allah Al Quddus. Manusia adalah bagian dari alam dan bahkan manusia adalah alam, sepanjang eksistensi kealamannya manusia otomatis juga bertasbih sebagaimana alam semesta bertasbih kepada Allah Al Quddus. Manusia tampaknya melihat dirinya sebagai sesuatu yang terpisah dari alam, karena itu dimana manusia sendiri ada di dalamnya, manusia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai alam atau bagian dari alam. Pengakuan tersebut karena sifat manusia, yang mampu bertasbih secara verbal di samping bertasbih secara natural.
C.      Fungsi Manusia
Jika ada pertanyaan apa manusia itu? ada bermacam-macam karena ada bermacam-macam sistem dan masing-masing mempunyai jawaban sendiri. Hal ini bisa dimengerti karena manusia memang makhluk yang kompleks, yang tidak sederhana. Manusia adalah makhluk yang “misterius”, yang selalu menarik untuk dikupas dan dibicarakan (Setiardja, 2005: 21).
Jika kita melihat kembali pada sejarah filsafat manusia dapat kita temukan jawaban mengenai manusia dari berbagai aliran. Aliran yang pertama adalah aliran materialisme belaka (ekstrem) yang dipelopori oleh Junalien Offray de Lamettrie yang hidup pada tahun 1709-1751. Menurut aliran ini manusia adalah materi belaka. Aliran ini mengingkari kerohanian dalam bentuk apa pun, bahkan mengingkari adanya pendorong hidup (Poedjawijatna,1997:165-166). Aliran lain yang dapat digolongkan dalam materialisme adalah darwinisme meskipun aliran ini kurang ekstrem. Aliran ini berpendapat bahwa manusia tidak ada bedanya dengan binatang, segala tindak tanduk manusia itu ditentukan oleh alam.
Materialisme belaka ternyata tidak dapat memuaskan, terutama mengenai perubahan-perubahan yang sukar dapat dimasukkan kerangka kejasmanian. Orang mulai menyadari bahwa manusia bukanlah mesin, ada kesatuan di dalamnya, ada pendorong untuk bertindak dan untuk hidup pada umumnya. Aliran ini disebut antropologia vitalitas. Aliran yang dapat digolongkan ke dalam aliran filsafat manusia yang vitalistis adalah marxisme. Marxisme berpendapat bahwa perkembangan masyarakat atau sejarah tak lain adalah perkembangan bahan. Cenderung hidup itulah yang menyebabkan manusia hendak terus ada dan terus berkembang. Makan, minum, dan pakaian merupakan kerangka hidup, dengan demikian manusia adalah sama dengan binatang karena mempunyai kebutuhan yang sama. Letak perbedaan manusia dengan binatang adalah usaha manusia menghasilkan keperluan hidupnya. Usaha ini dilakukan dengan menggunakan alat. Aliran ini sampai pada kesimpulan adanya pendorong hidup pada manusia, akan tetapi pendorong ini tak lain adalah materi. Meskipun mengakui adanya perbedaan antara manusia dengan binatang, tetapi aliran ini tidak menerangkan penyebab perbedaan tersebut.
Aliran marxisme ditentang oleh idealisme. Jika marxisme amat mengutamakan jasmani, maka idealisme amat mengutamakan roh, sehingga jasmani kurang dihargai. Tokoh aliran idealisme adalah Fichte, Schelling, dan Hegel. Aliran yang mempertemukan kedua aliran ini adalah eksistensialisme. Menurut aliran ini cara manusia ada di dunia itu khusus. Manusia menyatu dengan dunia.
Dalam cahaya kesadarannya manusia melihat dirinya sendiri terhadap realitas yang bukan “aku”. Dalam tangkapan yang pertama yang nampak ialah perbedaan antara si aku dan realitas sekitarku: tetapi sebenarnya di samping keduaan antara manusia dan dunia, manusia dan dunia itu juga merupakan kesatuan (Setiardjo, 2005:23).
Manusia adalah makhluk berbadan jasmani dan berjiwa rohani. “Manusia menjasmanikan diri dalam alam jasmani: makan, minum, bernapas, tidur, tetapi manusia juga memanusiakan dan merohanikan alam jasmani dengan mengangkatnya ke dalam dan ketinggian eksistensinya yang manusiawi. Manusia memiliki transedensi, memiliki keunggulan untuk mengatasi struktur alam jasmani (Setiardjo, 2005:24).
Misi hidup manusia ini dijelaskan Allah: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (beribadah) kepada-Ku.” (QS Adz Dzariyaat : 56)   Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya mereka beribadah (menyembah) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama…” (QS Al Bayyinah : 5). Kemudian pertanyaan “Untuk apa manusia hidup?” Islam menjawab, bahwa manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Yaitu untuk mentaati Allah SWT dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dalam segala aspek kehidupan.

Ibadah menurut kamus Al Muhith karya Imam Al Fairuz Abadi, secara bahasa artinya adalah taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, sebagaimana diuraikan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Dirasat fi al-Fikri al-Islami ibadah memiliki dua arti: arti umum dan arti khusus. Arti secara umum — ini pula yang dimaksud dengan ibadah dalam kedua ayat di atas — adalah mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan-larangan Allah.

Adapun arti ibadah secara khusus adalah ketaatan kepada hukum syara’ yang mengatur hubungan antara manusia dengan Rabbnya, seperti shalat, zakat, haji, do’a, dan sebagainya. Mengaktualisasikan ibadah dalam arti umum inilah yang secara konkret merupakan misi hidup manusia di dunia menurut Islam. Inilah hakekat hidup manusia di dunia, dan ini pula yang wajib menjadi landasan segala kiprahnya. Aktualisasi ibadah terwujud ketika seorang muslim mengikatkan dirinya dengan hukum-hukum syara’ dalam segala aktivitasnya, baik ketika berhubungan dengan Rabb-nya dalam bidang aqidah dan ibadah, berhubungan dengan dirinya sendiri dalam bidang akhlak, makanan, minuman, dan pakaian, maupun berinteraksi dengan sesamanya dalam bidang mu’amalah dan uqubat (hukuman dan sanksi).

Ketika seorang muslim menjalankan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat setiap tahun, berpuasa di bulan Ramadhan, beribadah haji, bertaubat, atau membaca Al Qur`an disebut sedang melaksanakan ibadah (dalam arti khusus). Begitu pula tatkala dia bekerja secara profesional dengan etos kerja tinggi didukung keahlian dan sikap amanah, mendidik anak dengan cara Islam, menepati janji, mengkaji ajaran Islam, mempedulikan keadaan kaum muslimin yang lain, aktif berdakwah atau dalam kegiatan keIslaman, bersabar tatkala mendapat musibah, memerintahkan isteri atau anak perempuannya berjilbab, menengok teman yang sakit, bermusyawarah, menjaga kesehatan dan kebersihan dan sebagainnya dia pun juga tengah menjalankan misi ibadah.

Sebaliknya, tatkala seseorang melalaikan tugas, melakukan korupsi dan manipulasi, memberi atau menerima suap, berbohong, berzina, menenggak minuman keras, mengkonsumsi narkoba, mengunjungi pub/diskotik, membantu terjadinya perzinaan, suka mendzalimi orang lain dan sebagainya, dikatakan ia telah telah melakukan maksiat kepada Allah. Berarti ia telah lupa terhadap hakikat keberadaannya di dunia. Demikian pula halnya bila dia menentang dakwah Islam, berjudi, menyatakan bahwa hukum Islam tidak layak karena dinilai kejam, merayakan Natal bersama, melakukan pelecehan seksual, berhutang tak mau bayar, meninggalkan shalat lima waktu atau shalat Jum’at, tidak memakai jilbab; berarti dia telah lalai dari arti hakikat hidupnya di dunia, yaitu beribadah kepada Allah.



BAB  III
PEMBAHASAN

Telah menjadi suatu ketetapan  dan kehendak Allah bahwa manusia diciptakan juga sekaligus diberikan tuntunan hidup agar dapat menjalani kehidupan di dunia sebagai hamba Allah untuk memakmurkan kehidupan di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya. Agama Islam yang diturunkan oleh Allah melalui para Nabi dan Rosul-Nya dan disempurnakan ajarannya melalui Nabi terakhir yaitu Muhammad SAW adalah merupakan suatu sistem kehidupan yang bersifat integral dan komprehensif mengatur semua aspek kehidupan manusia agar mencapai kehidupan yang sejahtera baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS : Al-Baqarah: 132)
A.      Manusia dan Masyarakat
Aktivitas dan perilaku masyarakat tidak terlepas dari karakteristik manusianya. Pola perilaku, bentuk aktivitas, dan pola kecenderungan terkait dengan pemahaman manusia terhadap makna kehidupan itu sendiri. Dalam pandangan Islam bahwa kehidupan manusia di dunia merupakan rangkaian kehidupan yang telah ditetapkan Allah kepada setiap makhluk-Nya tersebut untuk nanti dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Untuk mewujudkan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang baik harus dimulai dari pembinaan kualitas kehidupan secara individual. Karena dari sekumpulan individu-individu itulah yang nanti dapat memberikan warna dan pengaruh perubahan yang lebih baik dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Kualitas seseorang ditentukan oleh kualitas kepribadiannya yang akan melahirkan berbagai aktivitas di tengah masyarakat. Jika kualitas kepribadiannya baik dan sehat maka akan melahirkan aktivitas amaliah yang cenderung baik dan sebaliknya. Di sinilah pentingnya pembinaan kualitas kepribadian seorang muslim agar benar-benar memahami secara benar tentang nilai-nilai Islam kemudian dapat memberikan warna dan pengaruh perubahan terhadap lingkungan di sekitarnya.  Pembentukan kepribadian Islam pada diri seseorang ditempuh melalui dua tahap yaitu, Pertama, mengintroduksikan aqidah Islamiyah pada diri seseorang agar dia jadikan aqidah atau pandangan hidupnya. Kedua, seorang muslim yang telah memiliki aqidah Islamiyah itu bertekad menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan dalam melakukan proses berfikir yang Islami dan sekaligus menjadikan aqidah Islamiyah dalam mengatur dan mengendalikan tingkah lakunya. Untuk dapat memiliki kualitas berfikir yang berlandaskan aqidah Islamiyah atas berbagai fenomena kehidupan ini, maka seorang muslim harus mencurahkan kemampuannya untuk mempelajar ilmu-ilmu ke-Islaman baik ilmu tentang aqidah Islamiyah (ilmu tawhid), ilmu Al-Qur’an dan tafsirnya (‘ulumul Qur’an), Ilmu Hadist, Fikih dan Ushul Fiqih, ilmu bahasa Arab dsb. Jadi seorang muslim harus meningkatkan kualitas fikirnya melalui penguasaan terhadap informasi-informasi Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Assunnah.
Disamping itu juga harus dibarengi dengan keseriusan dalam memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kontemporer seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan alam, ilmu budaya, ilmu hukum, ilmu filsafat dsb. Keseimbangan dalam penguasaan ilmu baik ilmu-ilmu ke-Islaman dan ilmu pengetahuan kontemporer akan melahirkan sosok seorang muslim yang cerdas, bijaksana dan santun dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Namun aspek olah fikir (kognitif) dan olah rasa (afeksi) saja tidak cukup untuk melahirkan seseorang memiliki kepribadian Islam tetapi perlu ditunjang dengan pembinaan aspek perilaku kehidupan sehari-hari (psikomotorik).  Agar seseorang dapat senantiasa meningkatkan ketaatan dirinya terhadap Allah SWT sebagai Dzat yang menciptakannya, maka dia harus memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk Allah yang diberi anugerah berupa kelebihan-kelebihan baik secara fisik, mental, emosional dan intelektual dibandingkan makhluk Allah lainnya. Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, harus memahami bahwa dirinya memiliki berbagai macam potensi atau naluri kehidupan yang meliputi naluri mempertahankan hidup, naluri melangsungkan keturunan dan naluri beragama.  Masing-masing naluri kehidupan tersebut kemudian akan melahirkan berbagai macam bentuk aktivitas manusia di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk kecenderungan hidup tersebut harus senantiasa diatur dan dikendalikan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT agar martabatnya sebagai hamba Allah tidak jatuh ke jurang kehinaan. Islam telah mengatur semua kehidupan manusia baik menyangkut persoalan ekonomi, politik, budaya, hukum, seni, baik kehidupan secara individual maupun sosial,  permasalahan hidup di dunia maupun akhirat. Seorang muslim senantiasa berusaha untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan dan naluri tersebut berdasarkan atas aqidah Islamiyah bukan pada azas, ideologi, pandangan hidup, budaya lainnya. Jadi disiniliah letak dan hakekat kepribadian seorang muslim yang ditentukan oleh sejauh mana kemampuan berfikir atas segala fenomana kehidupan ini dan kemampuan berperilaku yang didorong oleh berbagai macam naluri dan kebutuhan yang senantiasa didasarkan atas aqidah Islamiyah.  Dalam aktivitas ekonomi seorang muslim tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik saja tapi juga sekaligus merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Sehingga dalam setiap tahap dan proses aktivitas ekonomi selalu dikaitkan dengan nilai-nilai Islam untuk mendapatkan keberkahan dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Motif ibadah dalam setiap aktivitas ekonomi selalu menuntun setiap langkahnya untuk selalu berada di jalan-Nya. Seorang muslim akan selalu berusaha untuk tidak melakukan kegiatan ekonomi yang tidak dibenarkan menurut syariat Islam meskipun secara fisik material mungkin menguntungkan seperti korupsi kolusi dan nepotisme (KKN), mengurangi timbangan, menipu, transaksi narkoba, prostitusi, praktek aborsi, manipulasi proyek, bisnis pornografi dan pornoaksi dsb. Seorang muslim melihat setiap persoalan dalam perspektif dan dimensi yang luas karena dia yakin kehidupan ini tidak berhenti hanya pada kehidupan di dunia saja tetapi merupakan kontinuitas kehidupan yang akan dilanjutkan dengan kehidupan di akhirat dimana setiap individu harus berhadapan dengan mahkamah keadilan Allah untuk mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya. Di sinilah implikasi keimanan seorang muslim terhadap hari akhir akan berdampak pada perilaku kehidupan sehari-hari karena dia yakin  bahwa Allah selalu mengawasi setiap langkah dan aktivitas hamba-Nya.
Islam sebagai sistem kehidupan yang integral dan komprehensif telah memberikan aturan pada semua aspek kehidupan manusia baik aspek politik, budaya, ekonomi, sosial, hukum, seni, manajemen dsb. Sistem syariah Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia untuk menjaga ketertiban, keseimbangan dan kelestarian hidup manusia sehingga tercapai kebahagiaan hidup manusia di dunia sampai di akhirat. Kesempurnaan Islam sebagai pandangan hidup (ideologi) dan sistem nilai menjadi suatu tuntutan manusia di tengah arus globalisasi dan modernitas yang dihadapkan pada berbagai persoalan yang semakin kompleks. Hal ini telah diungkapkan Allah SWT dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu" (QS Al-Baqarah: 208). Dari ayat di atas secara eksplisit dan implisit terdapat perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk mengikuti semua aturan-aturan yang telah diturunkan Allah secara totalitas dan jangan mengambil jalan hidup (way of life) dan sistem kehidupan (manhaj) selain dari Islam agar hidup manusia mencapai kebahagiaan yang sebenarnya. Dalam suatu hadist Rasulullah  SAW pernah menyampaikan pesan kepada seluruh umat manusia untuk selalu berpegang teguh kepada syariat Islam yaitu kembali kepada Al-Qur’an dan Assunnah. “Aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya” (HR. Malik)

B.      Manusia dalam berbangsa dan bernegara

Iklim kehidupan berbangsa dan bernegara di pasca era reformasi seperti sekarang ini telah memperlihatkan perubahan yang begitu signifikan dalam kehidupan demokrasi dan perpolitikan di indonesia, fenomena yang ada, adanya kebebasan berekspresi terhadap hak hidup sebagai warga negara dan menyampaikan aspirasi politik begitu marak dilakukan oleh warga masyarakat. Tetapi patut disayangkan, terkadang hal itu dilakukan dengan menabrak rambu-rambu hukum dan peraturan yang ada serta terlepas dari kendali moral, khususnya menabrak hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur`an yang merupakan sumber hukum dari segala permasalahan yang seharusnya dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh warga negara, sehingga luapan ekspresi kebebasan dan menyampaikan pendapat terkesan anarkis dan merugikan banyak pihak. Dengan kata lain, aspek-aspek lokalitas dan religiusitas mulai dijauhi dan bahkan mungkin ditinggalkan, selanjutnya beralih pada setiap entitas yang bernafaskan “modern” agar tidak dicap ketinggalan zaman. Sehingga akibatnya, rasa kepemilikan dan keimanan sebagai umat islam semakin luntur.
Bangsa adalah orang-orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa, sejarah serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan berbangsa adalah manusia yang mempunyai landasan etika, bermoral, dan ber-aqlak mulia dalam bersikap mewujudkan makna sosial dan adil. Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut. Sedangkan bernegara adalah manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilayah nusantara atau Indonesia dan mempunyai cita-cita yang berlandaskan niat untuk bersatu secara emosional dan rasional dalam membangun rasa nasionalisme secara eklektis kedalam sikap dan perilaku antar yang berbeda ras, agama, asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi karena banyak faktor yang mendasarinya, diantaranya ialah semakin menjauhnya rakyat indonesia khususnya umat muslim dengan agamanya. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal disadari atau tidak telah termarjinalisasikan di tengah-tengah ideologi dunia seperti kapitalisme, liberalisme atau ideologi lainnya. Sehingga sangat logis dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita semakin terpuruk. Disinilah pentingnya penyadaran untuk kita sebagai umat islam agar kembali kepada Al-Qur`an serta nilai-nilai moral sebagai bangsa yang beragama dan beradab untuk bersama-sama mejadikan nilai-nilai tersebut sebagai landasan kita dalam berbangsa dan bernegara. Allah berfirman dalam surat   Al-Israa ayat 9 :
Sesungguhnya Al-Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.
Proses berbangsa dan bernegara dalam kaitannya dengan ayat di atas dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kita harus bersikap dan berperilaku.Dalam surat lain Allah Berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59 :
Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan mereka yang memegang kekuasaan di antara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu kembalikanlah kepad Allah dan Rasul-Nya kalau kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah yang terbaik dan penyelesaian yang tepat.
Dari terjemahan surat An-nisa ayat 59 di atas, kita dapat mengambil beberapa intisari pelajaran yang sangat berharga mengenai berbangsa dan bernegara, pertama, kita diwajibkan untuk menjalankan perintah Allah yang telah diwahyukan melalui Al-Qur`an, kita diperintahkan-Nya untuk tetap terus berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan menjadikannya sebagai landasan dari perilaku kita khususnya dalam konteks ini yaitu berbangsa dan bernegara karena Al-Qur`an merupakan primary source dari segala permasalahan. Dalam berbangsa dan bernegara, kita harus yakin bahwa dengan mengikuti serta mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur`an, konsep berbangsa dan bernegara kita sesuai dengan perintah Allah. Kedua, kita diperintahkan untuk menaati Rasulullah yang telah membimbing kita melalui ajaran-ajarannya,  salah satunya adalah sunnah yang merupakan perkataan, perbuatan, dan diamnya nabi atas suatu perkara. Sunnah dalam kaitannya dengan Al-Qur`an merupakan sumber hukum kedua setelahnya yang mempunyai banyak fungsi salah satunya adalah menerangkan ayat Al-Qur`an yang bersifat umum dan memperkuat serta memperkokoh pernyataan dari ayat Al-Qur`an. Terakhir, kita diperintahkan untuk taat kepada kalangan yang memegang otoritas baik dalam pemerintahan, masyarakat atau keluarga, tetapi prinsip ketaatan ini harus memenuhi prasyarat atau dengan kata lain bersifat tanpa reserve,artinya pemimpin itu harus ditaati selama dia menjalankan perintah Allah dan Rasulnya.
Berbangsa dan bernegara menurut Al-Qur`an hanya sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, oleh karena itu berbangsa dan bernegara harus diyakini merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pentingnya dengan ibadah-ibadah yang lainnya, karena ini kaitannya dengan bangsa,negara serta entitas pendukungnya yaitu warga negara.
Berbangsa dan bernegara mempunyai berbagai variable-variable yang saling mendukung satu dengan yang lainnya, dari sekian banyak variable itu ada beberapa variable yang harus kita perhatikan yaitu persatuan dan kesatuan yang merupakan aspek penting dalam kesatuan konsep berbangsa dan bernegara. Tidak dapat disangkal bahwa Al-Qur`an memerintahkan persatuan dan kesatuan secara jelas, sejelas Allah menyatakan dalam Al-Qur`an surat Al-Anbiya ayat 92 “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu”. Dari persatuan dan kesatuan itu, sikap memiliki atau nasionalisme akan rasa kebangsaan dan kenegaraan kita akan terasah dan semakin tajam.
Membangun Kesadaran Berbangsa dan Bernegara merupakan hal penting karena tidak dapat dipisahkan dari perjalan panjang bangsa ini. Akan tetapi kesadaran berbangsa dan bernegara ini jangan ditafsir hanya berlaku pada pemerintah saja, tetapi harus lebih luas memandangnya, sehingga dalam implementasinya, akan lebih kreatif menerapkan arti sadar berbangsa dan bernegara ini dalam kehidupannya tanpa menghilangkan hakekat kesadaran berbangsa dan bernegara itu sendiri. Berbagai faktor dalam negeri seperti dinamika kehidupan warga negara, telah ikut memberi warna terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara tersebut. Demikian pula perkembangan dan dinamika kehidupan bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia, tentu berpengaruh pula terhadap kesadaran itu.
















BAB  IV
KESIMPULAN


Pembentukan kepribadian Islam pada diri seseorang ditempuh melalui dua tahap yaitu, pertama, mengintroduksikan aqidah Islamiyah pada diri seseorang agar dia jadikan aqidah atau pandangan hidupnya. Kedua, seorang muslim yang telah memiliki aqidah Islamiyah itu bertekad menjadikan aqidah Islamiyah sebagai landasan dalam melakukan proses berfikir yang Islami dan sekaligus menjadikan aqidah Islamiyah dalam mengatur dan mengendalikan tingkah lakunya. Islam sebagai sistem kehidupan yang integral dan komprehensif telah memberikan aturan pada semua aspek kehidupan manusia baik aspek politik, budaya, ekonomi, sosial, hukum, seni, manajemen dsb. Sistem syariah Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia untuk menjaga ketertiban, keseimbangan dan kelestarian hidup manusia sehingga tercapai kebahagiaan hidup manusia di dunia sampai di akhirat. Sistem nilai menjadi suatu tuntutan manusia di tengah arus globalisasi dan modernitas yang dihadapkan pada berbagai persoalan yang semakin kompleks. Hal ini telah diungkapkan Allah SWT dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu" (QS Al-Baqarah: 208). Dari ayat di atas secara eksplisit dan implisit terdapat perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk mengikuti semua aturan-aturan yang telah diturunkan Allah secara totalitas dan jangan mengambil jalan hidup (way of life) dan sistem kehidupan (manhaj) selain dari Islam agar hidup manusia mencapai kebahagiaan yang sebenarnya.
Menjadi sebuah keharusan bagi manusia Indonesia untuk ikut bertanggung jawab mengemban amanat penting ini, dengan kondisi bangsa kita sekarang, merupakan salah satu indikator bahwa sebagian para pemuda di negeri ini telah mengalami penurunan kesadaran berbangsa dan bernegara. Kesadaran bela negara adalah  dimana kita berupaya untuk mempertahankan negara kita dari ancaman yang dapat mengganggu kelangsungan hidup bermasyarakat yang berdasarkan atas cinta tanah air. Kesadaran bela negara juga dapat menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme di dalam diri masyarakat. Upaya bela negara selain sebagai kewajiban dasar juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, penuh tanggung jawab dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Keikutsertaan kita dalam bela negara merupakan bentuk cinta terhadap tanah air kita. Nilai-nilai bela negara yang harus lebih dipahami penerapannya dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara antara lain:

1.  Cinta Tanah Air
Negeri yang luas dan kaya akan sumber daya ini perlu kita cintai. Kesadaran bela negara yang ada pada setiap masyarakat didasarkan pada kecintaan kita kepada tanah air kita. Kita dapat mewujudkan itu semua dengan cara kita mengetahui sejarah negara kita sendiri, melestarikan budaya-budaya yang ada, menjaga lingkungan kita dan pastinya menjaga nama baik negara kita.

2.  Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Kesadaran berbangsa dan bernegara merupakan sikap kita yang harus sesuai dengan kepribadian bangsa yang selalu dikaitkan dengan cita-cita dan tujuan hidup bangsanya. Kita dapat mewujudkannya dengan cara mencegah perkelahian antar perorangan atau antar kelompok dan menjadi anak bangsa yang berprestasi baik di tingkat nasional maupun internasional.

3.  Pancasila
Ideologi kita warisan dan hasil perjuangan para pahlawan sungguh luar biasa, pancasila bukan hanya sekedar teoritis dan normatif saja tapi juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tahu bahwa Pancasila adalah alat pemersatu keberagaman yang ada di Indonesia yang memiliki beragam budaya, agama, etnis, dan lain-lain. Nilai-nilai pancasila inilah yang dapat mematahkan setiap ancaman, tantangan, dan hambatan.

4. Rela berkorban untuk Bangsa dan Negara
Dalam wujud bela negara tentu saja kita harus rela berkorban untuk bangsa dan negara. Contoh nyatanya seperti sekarang ini yaitu perhelatan seagames. Para atlet bekerja keras untuk bisa mengharumkan nama negaranya walaupun mereka harus merelakan untuk mengorbankan waktunya untuk bekerja sebagaimana kita ketahui bahwa para atlet bukan hanya menjadi seorang atlet saja, mereka juga memiliki pekerjaan lain. Begitupun supporter yang rela berlama-lama menghabiskan waktunya antri hanya untuk mendapatkan tiket demi mendukung langsung para atlet yang berlaga demi mengharumkan nama bangsa.

5.  Memiliki Kemampuan Bela Negara
Kemampuan bela negara itu sendiri dapat diwujudkan dengan tetap menjaga kedisiplinan, ulet, bekerja keras dalam menjalani profesi masing-masing.
Kesadaran bela negara dapat diwujudkan dengan cara ikut dalam mengamankan lingkungan sekitar seperti menjadi bagian dari siskamling, membantu korban bencana sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia sering sekali mengalami bencana alam, menjaga kebersihan minimal kebersihan tempat tinggal kita sendiri, mencegah bahaya narkoba yang merupakan musuh besar bagi generasi penerus bangsa, mencegah perkelahian antar perorangan atau antar kelompok karena di Indonesia sering sekali terjadi perkelahian yang justru dilakukan oleh para pemuda, cinta produksi dalam negeri agar Indonesia tidak terus menerus mengimpor barang dari luar negeri, melestarikan budaya Indonesia dan tampil sebagai anak bangsa yang berprestasi baik pada tingkat nasional maupun internasional.



Faktor-Faktor Pendukung Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Beberapa faktor pendukung untuk terciptanya kesadaran berbangsa dan bernegara  :
1.      Tingkat ke-amanahan seorang pejabat.
2.      Pemerataan kesejahteraan setiap daerah.
3.      Keadilan dalam memberikan hak dan kewajiban semua rakyat
4.      Kepercayaan kepada wakil rakyat atau pemerintahan
5.      Tegasnya hukum dan aturan pemerintahan.
6.      Rasa memiliki dan bangga berbangsa Indonesia.
7.      Menyadari bahwa berbangsa dan bernegara yang satu.
8.      Mengetahui lebih banyak nilai positif dan kekayaan bangsa.
Read more